Judul Buku : Oligarki (terj).
Penulis : Jeffrey A. Winters.
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama, 2011
Tebal Buku : xxv + 478
Pendahuluan
Pada tanggal 26 September kemarin, DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang kontroversial, yaitu RUU Pilkada setelah melewati dan mengabaikan berbagai penolakan dari beragam elemen masyarakat. Pasca UU itu disahkan, gelombang penolakan tidak menjadi surut, justru semakin membesar dan meluas. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya konsolidasi, aksi-aksi demonstrasi, maupun hashtag-hashtag di media sosial.[1] Salah satu isu yang sentral dalam penolakan atas UU Pilkada ini terkait dengan adanya upaya penutupan ruang politik dalam iklim demokrasi di Indonesia saat ini. Analisa lebih lanjut, berbagai gerakan ini melihat bahwa pengesahan UU Pilkada merupakan manifestasi bangkitnya tendensi politik Orde Baru.
Lantas, apa yang melatar belakangi kembalinya tendensi tatanan politik Orde Baru ini? Dalam kerangka ekonomi politik, ini terkait dengan upaya transformasi Oligarki yang berusaha merebut ruang demokrasi rakyat untuk mempertahankan posisinya. Oleh karena itu, dalam gerakan-gerakan penolakan UU Pilkada, argumen “Tolak Oligarki Orde Baru”, semakin menguat.[2] Namun demikian, Oligarki ini susah untuk diidentifikasi siapa dan ditunjuk hidungnya secara langsung. Juga, konsep ini masih asing dalam dunia sehari-hari masyarakat kita. Oleh karena itu, tidak semua orang memahami apa yang disebut Oligarki.
Dalam momen yang belum terlambat ini, penulis berusaha menghadirkan penjelasan mengenai apa yang dimaksud sebagai Oligarki itu dengan cara mereview buku yang berjudul “Oligarki” karya Jeffrey A. Winters. Dalam bukunya tersebut, Winters berusaha membangun pemahaman ulang mengenai Oligarki, terlepas dari pemahaman kita sebelumnya mengenai Oligarki yang hanya dikenal sebatas, “kekuasaan minoritas pada mayoritas.” Dalam bukunya ini, Winters menjelaskan Oligarki dengaan menekankan pada kekuatan sumber daya material sebagai basis dan upaya pertahanan kekayaan pada diri mereka. Adanya ketidaksetaraan material tersebut kemudian menghasilkan adanya ketidaksetaraan kekuasan politik. Kondisi itu juga lah yang terjadi di Indonesia saat ini.
Teori Oligarki
Secara konseptual, istilah Oligarki telah lama dikenal dalam studi politik. Istilah ini merentang dari jaman Yunani Kuno hingga era kontemporer sekarang. Dalam International Encyclopedia of Social Sciences, Oligarki didefinisikan sebagai “bentuk pemerintahan dimana kekuasaan berada di tangan minoritas kecil”. Istilah tersebut diambil dari bahasa Yunani, “Oligarchia”, yang berarti pemerintahan oleh yang sedikit, terdiri atas kata oligoi (sedikit), dan arkhein (memerintah).[3] Namun, pengertian singkat tersebut sangat problematis dan tidak memadai untuk mendefinisikan Oligarki. Hal itu karena masih menimbulkan kekaburan makna mengenai Oligarki itu sendiri. Apalagi bila itu disematkan hanya pada konsep “minoritas yang menguasai mayoritas”. Bila konsep Oligarki didasarkan pada hal demikian, maka hampir setiap kekuasaan, pengaruh, atau pemerintahan, yang menempatkan adanya minoritas dalam memimpin, maka dapat disebut sebagai Oligarki. Hal itu misalnya, Soviet, kardinal Gereja, direksi perusahaan, bahkan demokrasi perwakilan itu sendiri, karena di dalamnya hanya sedikit orang yang memerintah. Padahal, dalam pengertiannya, yang dimaksud Oligarki tidaklah sesederhana itu. Pada titik inilah, Jeffrey A. Winters, seorang Profesor di Northwestern University, berusaha mengkonstruksi ulang pemahaman mengenai Oligarki.
Apa yang disebut Oligarki, menurut Winters, penting untuk menempatkannya dalam dua dimensi. Dimensi pertama, Oligarki memiliki dasar kekuasaan—kekayaan material—yang sangat susah untuk dipecah dan diseimbangkan. Kedua, Oligarki memiliki jangkauan kekuasaan yang luas dan sistemik, meskipun dirinya berposisi minoritas dalam suatu komunitas.[4] Dengan demikian, suatu kekuasaan yang Oligarkis harus didasarkan pada bentuk kekuasaan yang susah dipecahkan dan jangkauannya yang harus sistemik.
Menurut Winters, teorisasi Oligarki dimulai dari adanya fakta bahwa ketidaksetaraan material yang ekstrem menghasilkan ketidaksetaraan politik yang ekstrem pula. Meskipun dalam demokrasi, kedudukan dan akses terhadap proses politik dimaknai setara, akan tetapi kekayaan yang sangat besar di tangan minoritas kecil menciptakan kelebihan kekuasaan yang signifikan di ranah politik pada golongan tersebut. Klaim ini didasarkan pada distribusi sumber daya material diantara anggota komunitas politik, demokrasi atau sistem lainnya, yang memiliki pengaruh besar pada kekuasaan. Semakin tidak seimbang distribusi kekayaan material, makin besar kekuasaan dan pengaruh orang kaya dalam motif dan tujuan politiknya. Dengan demikian, ketidaksetaraan yang besar dalam kekayaan menghasilkan ketidaksetaraan dalam kekuasaan dan pengaruh politik.
Klaim teoritik tersebut didasarkan pada hubungan yang erat antara uang (kekayaan) dan kekuasaan yang menyejarah dalam sistem politik manusia. Studi mengenai Oligark dan Oligarki memusatkan perhatian pada kuasa kekayaan dan politik yang spesifik di sekitar kuasa tersebut. Penekanannya ada pada dampak politik kesenjangan material terhadap “kesenjangan kondisi” yang membuat bentuk-bentuk kekuasaan dan ekslusi minoritas oligarkis berbeda dengan yang lainnya. Untuk itu, menurut Winters, teori Oligarki harus menjelaskan bagaimana kekayaan yang terkonsentrasi menciptakan kapasitas, motivasi, dan masalah politik tertentu bagi mereka yang memilikinya. Selain juga harus peka terhadap bagaimana dan mengapa politik seputar kekayaan sebagai kekuasaan telah berubah seiring perkembangan waktu.[5]
Berdasarkan fakta demikian, Winters memulai penjelasannya mengenai Oligarki dari apa yang dimaksud dengan Oligark. Winters mendefinisikan Oligark sebagai “pelaku yang menguasai dan mengendalikan konsentrasi besar sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya”[6] Berdasarkan definisi itu, terdapat tiga hal yang saling bersangkut paut, antara lain, pertama, kekayaan adalah bentuk kekuasaan material yang berbeda dengan sumber daya kekuasaan lain yang berpusat pada minoritas; kedua, penguasaan dan pengendalian sumber daya itu ditujukan untuk kepentingan pribadi; dan ketiga, definisi Oligark tetap konsisten di berbagai zaman dan kasus.
Sebelum menjelaskan Oligarki sebagai sebuah sistem, Winters memperkenalkan konsep “pertahanan kekayaan”. Sepanjang perjalanan sejarah, kekayaan material yang terkonsentrasi pada minoritas selalu mengundang ancaman dari pihak luar yang ingin menguasai atau mendistribusi ulang kekayaan tersebut. Ini dimaknai sebagai pengambilalihan sumber daya material dari Oligark. Oleh karena itu, maka dinamika politik para Oligark selalu berhubungan dengan ancaman tersebut, dan bagaimana Oligark mempertahankannya. Pertahanan kekayaan ini mencangkup dua komponen, yaitu pertahanan harta dan pertahanan pendapatan.[7] Winters memberikan definisi Oligarki sebagai sebuah sistem yang merujuk pada “politik pertahanan kekayaan oleh pelaku yang memiliki kekayaan material (Oligark)”[8]. Pada konsep ini, Winters mengetengahkan aspek penting dari Oligarki, yaitu kekayaan menjadi sumber daya material bagi kekuasaan para Oligark dan dinamika politik pertahanannya yang dikelola secara politis.
Aspek pertahanan kekayaan sebagai sumber daya kekuasaan ini kemudian menentukan bagaimana Oligarki akan berdiferensiasi dalam berbagai bentuk. Cara pertahanan ini mengacu pada beragam konteks politik dan periode sejarah. Oleh karena itu, definisi dari Oligarki bisa tetap, akan tetapi bentuknya bisa berbeda-beda. Dalam suatu masa, Oligarki bisa terlibat secara langsung dalam politik, tapi dalam suatu masa juga tidak. Dalam satu masa, Oligark terlibat secara aktif dalam mempertahankan kekayaan dengan senjata, tapi dalam masa yang lain tidak bersenjata, dan sebagainya. Perbedaan tersebut sebagai taktik yang berhubungan dengan bagaimana pertahanan atas kekayaan dilakukan. Semakin tinggi kebutuhan untuk mempertahankan kekayaan, maka terjadi kecenderungan bahwa Oligark akan semakin banyak terlibat dalam kekuasaan politik. Hal tersebut terjadi juga bila didukung oleh sistem politik yang memungkinkan adanya gangguan atas hak milik dan kekayaan. Hal sebaliknya, bila dalam sebuah sistem politik, hak milik dan kekayaan dilindungi secara ketat, maka Oligark bisa saja tidak perlu terlibat secara aktif dalam perebutan kekuasaan.
Dalam ilmu sosial, teori Oligarki sering mengalami kerancuan dengan teori elit. Kerancuan ini terletak pada posisinya yang sama dalam kekuasaan dan pengaruh minoritas. Namun, pada usaha teorisasi Oligarki yang dikonstruksi oleh Winters ini, ia berusaha membedakannya dengan jelas. Oligarki dan elit menurutnya berbeda. Keduanya memang menggunakan kekuasaan dan pengaruh minoritas. Namun, kemampuan melakukannya didasarkan pada jenis kekuasaan yang berbeda, yang kemudian berimplikasi pada hasil politik yang berbeda pula. Bukti adanya perbedaan yang mendasar antara elit dan Oligarki ini terletak pada pengaruh minoritas pada elit yang selama ini telah ditantang oleh perubahan demokratis, sedangkan Oligarki bahkan belum memiliki kemampuan untuk menyesuaikan. Hal demikian berhubungan dengan sumber daya kekuasaan yang digunakan untuk menjadi seorang elit dan Oligark.
Sumber daya kekuasaan yang dimaksud mencakup hak politik formal, jabatan resmi (baik di dalam maupun di luar pemerintahan), kuasa pemaksaan (coercive power), kekuatan mobilisasi dan kekuasaan material (kekayaan). Empat sumber daya yang pertama, ketika didistribusikan dengan cara sangat eksklusif atau terkonsentrasi, adalah dasar yang umumnya dikenal sebagai politik “elit.” Sumber daya yang terakhir, kekuasaan material adalah basis oligarki. Oligark adalah aktor yang diberdayakan oleh kekayaan sumber daya paling menonjol di antara bentuk-bentuk kekuasaan lainnya. Kekayaan jelas paling serba guna, dalam arti mudah diubah menjadi pengejawantahan kekuasaan yang lain. Sehingga dengan itu, elit dan Oligarki dapat dipisahkan secara konseptual.
Kategori Oligark dan elit bisa saling tumpang tindih dengan kekuasaan oligarkis yang berpotensi mengarah pada kekuasaan elit—begitu pula sebaliknya. Namun, keduanya tidak mesti bertumpang tindih. Banyak Oligark hanya memiliki sumber daya kekuasaan material, dan banyak elit tidak pernah menghimpun kekayaan yang mendatangkan kekuasaan. Dalam suatu sistem politik, Oligark selalu menjadi seorang elit, tetapi seorang elit belum tentu menjadi seorang Oligark.
Tipe-Tipe Oligarki
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Oligarki memiliki beragam bentuk tergantung dengan politik pertahanan kekayaan yang dijalankannya. Perubahan bentuk Oligarki ini didasarkan pada ancaman kekayaan darimana ia berasal, misalnya apakah ancaman itu muncul dari kaum tak berpunya di bawah, dari samping yaitu antar Oligark itu sendiri, atau dari atas yang berasal dari negara/kekuatan pemerintah. Beragam ancaman itu, membuat Oligark membentuk pertahanan kekayaan dengan mengikuti konteksnya. Dalam hal ini, Winters menyatakan bahwa,
“Persamaan Oligark sepanjang sejarah adalah bahwa kekayaan mendefinisikan, memberi kekuasaan dan mendatangkan ancaman kepada mereka. Yang beragam dalam sejarah adalah hakikat ancaman-ancaman itu dan cara Oligark menanggapi ancaman untuk mempertahankan harta. Keragaman itu memunculkan tipe-tipe oligarki…”[9]
Untuk memperjelas itu, Winters membuat tipologi ideal mengenai Oligarki. Menurutnya, semua Oligarki bisa digolongkan menurut empat ciri utama, yaitu kadar keterlibatan langsung Oligarki dalam pemaksaan yang menyokong hak milik atas harta dan kekayaan; keterlibatan Oligark dalam kekuasaan atau pemerintahan; sifat keterlibatan dalam pemaksaan dan kekuasan itu, apakah terpecah atau kolektif; dan Oligark bersifat liar atau jinak.[10]
Dari ciri di atas, Winters membuat empat tipe ideal dari Oligarki, antara lain, pertama, Oligarki Panglima, yaitu Oligarki yang muncul dengan kekuasaan pemaksa (kekerasan) secara langsung ada pada dirinya. Setiap Oligark memiliki senjata untuk mendapatan kekayaan. Ia memiliki tentara dan berebut secara langsung sumber daya material dengan Oligark lain. Pada dunia seperti itu, perpecahan antar Oligark berada di tingkat tertinggi, sehingga persekutuan tidak stabil. Konflik dan ancaman umumnya bersifat lateral antar Oligark panglima. Dapat dikatakan di sini bahwa pengumpulan kekayaan dilakukan dengan cara penaklukan satu panglima ke panglima lain sehingga ancaman paling dominan terdapat pada klaim harta daripada pendapatan. Oligarki panglima ini terjadi dari masa pra sejarah, Eropa zaman pertengahan, dan berakhir dengan keluarga yang berseteru di Pegunungan Apalachia.
Tipe kedua adalah Oligarki penguasa kolektif. Oligark jenis ini memiliki kekuasaan dan berkuasa secara kolektif melalui lembaga yang memiliki norma atau aturan main. Perbedaan mendasar antara Oligarki panglima dengan oligarki penguasan kolektif ini terletak pada kadar kerja samanya. Dalam Oligarki penguasa kolektif ini, para Oligark bekerja sama untuk mempertahankan kekayaannya dan memerintah suatu komunitas. Dalam kebanyakan kasus, pemerintah kolektif dilembagakan dalam suatu badan pemerintah yang isinya Oligark semuanya. Secara historis, contoh dari bentuk oligarki penguasa kolektif bisa ditemui dari komisi mafia, pemerintahan Yunani-Roma, juga menurut Winters adalah praktek politik di Indonesia pasca Soeharto.
Ketiga, bentuk Oligarki terjadi ketika monopoli sarana pemaksaannya terletak pada satu tangan Oligark. Hubungan antara Oligark bersifat patron-klien terhadap Oligark yang berkuasa tersebut. Oligarki jenis ini disebut sebagai Oligarki Sultanistik. Wewenang dan kekerasan hanya dikuasai oleh penguasa utama, sedangkan para Oligark lainnya menggantungkan pertahanan kekayaan dan hartanya pada Oligark tunggal tersebut. Para penguasa Oligark mengalahkan kapasitas Oligark di bawahnya, biasanya dengan mekanisme alat kekerasan negara atau mencampurkan dengan sarana pemaksa individu. Para Oligark bawahan yang tidak bersenjata kemudian mempertahankan kekayaan dengan menginvestasikan sebagian sumber daya yang dimilikinya kepada Oligark Sultanistik. Dengan itu, oligark penguasa berkewajiban melindungi Oligark-Oligark di bawahnya. Salah satu contoh mengenai Oligarki Sultanistik ini pada rejim Soeharto di Indonesia.
Keempat, Oligarki yang sepenuhnya tak bersenjata dan tidak berkuasa langsung. Oligark menyerahkan kekuasaannya pada lembaga non-pribadi dan terlembaga dimana hukum lebih kuat. Oligarki jenis ini disebut dengan Oligarki Sipil. Karena hak milik dan pertahanan harta telah disediakan oleh negara, maka fokus Oligark hanya pada pertahanan pendapatan, yaitu upaya untuk mengelak dari jangkauan negara untuk meredistribusi kekayaan, misal melalui pajak progresif. Oligarki Sipil tidak selalu bersifat demokratis dan melibatkan pemilu. Misalnya, Amerika dan India memang bersifat demokratis secara prosedural, tetapi di Singapura dan Malaysia bersifat otoriter. Dari beragam contoh itu, semuanya bersifat oligarki sipil.
Tipe ideal yang dibuat oleh Winters ini tidak statis, artinya dalam suatu wilayah yang memiliki satu tipe oligarki tertentu bisa memungkinkan berubah menjadi tipe oligarki yang lain. Hal itu terjadi dengan mengikuti perkembangan situasi yang spesifik. Ini misalnya terjadi di Indonesia. Oligark merupakan aktor sangat berpengaruh dalam ekonomi politik Indonesia, mereka muncul dan memperoleh kekuasaan semasa Orde Baru Soeharto, dan transisi menuju demokrasi bukan merupakan gangguan signifikan atau menyusutkan kekuasaan mereka. Oligarki itu sendiri berubah secara dramatis seiring tumbangnya rezim Soeharto—dari sultanistik ke penguasa kolektif—dengan konsekuensi penting bagaimana cara pertahanan kekayaan diupayakan dan dijamin di Indonesia. Namun, Oligarki tidak lantas menghilang. Penekanan pada bagian ini adalah bagaimana kekuasaan oligarkis terejawantah di Indonesia kontemporer.[11]
Adanya kecenderungan perubahan bentuk Oligarki di Indonesia seperti yang dijelaskan oleh Winters ini dikuatkan dengan penelitian lain, walaupun tidak secara identik sama dalam hal penjelasannya. Hal ini misalnya yang dituliskan oleh Richard Robison dan Vedi R Hadiz dalam bukunya, “Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market”[12]. Dalam buku tersebut, kedua penulis beragumen bahwa Oligarki di Indonesia pada dasarnya tidak tumbang pasca reformasi atau jatuhnya Soeharto. Oligarki yang dibesarkan oleh rejim Soeharto terus bertransformasi dengan menyesuaikan konteks politik di Indonesia yang didorong oleh skema Neoliberalisme, misal demokratisasi, desentralisasi, dan deregulasi. Pasca krisis ekonomi di tahun 1998, Oligarki dengan beragam cara mampu bertahan dan kembali menjadi pemain utama dalam dunia bisnis di Indonesia. Untuk itu, konfigurasi tatanan yang Oligarkis sebanarnya tetap menjadi kekuatan ekonomi politik yang dominan di Indonesia pasca Orde Baru. Hal tersebut juga kemudian dikuatkan lagi oleh Christian Chua dalam artikelnya yang berjudul, “Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist,”, yang menunjukan bahwa perubahan institusional pasca Soeharto pada awalnya ditujukan untuk mengakhiri rejim yang otoritarian, sentralisasi, dan praktek KKN, ternyata dimanfaatkan oleh kekuatan lama untuk mempertahankan kekuasaannya.[13]
Kekuatan ekonomi di jaman Orde Baru menguasai demokratisasi dengan terlibat dalam partai politik, bahkan menjadi petingginya. Mereka kemudian selain menjadi pebisnis juga menjadi politisi. Hilangnya patron politik, membuat para Oligark harus menjadi pemain dalam politik secara langsung guna mempertahankan kekayaannya. Partai yang memerlukan uang dalam jumlah besar untuk memenangkan kontestasi pemilu mambawa para Oligark bisa menjadi petinggi partai. Hal ini dapat kita lihat seperti, Alvin Lie di PAN atau Murdaya Poo di PDIP. Selain pebisnis China, pengusaha pribumi, yang dulunya mendapat support Orde Baru juga terlibat secara langsung dalam politik, seperti Jusuf Kalla sebagai ketua Golkar dan Aburizal Bakrie yang kemudian menjadi ketua Golkar berikutnya.[14] Di tengah era kebebasan pers dan media, mereka menguasai pers untuk mengarahkan opini publik, seperti grup Salim yang menguasai Indosiar. Juga Tomy Winata yang menguasai Radio 911, Harian Jakarta, Jakarta TV, juga majalah Pilar.[15]
Dengan desentralisasi, kekuatan ekonomi ini berubah lokus patron-klien-nya. Kekuatan ekonomi ini beralih pada relasi patronase yang terdesentralisasi. Hal ini mengikuti juga dengan pola beralihnya sebagian kekuasaan yang ke Daerah. Apalagi karena adanya Pemilukada yang membutuhkan uang sangat banyak untuk kontestasi. Keterlibatan ini pun bisa secara langsung maupun tidak langsung.[16] Kemudian, dengan deregulasi, mereka tetaplah yang paling diuntungkan karena merupakan kekuatan ekonomi yang paling kuat sehingga saat pengaturan dibebaskan di pasar, mereka telah menguasai pasar tersebut. Seperti pemilik grup Salim yang tetap menjadi produsen terigu paling besar dengan Bogasarinya, setelah ada deregulasi untuk pengusahaan terigu di Indonesia.[17]
Dari paparan di atas, aspek penting dari konsep Oligarki yang diajukan Winters ini menunjukkan bahwa Oligarki tidak banyak dipengaruhi oleh reformasi non-material atau prosedur politik. Hal ini tentu karena konsep Oligarki-nya didasarkan pada kekuasaan sumber daya material (kekayaan) yang membuatnya memiliki pengaruh signifikan pada proses politik. Sehingga, demokrasi pun tidak menghilangkan Oligark, dan juga membuat Oligarki hilang dalam kenyataan sosial di sistem politik tersebut. Hal tersebut karena sistem demokrasi elektoral tidak memberi pembatas yang efektif untuk membatasi bentuk kekuasaan material yang dipegang Oligark. Dalam hal ini, lembaga politik hanya dapat mengatur, menjinakkan, dan mengubah bentuk Oligarki, tetapi tak bisa menghilangkannya. Karena itulah, apapun bentuk pemerintahannya, ketidaksetaraan politik ekstrem merupakan kembaran dari ketidaksetaraan material yang ekstrem pula. Menurut Winters, Oligark dan Oligarki akan lenyap bukan melalui perubahan prosedur politik menjadi demokrasi, melainkan bila distribusi sumber daya material yang sangat tidak seimbang ditiadakan, supaya tidak memberi kekuasaan politik yang terlalu besar kepada segelintir pelaku.[18]
Teori Oligarki: Sebuah Perbandingan
Konsep mengenai Oligarki, terutama di Indonesia, tidak hanya tunggal seperti yang dikonseptualisasi oleh Winters saja. Terdapat pemikir lain dengan fokus yang sama. Para pemikir lain seperti Richard Robison dan Vedi R Hadiz juga mengembangkan konsep Oligarki dalam menjelaskan ekonomi politik di Indoensia. Keduanya berusaha membingkai ekonomi politik Indonesia dalam kerangka Oligarki. Winters dengan Oligarki dan Robison dan Hadiz dengan Reorganizing Power, sama-sama memiliki titik berangkat bahwa keunggulan sumber daya material dapat digunakan dalam kekuasaan politik. Keduanya juga mengembangkan konsep Oligarki yang terlepas dari tradisi teori elit. Namun demikian, meskipun sama-sama membahas mengenai Oligarki, kerangka konseptual yang mereka bangun cukup berbeda sehingga bisa diperbandingkan. Dalam hal ini, Michael Ford dan Thomas B Pepinsky memberikan penjelasan mengenai perbandingan konsep Oligarki dari dua kubu pemikir ini.[19]
Baik Winters maupun Robison dan Vedi R Hadiz memiliki latar belakang teoritik yang berbeda, tapi dalam membahas konsep Oligarki ini, terdapat beberapa titik temu dalam pemikiran mereka, terutama dalam ekonomi politik di Indonesia. Menurut mereka, Indonesia pasca Soeharto dicirikan dengan adanya perubahan politik sebagai bagian dari proses demokratisasi, tetapi ia tidak menyingkirkan Oligarki yang telah dibangun sejak tumbuhnya rejim Soeharto. Baik Winters maupun Robison dan Hadiz berpandangan bahwa struktur formal demokrasi elektoral dapat hidup berdampingan dengan kekuasan Oligarki, terutama bila demokrasinya hanya bersifat prosedural. Demokrasi memang memiliki efek nyata bagi Oligarki, namun keduanya menolak jika pengaruh Oligarki dapat dikurangi oleh pemilu yang kompetitif. Menurut mereka, perilaku dan strategi kaum oligark mungkin saja berubah sesuai dengan proses demokrasi elektoral—dan desentralisasi—tetapi tidak ada “obat” mujarab tertentu mengenai itu, misalnya melalui jalur institusional, elektoral, atau gerakan massa mampu membasmi problem oligarki. Baik Winters maupun Robison dan Hadiz berpendapat bahwa tingkat perubahan politik yang diperlukan untuk menghancurkan Oligarki terletak pada problem redistribusi kekayaan yang berhubungan dengan upaya untuk menghancurkan hubungan antara kekayaan dan kekuasaan politik di Indonesia (atau di negara lain) yang pada kenyataannya hanya bisa dicapai melalui revolusi.
Terlepas dari persamaan pandangan itu, konsep Oligarki Winters dapat diperbandingkan dengan konsep Oligarki yang dikembangkan oleh Robison dan Hadiz. Dalam hal ini kita bisa bandingkan dari sudut definisi, fokus perhatian, unit analisis, perlakuan terhadap orang luar, dan skala oligarki.[20] Perbedaan utama dalam hal definisi, menurut Winters, oligarki adalah “politik pertahanan kekayaan antar aktor yang memiliki sumber daya material berlimpah”[21]. Sedangkan, Robison dan Hadiz menggambarkan oligarki sebagai “sistem relasi kekuasaan yang memungkinkan konsentrasi kekayaan dan otoritas serta pertahanan kolektif atas konsentrasi kekayaan”[22]. Keduanya memiliki fokus definisi yang berbeda, Winters lebih mengarah pada aktor, sedangkan Robison dan Hadiz pada relasi kekuasaan.
Perbedaaan itu berhubungan dengan pendekatan teoritis yang diambil. Robison dan Hadiz termasuk dalam kubu neo-Marxisme yang melihat bahwa oligarki sebagai bagian dari perkembangan kapitalisme global, sedangkan Winters mewakili kubu Webberian tentang peran dan lokus pemaksaan dalam politik berorientasi pertahanan kekayaan. Perbedaan ini kemudian memberikan implikasi terkait operasionalisasi konsep pertahanan kekayaan. Bagi Robison dan Hadiz, sifat kolektif dari oligarki sangat penting, juga kaitan antara konflik atas kekayaan dan otoritas politik. Sedangkan definisi menurut Winters mengabaikan peran kolektif ini karena asumsi Oligarki yang dibangun selalu bertumpu pada Oligark sebagai individu. Bisa saja Oligark itu bertindak kolektif, tetapi tidak dianggap sebagai sebuah kepastian.
Kemudian, fokus perhatian dari oligarki yang ditawarkan oleh Winters, dan Robison dan Hadiz juga berbeda. Winters menggunakan pendekatan komparatif dari beragam wilayah dan masa. Bagi Winters, oligarki adalah fenomena yang umum, yaitu suatu ciri formasi sosial dimana pun yang senantiasa ditandai oleh kesenjangan distribusi sumber daya material sangat ekstrem. Oligarki muncul sesuai dengan konteks politik tertentu, termasuk dalam kapitalisme bila hal itu memunculkan adanya ketidaksetaraan material, maka Oligarki lah yang akan jadi hasilnya. Berbeda dengan itu, Robison dan Hadiz dalam Reorganizing Power mengajukan pembahasan oligarki yang mendalam dan lebih spesifik di Indonesia. Mereka mengemukakan bahwa oligarki Indonesia adalah hasil kondisi kapitalisme lanjutan di wilayah pinggiran. Hal tersebut dimulai dari adanya semacam “kebangkitan kapital” di Indonesia sejak Orde Baru berdiri. Dengan hubungan kekayaan dan kekuasaan ala Soeharto itu, menunjukkan bahwa kapitalisme tidak selalu menghasilkan kekuasaan oligarkis. Ia mengasumsikan adanya kapitalisme yang sejati, terlepas dari kekuasaan yang oligarkis.
Oleh karena berangkat dari definisi politik pertahanan mengenai aktor, analisis Winters tertuju pada sejumlah individu yang terkadang bertindak kolektif, tetapi sering kali juga bertindak secara individu. Pilihan-pilihan tindakan yang diambil oleh aktor-aktor ini berhubungan dengan ancaman atau tantangan yang dihadapi, juga strategi yang digunakan untuk mengatasi itu. Sedangkan bagi Robison dan Hadiz, Oligarki sebagai sistem relasi kekuasaan kolektif di Indonesia terkait dengan menguatnya hubungan antara negara dan kaum borjuis yang—kembali pada definisi oligarki mereka—ditandai oleh perpaduan akumulasi kekayaan dan kekuasaan politik pada periode kekuasaan Orde Baru. Dengan demikian, kedua pendekatan tersebut tidak secara mutlak mengutamakan struktur di atas agensi, namun analisis Winters relatif lebih menekankan agensi dibanding analisis Robison dan Hadiz.
Kedua pendekatan itu juga memiliki perbedaan dalam hal identitas dan pentingnya “orang luar” sebagai tantangan bagi oligarki. Kedua pendekatan ini memiliki persamaan pandangan bahwa “orang luar” itu terkait dengan mereka yang memiliki kemampuan mobilisasi. Dalam melihat itu, mereka memiliki posisi yang sama mengenai disorganisasi dan fragmentasi kelas pekerja dan oposisi lainnya. Namun, Robison dan Hadiz lebih menekankan itu dalam relasi kelas, bahwa kelas pekerja telah dilumpuhkan selama masa Orde Baru sehingga tidak mampu mengambil peran penting dalam berhadap-hadapan dengan Oligarki. Hal tersebut berhubungan dengan hasil logis dari penghisapan berbasis kelas. Bagi Winters, kelas pekerja bukan satu-satunya alat mobilisasi di Indonesia. Ia tidak menekankan relasi kelas tetapi melihat sebagai kekuatan mobilisasi—yang pada waktu tertentu mungkin berbentuk formasi kelas—sebagai jenis sumber daya kekuasaan yang hanya menawarkan kemungkinan perubahan secara radikal.
Perbedaan terakhir terkait dengan skala analisis diantara kedua pendekatan ini. Winters dalam Oligarki menawarkan skala analisis yang lebih luas, baik dalam segi wilayah maupun waktu. Dalam hal ini, ia melihat Indonesia ia memposisikan oligarki dalam tingkat nasional sehingga hal itu menimbulkan kekhawatiran tentang posisi lokalitas Oligark di tingkat lokal, yang mungkin saja berbeda dengan yang ada di Nasional. Sementara itu, Robison dan Hadiz lebih peka terhadap peran Oligarki lokal ini. Dengan mengamati bahwa desentralisasi telah menciptakan arena baru perseteruan politik, mereka menyatakan bahwa elit politik-birokrasi lokal warisan Orde Baru bertransformasi memanfaatkan arena tersebut untuk terus mengakumulasi kekayaaan.
Beberapa persamaan dan perbedaan mengenai konsep oligarki di atas, berpengaruh dalam diskursus Oligarki di Indonesia saat ini. Hal ini diharapkan memberi penjelasan yang lebih baik mengenai kondisi obyektif tentang politik di Indonesia. Pengertian akan adanya perbedaan di antara kedua pendekatan itu, selain mengakui persamaannya, berguna dalam menjelaskan bagaimana konsep Oligarki dipergunakan sebagai upaya memahami pentingnya kekayaan material yang terkonsentrasi dalam ekonomi politik di Indonesia. Itulah yang menjadi akar masalah bagi kita semua saat ini.
Penutup
Penjelasan konsep Oligarki oleh Winters, dan juga perbandingannya dengan pendekatan lain di atas, tidak untuk membingungkan kita semua. Namun sebaliknya, penjelasan tersebut berguna untuk dapat melihat Oligarki sebagai kondisi obyektif yang nyata dalam politik Indonesia saat ini. Dengan demikian, problem-problem politik kontemporer saat ini bisa dijejakkan dan dikaitkan dengan dinamika Oligarki yang terus menerus berupaya mempertahankan dirinya. Penjelasan ini juga berguna sebagai upaya untuk memikirkan kembali, bagi Gerakan Rakyat yang selalu berupaya mencari alternatif di luar ekonomi politik Neoliberal dan Oligarki ini, mengenai strategi ke depannya. Kita perlu ingat bahwa ‘strategi yang kongkret harus berbasis pada kondisi yang kongkret’.
Sebagaimana kita pahami bahwa Oligarki ini merupakan warisan Orde Baru, selain upaya kembali pada model-model politik stabilitas ala Orde Baru, maka upaya melawan Orde Baru belumlah usai hingga saat ini. Menjadi kewajiban bagi kita semua dan menuntut sebuah keterorganisiran sosial yang memiliki kemampuan mobilisasi untuk menumbangkan sekaligus merebut politik dari tangan Oligark. Maka, harapan menuju“Indonesia Baru tanpa Orde Baru dapat dimungkinkan.
Terakhir, sebagaimana para penyeru moral di Indonesia yang terus mengumandangkan adanya bahaya laten Komunisme, maka perlu juga kita perkenalkan kepada generasi muda, “Awas Bahaya Laten, Orde Baru!”
Daftar Pustaka
Chua, Christian. “Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist: Indonesia’s
Conglomerates between Authoritarianism and Democracy” dalam Marco Bunte and Andreas Ufen (ed). Democratization in Post-Soeharto Indonesia. Oxford: Routledge. 2009
Ford, Michael dan Thomas B Pepinsky, “Melampaui Oligarki? Bahasan Kritis Kekuasaan
Politik dan kesenjangan Ekonomi di Indonesia”. Prisma. Vol. 33 No. 1 Tahun 2014
Robison, Richard and Vedi R Hadiz. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of
Oligarchy in an Age of Market. London and New York: Routledge. 2004.
______________. “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali
Kekuasaan di Indonesia”. Prisma, Vol. 33 No. 1 tahun 2014.
Winters, Jeffrey A. Oligarki terj., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2011.
______________. “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”. Prisma. Vol. 33 No. 1 Tahun 2014.
[1] Konsolidasi itu menghasilkan misalnya, Gerakan Rakyat Berdaulat (GRB) yang dideklarasikan di FISIP UI yang mengumpulkan setidaknya 132 Organisasi Masyarakat Sipil. Lihat http://www.puskapol.ui.ac.id/press-release/pernyataan-bersama-gerakan-rakyat-berdaulat.html diunduh pada 15 Nopember 2014. Aksi-aksi demonstrasi meluas tidak hanya di Jawa, namun juga kota-kota lain di luar Jawa. Misalnya lihat http://www.jpnn.com/read/2014/10/10/262701/Demo-Tolak-UU-Pilkada,-Polisi-dan-Mahasiswa-Adu-Jotos- diunduh pada 15 Nopember 2014. Untuk pengecaman SBY, muncul hashtag #ShameonYouSBY lihat https://id.berita.yahoo.com/ruu-pilkada-disahkan-shameonyousby-jadi-trending-topic-dunia-035229925.html diunduh pada 15 Nopember 2014.
[2] Hal ini misal dalam Aliansi Mahasiswa Indonesia, yang salah satu platform penolakannya pada UU Pilkada adalah “Tolak Orde baru Jilid II” dan “Tolak Oligarki”, lihat http://www.perspektifnews.com/6831/dukung-pilkada-langsung-mahasiswa-dari-gerakan-rakyat-berdaulat-demonstrasi-di-kampus-ui/ diunduh pada 15 Nopember 2014.
[3] Jeffrey A. Winters, Oligarki terj., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011. hlm.1
[4] Ibid. hlm. 5-6
[5] Ibid. hlm. 8
[6] Ibid.
[7] Pertahanan harta berhubungan dengan property defense, mengamankan klaim dasar atas kekayaan dan hak milik. Sedangkan pertahanan pendapatan adalah income defense, menjaga sebanyak mungkin pendapatan dan laba dari kekayaan dalam kondisi hak milik aman. Ibid. hlm. 9-10
[8] Ibid.. hlm. 10
[9] Ibid. hlm 411
[10] Ibid. hlm. 48
[11] Jeffrey A. Winters, “Oligarki dan Demokrasi di Indonesia”, Prisma, Vol. 33 No. 1 Tahun 2014, hlm. 17
[12] Richard Robison and Vedi R Hadiz, Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market, London and New York: Routledge, 2004.
[13] Christian Chua, “Capitalist Consolidation, Consolidated Capitalist: Indonesia’s Conglomerates between Authoritarianism and Democracy” dalam Marco Bunte and Andreas Ufen (ed). Democratization in Post-Soeharto Indonesia. Oxford: Routledge. 2009. p. 201-225.
[14] Ibid. p.214
[15] Ibid. p.. 215
[16] Ibid. p.217-218
[17] Ibid. p. 219
[18] Winters, Oligarki, op.cit.. hlm. 18
[19] Michael Ford dan Thomas B Pepinsky, “Melampaui Oligarki? Bahasan Kritis Kekuasaan Politik dan Kesenjangan Ekonomi di Indonesia”, Prisma, Vol. 33 No. 1 Tahun 2014.
[20] Ibid. hlm. 8
[21] Winters, Oligarki, ibid. hlm. 10
[22] Richard Robison dan Vedi R Hadiz, “Ekonomi Politik Oligarki dan Pengorganisasian Kembali Kekuasaan di Indonesia”, Prisma, Vol. 33 No. 1 tahun 2014, hlm. 37