ADA BANYAK banyak pertanyaan saya seputar insiden Karubaga berdarah. Pertama, Karubaga, ibukota kabupaten Tolikara, terletak di Propinsi Papua. Kota ini sangat terisolir. Karenanya, sangat mengagumkan untuk saya bahwa berita dari Tolikara bisa keluar hanya dalam hitungan jam.
Tidak hanya itu. Kejadian ini terjadi pada hari raya Idul Fitri yang adalah hari libur terbesar nasional. Tentu tidak banyak orang bekerja pada hari itu. Orang berhari raya.
Saya mendapat berita pertama dari MetroTV. Judul beritanya pun (paling tidak yang online) sangat tendensius, ‘Saat Imam Takbir Pertama, Sekelompok Orang Datang dan Lempari Musala di Tolikara.’ Kemudian judul berita MetroTV itu diganti menjadi ‘Amuk Massa Terjadi di Tolikara,’ MetroTV, 17/07/15).
Wartawan yang melaporkannya adalah Ricardo Hutahaean. Saya mendengar bahwa yang bersangkutan adalah kontributor MetroTV di Papua. Saya jadi ingin tahu, dari mana dia mendapat sumber beritanya?
Berita di website MetroTV juga muncul dengan gambar. Seingat saya, ada tiga buah gambar, Namun sekarang hanya ada satu gambar. Gambar itu rupanya diambil dari ketinggian yang memperlihatkan api yang membakar pemukiman. Kemudian ada massa yang menghadap ke arah kebakaran tersebut.
Sangat luar biasa untuk saya, karena kecepatan berita MetroTV bisa menyamai standar pemberitaan internasional. Hanya saja persoalannya adalah: berita-berita tentang Papua biasanya tidak terdengar selang beberapa hari. Mengapa untuk kali ini MetroTV bisa sangat cepat?
Persoalan kedua adalah soal isi berita. Di samping soal headline yang bombastis, berita pertama MetroTV tidak menyebut sama sekali ada penembakan. Tidak ada sama sekali. Kita tahu kemudian bahwa ada 11 orang yang ditembak polisi dan tentara. Satu orang diantaranya meninggal dunia.
Hal yang sama juga terlihat dari siaran pers dari Kepolisian Republik Indonesia yang dirilis oleh media-media Jakarta. Tidak ada satu kata pun yang menyebut terjadi penembakan.[1]
Hingga saat ini, berita yang berawal dari MetroTV itulah yang berhasil membentuk narasi tentang insiden Karubaga berdarah ini: bahwa umat Islam diserang ketika melakukan sholat Ied dan Musholla dibakar. Beberapa media kemudian menggelembungkannya menjadi masjid yang terbakar. Sementara, persoalan sebelas remaja ditembak dan satu orang meninggal tidak disebut sama sekali. Juga insiden penembakan tidak pernah disebut sama sekali. Siapakah yang melakukannya? Polisi? Tentara? Atau rakyat sipil yang bersenjata?
Diberitakan, ada tiga ribu peserta Seminar dan KKR GIDI yang datang dari berbagai kota di Indonesia di kota Karubaga saat insiden ini terjadi. Mengapa tidak ada satu pun keterangan dari mereka muncul di media massa? Mengapa tidak ada satu pun keterangan dari peserta sholat Ied itu muncul?
Persoalan ketiga adalah soal surat dari Badan Pekerja Wilayah GIDI (Gereja Injili di Indonesia) itu. Sekarang kita tahu bahwa diakui surat itu memang pernah ada dan tampaknya memang dikeluarkan oleh Badan Pekerja Wilayah DIGI. Namun, surat yang beredar di media-media sosial dan kemudian dirilis oleh media massa di Jakarta punya beberapa kejanggalan. Seperti Seminar Kebaktian Kebangkitan Rohani (KKR) itu berlangsung tanggal 15-20 Juli 2015. Bukan pada tanggal 13-19 Juli seperti yang disebutkan dalam surat yang banyak beredar itu. Kegiatan Seminar KKR tersebut diberitakan dan diiklankan secara luas di Papua. Bahkan Gubernur Papua, Lukas Enembe, membuka acara Seminar KKR tersebut.[2]
Surat yang diedarkan itu, beserta semangat di dalamnya, adalah salah. Surat itu mengijinkan perlakuan diskriminatif terhadap pemeluk agama lain, khususnya umat Islam yang menjadi minoritas di kota Karubaga, kabupaten Tolikara, dan di bumi Papua. Apapun alasannya, isi surat itu bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dan bertentangan dengan semangat demokrasi yang mensyaratkan perlindungan kepada yang minoritas dan yang lemah.
Namun di sisi yang lain, dalam konteks Indonesia, kita juga melihat terlalu banyak kejadian dan peraturan yang bernada sama dengan semangat surat Badan Pekerja Wilayah (BPW) GIDI Tolikara itu. Diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas terjadi dimana-mana di Indonesia ini. Kita tentu ingat kasus-kasus perusakan tempat ibadah, penyegelan, penutupan, hingga penghilangan kemerdekaan untuk beribadah. Kita menentang surat Badan Pekerja Wilayah GIDI Tolikara itu seperti kita menolak diskriminasi dalam bentuk apapun.
Sementara itu, terlepas dari isi surat BPW GIDI, ada satu persoalan penting. Pada gambar surat yang dikeluarkan oleh BPW GIDI yang beredar cepat di media sosial itu, pada bagian tembusan surat itu, yang dilingkari adalah kepolisian. Artinya, ini adalah surat tembusan ke pihak kepolisian. Besar kemungkinan bahwa surat ini bersumber dari kepolisian. Saya lampirkan contoh tipikal surat BPW GIDI yang beredar di media online dan media sosial:
Sumber: http://3.bp.blogspot.com/-gEhJzXqVc-Q/VanJJImI33I/AAAAAAAAAXM/zpojNtqVxMQ/s640/injili.jpg
Ini membawa kita kepada problem yang lebih besar. Tidak diragukan lagi bahwa aparat keamanan—polisi, tentara, dan intelijen—tahu akan potensi ledakan ini. Bahkan sebelum terjadi insiden ini, umat Islam Tolikara sudah menemui Kapolres Tolikara dan Bupati.[3] Rupanya, bahkan Bupati Tolikara dan Presiden GIDI pun tahu akan keresahan umat Islam di Tolikara ini. Oleh karena itu, mereka memberikan jaminan bahwa umat Islam boleh melakukan sholat Ied dan merayakan Idul Fitri di Tolikara. Bahkan mereka berdua menyumbang seekor sapi untuk dipotong dan dipakai berhari raya.[4]
Yang kita tidak tahu adalah apakah ada upaya untuk mengantisipasi insiden berdarah ini? Pihak kepolisian pun sudah memberikan keterangan bahwa beberapa hari sebelumnya sudah ada upaya mempertemukan ‘pihak-pihak yang berkepentingan.’ Siapakah pihak-pihak ini? Apakah pihak GIDI dan komunitas Muslim di sana? Bagaimana hasilnya?
Dari semua yang kita ketahui tentang insiden berdarah ini, kita dibikin bertanya-tanya: kenapa pihak kepolisian dan aparat keamanan membiarkan situasi ini berkembang? Kita tidak tahu apakah pembiaran ini karena kelalaian ataukah karena kesengajaan. Karubaga dan seluruh daerah Pegunungan Tengah Papua adalah daerah yang bergolak. Ini adalah wilayah dimana gerilyawan kemerdekaan Papua paling aktif. Ini juga wilayah dimana, akhir-akhir ini, pihak tentara dan polisi paling banyak melakukan pembunuhan ekstra-yudisial.
Kita tahu bahwa pada hari raya Idul Fitri, situasi berkembang menjadi unjuk rasa. Anak-anak muda GIDI melakukan demonstrasi terhadap sholat Eid. Demonstrasi ini dihadapi dengan penembakan. Hingga saat ini kita tidak tahu detail terjadinya penembakan ini. Media-media Indonesia sibuk memberitakan (melakukan provokasi, lebih tepatnya) tentang pelarangan beribadah dan pembakaran rumah ibadah.
Sulit untuk merumuskan bahwa insiden berdarah ini sesungguhnya adalah murni konflik berdasarkan agama. Melihat sejarah panjang pembunuhan-pembunuhan terhadap orang Papua, maka tidak diragukan bahwa insiden Karubaga berdarah ini adalah bagian dari konflik politik antara rakyat Papua dengan aparat keamanan Indonesia.
Aparat keamanan melakukan pembiaran hingga situasi menjadi sebuah demonstrasi. Perlu diingat bahwa demonstrasi itu dilakukan oleh rakyat sipil yang tidak bersenjata. Namun mereka dihadapi dengan kekerasan senjata.
Hal seperti ini terjadi berulangkali di tanah Papua. Di sebagian besar kejadian, rakyat Papua tidak pernah mendapatkan keadilan atas pembunuhan-pembunuhan yang mereka alami. Jika pun pelakunya diadili maka mereka yang diadili hanyalah prajurit rendahan dan dihukum dengan hukuman serendah-rendahnya yang dimungkinkan oleh hukum.
Kita sungguh perlu mengetahui siapa yang melakukan penembakan dan mengapa dilakukan penembakan? Sementara kita tahu bahwa yang memiliki hak dan kemampuan untuk memegang senjata hanyalah tentara dan polisi. Hampir bisa dipastikan bahwa penembakan itu dilakukan oleh pihak polisi dan kemungkinan juga tentara.
Insiden Idul Fitri berdarah di Karubaga ini, lagi-lagi memperlihatkan bahwa TNI/Polri memiliki hak atau lisensi untuk menembak dan membunuh. Hanya kali ini jauh lebih canggih. Penembakan dan pembunuhan yang dilakukan dibungkus menjadi soal agama. Dan, tidak ada orang yang mempertanyakan penembakan ini.
Sekali lagi, kita menolak diskriminasi dalam bentuk apapun. Kita menolak pengingkaran hak beribadah terhadap umat Islam di Karubaga dan Tolikara. Namun kita juga menolak pembunuhan dan penembakan yang dilakukan oleh TNI/Polri dalam menangani demonstrasi ini.
Jika tidak ada yang mempertanyakan penembakan ini dan pihak yang seharusnya bertanggungjawab tidak berusaha memberikan jawabannya, maka sekali lagi, Indonesia sudah menunjukkan sikap diskriminatifnya terhadap rakyat Papua. ***
———–
[1] Lihat: ‘Ini Kronologis Pembakaran Masjid di Tolikara,’ Republika, 17/07/15.
[2] Lihat, ‘Hari Ini Gubernur Buka Seminar dan KKR Pemuda GIDI di Karubara,’ Tabloid Jubi, 14/07/15.
[3]Lihat, ‘Sebelum Insiden, MUI sudah ingatkan Kapolres Tolikara,’ Tempo, 19/07/15.
[4] Lihat, ‘Presiden GIDI Bantah Surat Edaran Berlogo BPP GIDI’ Tabloid Jubi, 7/20/2015.