“Sensor merefleksikan dengan sendirinya rasa kurang percaya diri sebuah masyarakat.”
Ujaran Hakim Mahkamah Agung Amerika Serikat Potter Stewart itu menunjukkan besaran makna sensor dalam suatu peradaban. Bisa dikatakan, sensor adalah usaha melakukan kurasi sepihak atas informasi yang dianggap layak ataupun tidak bagi publik. Habitat aslinya jauh dari demokrasi.
Karena itulah sensor menjadi salah satu senjata utama pemerintah era Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya dahulu. Ia hadir dalam beragam bentuk, entah Surat Izin Usaha Penerbitan Pers maupun Lembaga Sensor Film. Tiap berita yang dicetak dan film yang ditayangkan mesti patuh pada regulasi. Bila tidak, ancaman beredel menghantui.
Majalah Tempo, majalah Editor, dan tabloid Detik merasakan langsung pemberedelan pada 1994 akibat pemberitaan soal dugaan korupsi pembelian kapal perang bekas asal Jerman Timur. Film Kiri Kanan OK yang beredar pada 1989 bahkan mesti berganti judul jadi Kanan Kiri OK hanya karena kata “kiri” saat itu identik dengan Partai Komunis Indonesia. Sedikit lebih jauh ke belakang, Bengkel Teater besutan WS Rendra pun sempat dilarang tampil di muka umum pada pertengahan 1970-an karena dianggap berpotensi mengganggu ketertiban.
Alasan-alasan itu saat ini terdengar begitu picik.
Pada Oktober 2014, Adrian Jonathan Pasaribu membahas hal ini dalam artikel yang terbit di Cinema Poetica dengan judul “Perfilman Indonesia sebagai Indikator Demokrasi”. Menurutnya, sensor, pada film khususnya, kerap digunakan untuk alasan pertahanan bangsa demi kepentingan segelintir penguasa.
“Rezim Orde Baru memperlakukan sensor sebagai perangkat untuk membakukan seperangkat makna dalam film-film yang beredar di Nusantara, terutama film produksi negeri sendiri, dengan harapan dapat membentuk narasi tunggal tentang kebangsaan dan memasung kemungkinan pemaknaan lain oleh masyarakat,” kata Adrian.
Kini, sensor terus hidup dan bahkan beradaptasi dengan perkembangan teknologi pada era globalisasi. Salah satunya bisa dilihat dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 soal Informasi dan Transaksi Elektronik. Pada pasal 27 ayat ke-3 disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik secara online. Bila melanggar, terpidana bisa dipenjara paling lama enam tahun dan/atau mendapat denda maksimal 1 miliar rupiah.
Pasal ini memang kontroversial. Pertama, ia seakan tumpang-tindih dengan fungsi beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Masalah penistaan, fitnah, dan penghinaan ringan telah diatur dalam pasal 310, 311, 315, 317, dan 318 KUHP. Kedua, ia kerap disebut sebagai “pasal karet” karena memiliki banyak celah untuk disalahgunakan dan ditarik ke berbagai konteks masalah yang merugikan suatu pihak.
Dahulu, Prita Mulyasari harus dipenjara karena menulis surat elektronik berisi keluhan terhadap pelayanan RS Omni Internasional di Tangerang. Ervani Handayani pun ditahan polisi karena berbagi kisah di Facebook soal masalah yang sedang dihadapi suaminya di kantor Jolie Jogja Jewellery. Lalu belum lama ini, mahasiswi Universitas Gadjah Mada Florence Sihombing juga kena getahnya usai memasang status di media sosial Path yang dianggap menghina warga Yogyakarta.
Mereka dihukum karena “kejahatan” yang sesungguhnya lumrah dilakukan para pengguna media sosial dalam keseharian: berkeluh kesah.
Gampangnya begini, pada 2014 saja pengguna internet di Indonesia telah mencapai 88,1 juta. Menurut data The Wall Street Journal, 69 juta di antaranya bermain Facebook. Sementara CEO Twitter Dick Costolo sempat berujar, pengguna Twitter di Indonesia telah mencapai 50 juta. Apakah benar dari jumlah puluhan juta itu, hanya ada belasan atau puluhan orang yang melakukan penghinaan?
Karena itu, masalah ini jadi konyol. Ini bagai menilang satu di antara 10 pesepeda motor yang melanggar aturan lalu lintas bersamaan, atau menangkap seseorang yang merokok di depan umum walau ada jutaan orang lain melakukan hal serupa. Ironi yang muncul rasanya serupa dengan kasus pencekalan film Suster Keramas yang dibintangi artis film dewasa Jepang, Rin Sakuragi, oleh Majelis Ulama Indonesia daerah Samarinda. Padahal, ada begitu banyak film seksploitasi bertema horor lainnya yang tetap dibiarkan beredar massal dan justru sukses menembus daftar box office.
Logika yang sama bisa kita terapkan pula pada kasus Saut Situmorang. Pada Kamis, 26 Maret 2015, Saut dijemput tiga petugas Kepolisian Resor Jakarta Timur di rumahnya, Yogyakarta, atas tuduhan pencemaran nama baik oleh Fatin Hamama, (katanya) penyair.
Kasus ini bermula dari terbitnya buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Di sana muncul nama Denny JA, konsultan politik yang mengklaim telah menemukan genre sastra baru bernama puisi esai. Denny ikut mendukung pendanaan dalam kegiatan penulisan puisi esai, penyusunan buku, dan resensinya.
Perdebatan panjang pun terjadi di laman grup Facebook bernama Anti Pembodohan Buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Di situ, Fatin tak terima kala Saut berujar, “Jangan mau berdamai dengan bajingan.” Saut dan sejumlah sastrawan lain menuding Fatin sebagai “makelar” Denny dalam penulisan buku itu.
Sesungguhnya, bagi yang mengenalnya, orang tentu tahu bahwa yang seperti di atas adalah gaya bicara khas Saut. Entah di Facebook maupun Twitter, ia selalu keras saat mengucapkan pendapat. Satu waktu ia bisa memaki kebijakan Presiden Joko Widodo, lain waktu ia akan menghujat kasus pelecehan seksual yang dilakukan Sitok Srengenge. Ia tak pernah basa-basi.
Sesungguhnya, makian senada banyak beredar di dunia maya. Timothy Jay, profesor psikologi dari Massachusetts College of Liberal Arts pernah menuliskan soal ini dalam artikel berjudul “The Internet has changed how we curse” di Washington Post. Di sana, ia menjabarkan hasil studi yang dilakukan jurnal Science. Disebutkan, kurang dari 1 persen kata-kata yang keluar dari mulut seseorang tiap harinya adalah makian. Jika ada 15 ribu kata yang keluar dari mulut kita dalam sehari, kira-kira 80 hingga 90 di antaranya adalah makian.
Maka, jangan heran bila seorang public figure tertangkap basah sedang memaki di televisi atau berbagai media sosial. Bila ia melontarkan kata yang berhubungan dengan organ genitalia misalnya, bisa saja ia sedang memberi penekanan untuk membuat suasana lebih intens, bukan sedang bersikap cabul.
Dalam kasus Saut, kuasa hukumnya, Iwan Pangka, sempat memberi penjelasan. Menurut Iwan, Saut melontarkan kata “bajingan” sebagai bentuk kekecewaan atas upaya pengaburan sejarah sastra di Indonesia, bukan untuk melecehkan Fatin. “Kalau sastra dilecehkan, siapa pun akan memaki,” ujar Iwan.
Namun tetap saja Saut ditangkap, sementara jutaan orang lainnya yang pernah melakukan hal sama bisa melenggang bebas begitu saja. Kenapa ada standar ganda? Kenapa Gubernur DKI Jakarta Ahok tidak diciduk polisi setelah mengucapkan “tai” berkali-kali saat live di Kompas TV?
Bila benar Indonesia adalah negara yang menjunjung demokrasi, kenapa masih ada orang dipenjara karena berpendapat di depan umum? Seakan pemerintah tak percaya diri dengan legitimasinya sendiri, sehingga harus menegaskan dengan sensor soal mana yang benar dan salah bagi masyarakat.
Akhirnya, demokrasi di Indonesia sama seperti diskon di toko baju: syarat dan ketentuan berlaku.