DI PARO kedua 1920an, pasca pembantaian orang-orang komunis oleh Kuomintang, Mao Zedong tak cuma hijrah ke Hunan tapi juga melakukan semacam penelitian empiris. Mao melakukan semacam turba (turun ke bawah), tapi untuk mengetahui kondisi sosial Tiongkok. Dari penelitian itu dibikinlah daftar dan perian atas golongan-golongan sosial (Mao menyebutnya kelas) yang bisa menjadi kawan atau lawan dalam perjuangan pembebasan Tiongkok berdasarkan teori Marxis.
Buat apa? Apa pentingnya penelitian-penelitian macam begitu? Bukankah satu aksi lebih penting ketimbang seribu teori? Buat Mao, kepedihan hati karena pengkhianatan Kuomintang tidak lantas menuntunnya ke dukun dan bertanya apakah rasi bintang orang-orang komunis begitu sialnya sampai terkelabui siasat Kuomintang, atau apakah lambang di bendera mereka tidak sesuai feng shui. Tidak pula Mao mengingat-ingat kembali hafalan kutipan-kutipan Manifesto dan mencari petunjuk dari sang master lalu khotbah soal lemah iman. Mao ingin tahu struktur sosial macam apa yang dihadapinya dalam perjuangan, siapakah dalam revolusi kelak yang bisa menjadi lawan dan mana yang bisa jadi kawan dengan menyelidiki langsung kondisi yang ada. Dan Mao mencarinya di dalam realitas sosial Tiongkok, tidak Inggris abad kesembilan belas, tidak pula Rusia.
Arti penting praktik penelitian empiris rupanya Mao anggap sepenting praktik pengorganisasian perlawanan. Marx sendiri mengajarkan bahwa penelitian empiris bukan hanya untuk membangun landasan kokoh bagi teori, tetapi juga sebagai cara membenturkan teori pada realitas dan menguji seberapa kokoh ia dalam praktik. Mungkin para lovers atau haters mengira Marx mengajarkan semacam dogmatisme. Keliru. Coba saja tengok. Dalam Prakata 1872, Marx bilang memang asas-asas umum yang dipaparkannya di dalam Manifesto Komunis (bahwa basis produksi mengkondisikan politik dan ideologi masyarakat dan seluruh sejarah ialah sejarah perjuangan kelas) masih berlaku sama seperti ketika Manifesto pertama terbit pada 1848, tapi “penerapan asas-asas itu dalam praktik… akan bergantung pada syarat-syarat historis”. Tak segan-segan Marx bilang bahwa “program-program (di dalam Manifesto) di sana sini telah menjadi usang” oleh berjalannya waktu. Marx tak ragu bilang “sekalipun dalam garis besarnya sekarang masih tepat, tapi dalam pelaksanaannya sudah usang” dan “kelas pekerja tidak bisa begitu saja mengambil alih mesin negara yang ada dan menggunakannya untuk tujuan-tujuannya sendiri”. Alih-alih mengagungkan tulisan masa lalunya itu, Marx tegas bilang “Manifesto ini adalah dokumen sejarah”, bukan buku resep meracik revolusi.
Dari mana Marx bisa sampai ke kesimpulan-kesimpulan ini? Maret 1848, beberapa minggu setelah Manifesto terbit, revolusi meletus di Paris dan negeri-negeri Eropa dari Jerman hingga Italia. Tak lebih dari setahun, badai revolusi lenyap tersapu dari bumi Eropa. Milisi kelas pekerja dibantai atau bubar. Engels sendiri yang sempat menjadi letnan artileri milisi pekerja, mesti menyelinap lewat perdesaan Perancis untuk menghindari kejaran pasukan buru sergap. Tokoh-tokoh revolusi, termasuk Marx dan Engels mesti mengungsi kalau tak ingin dipenjara atau mati. Pada 1850 sampai 1852 revolusi terjadi lagi di Perancis, lalu 1870. Di yang terakhir ini sempat berdiri Komune Paris yang legendaris. Tapi umurnya cuma dua bulan. Semuanya gagal. Kekuatan borjuis kembali berkuasa. Ratusan ribu komunis dibantai. Marx kembali jadi orang buangan tanpa kewarganegaraan. Kesimpulan di Prakata 1872 Manifesto diperoleh Marx dari penyelidikan historisnya atas revolusi-revolusi tersebut. Marx setidaknya menulis dua risalah, Brumaire Kedelapan Belas Louis Bonaparte dan Perang Kelas di Perancis 1870. Engels juga melakukan hal yang sama dalam risalah Revolusi dan Kontra Revolusi di Jerman serta Perang Tani di Jerman. Ditambah dengan kajian-kajian mereka berdua atas Komune Paris.
Dari penelitian empiris-historis, Marx sampai pada kesimpulan bahwa realitas seringkali terlalu keras kepala untuk diubah oleh teori dan kehendak teoritis. Secara teori semestinya jalan ceritanya tidak begini, tapi begitu. Ya, boleh jadi memang benar secara teoritis. Tapi kita harus ingat bahwa kekuatan teori terletak pada serba abstraksinya. Teori bertopang pada realitas yang sudah dipreteli konteks-konteks aktualnya. Realitas dijadikan sekadar objek abstrak, objek yang terlepas dari kerangka ruang-waktu. Seperti memeras buah, dalam setiap abstraksi, pasti ada yang hilang. Namanya juga abstraksi. Kalau tidak menyingkirkan hal-ihwal dengan operasi ceteris paribus atau ‘semua yang lain anggap saja tak relevan’, namanya bukan abstraksi tapi deskripsi.
Meski teori punya kekurangan, praktik tetap butuh teori. Tanpa abstraksi kita akan terjebak pada ranah empiris dan aktual dari realitas yang serba sementara dan berubah-ubah. Memang ada penindasan dan eksploitasi yang jelas-jelas kasat mata berlangsung di depan hidung kita. Ada memang pengusiran penduduk demi ekspansi pabrik semen, pengambilalihan lahan petani demi tambang, penangkapan ibu-ibu yang berdemonstrasi menolak penggusuran, atau pemotongan tunjangan dan kontrak upah murah di pabrik-pabrik. Semua itu masih menjadi bagian dari realitas kehidupan kita di bawah demokrasi dan kapitalisme. Tak ada yang keliru dengan anggapan ini. Kita harus ikut melawan penindasan macam ini.
Anggapan ini menjadi keliru ketika kita menilai itulah satu-satunya realitas yang disebut penindasan, dan perlawanan terhadap semua yang peristiwa aktual kasat mata itulah satu-satunya bentuk perlawanan. Mengapa keliru? Karena ketika penindasan tak langsung berada di depan hidung, ketika eksploitasi tak sekasat mata pembegalan pinggir jalan, kita menganggap sudah tak ada lagi penindasan. Kalau sudah begini, kita jadi mudah diilusi oleh citra yang membikin pikiran kita tenang karena secara kasat mata tak ada pengalaman akan penindasan lagi. Semua persoalan dianggap sudah beres ketika mereka yang sebelumnya dianggap penindas datang sambil senyum, bertemu muka bicara sopan, dan membawa dana CSR untuk membangun WC atau PAUD. Lalu kita bisa membereskan spanduk, menyimpan catatan rapat koordinasi, dan istirahat sambil ngopi melanjutkan kehidupan sehari-hari.
Di jaman media sosial seperti sekarang, ketika semua harus bisa difoto supaya bisa diunggah ke Internet dan dipertontonkan, anggapan bahwa satu-satunya realitas ialah apa yang teralami langsung semacam ini mudah menjadi kelaziman. Tapi tidak semua realitas bisa difoto lalu diunggah di facebook. Realitas bukan cuma apa yang tercerap secara indrawi; bukan pula sekadar apa yang kita alami sendiri. Ada realitas di balik yang kasat mata dan hanya bisa ditangkap dengan penyelidikan seksama atas realitas yang melampaui tampakan-tampakan sesaat. Realitas ini ialah struktur dan tendensi yang penyelidikannya tidak hanya memerlukan pengumpulan data empiris, tapi juga kerangka berpikir rasional yang bisa menguak ke balik serba tampakan. Bagaimana kita bisa melihat kelas sosial karena yang bisa dicerap indra hanyalah orang-orang dan perilakunya? Bagaimana kita bisa melihat penindasan dan eksploitasi tak kasat mata karena yang bisa dicerap pancaindra hanyalah tak hadirnya polisi, pembangunan WC dan PAUD, serta kesopanan wakil korporasi?
Memang salah satu batu penjuru Marxisme ialah semangat teguhnya melawan semua penindasan dan eksploitasi. Gerakan sosialis sebelumnya juga teguh soal ini. Tapi semangat saja tak cukup untuk menolong kita membongkar penindasan dan eksploitasi. Memang kapitalisme adalah sistem yang menindas dan eksploitatif. Tapi penindasan dan eksploitasi kapitalistik tidak selalu maujud ke dalam bentuk kasar yang kasat mata seperti penyerobotan lahan yang dijaga polisi atau pemecatan tanpa tunjangan. Kapitalisme tak habis terjelaskan oleh tindakan-tindakan langsung orang-orang yang teruntungkan olehnya semacam ini. Kapitalisme itu sistem, suatu realitas struktural yang tak akan langsung kentara ketika kita cuma memelototi praktik-praktik sehari-harinya. Apa yang menampak hanya sebagian kecil, ranah empiris-aktual dari kapitalisme yang tak jarang menipu. Ada ranah lain yang mesti diselidiki di luar praktik sehari-hari. Menyamakan ranah tampakan dengan realitas sebenarnya tidak hanya menurunkan derajat evolusi manusia ke tingkatan kera, tetapi juga membuat semangat perlawanan mudah dikelabui semarak ‘pembangunan’. Kapitalisme tak akan rubuh ketika seorang George Soros mati. Begitu pula ketika BUMN menguasai blok Mahakam, atau ketika upah buruh naik. Kapitalisme akan tetap bugar selama struktur relasi-relasi kerja upahan masih menjadi landasan beroperasinya sistem perekonomian. Karena itulah Marxisme, tak seperti bentuk-bentuk sosialisme lainnya, juga membekali semangat perlawanannya dengan teori atau lebih tepatnya ilmu. Dan berilmu berarti memanggil kembali kapasitas berpikir abstrak dalam operasinya. Kata Marx, apabila tampakan sama dengan realitasnya, semua ilmu menjadi mubazir. Justru karena ranah tampakan tidak sama dengan realitasnya, ilmu itu perlu.
Berilmu juga artinya harus terus kembali ke realitas, menyucikan diri dari dogma, dan jujur serta disiplin dalam mencari kebenaran. Dalam berilmu tak bolehlah segan untuk mengoreksi apa yang pernah disimpulkan sebelumnya. Justru dengan begitu kita bisa mendekati kebenaran. Tak ada yang instan dalam berilmu dan berjuang. Ilmu dan gerakan, teori dan praktik, itu seperti menang dan kalah dalam perjuangan melawan kapitalisme. Marx pernah bilang dalam Manifesto: “kemenangan, terlebih kekalahan, pasti mengajarkan kita akan tidak mujarabnya macam-macam obat dari dukun, sekaligus mempersiapkan jalan untuk mendapat pandangan lebih lengkap tentang syarat-syarat pembebasan kelas pekerja”.
Tapi, tentu saja semua ini sahih apabila kita buang jauh-jauh anggapan dan perlakuan terhadap Marxisme sebagai sekte.***
Jatinangor, 29 Juni 2015