MENYELIDIKI persoalan Papua dengan perspektif yang lain daripada yang sudah ada mungkin menjadi pengantar yang bisa membantu kita merekonsiliasi persoalan dengan cara yang berbeda, yaitu dengan mentransformasikan agama sebagai wadah api perlawanan seraya berusaha meluruskan dan mengkritisi garis perjuangan dengan kaca mata yang berbeda. Agama mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menyelesaikan persoalan bangsa. Peran gereja sangat dibutuhkan begitu juga peran umat beragama lainnya, baik Hindu, Budha dan Islam. Tetapi bagaimana keberagaman agama di Papua menjadi wadah untuk melihat persoalan dengan kaca mata yang sama.
Transformasi Agama terdiri dari dua kata, yaitu Transformasi dan Agama. Kedua kata saling terpisah tetapi memiliki kesamaan erat. Keduanya mungkin akan menjawab pertanyaan di atas sebagai transformasi agama pada nilai integrasi sosial masyarakat. Secara mendasar transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sampai pada tahap tertinggi. Perubahan dilakukan dengan cara memberi respon terhadap variabel eksternal dan internal yang mengarahkan perubahan dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya.1 Transformasi digambarkan sebagai proses perubahan secara berangsur-angsur dari bentuk masyarakat yang heterogen menuju suatu persatuan yang luhung. Secara nyata transformasi sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang merindukan adanya rekonsiliasi dan integrasi.
Transformasi juga identik dengan proses perubahan sosial masyarakat yang implisit karena legitimasi atas suatu transformasi ada kaitannya dengan soal integrasi. Contoh paling dekat di sini adalah soal toleransi antar umat beragama. Toleransi umat beragama adalah sebuah upaya transformasi agama menuju suatu kesatuan.
Ada juga faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya transformasi.2 Pertama, kebutuhan akan pengakuan atas identitas diri. Kedua, perubahan gaya hidup (life Style) dan struktur masyarakat akibat pengaruh kontak dengan budaya lain dan munculnya penemuan-penemuan baru mengenai manusia dan lingkungannya. Ketiga, pengaruh teknologi baru mendorong timbulnya keinginan untuk mengikuti tren.
Agama menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah sistem yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan antar manusia juga dengan lingkungannya. Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti tradisi. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin ‘religio’ dan berakar dari kata kerja re-ligare yang berarti mengikat kembali. Maksudnya dengan ber-religi, seseorang telah mengikat dirinya kepada Tuhan.3 Menurut Karl Marx agama adalah candu masyarakat. Marx dengan jelas menyatakan tidak menolak agama, melainkan menolaksistem yang mengandung ilusi-ilusi agama.4 Menurut Marx agama menjadi candu masyarakat manakala agama membikin manusia melupakan penindasan yang dialaminya, atau saat membuat manusia bekerja tanpa mementingkan lingkungan sosialnya. Agama yang seperti itu menurut Marx malah menjadi permasalahan sosial masyarakat. Sebagai seorang yang dilahirkan di keluarga pemeluk agama yang taat, Marx sadar juga potensi besar yang dimiliki agama untuk kebaikan masyarakat jika agama digunakan untuk memperbaiki kehidupan dan mengakhiri penindasan yang ada.
Rekonsiliasi sendiri diartikan sebagai sebuah wahana dimana transformasi agama menjadi wadah pemecahan persoalan. Sebelum masuk lebih jauh, semestinya kita tahu terlebih dulu bahwa rekonsiliasi menjadi sesuatu yang sangat penting sebagai perangkat dan pokok penyelesaian persoalan hingga ke jantung persoalan itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), rekonsiliasi diartikan sebagai perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan. Rekonsiliasi pada prinsipnya mengarahkan persoalan dalam proses penyelesaian masalah hingga mencari akar persoalan yang sedang terjadi hingga substansi yang ingin capai.
Konflik Papua
Berbicara tentang konflik di Papua menjadi sebuah permasalahan yang sangat serius. Konflik sering kali kita terjemahkan sebagai sebuah pertikaian atau kekerasan yang terjadi baik verbal maupun non-verbal. Konflik dapat berupa perselisian antar individu maupun antar kelompok masyarakat.
Konflik Papua dalam konteks ini lahir akibat adanya suatu penjajahan baru terhadap kehidupan manusia di segala lini kehidupan. Terlepas dari itu, akibat dari lahirnya konflik yang berkepanjangan hingga sampai saat inipembangunan Papua untuk mensejahteraan masyarakat terhambat.
Pepera 1969 adalah titik mula malapetaka bagi masyarakat Papua. Situasi semakin buruk setelah Papua menjadi bagian NKRI. Kekerasan terus bergulir untuk muluskan berbagai kepentingan pemerintah pusat. Konflik semakin hari kian meningkat meski tidak sedikit elit politik Papua yang berani angkat isu kemanusiaan.
Transformasi Agama dan Rekonsiliasi Konflik
Pada 8 Desember 2014, terjadi penembakan terhadap 5 warga sipil di Paniai. Korban penembakan adalah orang asli Papua yang masih duduk di bangku SMA Penembakan dilakukan oleh aparat militer Indonesia (TNI/POLRI) dengan brutal . Sehari berselang, mahasiswa Papua yang tergabung dalam Forum Mahasiswa Papua (FMP) Yogyakarta menggelar aksi damai menuntut pemerintah Jokowi-JK yang saat itu sedang berkunjung ke Yogyakarta.
Sebagai respon atas tragedi kemanusiaan ini sejumlah pimpinan gereja yang tergabung dalam Forum Oikumens Gereja-Gereja Papua, dalam seruan moralnya, dengan tegas menolak rencana kedatangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menghadiri perayaan natal nasional di Jayapura, Papua, pada 27 Desember 2014.
Seruan moral ini disampaikan secara tegas oleh Ketua Sinode Gereja Kemah Injil (Kingmi) Papua, Pdt. Dr. Benny Giay, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua (PGBP), Pdt. Socratez Sofyan Yoman, dan pendeta senior di lingkungan Gereja Kristen Injili (GKI) Papua, Pdt. Selvi Titihalawa. Saat memberikan keterangan pers di P3W, Padang Bulan, Jayapura, Papua, Kamis (11/12/2014).5 Benny Giay menegaskan, “Rakyat Papua sedang berduka karena pembantaian di Paniai, sedangkan Jokowi ingin merayakan natal di Jayapura dengan habiskan dana puluhan miliar, damai apa yang Jokowi mau bawa, kami dengan tegas menolak kedatangan Jokowi di Papua.”Secara teoritis ilmu pengetahuan kita meyakini transformasi adalah pintu menuju perdamaian. .
Sekarang pertanyaan adalah kenapa masih memandang rendah agama untuk menyelesaikan persoalan?. Pemahaman kita akan peran transformatif agama mesti ditinjau ulang. Bagaimana transformasi agama punya peran penting bagi orang asli Papua untuk atasi persoalan yang ada. Mula-mula kita harus kikis stigma pulau Papua adalah pulau yang dimiliki oleh umat Kristen. Meski memang mayoritas penduduk memeluk agama Kristen. Namun secara rasional ini adalah stigma yang salah dan akan menimbulkan persoalan baru. Agama menjadi tombak penyelesaian masalah, tetapi peran agama itu yang perlu kita pahami sebaik mungkin.
Beberapa waktu lalu saya sempat menonton film dokumenter yang ditampilkan di laman PapuanVoices.com berjudul Muslim Voices For Peace di Atas Tanah Papua. Dalam video tersebut, kita belajar bagaimana disorganisasi itu sudah mulai nampak di antara umat beragama itu sendiri.6 Pelajarannya adalah jika mau mendorong berbagai agama untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan transformatif maka setiap persoalan harus dipahami dengan gunakan kaca mata yang sama. Yakni penindasan atas kemanusiaan. Karena bukan saja umat Kristen yang mengalami kemalangan, pemeluk agama lain di Papua juga mengalami hal serupa. Transformasi Agama perlu kita pahami dengan tanpa mengatasnamakan agama untuk selesaikan persoalan. Misalnya kasus penembakan di Paniai kemarin, semua lembaga agama di Papua harus terlibat dalam satu kesatuan untuk memecahkan persoalan yang ada.***
Penulis adalah seorang nelayan yang tinggal di Fak-Fak, Papua
——–
1Pengertian Transformasi, yang diakses dari website Universitas Negeri Gorontalo (UNG) (http://eprints.ung.ac.id/257/3/2013-2-87201-231409016-bab2-09012014011546.pdf)
2Faktor-faktor terjadinya transformasi, Habraken, 1976 yang dikutip oleh Pakilaran, 2006 (dalam http://www.ar.itb.ac.id/wdp /diakses pada tanggal 11 November 2013).
3Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pusaka (hal: 170)
4Ritzer George. 2012. Teori Sosiologi Klasik,Yogyakarta: Pustaka Pelajar (117)
6Lihat di: https://www.youtube.com/watch?v=9Ge-h-0flEc