Ilustrasi gambar oleh Alit Ambara
SAYA termasuk orang yang terlambat mengetahui persoalan di balik ’65. Yang saya tahu, pada tahun itu terjadi pemberontakan G30S. Seperti anak lain yang lahir dari situasi politik dengan penggelapan sejarah, saya hanya tahu PKI (Partai Komunis Indonesia) dalang di balik G30S. PKI jahat!. Pelajaran sejarah di sekolah yang mengantarkan saya pada kesimpulan demikian. Sampai akhirnya saya masuk kuliah dan mulai membaca sumber-sumber sejarah lain. Buku Max Lane, Malapetaka di Indonesia, terutama yang memberitahu saya bahwa ada penggelapan sejarah selama ini.
Klasik memang berbicara masalah ini.
Namun ingatlah, dengan memandang bahwa berbicara persoalan demikian klasik, kita tengah ikut meyakini kalau sejarah ’65 bukan hal yang penting lagi. Sejarah yang harus dilupakan. Dengan demikian, kita membiarkan peristiwa-peristiwa dalam sejarah tersebut sebagai masa lalu yang dilupakan begitu saja. Padahal, ’65 meruapakan pintu masuk neo-kolonialisme kembali merajai bumi Indonesia.
Dalam salah satu diskusi yang membahas persoalan kemiskinan di Indonesia, saya menyebut salah satu sebab pemiskinan di Indonesia adalah sejarah kelam ’65. Bahkan dengan agak sembrono, saya menyebut ’65 sebagai awal dari open door policy jilid dua. ’65 menjadi pintu masuk modal-modal kapital asing kembali merajalela di sini. Konteksnya memang beda pada open door policy di era penjajahan Belanda, tapi menurut saya, esensinya sama saja.
***
Setelah saya sedikit tahu persoalan di balik ’65, saya sudah tidak percaya lagi dengan sejarah versi Orde Baru (Orba). Kekaguman saya terhadap PKI bahkan mulai tumbuh setalah membaca beberapa buku yang mengupas partai yang pertama kali memakai nama Indonesia itu. Suatu saat, pada liburan kuliah, saya pulang kampung. Dengan bermodalkan sedikit tahu tentang ’65 dan kekaguman pada PKI serta semangat pemuda yang masih alay-alay gitu, saya memajang gambar palu arit sebagai backgruon dekstop di laptop saya. Ada salah satu orang yang melihat gambar lambang palu-arit di latop saya itu. Apa yang dia katakan pada saya? ‘Kamu mau jadi teroris majang gambar itu?’. Sontak saya saya kaget sembari bertanya dalam hati: apa hubungannya palu arit dengan teroris?
Saya kira, setalah sekian lama Soeharto jatuh, pandangan kayak begitu sudah tidak ada.Ternyata tidak. Beberapa tahun setelah saya dibilang mau jadi teroris dengan majang gambar palu arit, saya masih merasakan hal yang sama. Belum lama ini saja saya sudah berkali-kali menemukan hal serupa. Sewaktu mudik lebaran lalu, beberapa hari setelah lebaran saya ngobrol dengan beberapa tetangga saya. Pembicaraan sampai pada masalah PKI dan ’65. Ada tetangga saya yang mengatakan jika PKI berkuasa akan menjadi kacau Indonesia, bahkan dia sampai bilang: bebek-bebek milik orang akan diambil dan diakui sebagai milik bersama, untung saja Gusti Allah adil PKI dibrantas. Mendengar itu, seorang tetangga lain menimpali: ya. Sudah ada di ayat Al-Quran, kalau amal ma’ruf nahi munkar pasti dihabisi. Saya terdiam sesaat. Sampai akhirnya saya tidak bisa lagi menahan diri untuk berkata: ah! Itu kan pengaruh Soeharto saja yang bilang begitu. Kemudian mereka meminta saya menjelaskan lebih jauh, hingga satu kesimpulan yang saya berikan: PKI itu justru partai yang lebih getol menyuaran suara rakyat! Mereka mengangguk.
Beberapa hari setelah itu, menjelang perayaan hari kemerdekaan. Seorang tetangga lain hendak membuat gambar tentara dengan membawa senjata sebagai hiasan di gapura yang akan kami buat. Bagi dia kemerdekaan adalah jasa tentara. Saya menolak rencana itu: kemerdekaan kita bukan semata karena perjuangan militer, tapi justru lebih besar karena rakyat! Sebagai gantinya saya usulkan: mending pajang gambar petani bawa cangkul, mereka tu yang berjasa pada negara kita. Di Banten, bahkan perlawanan petani sudah ada sebelum ada tentara angkat senapan!
Bahkan beberapa hari yang lalu, kejadian yang sama tentang PKI kembali menimpa saya. Karena memajang gambar patung seorang laki-laki dan perempuan yang membawa palu arit sebagai gambar foto profil di bbm, saya diprotes seorang teman. Saya diminta untuk mengganti gambar profil saya. Ketika ditanya alasannya, teman saya menjawab: takut ada yang syirik dan gambar itu ga pantes ditunjukkan di Indonesia. Saya bingung dan bertanya lagi: apa hubungannya palu arit sama syirik dan ga pantes ditunjukkan di Indonesia? Tapi malas berdebat lebih jauh, saya berteremikasih saja karena sudah diingatkan. Dari situ saya kembali teringat Mbak Anindya yang beberapa bulan lalu bikin heboh karena upload photo dengan mengenakan baju bergambar palu arti. Masya Allah kapan kita berhenti untuk berpikir seperti itu? Kapan sejarah akan terungkap dan diketahui orang banyak?!
Tetapi, sungguh, dari semua kejadian itu hanya ada satu hal yang paling saya anggap hebat. Ketika di hari lebaran yang lalu terjadi pembakaran sebuah tempat ibadah umat Islam di Papua, seorang anggota DPR berkomentar kalau PKI dalang dari kejadian itu. Hebat tapi sangat lucu dan memprihatinkan. Dari mana dia bisa berkata demikian?
Soeharto memang luar biasa. 32 tahun tidak disia-siakan untuk menyeting segala tentang Indonesia di bawah narasi yang ia buat. PKI jahat. Kemerdekaan jasa tentara. Bapak pembangunan. Pancasilais. Penegak keamaanan. Semua itu dibuat demi mempertahankan kekuasaan, dan masih banyak rakyat kita yang percaya. Lihat saja, salah satu ungkapan yang paling menakjubkan untuk mengenang si biang kerok itu: pie lek penak jamanku toh? Seolah-olah dengan pemerintahan Soeharto dengan senyum dingin tapi manis dan ramahnya itu adalah keagungan untuk Indonesia dan harus dikenang, bahkan dilanjutkan!
Tidak! Soeharto bukan orang yang pantas untuk dilanjutkan kiprahnya. Dia menegakkan keamanan dengan membunuh banyak nyawa demi bertegak dan jayanya Orba. Tapi nampaknya, yang terjadi sebaliknya, narasi Orba masih dipegang teguh. Buku-buku sejarah di sekolah bahkan masih bercerita demikian. Niat Pak Jokowi untuk meminta maaf pada korban ’65 pun menuai banyak penolakan.
Di tengah situasi seperti itu berharap pada siapa kita? Nampaknya buku-buku yang mengungkap keburukan Orba dan peristiwa sebenarnya di balik ’65 belum terbaca oleh masyarakat luas. Film The Look of Silent dan The Act of Killing pun tidak lebih menggoda dibanding sintron Ganteng-ganteng Srigala dan Tujuh Manusia Harimau, sehingga kurang ditonton. Tapi saya yakin, banyak orang yang belum tahu film itu.
Lebih mendasar lagi, ini problem akses masyarakat awam terhadap buku-buku dan film-film tersebut. Menurut saya, salah satu yang bisa kita lakukan adalah mentransformasi sumber-sumber itu untuk membuka pandangan mereka bahwa—meminjam perkataan Kang Bakar dalam film Ronggeng Dukuh Paruk—ada yang salah, sedulur-sedulur!***
Penulis adalah mahasiswa fakultas filsafat UGM