SELAMA satu dekade ambruknya kekuasaan rezim Orde Baru, satu hal yang paling mengemuka dalam ruang publik adalah maraknya aksi atau tindakan diskriminatif kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang dianggap berseberangan keyakinan. Tindakan-tindakan diskriminatif ini dilakukan baik secara perorangan maupun oleh kelompok, berlangsung secara sangat brutal maupun sophisticated, terbuka di depan mata maupun terselubung di balik aturan hukum dan kelembagaan negara. Parade aksi-aksi kekerasan ini, kalau dijejerkan, panjangnya membentang dari Sabang sampai Merauke. Motifnya pun beragam, mulai dari masalah etnis, agama, ras, hingga seksualitas.
Perjuangan melawan aksi-aksi kekerasan oleh kelompok yang mengklaim diri sebagai mayoritas ini, bukan perkara enteng. Sudah telanjang sekali bahwa negara beserta aparatus kekuasaannya melakukan pembiaran dan bahkan menyediakan legitimasi politik dan hukum terhadap tindak kekerasan tersebut. Di samping itu, tidak adanya peran aktif masyarakat dalam melawan aksi kekerasan itu membuat pelakunya merasa seperti mendapat persetujuan. Tentu saja tidak semua tunduk dan takluk terhadap tindak kekerasan itu. Dengan kemampuan yang terbatas, sebagian orang terus bergerilya menggalang usaha melawan tindakan diskriminatif tersebut. Baik melalui aksi-aksi terbuka, konferensi pers bersama, pendidikan-pendidikan publik, hingga penerbitan-penerbitan yang bersifat akademik maupun populer.
Dalam gelombang pasang diskriminasi itu, DR. Dede Oetomo berdiri kukuh seperti batu karang. Sebagai sosok yang mewakili apa yang bisa kita sebut ‘Minoritas Segala,’ Dede Oetomo tak kenal takut dan lelah untuk membela dirinya dan mereka yang memiliki orientasi seksual yang berbeda, dari terjangan gelombang diskriminasi. Lebih dari itu, ia secara proaktif melakukan aktivitas-aktivitas publik bersama-sama dengan kelompok demokratik lainnya untuk menentang aksi-aksi diskriminasi yang ada. Kepada redaksi Left Book Review (LBR), Dede Oetomo membagi sejumput cerita mengenai bagaimana ia melakukan aktivitasnya selama ini. Berikut petikannya:
Bisa Anda ceritakan perjalanan politik intelektual Anda?
Sebagai anak, saya terpengaruh semangat jaman tahun 1960-an yang penuh dengan gelora progresif revolusionernya Bung Karno. Ayah saya dekat dengan orang-orang Partai Nasional Indonesia (PNI) di kota kelahiran saya, Pasuruan. Di rumah, keluarga saya biasa membahas politik. Di antara kawan bermain saya, ada seorang anak Ketua PNI Jawa Timur, Bambang Irianto. Orde Baru dari awal sudah tampak penuh kejahatan dan kebohongan, dimulai dengan pembunuhan massal 1965-66, penangkapan yang terasa tidak adil terhadap pendukung Bung Karno, dan beliau sendiri, dsb.
Selama menjadi mahasiswa, walaupun tidak sampai terlalu aktif, saya memosisikan diri di seberang pemerintah Soeharto. Dan ketika saya menjadi mahasiswa pascasarjana di Cornell University, AS, hal ini semakin menguat. Beberapa dosen saya memperkenalkan saya pada ide-ide Kiri Baru.
Ketika saya menjadi pengajar di FISIP Universitas Airlangga pada tahun 1984, saya dipercayai memegang mata kuliah Sosiologi Makro, yang intinya adalah teori sosial Marxis-Leninis dan perkembangannya di Eropa maupun Amerika Latin (seperti teori ketergantungan). Suasana intelektual kritis waktu itu juga diwarnai dengan pemikiran-pemikiran progresif kiri, dan saya ikut di dalamnya, dalam diskusi-diskusi, baik di Surabaya sendiri maupun di tempat-tempat lain. Mahasiswa yang progresif kerap mengajak saya diskusi. Semua ini bermuara dengan bergabungnya saya dalam Partai Rakyat Demokratik (semula sudah akan terjadi pada tahun 1996, tetapi karena represi rezim Soeharto, baru di tahun 1999 saya bergabung, atas ajakan Sdr. Coen Husain Pontoh).
Kapan Anda menyadari bahwa ternyata Anda adalah seorang gay?
Saya menyadari diri saya tertarik sesama laki-laki di sekitar usia 12-an tahun. Kemudian saya belajar dari media bahwa perasaan itu disebut homoseksualitas. Istilah gay saya dapatkan dari media berbahasa Inggris.
Proses coming out saya sebagai gay, saya jalani dengan banyak membaca. Dan literatur tentang gay liberation makin memperkenalkan saya dengan ide-ide Marxis. Memang, salah satu dasar kuat perjuangan pembebasan gay adalah analisis Marxis terhadap posisi perempuan (seperti dilakukan oleh Friedrich Engels) dan pemikiran feminis progresif lainnya.
Bagaimana cara meyakinkan keluarga mengenai pilihan orientasi seksual ini?
Saya waktu itu tinggal di Amerika Serikat (tahun 1979-80). Saya kirimkan berbagai bahan bacaan yang meyakinkan orangtua dan keluarga saya bahwa homoseksualitas bukan gangguan jiwa dan tidak bisa atau perlu diubah. Keluarga saya memang cenderung rasional. Soal rasa malu secara budaya, itu saya kikis dengan argumentasi bahwa sesuatu yang tidak salah tidak usah dipermalukan.
Bagaimana Anda memahami tantangan kesetaraan orientasi seksual dalam kehidupan berbangsa kita?
Orientasi seksual (serta identitas gender) adalah dua dimensi kemanusiaan yang sejak abad ke-20 mencuat, dan di Indonesia, terutama sejak tahun 1980-an, makin tampak menuntut perhatian dan kesetaraan. Dengan menguatnya cita-cita demokrasi dan penegakkan HAM, tidak ada pilihan lain kecuali merangkul semua dimensi kemanusiaan yang ada dan memperjuangkan kesetaraan universal, bersama dengan dimensi-dimensi lain seperti etnisitas, gender, afiliasi keimanan, dll.
Kami bekerja sama secara sistematik dan terpadu dengan berbagai isu keberagaman, demokrasi dan HAM, umpamanya dengan gerakan prodemokrasi, gerakan buruh, gerakan antariman, gerakan advokasi Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen, dll. Dalam kerja sama ini terjadi saling belajar mengenai isu masing-masing.
Apa yang menjadi kendala utama dalam perjuangan ini?
Perancuan negara dan agama, sehingga pertimbangan moral konservatif yang homofobik dan transfobik mengedepan ketimbang pertimbangan kesetaraan manusia. Pemerintah mengabaikan isu-isu HAM berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender. Bahkan pejabat atau aparatnya malah ada yang secara terbuka memusuhi dan merepresi mereka yang berbeda orientasi seksual dan identitas gendernya dari yang direstui oleh negara dan agama konservatif.
Dalam buku Anda, Memberi Suara Pada Yang Bisu, Anda mencoba untuk mendemistifikasi stereotipe awam mengenai homoseksualitas. Bagaimana demistifikasi ini bisa dikaitkan dalam perjuangan politik untuk mendorong kesetaraan ini?
Demistifikasi itu menjadi perlu karena suara rasional dalam dunia pendidikan mengenai gender dan seksualitas sangat lirih, sehingga kita harus bergerilya melakukannya di luar lingkup pendidikan skolastik. Demistifikasi itu merupakan salah satu cara mengubah nilai-nilai masyarakat dan kaum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersexed, Questioning) sendiri. Untuk menyatakan bahwa homoseksualitas dan transgenderisme adalah hal yang biasa-biasa saja sesungguhnya. Perjuangan demokratik dan HAM tidak akan terlalu berarti tanpa disertai perubahan sosial seperti itu.
Problem seksualitas semakin mengemuka dalam pengalaman masyarakat kontemporer. Pertanyaan tentang tubuh serta orientasi personal adalah refleksi umum dalam kenyataan keseharian kita. Akan tetapi, sayangnya, refleksi ini seringkali menjadi ‘bahan bakar’ tambahan untuk proses lebih lanjut komodifikasi kapitalisme itu sendiri, dimana tubuh secara langsung maupun tidak langsung menjadi instrumen komoditas. Sedang kita tahu, problem tubuh dan ketubuhan adalah pertanyaan sentral bagi kalangan LGBTIQ. Bagaimana anda menyikapi hal ini?
Sejujurnya analisis seperti ini belum berkembang di kalangan aktivis dan pemikir LGBTIQ di Indonesia. Kita masih sibuk mematok eksistensi kita dan secara internal saling mendukung untuk dapat bertahan hidup. Kelak, apabila sudah ada kekuatan yang mengental dalam komunitas, analisis kritis macam ini jelas harus dilakukan untuk menentang komodifikasi yang terjadi. Titik terang yang mungkin bisa dilihat sebagai benih ke sana adalah militansi kawan-kawan lesbian di kalangan buruh, yang karena terbiasa dengan berserikat dan memperjuangkan penghidupan yang layak, lebih progresif daripada aktivis borjuis.
Bagaimana Anda memandang perjuangan kaum LGBTIQ Indonesia sekarang? Apakah ada kemajuan yang berarti? Atau cenderung masih mengalami stagnasi?
Kebanyakan aktivis kita sibuk dengan menyesuaikan dirinya dalam masyarakat yang dipandang tidak menerima eksistensi kita. Sikap kritis melawan belum tampak benar. Barangkali saat ini memang kita baru mampu mengonsolidasi penyusunan kekuatan, yang sudah tampak hasil sementaranya. Ada usaha-usaha meningkatkan hal ini menjadi suatu gerakan yang lebih militan, melawan dan memperjuangkan perubahan (dan bukan mengakomodasi status quo).
Sejarah modern sudah menunjukkan bahwa setiap kemajuan sosial adalah hasil dari perjuangan politik masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, bagaimana Anda melihat prospek politik kaum LGBTIQ Indonesia sekarang?
Saya dengan hati-hati cenderung optimis ini akan terjadi. Kebanyakan aktivis saat ini berusia muda, baru 2-3 tahun aktif, namun sudah tampak konsolidasinya. Tugas kita semua adalah menyadarkan semua pihak bahwa tidak ada pilihan lain selain melawan status quo, dan bersama kekuatan progresif lainnya merebut posisi di arena politik.
Bisa dijelaskan lebih jauh mengenai frase ‘merebut posisi di arena politik?’
Sejauh ini kami berjuang dengan mencari sekutu di lembaga-lembaga politik. Saya pikir ini masih dalam tahap sangat awal, sehingga hasilnya pun belum terlalu tampak. Sudah juga dicoba, tapi belum berhasil, untuk ikut dalam proses politik seperti Pemilu, dengan mengajukan calon gay atau waria secara terbuka. Sudah juga dicoba, tapi masih dalam tahap awal, untuk melontarkan isu kesetaraan berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender sebagai nilai yang seharusnya dipunyai oleh politikus kita.
Anda tengah berinisiatif membuat intervensi teoritis dalam hal pengalaman LGBTIQ dengan membuat Jurnal Gandrung. Bagaimana Anda melihat signifikansi intervensi teoritis ini terhadap kemajuan gerakan LGBTIQ itu sendiri di Indonesia?
Jurnal Gandrung merupakan bagian dari gerilya intelektual untuk merebut hegemoni pengetahuan yang diharapkan akan memudahkan gerakan di masa mendatang.
Apa saja tema yang dibahas dalam jurnal Gandrung ini? Siapa saja sasaran pembacanya? Sejauh ini, kira-kira berapa oplah dari jurnal ini?
Jurnal Gandrung diposisikan sebagai arena pembelajaran, diskusi dan debat tentang berbagai aspek gender serta seksualitas dengan pendekatan yang kritis, emansipatif dan komprehensif serta beragam. Sasaran pembacanya adalah siapa saja yang bersedia berpikir kritis tentang gender dan seksualitas dalam konteks sosialnya yang seluas-luasnya. Dasar pemikirannya, mereka akan ikut mengubah masyarakat sehingga kian terbuka terhadap berbagai keberagaman gender dan seksualitas. Jurnal ini dicetak 1.000 eksemplar, dan juga tersedia dalam bentuk pdf yang dapat diunduh dari situs www.gayanusantara.or.id.
Apa yang menjadi proyeksi politik pengetahuan Anda ke depan nanti? Apakah akan berencana menerbitkan buku kembali?
Kegiatan menulis, berkesenian dan membuat film lumayan marak di mana-mana di komunitas LGBTIQ. Saya sendiri secara terbatas masih melontarkan ide-ide melalui media sosial dan tulisan-tulisan pendek. Ada keinginan untuk menulis yang lebih ekstensif dan substansial di masa mendatang, tetapi saat ini waktu saya tersita oleh pekerjaan yang dimungkinkan karena rintisan awal di masa lampau.
¶