ANDA pasti sudah tahu cerita ini. Mahasiswa berencana mendemo Presiden Jokowi. Bersamaan dengan itu, berembus kencang isu di media: sosial demo ini bertujuan menggulingkan Jokowi. Ini akan dilakukan dalam rangka memperingati hari Reformasi.
Namun isu yang sudah terbangun sejak awal Mei itu kempes begitu saja. Pada 18 Mei, Jokowi mengundang BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) dari 17 perguruan tinggi terkemuka untuk makan malam. Sehabis makam malam, isu demo dan penggulingan Jokowi pun layu.
Sebelum kita ngobrol lebih panjang, mari kita mundur 18 hari ke belakang ke tanggal 1 Mei, Hari Buruh Internasional. Selama beberapa tahun terakhir, buruh Indonesia bebas merayakannya. Karena mereka buruh, yang paling bisa mereka lakukan adalah turun ke jalan dan berdemonstrasi menuntut ini dan itu untuk meningkat kesejahteraan kaumnya.
Buruh yang turun ke jalan dengan jumlah ratusan ribu tentu merepotkan. Jalanan macet. Ekonomi tidak bergerak karena buruh tidak bekerja. Orang-orang kantoran serta para kelas menengah berkeluh kesah atas neraka sehari yang dibikin para ‘buruh kurang ajar’ ini. Media-media massa mainstream pun dengan nyinyir berkeluh kesah: demo macet, tidak tertib, kotor, arogan dan lain sebagainya.
Akhirnya, pada tahun 2013, administrasi pemerintahan SBY mengeluarkan sebuah kebijakan yang amat jenius: membikin 1 Mei hari libur nasional!
Ini kebijakan yang benar secara politik (politically correct) karena (a) memihak buruh—mereka boleh berdemo di jalanan sepuasnya; dan (b) memihak pekerja kantoran—mereka tidak perlu mendengarkan keluhan buruh dan bisa berlibur bersama keluarga dengan tenang. Media-media mainstream pun menjadi kempes: mereka tidak usah terbit dan memberitakan ‘demo-demo kurang ajar’ itu.
***
Mari kita bandingkan kegiatan presiden Jokowi dalam 18 hari itu. Pada 1 Mei, presiden Jokowi ternyata tidak mengundang ketua-ketua kesatuan Serikat Buruh untuk makan malam di istana. Dia memilih untuk melakukan ‘perjalanan dinas’ ke Ngawi, Jawa Tengah. Karena tidak ada makan malam, tentu tidak ada juga kepala-kepala Serikat Buruh yang memberikan keterangan pers di podium kepresidenan.
Tentu tidak adil membandingkan mahasiswa dan buruh. Kedua berbeda kasta dan kelas sosial. Buruh adalah buruh sebagaimana mahasiswa adalah … ya mahasiswa! Ada juga kontras lain yang menarik perhatian saya. Mahasiswa kalau turun ke jalan selalu ‘berjuang untuk rakyat.’ Mereka menolak kenaikan harga BBM. Mereka minta beras murah. Mereka minta pendidikan gratis. Mereka minta pelayanan kesehatan gratis. Semua itu untuk ‘rakyat.’ Motif mahasiswa adalah altruistik. Sementara buruh? Mereka menuntut upah minimum, uang lembur, cuti haid, hari sakit, dan sebagainya. Itu tuntutan untuk kepentingan mereka sendiri bukan? Nah, di situ buruh-buruh ini kelihatan selfish, egois, dan dari cara mereka berdemo, tentu saja, mau menang sendiri.
Kontras inilah yang menarik perhatian saya. Aksi mahasiswa dianggap tanpa pamrih (altruistik), sementara aksi buruh katanya Cuma mementingkan diri sendiri.
Sekalipun ‘penjelasan’ itu bisa dipahami, pertanyaan-pertanyaan ini tetap mengusik saya. Darimanakah ‘kekuatan’ mahasiswa yang konon heroik dan altruistik ini muncul? Mengapa buruh atau tani tidak punya kekuatan seperti itu?
***
Saya pernah omong-omong dengan seorang antropolog soal kekuatan sosial-politik mahasiswa ini. Dia malah bertanya, apakah generasi bapakmu mengalami apa yang disebut sebagai masa remaja?
Seingat saya, bapak saya tidak pernah banyak bercerita bagaimana dia mengalami masa remaja sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Demikian juga kawan-kawan sebayanya. Usia akil balik itu selalu ditandai oleh dua hal: (1) seseorang mulai bekerja dan (2) mempersiapkan diri untuk kawin (atau dikawinkan).
Keadaan kemudian berubah ketika sistem sekolah diperkenalkan. Sebelum bekerja, orang harus sekolah dulu. Bagi generasi orangtua saya, yakni generasi pertama dalam silsilah keluarga yang mengenyam bangku sekolahan, ini berarti penundaan untuk bekerja dan kawin.
Sesungguhnya konsep remaja ini relatif baru dalam perjalanan sejarah. Implikasinya juga besar. Karena kebutuhan belajar, orang tidak bekerja dan tidak kawin. Lalu bagaimana dia hidup? Jika dulu anak-anak usia akil balik sudah ikut menanggung beban keluarga, maka kini orangtualah yang menanggung sepenuhnya beban itu.
Kemudian masa-masa menunda bekerja dan kawin diperpanjang lagi dengan masa mahasiswa. Katakanlah mahasiswa itu adalah masa-masa ‘pasca-remaja.’ Mereka menghabiskan waktunya dengan ‘belajar’ mengunyah segala macam konsep akademis. Mahasiswa terbebas dari beban dan tanggung jawab untuk menghidupi diri sendiri maupun keluarga. Mereka bahkan ditanggung oleh pihak-pihak luar—terutama oleh keluarga masing-masing.
Secara ekonomis, tentulah tidak murah untuk menopang hidup seorang mahasiswa. Karena kuliah tidak murah,masuk akal jika hanya lapisan menengah ke atas yang mampu menjadi mahasiswa. Jika ada orang miskin yang menjadi mahasiswa, kemungkinan itu kecelakaan belaka. Tidak jarang kita lihat di media ada anak tukang becak atau anak pemulung yang lulus ke perguruan tinggi elit, namun tidak punya biaya untuk kuliah. Media-media kemudian akan melakukan mobilisasi untuk memberikan beasiswa. Tidak jarang, negara pulalah yang dianggap bertanggungjawab untuk menyekolahkan mereka.
Sebagai sebuah kategori sosiologis, mahasiswa mendapatkan demikian banyak keistimewaan (privileges). Jika kita cermati perbincangan tentang mahasiswa di Indonesia, dua terminologi ini pasti muncul, yakni mahasiswa sebagai ‘moral force’ dan ‘the agent of social change.’
Persepsi semacam itu diperkuat oleh para pakar. Seperti misalnya, Arief Budiman, yang pada suatu ketika pernah menyebutkan mahasiswa (dan cedekiawan pada umumnya) berfungsi seperti ‘Begawan.’ Mereka adalah kekuatan moral terutama ketika masyarakat dilanda krisis. Ketika keadaan normal, para ‘begawan’ ini akan kembali ‘bertapa’ di dunia pikirannya. Itulah pula sebabnya seorang penyair menyebut golongan cendekiawan ini sebagai mereka yang ‘berumah di angin.’
***
Tentu perlu dipertanyakan sejak kapan mahasiswa ini menjadi sebuah kekuatan yang tajir secara politis? Pendidikan mulai menjadi sedikit massal di wilayah Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Mereka yang mengenal pendidikan adalah golongan aristokrat priyayi. Anda tentu ingat Minke, tokoh pergerakan dalam novel Pramoedya, adalah seorang anak bupati. Kecuali Minke dan beberapa anak ambtenaar yang mbalelo, sebagian besar priyayi ini mempersiapkan diri untuk menggantikan posisi orangtuanya. Dengan kata lain, masa depan mereka terjamin.
Sekalipun demikian ada juga anak aristokrat ambtenaar kemudian menjadi tokoh pergerakan nasionalis. Mereka golongan tidak normal untuk kaumnya. Dan sebagian pun berasal dari aristokrat rendahan. Kita tahu bahwa pengorganisasian dari bawah tidak banyak melibatkan kaum elit terpelajar ini. Mereka terlalu berhati-hati. Mereka pun absen dari pemberontakan PKI, partai politik pertama yang menggunakan nama Indonesia, tahun 1926. Para elit terpelajar ini lebih memilih menjadi politisi dalam sistem kolonial ketimbang menjadi aktivis.
Coba bayangkan fakta ini. Pada tahun 1940, di seluruh Hindia Belanda hanya ada 1.789 pelajar setingkat SMA dan 637 orang yang belajar di tingkat mahasiswa. Jumlah yang sangat kecil namun penuh dengan hak-hak istimewa dan jaminan masa depan. Tidak heran jika revolusi Indonesia kemudian digerakkan oleh golongan yang namanya ‘pemoeda,’ kaum muda militan yang kurang terdidik. Pemoeda inilah yang menjalankan revolusi.
Namun itu tidak lama. Setelah revolusi usai, negara baru terbentuk dan perlu dijalankan. Disitu mereka yang makan pendidikan diperlukan lagi. Kita tahu, kelas priyayi ambtenaar ini makan bangku sekolahan. Pada jaman revolusi mereka dikejar-kejar, banyak pula yang dibantai, karena dianggap berpihak pada Belanda.
Golongan pemoeda yang menggerakkan revolusi pun perlahan tersisihkan. Yang paling mencolok adalah pada tentara. Reorganisasi dan rasionalisasi yang dilancarkan Nasution dan kalangan ‘pemikir’ di tubuh tentara, telah mendepak banyak pemoeda, khususnya anggota laskar-laskar perjuangan.
Selanjutnya kita sudah mahfum benar. Indonesia masuk ke jaman patgulipat politik. Di bawah permukaan, dunia pendidikan dan kaum muda berjalan dengan arah yang berbeda sama sekali dengan hingar-bingar politik. Mahasiswa dan pelajar—sebagaimana mahasiswa dan pelajar pada umumnya—tumbuh menjadi generasi ngak-ngik-ngok, generasi kebudayaan pop. Sialnya, kebudayaan ngak-ngik-ngok inilah yang diganyang oleh Sukarno, presiden waktu itu. Akibatnya, para pelajar dan mahasiswa ngak-ngik-ngok ini lantas membantu tentara menggulingkan Sukarno.
***
Tidak mengherankan jika dibawah pemerintahan Suhartolah mitos mahasiswa sebagai ‘moral force’ and ‘agent of social change’ dibangun. Keberhasilan menggulingkan Sukarno, menggulung Partai Komunis Indonesia serta membantai pengikut-pengikutnya, meneguhkan mitos tersebut—walaupun sesekali rejim Suharto diganggu dan digoda oleh mahasiswa.
Memang kadang mahasiswa-mahasiswa ini kurang ajar, misalnya menyebut Bapak Pembangunan itu dengan sebutan SDSB (Suharto Dalang Segala Bencana) atau GPK (Gali Pelarian Kemusuk). Namun mahasiswa bukan ancaman yang kepalang serius. Suharto tahu persis, ancaman terbesar untuk kekuasaannya bukan berasal dari mahasiswa, tapi dari pertarungan di antara orang-orangnya sendiri, orang-orang dalam yang melingkari kekuasaannya.
Di bawah pemerintahan Suharto yang berlangsung satu generasi itu, mahasiswa memperkuat diri sebagai bagian dari borjuasi Indonesia. Generasi ngak-ngik-ngok mengalami metamorfosa yang nyaris sempurna menjadi tulang belakang dari borjuasi Indonesia. Menariknya, kelas ini berbiak dengan umpan dari negara. Lihatlah, hampir sebagian besar dari mahasiswa yang bersekolah pada jaman Orde Baru adalah anak-anak pegawai negeri dan tentara. Setelah lulus, sebagian besar kembali mengikuti jejak orangtuanya. Perkembangan ekonomi membawa sebagian lain menjadi karyawan (alias buruh kantoran) di perusahan-perusahan swasta dan BUMN. Sebagian lain kemudian menjadi ‘pemimpin-pemimpin’ dan elit yang memerintah negeri ini. Sebagian kecil menjadi oposisi entah dengan memasuki dunia politik atau organisasi non-pemerintah.
Gerakan mahasiswa, kalaupun layak disebut gerakan, adalah bagian dari gejolak kelas borjuasi kontemporer. Ya, mereka adalah bagian dari borjuasi generasi Fahira Idris, generasi agamis yang gemar menenteng Louis Vuitton, Hermès, atau Chanel.
Pantaslah mereka berumah di angin. Mereka tidak menginjak bumi.***