BAIKLAH. Dalam Oase kali ini, saya sengaja membayangkan diri sebagai seseorang yang lugu. Kita tahu, akhir-akhir ini negara kita berada dalam gonjang-ganjing politik yang, sial betul, datang silih berganti, gerombolan, berbondong-bondong, dan berondongan di dalam keseharian kita. Berbeda dengan sebagian besar pembaca dan penulis IndoPROGRESS yang tahu betul—mungkin hanya asumsi saya—gonjang-ganjing politik ini mengarah ke mana dan seperti apa harus bersikap, saya belakangan ini mengalami sakit kepala luar biasa menghadapinya. Sakit kepala yang berefek samping pada ketidakpedulian yang datang pelan-pelan. Saya akan coba mengusut tanpa Sprindik penyebab sakit kepala dan ketidakpedulian itu, seumpama seorang pasien di hadapan dokter yang sedang menginterogasinya.
Diajukannya BG sebagai calon tunggal Kapolri beberapa waktu lalu, saya kira adalah titik pijak awalnya. Diberondong pemberitaan, komentar, analisa-analisa yang bertebaran di pelbagai media, saya kebakaran jenggot. Beberapa hari kemudian saya memang memangkas jenggot dalam rangka mengelabui intel. Lantas, penangkapan BW, lagi-lagi tanpa Sprindik, yang diikuti oleh gerakan #savekpk, sebuah gerakan yang muncul sejak kasus simulator SIM, kalau tak salah, menjadi penyebab puncaknya. Simpang siur pemberitaan, bertabur kekecewaan, berlaksa cercaan pada ketidaktegasan Jokowi pun berhamburan. Sebaliknya dari itu, bertaburan bagaikan pasir di pantai juga.
Saya teringat pertengahan tahun lalu, ketika saya termasuk—tentu dengan cara saya sendiri—yang ikut bersuka ria mendukung Jokowi. Terus terang, itulah kali pertama saya menggunakan hak saya untuk mencoblos. Sebelumnya, tidak sama sekali. Bahkan, di saat itu pulalah saya cukup betah duduk di TPS mengikuti proses penghitungan suara. Tentu saja berusaha secepatnya saya belajar tentang segala perangkat yang ada di TPS itu. Bersama kawan-kawan, beberapa saat sebelumnya kami mencoba mencari referensi untuk kegiatan demikian. Semacam mencari buku how to pencoblosan; tentu saja bukan dari versi pemerintah. Maka, Dina Octaviana kami minta untuk memperbarui tulisannya perihal tersebut di blog pribadinya untuk LKIP.
Pelajaran berharga dari Pemilu Presiden kali lalu untuk saya—entah anda—dengan demikian adalah pengalaman berharga dan pengetahuan baru tentang politik praktis. Selama ini saya lebih sering membaca buku-buku teori atau justifikasi moral-etis—semacam puncak-puncak dari beragam praktek dengan segala macam variasinya—dari politik itu sendiri tanpa banyak bersua asupan-asupan yang lebih tentang praktek langsung di lapangannya. Saya menemukan hal-hal menarik tak terduga secara teknis; salah hitung, bongkar ulang, aksi para saksi, dsb. Sungguh tak mudah. Barangkali jika saya yang menjadi petugas di TPS itu, kesulitan-kesulitannya pasti akan berlipat ganda. Oh ya, tentu saja saya tak menutup mata atas kemungkinan-kemungkinan kecurangan yang terjadi secara terstruktur-masif-sistematis. Namun poin yang saya dapatkan adalah apa yang berada di level teori, justifikasi moril-etis, kerap dan tentu saja sudah merontokkan banyak hal dari layer-layer di bawahnya.
Menghadapi perkara yang memusingkan kepala di atas, kemungkinan besar lantaran saya berada di posisi yang sama dengan keadaan di masa pilpres kemarin. Seketika mendapatkan fakta yang dilihat dari sudut pandang moral-etis tidak benar tanpa tahu bagaimana secara praktis hal itu bisa terjadi. Ketika alarm moral-etis ini berbunyi, terperanjatlah saya. Tentu saja yang dimaksudkan dengan ‘secara praktis’ ini adalah prosedural yang berlaku sesuai hukum yang ada. Dan menurut rumor, segala peraturan hukum yang ada di Indonesia ini dibuat sedemikian rupa sehingga selalu ada cela untuk mengoprak-oprek-nya. Atau minimal, tata hukum seperti apa pun selalu diupayakan untuk bisa di-oprak-oprek. Nah, barangkali saja apa yang seketika secara moral-etis tampak tidak benar itu adalah hasil dari oprak-oprek atas peraturan tadi. Tentu saja budaya oprak oprek—istilah yang saya dapatkan dari tulian Mahardika Yuda dalam pameran Prototipe—tidak selalu negatif. Ada yang begitu positif hasilnya.
Satu yang pasti dari ngoprak ngoprek adalah pengetahuan yang menyeluruh atas apa yang hendak di-oprak-oprek itu. Mereka yang ngoprek dalam kasus ini pastilah orang yang sudah sangat tahu dan sudah lama berkecimpung di dunia tersebut. Sama seperti petugas TPS di daerah Anda yang barangkali sudah 20 tahun berturut-turut terlibat dalam kegiatan pemungutan suara.
Saya yang baru pertengahan tahun kemarin ‘berkenalan’ dengan politik praktis secara langsung tentu jauh dari paham lekak-lekuk proses pemilihan Kapolri, misalnya. Itu barangkali mengapa kepala saya mendadak sakit. Barangkali memang, belajar dari pengalaman Pemilu Presiden kemarin, saya perlu mempelajari dulu how to pemilihan Kapolri. Seorang Jokowi tidak bisa diharapkan memangkas segala prosedural dengan kemungkinan-kemungkinan di-oprak-oprek itu.
Negara hukum, segala hal diatur berdasarkan hukum, termasuk mengubah hukum itu sendiri. Sayang memang, negara kita memang negara hukum kw 5. Meminta Jokowi tegas bertindak tanpa melihat prosedur yang bersifat demikian itu bak meletakkan atap nan indah di atas bangunan yang dari fondasi hingga kuda-kuda atapnya tak elok sama sekali. Alhasil, dari jauh tampak acak kadul. Mirip bangun pagi dan menulis status di facebook demikian, selamat pagi, wahai pagi.
Hal yang menimbulkan kesakit-kepalaan ini nantinya pasti akan kerap muncul. Yang kita butuhkan tentu saja mempelajari dengan lebih detil segala prosedural hukum di bidang apa saja; setiap orang mempelajari dan memahami pada bidang yang digelutinya. Sehingga ketika masalah terjadi, bukan lontaran moral-etis yang justru menimbulkan sakit kepala yang bertebaran. Bentuk dan bangun asosiasi atau perkumpulan bidang apa pun dan pelajarilah segala prosedural pengaturan bidang itu di negara ini. Kalau masih punya tenaga, buat versi tandingan yang dianggap lebih cocok dan ajukan revisi.
Ah, atau barangkali saya hanya si lugu yang terus berharap pada pemimpin. Atau saya hanya si lugu yang melihat pemimpin seperti raja titisan dewa-dewa laksana masyarakat zaman Majapahit sehingga segala hal dilemparkan ke kepalanya. Atau, nah barangkali ini yang paling benar, saya hanya si lugu yang hanya dibagi setetes pengetahuan dari para elit, bukan elit negara, tetapi elit di segala bidang apa pun itu.***