Pepatah “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya” rasanya tak cukup untuk masyarakat Spanyol. Khusus bagi mereka, kita perlu menambahkan, “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para senimannya dan karyanya”. Demikianlah simpulan saya serampung membaca Perang Picasso: Hancurnya Sebuah Kota dan Lahirnya Sebuah Mahakarya (selanjutnya: Perang Picasso) karya Russel Martin yang diterjemahkan oleh Ronny Agustinus dan diterbitkan Atmamedia Januari lalu. Buku setebal 200-an lebih halaman itu menggambarkan tentang perjalanan Guernica, lukisan fenomenal karya Pablo Picasso (1881-1973).
Dari sebuah lukisan ini, Martin mengendus jalannya sejarah sampai peristiwa Perang Saudara Spanyol (17 Juli 1936-1 April 1939), yang menginspirasi serta mendorong Picasso melukiskannya. Martin juga menelusuri perjalanan lukisan Guernica sejak ia dipamerkan pertama kalinya kepada publik (1937) hingga keberadaannya di Museo Nacional Centro de Arte Reina Sofía pada era 2000-an. Perang Saudara Spanyol melibatkan kaum nasionalis-fasis pimpinan Jenderal Francisco Franco yang berhadapan dengan kaum republikan-demokratis pimpinan Presiden Manuel Azaña. Pablo Picasso jamak dikenal sebagai seorang maestro asal Spanyol yang juga termasuk salah satu pelopor aliran kubisme dalam seni rupa modern.
Di Indonesia sendiri, kita rasanya belum punya sebuah karya seni yang begitu menggugah dan menyedot perhatian masyarakat sekuat apa yang dilakukan Guernica karya Picasso atas masyarakat Spanyol. Ini bukan berarti kita tak punya karya-karya besar; lukisan Penangkapan Diponegoro dan Bung Ayo Bung, untuk menyebut beberapa contoh. Tetapi barangkali masalahnya adalah bagaimana kita menghargai kerja seni, menghargai seorang seniman. Bukan hanya kita, lebih jauh, bagaimana pemerintah melihat pentingnya karya seni. Dalam kasus Guernica, masyarakat dan pemerintah Spanyol sadar betul peran lukisan mural itu dalam sejarah kebangsaan mereka dan hormat betul pada simbolisasi yang diemban Guernica.
Penanda Zaman
Membaca Perang Picasso tak pelak membuat kita memandang lukisan Guernica sebagai penanda zaman tertentu. Lukisan tersebut dibuat Picasso beberapa hari setelah kota kecil Gernika dibombardir angkatan udara Hitler. Latar belakang lukisan mural Guernica ini pada akhirnya membawa kita tidak sekadar pada Perang Saudara Spanyol tetapi juga konstelasi Eropa, bahkan dunia, menjelang dan pada masa Perang Dunia II. Secara simbolis, konstelasi ini sudah tampak sejak Pekan Raya Paris: Expo Internasional Penerapan Seni dan Teknologi dalam Kehidupan Modern tahun 1937, di mana Guernica pertama kali diperkenalkan kepada publik. Simak penggambaran Martin tentang itu, “kedua gedung itu (paviliun Uni Soviet dan Jerman di Pekan Raya Paris-pen) saling berhadapan dan saling cerca terang-terangan (sebuah konfrontasi yang memang sengaja diantisipasi oleh para desainer pekan raya, demikian mereka mengaku nantinya….) Komunis dan Fasis terlihat semacam perang paling berdarah di Spanyol ketika pameran dibuka, tapi di expo Paris, perang mereka hanyalah perang gambar, lambang, dan kata-kata.” (hlm. 88)
Yang menarik dari cara bertutur Martin, sebelum masuk pada detail proses kerja studio dan figur-figur dalam lukisan Picasso, kita dipersiapkan dengan detail-detail perang dan akar budaya Spanyol, masyarakat Basque, serta kota kecil Gernika. Tentang Gernika misalnya, Martin menunjukan bahwa bahkan sejak abad ke-18, Jean-Jacques Rosseau (filsuf Prancis) pernah menulis demikian, “Gernika adalah kota paling berbahagia di dunia. Masalah-masalahnya diatur oleh majelis yang terdiri dari kaum tani, yang bersidang di bawah pohon ek dan selalu mengambil putusan yang adil.” (hlm. 222)
Dengan melewati terlebih dahulu latar-latar itu, Guernica karya Picasso yang berukuran raksasa—3,5 m x 7,8 m— berwarna hitam, putih, dan abu-abu, tidak menjadi misteri untuk pembaca. Sosok-sosok perempuan, sapi, kuda prajurit, berserakan di mana-mana di dalam lukisan itu. Pembaca, di separuh jalan Perang Picasso, akan merasa getir, meski mungkin tidak segetir mereka yang menyaksikan Picasso melepas tempelan darah merah pada sosok anak kecil dalam lukisan itu di Paviliun Spanyol pada Paris Expo 1937 (hlm. 83).
Masyarakat Melek Seni
Kedahsyatan Perang Picasso bukan hanya pada latar belakang sejarah yang menginspirasinya serta betapa berjibakunya Pablo Picasso menggarapnya, tetapi juga bagaimana lukisan itu menjadi simbol dari sebuah kehancuran akibat perang dan bagaimana masyarakat “merayakan” simbol itu. Setelah Guernica diturunkan dari Paris Expo, Martin menelusuri perjalanan lukisan itu setelahnya. Perjalanan yang tak lepas dari posisinya sebagai simbol kengerian Perang Saudara Spanyol dan Perang Dunia II.
Ke Inggris, atas prakarsa pimpinan Partai Buruh Inggris Clement Attlee, pameran Guernica di Whitechapel Art Gallery, London, mewajibkan pengunjungnya untuk membawa bot layak pakai bai para Tentara Pejuang Republik Spanyol sebagai tanda masuk. Hasilnya, ribuan bot terkumpul saat Guernica diturunkan. Selanjutnya, dari Inggris, Guernica menuju Amerika Serikat. Picasso mendelegasikan keselamatan Guernica kepada MOMA (Museum of Modern Art) di New York.
Bertahun-tahun di Amerika Serikat, Jenderal Francesco Franco ingin agar Guernica kembali ke Spanyol. Hal ini ditentang Picasso yang renta dan bersumpah bahwa Guernica tidak akan kembali ke Spanyol selama kediktatoran Franco berjaya. Guernica hanya boleh kembali ke Spanyol ketika kebebasan publik sudah terjamin dengan baik di tanah airnya itu.
Setelah Franco meninggal dan Raja Juan Carlos naik tahta, demokrasi dicanangkan di Spanyol. Martin menggambarkan dengan baik bagaimana masyarakat dan pemerintah Spanyol sangat serius mempersiapkan dan mengusahakan kembalinya Guernica. Tidak mulus tentu saja, namun jalan berliku itu pun berhasil dilalui. Guernica pulang dan ditempatkan di Madrid, ibukota Spanyol. Toh masalah akibat simbol penting yang diemban Guernica tidak selesai di situ. Hingga tahun 2000-an setidaknya masyarakat di Bilbao masih menanti dengan penuh harap kedatangan Guernica ke “daerah asalnya”. Bahkan, sebuah ruangan khusus di Museum Guggenheim Bilbao terus dibiarkan kosong—setidaknya sampai tahun 2002—sejak didirikannya untuk menunggu kedatangan Guernica.
*
Betapa sebuah karya seni mampu berdampak begitu besar pada kehidupan. Manusia memang makhluk yang butuh simbol-simbol dalam hidupnya. Lihatlah saja di sekeliling kita bagaimana segala simbol dipakai untuk hidup beragama maupun bernegara. Dan negara dan masyarakat yang melek mata budayanya akan sangat menghargai karya seorang seniman yang menghibahkan kepada mereka sebuah simbol yang besar.
Tentu saja kita tak lupa bahwa seni rupa, terkhusus pasar seni rupa, dibangun di atas mitos-mitos juga. Bahwa harga sebuah lukisan sebanding lurus dengan mitos di balik karya itu. Namun ketika mitos dan karya itu sendiri bukanlah milik privat tetapi milik publik, yakni kenangan akan peristiwa mengerikan dalam sejarah, anugerah apa yang ditolak dari itu? Lantas, saat keberadaan karya itu membangun tekad masyarakat untuk tak mengulangi kengerian di masa lalu, masihkah kita terus memandang seni sebagai pelengkap semata seperti kap lampu yang melengkapi bolham? Barangkali kita di Indonesia tak akan pernah menangis di depan sebuah lukisan seperti seorang perempuan tua 80-an tahun yang menangis di depan Guernica mengenang suami dan anaknya yang tewas pada 27 April 1937, ketika bom-bom berjatuhan dari pesawat-pesawat perang NAZI Jerman di atas langit kota kecil Gernika. Atau memang kita harus menunggu bertahun-tahun lagi untuk bisa merasakan sihir sebuah karya seni.
***