KETIKA Ralf Hütter, sosok di balik synthesizer dalam grup musik elektronik Kraftwerk, berujar: “We are not musician, we are musical worker” (lihat video Krautrock: The Rebirth of Germany), saat itu juga kami menyadari bahwa ada hal yang tidak wajar dalam hubungan antara manusia dan instrumen musik elektronik. Dengan menggunakan istilah “musical worker”, Hütter seakan menggambarkan hadirnya sebuah ketegangan antara manusia dan instrumen musik, khususnya musik elektronik – sebuah rasa ketegangan khas yang biasanya muncul dalam konteks hubungan Tuan dan Hamba. Namun, ketika berhadapan dengan mesin, bukan manusia yang berperan menjadi Tuan, karena setelah manusia melahirkan mesin, sebuah titik balik terjadi: tali kekang peradaban lepas kendali dan mesin yang pada mulanya sekadar alat kemajuan lantas berlari begitu cepat dengan menyeret manusia di belakangnya. Dan visi William Butler pun terwujud: “Akhirnya manusia akan menjadi alat untuk mesin itu sendiri, demi kemajuan (dan kekuasaan) atas nama mesin, manusia menjadi budak belian.” (Butler dalam Mack, 1955:48).
Titik balik ini dikenal sejarah sebagai Revolusi Industri. Kata “revolusi” sendiri memang sebuah gambaran yang tepat untuk suatu perubahan drastis – bukan hanya dalam pola produksi, tapi juga dalam segala sendi kehidupan: mulai dari gaya hidup, seni, hingga aliran pemikiran. Begitupun dalam konteks musik, kehadiran mesin menciptakan peralihan yang begitu kentara, setidaknya dalam dua hal. Pertama, bunyi mesin yang menggaung dalam kehidupan sehari-hari memberi persepsi baru pada musik, yang menurut Friedrich Blume (1960) “membawa semacam montase yang bersifat anti-alam”, dan menghadirkan musik dengan napas baru (yang bukan berasal dari personifikasi alam ataupun musik rakyat, dua pengaruh yang membentuk musik pada umumnya). Kedua, mesin mengubah relasi dasar antara musisi dengan instrumen. Jika pada awalnya intrumen musik berfungsi sebagai alat penerjemah bunyi sesuai dengan yang diinginkan sang musisi (drum dibuat untuk memproduksi ritmik, piano untuk menghasilkan melodi), saat mesin bersentuhan dengan dunia musik, instrumenlah yang menjadi Tuan bagi bunyi: musisi tidak lain hanya pekerja yang menghasilkan bunyi. Sebagai ilustrasi, lihat proses pembuatan musik yang dilakukan oleh grup musik Jerman era 1970-an, Faust atau Tangerine Dream: dengan merangkai berbagai bunyi yang dihasilkan oleh mesin (teknologi elektronik ataupun perkakas lain, seperti gergaji atau pemotong rumput), mereka menghasilkan sebuah komposisi musik. Dengan kata lain, ketika musisi berhadapan dengan mesin, hadirlah sebuah pertarungan: manusia mencoba menaklukkan sifat totalitarian bunyi pada mesin – dengan memanusiakannya – melalui komposisi musik.
Namun, pesinggungan antara musik dan mesin telah hadir jauh sebelum Kraftwerk mempopulerkan musik eleltronik ke seantero dunia. Memasuki awal abad 20, keterpukauan manusia terhadap mesin melahirkan sebuah gerakan yang dikenal sebagai Manifesto of Futurism pada 1909. Perayaan mekanisasi masa depan ini mengemuka di dua negara, yaitu Italia dan Rusia. Namun, karya-karya komposer musik futurisme Rusia baru dapat diperdengarkan luas setelah 1950 karena konteks politik Rusia yang kala lebih memberikan dukungan pada penyebaran musik (klasik) konservatif. Akibatnya, Italialah yang lebih dikenal sebagai kiblat futurisme. Gerakan futurisme di Italia berada di bawah komando Filippo Tommaso Marinetti, sebagai bentuk penolakan pada gagasan dan gaya hidup masa lampau sekaligus perayaaan pada kehadiran mesin dan mekanisasi masa depan melalui industri. Manifesto ini tidak hanya berpengaruh pada perkembangan musik, tapi juga memberikan karakter pada sastra, puisi, teater, seni lukis, seni rupa, juga arsitektur. Tujuan utama manifesto itu adalah pembaharuan dalam berbagai bidang seni dengan melakukan berbagai penyesuaian pada kemajuan (industri) yang hadir secara pesat di Eropa saat itu. Kata “pembaharuan”-lah yang kemudian digunakan gerakan ini sebagai dasar estetika futurismenya, sebagaimana Pratella, musisi yang juga seorang futuris Italia pernah berkata (Pratella dalam Mack, 1955):
“…dilihat dari satu sisi, semua komposer besar seperti Palestrina, Bach, Beethoven, Wagner, dan lain sebagainya, sebenarnya mesti disebut sebagai orang futurisme, sebab mereka semua merupakan seniman yang menciptakan berbagai pembaharuan.”
Estetika futurisme pada umumnya mengarah pada “manusia baru” sesuai dengan pesatnya berbagai penemuan dalam bidang teknologi. Dengan dasar pembaharuan tersebut, manifesto futurisme musik memunculkan prinsip-prinsip dasar antara lain: (1) membuat musik baru dengan suatu spektrum sewenang-wenang (2) melalui suatu pendalaman yang juga sewenang-wenang (3) kesewenang-wenangan tadi dihasilkan dari kemandirian tempo secara mutlak yang dalam seni musik berarti pembongkaran linear (arsitektur musik) demi suatu perspektif batin dan substansialisasi elemen-elemen (Mack, 1955). Singkatnya, musik gerakan futurisme memiliki satu tujuan: menentang bentuk estetika konservatif.
Sikap di atas kemudian diterjemahkan melalui pembuatan alat-alat musik, seperti “intonaromusi” yang menggunakan berbagai bentuk teknologi untuk memproduksi bunyi (noise).
Dalam mengubah konstruksi dalam musik, futurisme bersandingan dengan gerakan Dadaisme, sebuah sikap anarkistis dalam mengembangkan kesenian. Pada mulanya gerakan ini hadir di Eropa, tapi kemudian juga berkembang secara kuat di Amerika. Istilah Dadaisme mengacu pada bentuk kenaifan seseorang yang digunakan secara sengaja sebagai kritik untuk menentang kesombongan dan kebohongan para penggelut seni yang dinilai anti-sosial. Dalam Dadaisme, seni lebih mengedepankan sisi komunikasi daripada bentuk, sehingga pertunjukan-pertunjukkannya kerap spontan, spektakuler, dan berakhir dengan anarki. Salah satu markas gerakan ini berada di Zurich, yaitu di bangunan sebuah teater yang didirikan pada 1916 dan menamakan diri Cabaret Volatire. Adapun pengaruh Dadaisme pada perkembangan musik, khususnya musik elektronik, terletak pada gagasan Dadaisme tentang pemurnian bahasa/komunikasi, yang kemudian menjadi dorongan bagi kemunculan bahasa-bahasa baru dalam musik.
Bentuk spontanitas ini memberi pengaruh pada komposisi musik futurisme yang terkadang hadir tanpa partitur tertulis. Tokoh-tokoh futurisme antara lain Marinneti (yang menuliskan Manifesto of Futurism), juga musisi Luigi Rusolo dan Balilla Pratella, kerap menggunakan metode spontanitas dalam bermusik. Metode ini dinyatakan sebagai sikap yang mereka gambarkan dalam frase: “pemberontakan terhadap kehidupan, intuisi, dan perasaan” (Russolo, 1913). Musik yang mereka usung pun lebih menekankan pada sikap, bukan bentuk ekspresi emosional. Atas sikap bermusik ini, para kritikus musik saat itu menganggap mereka sebagai provokator “kebebasan moral yang memaklumkan bahwa seni merupakan upaya untuk tidak peduli, sikap menghina segala sesuatu yang meraih sukses dengan mudah.” (Mack, 1955: 236).
Sebagai jawaban atas kritik tersebut, Marinnetti mempertegas bahwa seluruh seluk beluk futurisme berpijak pada perang terhadap persepsi pancaindra yang telah dapat diubah oleh teknologi. Menurutnya: “Manusia pernah jadi tontonan dewa-dewa Olympus, kini manusia (melalui kehadiran teknologi) menjadi objek tontonan untuk diri sendiri yang berujung pada keterasingan yang luar biasa. Dan dalam keterasingan ini, manusia mengalami fase pemusnahan diri yang hadir sebagai kenikmatan estetis paling unggul.” (Marinetti, 1911). Kenikmatan estetis tersebut kemudian diterjemahkan oleh Marinnetti dan kalangan musisi futurisme dalam bentuk “musik elektronik”.
[youtube_sc url=”https://www.youtube.com/watch?v=BYPXAo1cOA4″]Gerakan futurisme dan Dadaisme dalam musik pada awal abad 20 tidak mendapatkan tempat luas dalam masyarakat. Penyebabnya utamanya adalah kebanyakan masyarakat saat itu belum memahami inti kedua gerakan pembaharu tersebut. Baik “kesewenang-wenangan” Manifesto of Futurism ataupun “pemurnian komunikasi seni” Dadaisme kerap dianggap sebagai sumber kegaduhan semata, justru oleh pihak yang mereka bela: masyarakat yang menjadi korban utama dalam tatanan industri, juga dalam tatanan kelas estetika. Kritik terhadap gedung-gedung dan musik opera kelas atas yang dihadirkan melalui pertunjukan jalanan hanya dipandang sebelah mata, dan para senimannya dikucilkan dalam sebuah label “seniman aneh”. Oleh sebab itulah, gerakan ini mengalami masa surut tidak lama setelah kelahirannya.
Surutnya eksperimen futurisme dan Dadaisme berdampak pula pada perkembangan musik elektronik. Selain karena minimnya penerimaan masyarakat, eksperimen musik di Eropa sempat terhenti karena Perang Dunia. Memasuki 1950-an, barulah musik elektronik kembali dikembangkan oleh para musisi di lingkaran Berlin dan Paris. Lingkaran Paris mengemuka melalui karya-karya eksperimen Olivier Messiaen dan Pierre Schaeffer (yang kemudian mengembangkan bentuk musik Concrete), sedangkan lingkaran Jerman berada di tangan jenius Karl-Heinz Stockhausen, sang peletak dasar avant-garde dalam musik elektronik. Karl-Heinz Stockhausen memberi pengaruh yang sangat luas, salah satunya pada perkembangan musik spasial yang kini dikenal dengan space music, juga perkembangan musik elektronik yang dipopulerkan oleh musisi era 1970-an, di antaranya Kraftwerk, Neu!, Faust, Tangerine Dream, juga Soft Machine, yang menjadi pijakan musik elektronik yang kita kenal saat ini.
Namun, kehadiran mesin dalam perkembangan musik memunculkan sebuah permasalahan, yaitu kecenderungan terhadap “fetisisme materiil”. Pada akhirnya, perdebatan dalam musik mengacu pada kecanggihan-kecanggihan instrumen musik: sejauh mana ia mampu memproduksi bunyi, efek-efek apa yang bisa dihasilkan, atau otomatisasi apa yang mampu dilakukan instrumen elektronik tertentu. Tentu saja ini menjadi sebuah ironi tersendiri, bahwa setelah satu abad manusia bergulat dengan mesin, konsep awal musik elektronik yang mencoba memanusiakan bunyi hilang begitu saja di tangan musisi yang terlalu mempercayakan musiknya pada mesin. Dan dengan melihat dekadensi musik yang ada saat ini, visi William Butler lagi-lagi menjadi kenyataan: semakin mesin menjadi “organisme tersendiri”, manusia semakin menjadi tidak penting.
* Kedua penulis kini beraktifitas di Jatinangor dan aktif menulis untuk webzine antimateri.com
Sumber:
Mack, Dieter. 1995. Sejarah Musik Jilid 3, Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
Marinneti, F.T. 1911. Manifesto of Futurims, (terjemahan Inggris, 1973). London: Thames and Hudson Ltd.
Russolo, Luigi. 1913. The Art of Noise, (terjemahan Inggris, 1967), Ubuclassic, www.ubu.com.