Bayu Baskoro Febianto, Mahasiswa ilmu Sejarah UI dan Koor Departemen Agitasi dan Propaganda Serikat Mahasiswa Progresif (SEMAR) UI
Judul Buku : Karl Marx Sang Pendidik Revolusioner
Pengarang : Robin Small
Penerbit : Resist Book
Tahun : 2014
Tebal Buku : 190 halaman, i-vii 14 x 21 cm
KARL HEINRICH MARX dikenal sebagai salah satu tokoh pemikir terbesar di dunia. Pemikirannya mengenai dunia dan penindasan kapitalisme didasarkan pada pengalamannya berkenalan dan hidup bersama buruh. Pemikiran revolusionernya yang dapat membaca asal muasal penindasan tersebut kemudian melahirkan tesis bahwa kapitalisme adalah sumber dari berbagai permasalahan yang ada di dunia. Pemikirannya kemudian ditransformasikan ke dalam gerakan revolusioner yang pernah mendominasi sepertiga dunia pada abad ke-20. Selain pengalaman langsung berinteraksi dengan buruh dan kaum sosialis pada abad ke-19, pendidikan yang diikuti oleh Marx muda ternyata membentuk pemikiran matang Marx di kemudian hari.
Buku Karl Marx Sang Pendidik Revolusioner karya Robin Small ini mengenalkan Marx sebagai seorang pemikir pendidikan radikal, yang tidak kalah dengan para pemikir teoritis seperti Locke, Rosseau, dan Dewey dalam dunia pendidikan. Buku ini menjabarkan 5 bab mengenai pendidikan yang melatarbelakangi Marx, hingga analisisnya mengenai pendidikan dalam konteks yang lebih luas. Hal yang membedakan Marx dengan pemikir-pemikir teoritis lainnya ialah bahwa ia mendedikasikan hidupnya untuk mengubah dunia, seperti ucapannnya yang terkenal “para filsuf hanya menafsirkan dunia dengan caranya masing-masing, padahal yang terpenting adalah mengubahnya.” Marx ingin memahami sekaligus mengubah dunia. Iniah sebabnya mengapa pemikirannya masih relevan hingga saat ini dan menjadi teori revolusioner untuk menuju pembebasan masyarakat dunia.
Latar Belakang Pendidikan Marx
Marx lahir pada 4 Mei 1818 di kota Trier, wilayah tenggara Jerman yang terletak persis di perbatasan Kekaisaran Romawi pada masa kuno. Trier merupakan sebuah kota Katolik, namun pengaruh gagasan liberal mulai masuk ke kota itu karena dekatnya Trier dengan perbatasan Prancis. Marx merupakan anak kedua dari lima bersaudara. Ayahnya, Bauruch Marx (kemudian dibaptis menjadi seorang Kristen dan mengganti nama menjadi Heinrich) merupakan seorang sarjana hukum keturunan Yahudi yang cukup berhasil dalam karir di pengadilan. Heinrich Marx memiliki teman-teman yang menganut paham liberal seperti dirinya, di mana diantaranya ialah Johan Hugo Wyttenbach, kepala sekolah Trier Gymnastium, tempat Marx muda bersekolah. Model pendidikan humanistik yang diterapkan di sekolah ini adalah buah dari reformasi pendidikan yang diterapkan oleh Wilhelm von Humboldt pada abad ke 19, yakni prinsip Bildung (pertumbuhan-diri) dengan kurikulum klasik sebagai alat untuk mencapai tujuannya.
Di penghujung tahun terakhirnya di sekolah, Marx muda menyerahkan dua esai wajib sebagai hasil olah pikiran yang dinilai sangat mendalam untuk ukuran seorang siswa. Salah satu esai dengan judul “Pemikiran-Pemikiran Seorang Anak Muda mengenai Memilih Pekerjaan” berisikan pandangan-pandangan yang sejalan dengan jalan hidup Marx nantinya (hlm.10). Esai tersebut membahas pentingnya mencari pekerjaan yang sejati. Pekerjaan seperti itu haruslah dijalani secara bebas, bukan sebagai alat rendahan namun sebagai pekerjaan di mana manusia bekerja secara merdeka di bidang yang dipilih masing-masing.
Pengalaman sekolah Marx tak meninggalkan kesan yang mendalam dalam diri Marx. Marx tidak pernah lagi berhubungan dengan teman-teman semasa sekolahnya dulu dan mengecam sistem pendidikan di Prusia “hanya untuk menciptakan tentara-tentara yang baik.” Marx kemudian memasuki dunia perkuliahan di kota Bonn, tidak jauh dari Trier. Kuliah di Bonn tidak menghasilkan banyak kemajuan untuknya, bahkan Marx sering berperilaku buruk seperti berkelahi dan berhutang. Setelah satu tahun kuliah di Bonn, ayah Marx kemudian mengusulkan Marx untuk pindah ke Universitas Berlin dan mengambil jurusan hukum.
Sejak berdiri sejak tahun 1810, filsafat menduduki posisi penting di Universitas Berlin. Dua pemikir termasyhur, J.G. Fichte dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel pernah mengajar di sana. Pengaruh pemikiran Hegel yang mengutamakan ide dan pemikiran murni untuk mencapai kebenaran di atas pengamatan empiris dan eksperimen pun terus hidup di kampus tersebut berkat pengajaran dan pencetakan tulisan-tulisan Hegel oleh para muridnya. Salah satu murid Hegel adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872), salah seorang figur penting yang kemudian menjadi penentang mahzab Hegelian. Filsafat Feurbach menekankan kepada pengalaman inderawi untuk dapat mencapai kebenaran.
Banyak intelektual Jerman yang kemudian mengikuti ajakan Feurbach untuk menerjunkan diri ke dalam dunia pengalaman inderawi. Marx juga mengikuti tren tersebut, akan tetapi merasa tidak puas melihat keengganan Feurbach untuk mengubah komitmennya pada solidaritas manusia menjadi aksi politik. Menurut Marx, Feurbach sudah tepat dalam menekankan aspek ke-alam-an dari hidup manusia, namun Feurbach keliru dalam hal meninggalkan dimensi politik dan historis yang sama-sama penting karena dimensi ini selalu ada dalam setiap pengalaman manusia. Konsekuensinya, konsep Feurbach mengenai aktivitas manusia masih terpisah-pisah dari problem nyata manusia saat ini, yaitu penindasan oleh kemiskinan dan ketidakadilan. Menurut Marx, simpati terhadap manusia lain saja tidak cukup. Hal yang dibutuhkan adalah sebuah komitmen untuk mengubah lingkungan sosial (hlm. 17).
Marx menjadi mahasiswa di Berlin selama lima tahun. Pada tahun 1841 dia memutuskan untuk menyerahkan tesis doktoralnya ke Universitas Jena, bukan ke Universitas Berlin. Perpindahan ini dimungkinkan karena proses ujian di Universitas Jena relatif cepat. Topik inti dari tesis Marx ialah ajaran filosofis Demokritus dan Epikurus mengenai alam. Pada tesis ini telah terlihat tanda-tanda bahwa Marx lebih mengutamakan filsafat materialisme Epikurus diatas doktrin-doktrin Demokritus yang lebih tua. Catatan-catatan yang ada di dalam tesis tersebut memuat ide-ide yang yang bisa dianggap sebagai versi-versi awal dari tema-tema pemikiran Marx yang lebih matang. Istilah praksis juga digunakan pertama kali oleh Marx dalam tesis ini dan masih bersifat teoritis. Marx menganalisis kontradiksi-kontradiksi yang kemudian lahir dari sistem filsafat Hegel dengan gaya khas Hegelian. Kontradiksi-kontradiksi yang muncul pun mengarah kepada dua sisi. Sisi pertama adalah yang loyal dengan sistem filsafat Hegel dan menggunakannya untuk mengritik kenyataan. Sisi lainnya adalah “filsafat positif” yang melekat pada kenyataan dan melihat sistem filsafat Hegel sebagai sebuah indikasi dari kemunduran filsafat (hlm. 21).
Marx Setelah Menempuh Jenjang Pendidikan
Meski mendapatkan gelar doktor, namun Marx tak mempunyai keinginan untuk menjalani karir akademis. Marx sadar bahwa ide-ide radikalnya telah membuatnya terkucilkan dari posisi di universitas. Pekerjaan upahan Marx yang pertama setelah meninggalkan universitas ialah menjadi seorang wartawan di Cologne, yakni pada koran Rheinische Zeitung yang dikelola oleh seorang sosialis bernama Moses Hess untuk menyaingi koran konservatif Koolnische Zeitung.Marx menyumbangkan tulisan untuk Rheinische Zeitung dan menjadi editor koran tersebut pada Oktober 1842. Lima bulan kemudian, koran tersebut ditutup. Namun, Marx telah menerbitkan artikel pentingnya selama lima bulan itu serta tulisan-tulisan dari kawannya, Frederick Engels, mengenai kondisi kelas buruh di Inggris. Ketika Engels sudah semakin radikal, rujukan sosialisme Marx masih tetap sosialisme yang tak menuntut keterlibatan komitmen secara penuh. Perjuangan utamanya adalah melawan sensor pemerintah. Marx menyerang tajam pemerintah Prusia dengan mengungkapkan sejarah undang-undang sensor yang diterapkan oleh pemerintah Prusia dengan sekian tahun lamanya. Pandangan dalam artikel yang menyerang sensor pemeritah itu sangat Hegelian dan mengecam apa yang disebutnya sebagai “sebuah negara yang tak etis dan materialistik.” Sebuah negara yang benar-benar etis bagi Marx adalah sebuah negara yang demokratis di mana di dalamnya anggota-anggota tidak tunduk pada otoritas pusat dan bahkan bisa menentangnya (hlm. 23).
Ketika Koran Rheinische Zeitung ditutup, Marx pindah ke Paris dan hidup di sana. Kepindahan dari Jerman ini merupakan awal dari perubahan-perubahan radikal dalam kehidupan Marx. Tulisan-tulisan paling awal setelah kepindahan ini dikenal sebagai “Naskah-Naskah Paris” atau “Ekonomi-Filosofis”. Marx melihat perubahan-perubahan sosial bukan dihasilkan melalui perjuangan memperebutkan hak-hak individual, melainkan melalui perjuangan kelas (hlm. 38). Selama di Paris, Marx berdialog dengan berbagai pemikiran radikal lainnya, terutama sekali yang bercorak utopian dan mempolemikkan semua bentuk idealisme filosofis. Marx tinggal di Paris hanya dalam jangka waktu yang singkat karena pemerintah Prusia yang memusuhinya terus mengejarnya. Awal tahun 1854, Marx diusir dari Perancis dan tinggal di Brussel, Belgia. Pengalaman tinggal selama tiga tahun di Brussel semakin memperteguh jalan pemikiran Marx. Dia mulai berkenalan dengan orang-orang dari serikat buruh dan kaum sosialis untuk pertama kalinya, serta mulai membangun persahabatan seumur hidupnya dengan Frederick Engels. Kolaborasinya dengan Engels kemudian menghasilkan buku-buku yang merinci kesalahan dan kekeliruan teman-teman Berlin mereka dulu, yaitu Holy Family dan The German Ideology. Setelah itu lahirManifesto Komunis yang merupakan buah karya hasil kombinasi khas pemikiran masing-masing dari Marx dan Engels. Pasca karya bersama ini, keduanya lebih sering menulis karya-karya yang bersifat individual, mekipun hubungan di antara keduanya masih terus terjalin. Pada tahun 1850-an, Marx mendapat penghasilan rutin dengan menulis berbagai artikel mengenai kejadian-kejadian terkini untuk koran New York Herald Tribune. Beberapa tulisan dari artikel tersebut merupakan sumbangan tulisan dari Engels.
Perdebatan dengan Materialisme
Pada abad ke-18, para filsuf materialis Perancis mengusulkan sebuah teori baru yang radikal mengenai kodrat manusia. Mereka mengatakan bahwa perkembangan pribadi individu sepenuhnya dibentuk oleh lingkungan-lingkungan sosialnya, sehingga semua kontras yang kita lihat antara satu pribadi dengan pribadi yang lain (kepribadian, kemampuan dan pengetahuan) disebabkan oleh adanya perbedaan dalam lingkungan sosial mereka. Oleh karena itu, para filsuf ini sangat menekankan pendidikan dimana konsep “pendidikan” yang mereka pahami bukan hanya merujuk pada pengajaran formal atau persekolahan, namun pada segala pengaruh yang membentuk pribadi individu (hlm. 44). Para filsuf materialis ingin menggunakan pendidikan sebagai alat pembaharuan sosial. Manusia, menurut mereka pada dasarnya merupakan makhluk yang egois, akan tetapi dengan sebuah pendidikan yang dirancang dengan baik, manusia akan paham bahwa kesejahteraan masing-masing paling bisa dicapai dengan cara bersatu. Jika individu-individu telah tercerahkan, mereka akan membangun sebuah komunitas yang sama sekali lain coraknya dari masyarakat dan mengakhiri sebagian hingga semua keburukan kehidupan sosial dari masyarakat yang ada saat ini.
Marx sepenuhnya tak sepaham dengan ide tersebut. Marx menolak pendekatan ini karena pendekatan tersebut “lupa bahwa situasi diubah oleh manusia-manusia dan bahwa si pendidik sendiri juga harus dididik oleh manusia-manusia lain.” Teori materialis mengatakan bahwa pendidikan dipakai untuk melakukan perubahan sosial, namun dalam usulan tersebut mengasumsikan keberadaan seseorang (pendidik) yang mengontrol lingkungan yang membentuk perkembangan diri anak-anak muda. Lantas sebagai alternatifnya, Marx memunculkan istilah yang disebutnya sebagai “praksis revolusioner”. Istilah ini dimunculkan dengan semangat untuk mengatasi dilema antara individu dan lingkungannya dengan menyebut suatu modus aktivitas yang pada saat bersamaan mengubah pribadi yang melakukan aktivitas tersebut sekaligus lingkungan sekitarsi pribadi tersebut. Hal ini berarti bahwa setiap individu mengubah diri dengan cara mengubah situasi-situasi individu tersebut dan sebaliknya.
Marx tidak menyebutkan contoh apa pun mengenai praksis seperti apa yang kira-kira cocok dengan deskripsi tersebut. Filsafat tak akan sanggup memecahkan problem-problemnya sendiri, bahkan cenderung memperdebatkan hal yang sama secara terus-menerus kecuali jika filsafat mau mengubah fondasinya dan bertransformasi menjadi aktivitas sosial dan politik. Dengan kata lain, menjadi “praksis”.
Sistem Sekolah Pabrik
Mengenai hubungan kapitalisme dan pendidikan, Marx membahas tema pendidikan dalam Capital jilid pertama pada bagian yang membahas lama jam kerja dan buruh anak. Keberadaan industri skala besar dengan sendirinya mendorong munculnya legislasi khusus mengenai pabrik. Undang-undang Pabrik yang dikeluarkan pemerintah Inggris pada tahun 1833 menetapkan ketentuan minimal tentang kondisi-kondisi sanitasi dan tindakan pencegahan keamanan di tempat kerja. Marx melihat bahwa bagi kapitalisme, keberadaan undang-undang tersebut merupakan sesuatu yang keras karena suka tidak suka pembaruan-pembaruan harus dilakukan. Keberadaan undang-undang itu juga membantah mitos bahwa di dalam sebuah masyarakat yang kompetitif, kesejahteraan bersama dicapai dengan membiarkan setiap orang mengejar keuntungannya masing-masing. Bahkan pada masanya, Adam Smith telah menyebutkan kebutuhan akan pendidikan buat masyarakat luas meski gagasan itu diajukan secara hati-hati dengan takaran yang seimbang (hlm.104). Apa yang tidak diantisipasi oleh Smith ialah muncul permintaan akan buruh anak di pabrik-pabrik dan hal yang mengharuskan diambilnya langkah-langkah khusus untuk menjamin bahwa buruh-buruh anak tidak akan kehilangan kesempatan bersekolah di tingkat dasar.
Pada tahun 1859, dalam sebuah artikel mengenai kondisi industri Inggris yang dimuat dalam Koran New York Herald Tribune, Marx menuliskan kritiknya atas pertentangan kaum industrialis mengenai kesempatan buruh anak untuk memperoleh pendidikan berdasarkan sistem paruh-waktu. Sistem paruh-waktu didasarkan pada prinsip bahwa anak yang diperbolehkan untuk dijadikan buruh anak juga diberikan kesempatan untuk mengikuti sekolah setiap harinya. Kebijakan sistem paro-waktu pada hasil awal telah mengurangi hampir separuh anak-anak usia 13 tahun ke bawah yang dipekerjakan di pabrik-pabrik. Kaum kapitalis beralasan bahwa memaksakan anak-anak agar mau mengikuti sistem paruh-waktu bukan menjadi tanggung jawab mereka. Kaum kapitalis juga menilai bahwa lebih murah dan tak terlalu merepotkan jika memperkerjakan satu kelompok anak-anak ketimbang memperkerjakan dua kelompok anak-anak yang bergantian kerja setiap enam jam sekali. (hlm.105).
Salah satu sumber yang memiliki pengaruh penting terhadap pemikiran Marx mengenai sekolah dan buruh anak-anak yang dimuat dalam Capital adalah laporan dari seorang pembaharu Inggris bernama Leonard Horner. Pada tahun 1833, Horner ditunjuk sebagai salah satu dari empat inspektur yang diberikan kewenangan berdasarkan Undang-undang Pabrik untuk memonitor dan memberikan laporan mengenai kepatuhan pihak pabrik dalam menjalankan regulasi-regulasi yang mengatur buruh anak. Sejak 1836 hingga 1860, Horner menjadi Kepala Inspektur pabrik di wilayah Lancashire dan mengirimkan wakil-wakilnya ke pabrik-pabrik untuk mengecek kepatuhan pabrik-pabrik dalam melaksanakan Undang-undang Pabrik mengenai usia anak-anak yang boleh bekerja dan tingkat sekolah anak-anak yang bekerja di pabrik. Beberapa laporan Horner menunjukkan bahwa banyak majikan dan pemilik pabrik tidak menyenangi kebijakan kerja jam bergilir agar anak-anak bisa sekolah dan akhirnya memecat anak-anak yang berusia antara 9-12 tahun (hlm.109).
Sumber-sumber laporan inspektur pabrik ternyata bukan merupakan sumber pertama dari pemikiran Marx. Sebelum itu, Marx telah membaca analisis Engels mengenai persekolahan Inggris yang terbit tahun 1845, The Condition of the Working Class in England. Dalam karya tersebut, Engels memberikan bukti yang ditulis oleh Komisi Urusan Pekerja Anak yang menyatakan bahwa legislasi yang mewajibkan pekerja anak untuk bersekolah tidak berjalan efektif. Engels kemudain menyimpulkan bahwa undang-undang yang mewajibkan pekerja anak bersekolah telah mendapatkan perlawanan dari para pemilik pabrik. Marx memuji klausul-klausul pendidikan dari Undang-undang Pabrik di Inggris karena mengandung elemen-elemen progresif, yakni kombinasi pendidikan dengan kerja manual. Marx setuju dengan klausul itu karena menurutnya anak-anak akan lebih bisa belajar banyak ketika tidak semua waktu mereka dihabiskan di sekolah. Pada Oktober 1865, Marx mengutip laporan salah seorang kepala inspektur pabrik, Robert Baker, yang menyatakan bahwa kombinasi setengah kerja manual dan setengah sekolah lebih menyenangkan buat anak ketimbang dia hanya menjalani kerja manual saja atau bersekolah saja. Selain itu, Baker juga menjelaskan bahwa anak-anak yang bersekolah selama setengah hari mencapai kemajuan yang nyaris sama dengan anak-anak yang bersekolah secara penuh. Walau begitu, berdasarkan kesaksian Baker, Marx sampai pada kesimpulan bahwa tanggung jawab atas buruh dan anak dan persekolahannya berada di tangan kebijakan politik (hlm.111).
Perdebatan mengenai Sistem Sekolah Pabrik
Ketika jilid pertama Capital hampir selesai pada tahun 1860-an, Marx kembali terjun ke dalam aktivitas politik. Pada saat itu, situasi telah berubah dengan terpetakannya kawan dan lawan, serta pemahaman Marx akan berbagai kecenderunganyang tengah terjadi dan menjadikannya bahan pertimbangan ketika memberikan saran-saran pembaharuan yang harus dilakukan agar terjadi transformasi secara menyeluruh dalam masyarakat. Marx sangat mendasarkan diri pada sumber-sumber informasi Inggris saat memberikan usulan panduan bagi persekolahan yang kemudian menjadi kebijakan resmi International Working Men Asociation (IMWA) yang juga dikenal sebagai “Internasional Pertama”. Inilah isi politik praktis dari pendekatan Marx terhadap pendidikan termasuk juga keterlibatannya di dalam gerakan sosialis internasional pada tahun 1860-an dan 1870-an. Kebijakan IMWA konsisten dengan seruan Manifesto Komunis mengenai pendidikan yang merdeka untuk semua orang, dikombinasikan dengan “produksi industri”, namun secara lebih mendetail, terutama terkait dengan kurikulum sekolah. Kebijakan yang diberi judul “Buruh Remaja dan Anak-anak (Laki-laki dan Perempuan)” itu diawali dengan sebuah dukungan terhadap pendekatan paruh-waktu untuk persekolahan anak-anak, yakni sistem pendidikan pabrik separuh waktu belajar dan separuh waktu bekerja.
Marx juga mengutip bukti mengenai sistem sekolah pabrik dengan setengah bekerja dan setengah belajar dari catatan seorang penulis pendidikan Inggris, John Bellers. John Bellers (1654-1725) adalah seorang pedagang dan pembaharu sosial yang menerbitkan sebuah usulan bagi pendirian “College of Industry” pada tahun 1695 dan melihat bahwa kombinasi antara kerja dan pendidikan untuk anak-anak lebih baik ketimbang mengurung anak-anak di ruang kelas sepanjang hari. Marx juga terkesan oleh kuliah Nassau W. Senior mengenai pendidikan di depan Kongres Ilmu-ilmu Sosial tahun 1863 di Edinburgh yang menyerukan untuk memberikan perhatian lebih kepada pendidikan menengah, serta pembahasan sekolah-sekolah pabrik mengenai “percampuran antara kerja fisik dan kerja intelektual” (hlm.123). Oleh karena itu, pemikiran dan konsep pendidikan di antara keduanya selaras dengan sistem sekolah pabrik yang didukung oleh Marx. Pada saat jilid pertama Capital terbit, muncul kontroversi baru mengenai sekolah-sekolah pabrik. Beberapa mengatakan bahwa skema itu pasti gagal. Dalam sistem yang didukung oleh Marx, anak-anak akan bisa memiliki sebuah kesadaran yang memahami hubungan antara buruh upahan dan kapital, namun kesadaran ini lahir di tempat kerja melalui pengalaman mereka sendiri ketimbang di ruang kelas. Sayangnya usulan tersebut terlalu terlambat, sebab Undang-undang Pendidikan Dasar di Inggris yang dikeluarkan beberapa kali telah menjadikan sekolah sebagai hal yang wajib bagi semua anak-anak dan legislasi yang sama telah diterapkan di negara-negara maju lainnya (hlm.124). Semakin Marx mengamati persoalan-persoalan pendidikan, semakin Marx menyadari bahwa peran negara begitu penting bagi setiap bentuk masa depan dari persekolahan. Resolusi mengenai pekerjaan dan pendidikan untuk anak-anak disahkan pada kongres IMWA tahun 1866 yang diawali dengan pengaturan kerja anak dan kombinasi bekerja dengan bersekolah, kemudian mendesak penggunaan kekuatan negara untuk membangun pendidikan bagi semua orang.
Kurikulum Pendidikan
Sejauh ini, kurikulum yang diusulkan oleh Marx tak terlihat jauh berbeda dari sekolah konvensional. Kurikulum usulan Marx dimulai dengan “pendidikan mental” dan kemudian ditambah dengan “pendidikan fisik” yang disebutnya sebagai kombinasi antara gimnastik dan latihan militer. Setelah itu baru diberikan sebuah elemen yang berbeda yang disebut “pendidikan teknik” atau yang dikenal umum sebagai “pendidikan politeknik”. Istilah tersebut diartikan sebagai sebuah pendidikan yang “mengajarkan prinsip-prinsip umum dari semua proses produksi, dan secara simultan menginisiasi anak dan remaja dengan penggunaan dan penanganan secara praktis peralatan-peralatan dasar dari semua bidang pekerjaan”. Ini merupakan usulan paling menarik dari program tersebut, dan hal itu memperlihatkan kemampuan Marx untuk menghimpun berbagai tradisi pemikiran pendidikan dalam sebuah konsep tunggal (hlm.141). Konsep Bildung (yang pernah diterapkan pada sekolah Marx muda di Trier) memiliki sebuah pengaruh latar belakang yang tak terbantahkan, sebagai sebuah pendidikan klasik yang memiliki persamaan dengan pendidikan praktis di bidang perkembangan manusia yang serba bias dan menolak spesialisasi yang dangkal, terutama di bidang kejuruan. Keduanya sama-sama mengimplikasikan sebuah filsafat humanistik dan psikologi moral, tanpa melibatkan doktrin-doktrin metafisika atau kepercayaan agama, selain keduanya menyebut diri mereka bertujuan untuk kebutuhan-kebutuhan—bukansaja pribadi individu—tapi juga kelompok-kelompok sosial dan bahkan seluruh masyarakat.
Marx juga menunjukkan kepeduliannya kepada anak-anak kelas buruh di perkotaan, yang diandaikan bahwa anak-anak tersebut tidak akan bisa kuliah di universitas atau memasuki dunia kerja profesional, namun akan menjadi buruh upahan di bengkel-bengkel kerja, kantor-kantor dan pabrik-pabrik. Meskipun telah ada pendidikan teknik, namun bukan sebagai pendidikan teknik yang ia maksudkan, yakni untuk mengkompensasikan kekurangan-kekurangan yang disebabkan oleh pembagian kerja sehingga menghalangi mereka yang sedang magang untuk mendapatkan sebuah pengetahuan mendalam mengenai pekerjaan mereka (hlm.146). Di tempat lain, Marx menjelaskan mengenai alasan untuk menyediakan pendidikan umum dalam sistem produksi kapitalis, yakni setiap pekerja harus dididik dalam sebanyak mungkin cabang industri, sehingga jika ada penerapan mesin-mesin baru atau karena ada pembaharuan pembagian kerja, maka pekerja yang terbuang dari satu cabang lain bisa dengan mudah menemukan lapangan pekerjaan yang lain.
Marx jelas menginginkan sebuah pendidikan masa depan yang cocok untuk sebuah masyarakat yang tidak terbagi ke dalam kelas-kelas. Dia percaya bahwa pendidikan ini memang telah ada di dalam masyarakat kapitalis dalam bentuk embrionya dan memberikan dukungan bersyarat ke arah yang lebih profesional dan usulannya bagi pendirian sebuah sekolah yang akan mengangkat kelas buruh ke arah yang lebih tinggi ketimbang kelas-kelas menengah dan atas. Ketika Marx mengatakan tentang kebutuhan untuk “menghapuskan” sistem pendidikan yang ada saat ini, yang dimaksud adalah bahwa sekolah harus mengambil tindakan yang baru dengan menyatukan diri dengan apa yang ada saat ini sebagai lawannya, yakni dunia kerja produktif. Ini yang persis ingin dihasilkan oleh usulan-usulan sistem sekolah pabrik yang diusulkan dalam rapat kongres IMWA untuk mengombinasikan kerja dan sekolah dan membuat pendidikan politeknik di sekolah-sekolah, yaitu menghadirkan dunia ke dalam kehidupan sehari-hari sekolah, sehingga pekerja remaja dan anak-anak dapat mempelajari pengetahuan dan berbagai macam ilmu yang diperoleh dari dalam kelas dan dalam kerja produksi yang dilakukannya.
Apa yang bisa dipelajari dari Marx?
Marx membahas persoalan pendidikan berdasarkan atas pengalamannya menempuh jenjang pendidikan pada masa muda, serta dengan berbagai pemahaman dan interaksinya bersama kaum buruh, khususnya terhadap buruh anak-anak dan remaja laki-laki dan perempuan, serta pertentangan-pertentangan dengan berbagai filosofi dan pemikiran-pemikirannya. Marx menekankan pendidikan kepada anak-anak dan remaja kelas buruh agar dapat berkembang diri menjadi seorang individu dan juga dapat melakukan perubahan sosial di lingkungan sekitarnya. Marx mendukung adanya sistem kombinasi antara pendidikan dan kerja daripada sistem pendidikan yang mengurung anak-anak untuk belajar seharian penuh, sehingga kaum buruh, khususnya buruh anak-anak dan remaja, dapat belajar mengetahui secara langsung apa yang menjadi penyebab atas penindasan yang dilakukan kepada mereka dalam sistem produksi, serta dapat menjadi individu yang sadar dan melakukan perubahan demi kaumnya.
Namun yang disesalkan, pendidikan masa sekarang sudah diposisikan menjadi modus produksi kapitalis. Penerapan sekolah massal sebagai sebuah fungsi dari negara modern merupakan sebuah pola yang konsisten dalam masyarakat industri. Pendidikan untuk khalayak umum telah menjadi sebuah cara yang efisien untuk memproduksi pekerja-pekerja, khususnya yang sudah melek aksara, melek berhitung, dan memiliki pengetahuan umum yang tertentu, disamping para pekerja kasar yang tidak membutuhkan keterampilan pengetahuan. Salah satu contoh nyata di negeri ini adalah dengan berlakunya UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. UU tersebut sangat berbahaya karena memiliki tendensi memasukan pendidikan sebagai salah satu fitur komoditas yang bisa diperjual-belikan secara bebas. Selain itu, pembuatan UU PT ini mengikuti globalisasi pendidikan tinggi dimana pendidikan merupakan bidang usaha yang terbuka untuk penanaman modal.[1]
Hal ini kemudian berdampak pada aksesibilitas masyarakat luas dalam memperoleh pendidikan tinggi yang menjadi taruhan sebagai akibat masuknya penetrasi kapitalisme global di dunia pendidikan. Di samping itu, juga menyebabkan negara “kabur” akan tanggung jawab pendidikan.[2] Tentu saja hal ini menyebabkan pendidikan menghasilkan keluaran-keluaran yang praktis dan bukan perkembangan pribadi di dalam kepribadiannya sendiri. Jauh dari pendidikan yang diinginkan oleh Marx sebagai wadah pengembangan diri yang dapat berguna bagi perubahan di lingkungan sosialnya. Belum lagi perihal biaya pendidikan yang sudah semakin tinggi, sehingga hanya segelintir orang saja yang dapat mengenyam pendidikan hingga sekolah tinggi, terutama yang memiliki uang berlebih dan mapan. Maka ketika baru-baru ini ada perjuangan “revolusi penguin” yang dilakukan mahasiswa dan pelajar di Chile yang berhasil menyukseskan tuntutan untuk membebaskan biaya pendidikan tinggi tahun 2016,[3] terbesit rasa kepengen untuk dapat mengenyam akses pendidikan tinggi secara gratis pula di negeri ini, entah kapan dapat diwujudkan. Semoga saja.
Buku Karl Marx Sang Pendidik Revolusioner ini cukup memberikan penjelasan mengenai apa yang menjadi perhatian Marx di bidang pendidikan, sesuatu yang tidak terlalu banyak dibahas oleh para ahli dan kaum Marxis itu sendiri. Meskipun isi dari buku karya Robin Small ini lebih banyak menceritakan perjalanan hidup Marx dengan berbagai perjumpaaannya dengan pemikiran-pemikiran filsafat atau pertentangan-pertentangan dengan pemikiran filsafat lain, serta kebijakan pemerintah dan kritik atas pemikiran mengenai pendidikan, buku ini cukup baik dalam memberikan eksplanasi mengenai apa model pendidikan yang ingin dapat dicapai dari seorang Karl Heinrich Marx.
DAFTAR REFERENSI
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, “UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme” dalam Indoprogresshttps://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/; internet; diaksespada 8 Februari 2015.
“Tahun 2016, Chili Gratiskan Pendidikan Tinggi”,http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20141208/tahun-2016-chili-gratiskan-pendidikan-tinggi.html; internet; diaksespada 20 Januari 2015.
“UU PendidikanTinggiLegalkanKomersialisasidanPrivatisasiPendidikan”,http://www.prp-indonesia.org/2013/uu-pendidikan-tinggi-legalkan-komersialisasi-dan-privatisasi-pendidikan; internet; diaksespada 10 Februari 2015.
________
[1]“UU PendidikanTinggiLegalkanKomersialisasidanPrivatisasiPendidikan”,http://www.prp-indonesia.org/2013/uu-pendidikan-tinggi-legalkan-komersialisasi-dan-privatisasi-pendidikan ; internet; diaksespada 10 Februari 2015.
[2]Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, “UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme” dalam Indoprogresshttps://indoprogress.com/2013/03/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/; internet; diaksespada 8Februari 2015.
[3]“Tahun 2016, Chili Gratiskan Pendidikan Tinggi”,http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20141208/tahun-2016-chili-gratiskan-pendidikan-tinggi.html; internet; diaksespada20 Januari 2015.