Rizal Assalam, mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI Angkatan 2010 dan Anggota SEMAR UI.
Judul Buku : Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni
Penulis : Nezar Patria dan Andi Arief
Penerbit : Pustaka Pelajar
Tahun : Cetakan III Juni 2009
Tebal : xii + 197 halaman
DALAM esainya mengenai rekonstruksi pemikiran Marx, Martin Suryajaya mengungkapkan adanya suatu penafsiran yang keliru atas pemikiran Marx.[1] Pada satu aspek elaborasinya, Martin menjelaskan bahwa dalam tafsir tradisional terdapat kekeliruan yang memunculkan stereotipe tentang Marx sebagai pemikir yang determistik: bahwa yang-material menentukan yang-mental, bahwa suprastruktur ditentukan sepenuhnya oleh basis. Atas dasar premis tersebut, Martin kemudian berupaya untuk merekonstruksi persoalan determinisme tersebut. Pada pokoknya, dialektika antara basis dan suprastruktur menempatkan basis sebagai suatu prasyarat, bukan penentu. Dengan demikian, Martin kemudian memparafrase postulat basis mendeterminasi suprastruktur menjadi basis mengondisikan suprastruktur.
Persoalan determinisme dalam tafsir tradisional atas pemikiran Marx pada dasarnya merupakan perdebatan yang klasik. Hal ini dapat ditelusuri, misalnya melalui pemikiran Gramsci mengenai hegemoni. Pada dasarnya, tesis tersebut dibangun melalui fondasi rekonstruksi Gramsci atas kerangka pemikiran Marxisme, terutama pada aspek dialektika basis dengan suprastruktur. Posisi Gramsci dalam hal ini, jelas, menolak corak mekanistik, ekonomistik, dan reduksionis. Artinya, perubahan di tingkat basis tidak secara niscaya menentukan suprastruktur secara unik—sambil tetap dengan berpendirian bahwa basis merupakan suatu fondasi pokok atas suprastruktur.
Melalui pengantar di atas, tulisan ini berupaya untuk mengelaborasi lebih lanjut mengenai apa yang dipostulatkan oleh Gramsci sebagai dialektika basis-suprastruktur. Dalam hal ini, tulisan ini akan bersandar pada uraian Patria dan Arief dalam buku “Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni”.[2] Secara garis besar, buku tersebut lebih sebagai suatu pengantar dalam bentuk tinjauan teoretis untuk memahami pemikiran hegemoni Gramsci.[3] Meskipun terbatas sebagai suatu pengantar, signifikansi buku tersebut adalah penempatan kerangka pemikiran Marxisme sebagai bangunan pemikiran Gramsci dalam diskusi awal pada buku tersebut. Artinya, sebelum menjelaskan premis-premis teoretik dalam pemikiran Gramsci, Patria dan Arief memulai terlebih dahulu dengan memaparkan pemikiran Marx sebagai landasan konseptual yang mengawali diskusi soal hegemoni.
Sebagai catatan, elaborasi pada tulisan ini tidak akan menjelaskan pemikiran Gramsci secara komprehensif—seperti elaborasi atas aparatus konseptual hegemoni, misalnya masyarakat sipil dan politik, intelektual tradisional dan organik, nasional kerakyatan, dan seterusnya. Melainkan, dibatasi pada kerangka filosofi yang menjadi pijakan Gramsci dalam merumuskan tesis hegemoni. Kerangka filosofi yang dimaksud, sebagaimana yang dijelaskan pada pengantar di atas, adalah rekonstruksi Gramsci atas postulat dialektika basis-suprastruktur dalam tafsir tradisional.
Untuk menunjang pemahaman mengenai postulat tersebut, tulisan ini akan mengkontekstualisasikan pemikiran Gramsci dengan skema model determinasi dalam kerangka metodologi analisis kelas yang dikembangkan oleh Erik Olin Wright. Di akhir, berdasarkan hasil pembacaan penulis, terlihat bahwa hegemoni dalam konteks ini menjadi variabel yang terlibat dalam dialektika basis-suprastruktur. Dengan ditempatkannya hegemoni dalam kerangka dialektika basis-suprastruktur maka dapat memperjelas postulat basis mengondisikan suprastruktur—bahwa basis tidak secara mekanistik menentukan suprastruktur.
Dialektika Basis-Suprastruktur Sebagai Konteks Hegemoni
Pada bagian ini, titik pijak dalam merekonstruksi determinisme basis-suprastruktur dapat mengacu pada pertanyaan mengenai “mengapa kapitalisme masih bertahan?”, sementara Gramsci berkeyakinan bahwa prakondisi sosial dan ekonomi untuk transisi kepada sosialisme sudah tersedia.[4] Pertanyaan di atas mengemuka ketika menafsirkan secara mekanistik postulat basis mendeterminasi suprastruktur. Sebaliknya dalam pandangan dialektis, Gramsci melihat bahwa keberlangsungan kapitalisme disebabkan saling keterkaitan antara basis dan suprastruktur dalam menentukan perubahan sosial. Artinya, suprastruktur di sini pada gilirannya ikut mempengaruhi suatu perubahan sosial, meskipun terdapat prakondisi sosial-ekonomi yang memungkinkan terjadinya suatu perubahan atas tatanan yang ada.
Proposisi tersebut dibangun atas dasar pengalaman Gramsci sebagai pijakan awal. Secara garis besar, upaya rekonstruksi tafsir tradisional atas pemikiran Marx dilandasi atas pengalaman Gramsci yang melihat kegagalan massa buruh revolusioner yang ditandai oleh kemunculan kekuatan fasisme di bawah Benito Mussollini di Italia. Kegagalan tersebut dalam analisis Gramsci didasari oleh kepemimpinan gerakan yang cenderung reformis dan bersikap pasif dalam memperjuangkan perubahan sosial. Hal ini sebagaimana ungkapan Simon, “bahwa yang tua sedang sekarat dan yang muda belum lahir.”[5] Ungkapan tersebut merefleksikan adanya, di satu sisi, kondisi krisis yang dapat mendorong suatu perubahan sosial, dan di sisi lain ketidaksiapan aktor sosial dalam menanggapi krisis tersebut.
Sikap pasif tersebut pada dasarnya merefleksikan cara pandang yang melihat hubungan basis dengan suprastruktur secara mekanistik. Berdasarkan analisis Gramsci, cara pandang mekanistik cenderung menumbuhkan sikap pasif dengan menunggu keruntuhan ekonomi yang tidak terhindarkan dan hal ini pada gilirannya melemahkan munculnya inisiatif-inisiatif politis dari gerakan buruh.[6] Sikap pasif ini diartikan bahwa kontradiksi internal kapitalisme dianggap akan dengan sendirinya mendorong perubahan menuju sosialisme. Dalam kata lain, sosialisme dianggap sebagai suatu keniscayaan yang akan terwujud dengan sendirinya tanpa diperjuangkan. Hal ini yang kemudian menimbulkan sikap pasif ketika menghadapi suatu krisis karena menganggap krisis tersebut akan dengan sendirinya mengubah kondisi atau tatanan yang ada.
Gramsci kemudian beranjak dari tafsir tradisional pemikiran Marx yang mekanistik di atas dengan memberikan perhatian khusus pada suprastruktur. Gramsci dalam hal ini melihat suprastruktur sebagai faktor aktif—meskipun awalnya suprastruktur tersebut dikondisikan oleh basis. Secara spesifik, Gramsci memberikan tempat khusus bagi gagasan atau kehendak (atau ideologi sebagai komponen suprastruktur) dalam penciptaan tindakan. Artinya, gagasan atau kehendak bukan hanya sekedar refleksi atau sebagai objek pasif yang dibentuk oleh dunia material, melainkan juga sebagai subjek aktif yang bertindak praxis. Hal ini sebagaimana ungkapan bahwa pengetahuan lahir dari praktek dan berkembang atas dasar praktek.[7]
Atas dasar proposisi di atas, maka manusia sebagai agensi tidak hanya sekedar objek pasif dalam hubungannya dengan dunia material yang membentuknya. Sebaliknya, agensi manusia di sini juga bertindak sebagai subyek aktif yang mengubah dunia material melalui praxis. Dengan demikian, faktor politik dan juga ideologi pada derajat tertentu tidak hanya sekedar ditentukan oleh basis ekonomi, melainkan dapat mempengaruhi basis itu sendiri—meskipun dalam batasan-batasan yang telah ditentukan sebelumnya oleh basis. Hal ini yang kemudian menjadi titik pijak Gramsci dalam merumuskan tesis hegemoni.
Secara garis besar, hegemoni berada pada ranah suprastruktur—sebagaimana hegemoni menekankan pada aspek kognisi atau kesadaran (suprastruktur ideologi). Tesis hegemoni pada pokoknya adalah soal ketundukan terhadap kelas yang berkuasa—dalam hal ini kelas borjuis. Ketundukan tersebut merupakan hasil dari kemenangan atas konsensus aktif dari yang-di-atur.[8] Artinya, bentuk kontrol yang dijalankan oleh kelas penguasa dijalankan tidak hanya melalui mekanisme represif, melainkan dalam bentuk penerimaan secara persuasif, atau dalam kata lain melalui konsensus aktif. Dalam hal ini, penulis mengartikan mekanisme tersebut sebagai strategi hegemonik kelas kapitalis.
Konsensus aktif kelas pekerja atas keadaan umum kapitalisme diartikan sebagai adanya pandangan bahwa posisi tinggi yang ada adalah sah (legitimate).[9] Konsensus ini berkembang secara dominan dalam dunia produksi, atau dalam istilah Gramsci hegemoni lahir di dalam pabrik. Dalam Prison Notebooks, khususnya bagian ‘Amerikanisme dan Fordisme’, Gramsci menjelaskan bagaimana kelas borjuis menundukan kelas pekerja melalui pemberian upah tinggi, berbagai insentif-insentif individual, jenjang karir dan propaganda ideologi dan politik.[10] Upaya lainnya adalah melalui kontrol terhadap proses kerja yang terwujud dalam aturan tingkah laku praktis dan perilaku moral. Selain itu, Gramsci juga memberi perhatian pada pendidikan. Pendidikan dalam hal ini tidak menyediakan kemungkinan membangkitkan kemampuan untuk berpikir secara kritis dan sistematis bagi kaum buruh.[11]
Untuk memperjelas tesis hegemoni sebagai ketundukan kelas pekerja atas kelas borjuis dapat mengacu pada penjelasan Althusser mengenai reproduksi kondisi produksi.[12] Kondisi produksi yang dimaksud terdiri dari faktor-faktor produksi dan relasi produksi yang sudah ada—dalam kata lain, pada tingkat basis. Signifikansi reproduksi kondisi produksi adalah untuk mempertahankan keberlangsungan suatu kondisi produksi. Dalam konteks corak produksi kapitalisme misalnya, mempertahankan keberlangsungan kondisi produksi berarti mempertahankan keberlangsungan corak produksi kapitalisme yang eksploitatif.
Reproduksi faktor-faktor produksi terkait dengan 1) reproduksi alat produksi dan 2) reproduksi tenaga kerja (labour power). Dalam relevansinya dengan tesis hegemoni, reproduksi faktor-faktor produksi secara khusus berada pada konteks reproduksi yang disebut terakhir. Reproduksi tenaga kerja tidak hanya terkait pemenuhan kebutuhan material dasar kelas pekerja, misalnya upah, atau reproduksi keahlian teknis atau pengetahuan. Pada konteks ini juga diperlukan reproduksi ketundukan atau kepatuhan (submission) tenaga kerja terhadap aturan-aturan dari tatanan yang sudah mapan, sehingga mereka dapat tunduk kepada dominasi kelas.[13] Reproduksi ketundukan inilah yang menjadi landasan beroperasinya hegemoni.
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa hegemoni pada dasarnya beroperasi pada ranah kesadaran atau kognisi—atau secara luas pada suprastruktur ideologi. Dalam hal ini, jawaban umum atas pertanyaan mengapa kapitalisme masih bertahan adalah karena kelas pekerja menerima keadaan umum kapitalisme. Penerimaan atas keadaan umum kapitalisme inilah yang merupakan refleksi genggaman ideologis kelas borjuis terhadap kelas pekerja.
Secara garis besar, kombinasi dari proposisi-proposisi di atas menciptakan kondisi di mana kelas pekerja kekurangan basis konseptual dalam memahami realitas sosial yang terselubung (underlying). Artinya, pemikiran kelas pekerja tidak memadai untuk menjangkau usaha mencapai kebebasan yang penuh. Hal ini pada gilirannya membentuk keinginan-keinginan, nilai-nilai dan harapan berdasarkan konstruksi kelas yang berkuasa dan pada akhirnya memelihara tatanan kapitalisme yang eksploitatif.
Corak Determinasi dalam Analisis Kelas
Premis-premis hegemoni di atas akan menjadi lebih jelas ketika dikontekstualisasikan dengan analisis kelas yang dikembangkan oleh Erik Olin Wright. Dalam hal ini, analisis kelas mencakup empat elemen.[14] Pertama, formasi kelas (class formation), yaitu pembentukan kelas-kelas (formation of classes) ke dalam aktor-aktor yang terorganisir secara kolektif untuk merealisasikan kepentingan kelas. Kedua, perjuangan kelas (class struggle), yaitu perjuangan atau praktik aktor-aktor yang terorganisir secara kolektif dalam merealisasikan kepentingan kelas. Ketiga, kesadaran kelas (class consciousness), yaitu pemahaman aktor-aktor kelas atas kepentingan kelasnya. Keempat, struktur kelas, yaitu lanskap posisi-posisi kelas yang membentuk suatu struktur yang mana posisi tersebut ditentukan berdasarkan hubungan-hubungan sosial produksi.
Secara garis besar, dapat dipahami bahwa formasi kelas berada pada tingkat basis, yaitu sebagai totalitas dari hubungan-hubungan sosial produksi. Sementara itu, elemen-elemen lainnya (perjuangan, formasi dan kesadaran) berada pada tingkat suprastruktur. Kombinasi atas kedua hal tersebut yang mengkonstitusikan analisis kelas sebagai totalitas kesalinghubungan (interconnections) antara setiap elemen-elemen analisis kelas. Totalitas inilah yang dapat merefleksikan hubungan dialektis antara basis dengan suprastruktur.[15] Hubungan dialektis tersebut dapat dilihat pada skema berikut:
Model Determinasi[16]
Model determinasi dalam hal ini merujuk pada totalitas dialektika dalam bentuk empat corak determinasi (modes of determination)—limitasi, seleksi dan transformasi—yang menghubungkan setiap elemen-elemen analisis kelas.[17] Pertama, limitasi merupakan corak determinasi di mana suatu elemen mengkonstitusikan suatu batasan (limitation) terhadap kemungkinan variasi (possible variation) atas elemen-elemen lainnya. Kedua, seleksi dalam hal ini berfungsi dalam mempersempit ruang lingkup batasan-batasan variasi yang sebelumnya telah dibatasi oleh corak limitasi—atau dalam kata lain limitasi dari limitasi. Ketiga, transformasi merupakan praktik suatu aktor sosial yang mengubah suatu elemen analisis kelas (baik struktur, formasi ataupun kepentingan) dalam batasan-batasan yang ditentukan sebelumnya oleh corak limitasi dan seleksi.
Di samping ketiga corak determinasi di atas, Wright juga menjelaskan mengenai corak determinasi mediasi. Mediasi dalam hal ini merupakan suatu proses sosial yang membentuk konsekuensi-konsekuensi atas proses sosial lainnya. Artinya, proses mediasi menentukan medan (terrain) di mana corak determinasi lainnya beroperasi.[18] Lebih jelasnya, mediasi mempengaruhi proses relasi dalam suatu corak determinasi. Dalam pembacaan penulis, proses mediasi berarti mendistorsi suatu proses sosial. Untuk mempermudah pemahaman tersebut dapat mengacu pada skema berikut:
Model Y memediasi proses sosial X dengan Z
Merujuk pada penjelasan mengenai model determinasi di atas, maka struktur kelas (sebagai basis) merupakan suatu fondasi pokok dalam totalitas dialektika analisis kelas. Artinya, elemen-elemen yang dibatasi oleh struktur kelas tidak dapat bervariasi secara bebas. Dalam kaitannya dengan perjuangan kelas misalnya, limitasi struktur kelas berarti menentukan 1) aktor-aktor potensial yang terlibat dan menentukan 2) kisaran (range) objektif-objektif yang potensial dalam perjuangan kelas.[19] Sementara dalam kaitannya dengan kepentingan kelas, struktur kelas mengkonstitusikan suatu medan (terrain) kepentingan material setiap posisi kelas.
Dalam hal limitasi terhadap kesadaran kelas, struktur kelas mendistribusikan basis struktural atas kepentingan kelas setiap posisi-posisi kelas.[20] Kepentingan kelas yang didistribusikan berdasarkan posisi-posisi dalam struktur kelas pada dasarnya merupakan kepentingan kelas yang objektif. Objektif di sini dalam arti objektif yang bersifat potensial. Sementara itu, objektif yang aktual—dalam arti menjadi objek perjuangan kelas—akan tergantung pada derajat mistifikasi atau distorsi. Artinya, determinasi struktur kelas terhadap kepentingan kelas hanya sejauh bersifat potensial.
Kepentingan kelas dalam hal ini dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu kepentingan mendesak (immediate) dan kepentingan fundamental.[21] Kepentingan mendesak mengkonstitusikan kepentingan-kepentingan yang terdapat di dalam suatu hubungan sosial, misalnya upah, kondisi kerja, tunjangan hidup dan seterusnya. Secara umum, kepentingan mendesak merefleksikan kepentingan-kepentingan pada aspek material-ekonomi. Sementara itu, kepentingan fundamental merupakan kepentingan untuk mempertahankan atau mengubah struktur hubungan sosial itu sendiri. Kepentingan fundamental kelas pekerja misalnya, adalah untuk mengubah struktur hubungan sosial kapitalisme. Keterkaitan antara keduanya menunjukkan bahwa kepentingan mendesak dapat merefleksikan kepentingan “yang belum utuh” ketika tidak diabstraksikan pada kepentingan fundamentalnya. Artinya, hal tersebut merefleksikan pemahaman yang belum utuh mengenai sifat suatu struktur masyarakat tertentu secara keseluruhan.
Kemudian, corak determinasi struktur kelas terhadap formasi kelas, pertama-tama menyaratkan pemahaman atas terminologi kapasitas kelas yang terdiri dari kapasitas struktural dan kapasitas organisasional yang saling berkaitan. Kapasitas struktural kelas dalam hal ini terkait dengan perkembangan struktural suatu corak produksi. Wright mencontohkan hal tersebut dengan merujuk pada perkembangan kapitalisme yang semakin mengonsentrasikan pekerja di dalam pabrik.[22] Perkembangan tersebut kemudian membentuk basis kapasitas struktural yang diistilahkan sebagai pekerja kolektif (collective worker). Pekerja kolektif ini menciptakan secara objektif hubungan saling-ketergantungan (interdependence) setiap individu yang berpotensi untuk menciptakan solidaritas. Potensi solidaritas dalam istilah pekerja kolektif inilah yang menjadi kapasitas struktural kelas pekerja dalam konteks contoh di atas.
Dalam kaitannya dengan kapasitas organisasional, kapasitas struktural di sini berperan dalam membentuk (structuring) kemungkinan-kemungkinan pengorganisasian-diri kelas-kelas. Pengertian kapasitas organisasional itu sendiri merujuk pada hubungan aktual setiap anggota kelas dalam suatu bentuk organisasi, misalnya serikat pekerja. Kapasitas organisasional pada umumnya menghubungkan pekerja dengan perjuangan atas kepentingan-kepentingan ekonomi mendesak. Dalam hal ini, kekuatan dan bentuk suatu organisasi kelas pada titik tertentu tergantung pada perkembangan kapasitas organisasional dalam kaitannya dengan kapasitas struktural kelas. Lebih jelasnya, kekuatan atau bentuk suatu formasi kelas tergantung dari sejauh mana formasi kelas tersebut dapat memanifestasikan kapasitas struktural melalui kapasitas organisasionalnya.
Sampai pada titik ini terlihat bahwa struktur kelas merupakan titik pijak dalam memahami totalitas analisis kelas. Meskipun struktur kelas merupakan suatu fondasi pokok analisis kelas, namun tidak berarti struktur kelas tersebut terisolir. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, perjuangan kelas memiliki watak transformatif atas keseluruhan analisis kelas itu sendiri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Wright dengan mengacu pada postulat bahwa Marxisme pada dasarnya merupakan teori mengenai perjuangan kelas.[23] Dengan merujuk pada model determinasi di atas, maka terlihat bahwa perjuangan kelas dalam dialektikanya dengan elemen-elemen analisis kelas lainnya dapat mentransformasikan, secara fundamental, struktur kelas itu sendiri. Singkatnya, pada hakikatnya perjuangan kelas dalam dialektika basis-suprastruktur menjadi penentu atas keberlangsungan atau pengubahan atas struktur kelas.[24]
Hegemoni dalam Kerangka Dialektika Basis-Suprastruktur
Bagian ini merupakan pokok utama pada tulisan ini. Lebih jelasnya, pada bagian ini penulis mencoba untuk melakukan sintesis atas dua uraian sebelumnya, yaitu dengan melihat hegemoni dalam kerangka dialektika basis-suprastruktur. Penempatan hegemoni dalam kerangka tersebut secara spesifik mengacu pada model determinasi pada skema analisis kelas yang telah diuraikan sebelumnya. Pada penjelasan selanjutnya akan terlihat bahwa hegemoni dalam kerangka dialektika basis-suprastruktur memediasi proses sosial determinasi.
Kata kunci pokok dalam memahami skema model determinasi pada penjelasan sebelumnya, khususnya pada aspek struktur kelas, adalah “potensi”. Dalam penjelasan mengenai corak determinasi limitasi struktur kelas terhadap kapasitas struktural misalnya, struktur kelas tidak secara unik menentukan bentuk aktual atau pengejawantahan kapasitas struktural kelas melalui bentuk formasi kelas. Sebagai contoh, basis struktural solidaritas kelas pekerja yang terkonsentrasi bisa jadi tidak termanifestasikan ketika kelas borjuis melakukan strategi hegemonik untuk mereduksi solidaritas itu sendiri, misalnya melalui penciptaan hierarki jabatan, struktur privilese, promosi dan lainnya.[25] Artinya, meskipun basis struktural kelas pekerja yang terkonsentrasi memungkinkan suatu bentuk formasi kelas, misalnya dalam bentuk serikat, namun bisa saja formasi kelas tersebut tidak terbentuk sama sekali.
Contoh lainnya dapat merujuk pada perjuangan kelas. Ketika hegemoni kelas borjuis dapat membatasi perjuangan kelas hanya sebatas pada kepentingan ekonomistis, maka dapat dikatakan tidak ada ancaman yang fundamental bagi kelas borjuis. Hal ini ketika tidak ada upaya atau bahkan kesadaran untuk mengubah struktur kelas yang eksploitatif—yang menjadi landasan persoalan-persoalan ekonomistis. Tuntutan kenaikan upah misalnya, dalam derajat tertentu justru dapat menjaga keberlangsungan tatanan kapitalisme yang mendasarkan dirinya pada sistem kerja upahan ketika tuntutan itu sendiri hanya direduksi sebatas persoalan besaran upah.
Dengan demikian, perlu digarisbawahi bahwa struktur kelas pada dasarnya mendistribusi basis struktural atas elemen-elemen analisis kelas lainnya dan sebatas bersifat potensi. Sementara itu, penentuan aktual atas, misalnya perjuangan kelas, akan tergantung pada faktor-faktor kontingen yang berada di luar proses sosial determinasi. Pada titik inilah hegemoni menjadi relevan. Hal ini dalam arti bahwa hegemoni memediasi proses sosial determinasi.
Dalam kontekstualisasi dengan model determinasi pada penjelasan sebelumnya, strategi hegemonik kelas borjuis dalam hal ini memediasi secara simultan corak determinasi struktur kelas terhadap kesadaran kelas, formasi kelas dan pada gilirannya perjuangan kelas. Sejauh hegemoni kelas borjuis dapat membatasi kerangka pemahaman kelas pekerja atas kepentingan fundamentalnya—dalam kata lain mereduksinya hanya sebatas kepentingan-kepentingan mendesak—maka manifestasinya dalam perjuangan kelas pada akhirnya hanya akan berkisar pada isu-isu ekonomistik tanpa menjangkau persoalan yang lebih fundamental. Persoalan fundamental yang dimaksud yaitu penempatan struktur kelas itu sendiri sebagai objek perjuangan kelas yang mendasari persoalan-persoalan ekonomistis—sebagaimana perjuangan kelas secara fundamental merupakan perjuangan atas struktur kelas.
Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa hegemoni memediasi proses sosial determinasi. Berdasarkan pembacaan penulis, hal tersebut berarti mendistorsi manifestasi berbagai basis struktural kelas pekerja, baik pada aspek kapasitas struktural atau kepentingan fundamental—yang pada dasarnya menyediakan prakondisi sosial atas perjuangan kelas untuk mengubah struktur kelas yang eksploitatif. Penempatan hegemoni sebagai mediasi inilah yang menjadi basis penjelasan atas pertanyaan mengapa kapitalisme dapat bertahan, yaitu perjuangan kelas yang ada sejauh ini belum dapat menjangkau persoalan yang lebih fundamental, yaitu tatanan kapitalisme itu sendiri.
Meskipun demikian, persoalan-persoalan yang mengemuka pada konteks tulisan ini bukan berarti suatu hal yang tidak dapat dilampaui. Pelampauan atas persoalan tersebut, sekali lagi, menyaratkan kerangka pikir yang dialektis. Dalam hal ini, Gramsci merumuskan tesis hegemoni tandingan (counter-hegemony). Pada pokoknya, hegemoni tandingan merupakan strategi transformasi kesadaran politik.[26] Dalam penjelasan Gramsci, transformasi yang dimaksud adalah “reformasi moral dan intelektual”—perubahan yang, pertama-tama, menekankan pada aspek kognisi. Secara spesifik, transformasi kesadaran politik berarti melampaui kepentingan-kepentingan ekonomistis dengan menargetkan perjuangan pada tatanan struktural.
Tesis hegemoni tandingan inilah yang merefleksikan rekonstruksi Gramsci atas tafsir tradisional determinasi basis-suprastruktur. Artinya, suprastruktur dalam batasan-batasan yang telah dikondisikan sebelumnya dapat mentransformasikan basis melalui praxis. Suprastruktur yang dimaksud di sini merupakan aspek ideologi (wilayah kognisi atau kesadaran) dan politik (aksi-aksi atau tindakan merebut kekuasaan). Rekonstruksi ini akan menjadi lebih jelas ketika dikontekstualisasikan dengan watak transformatif perjuangan kelas.
Secara garis besar, upaya mengatasi sikap pasif sebagai implikasi dari cara pandang yang mekanistik adalah melalui praxis politik-ideologis. Hal inilah yang menjadi sumbangan penting Gramsci dalam upaya merekonstruksi tafsir tradisional determinasi basis-struktural. Sumbangan tersebut adalah bahwa Gramsci memberikan tempat khusus bagi praxis (perjuangan kelas)—yang diistilahkan sebagai keutamaan politik (the primacy of politics)—sebagai bentuk corak determinasi suprastruktur terhadap basis. Artinya, perubahan di tingkat basis hanya dapat dimungkinkan ketika perubahan itu sendiri diperjuangkan melalui perjuangan kelas—atau yang diistilahkan sebagai hegemoni tandingan.
Dengan demikian, rekonstruksi atas tafsir tradisional determinisme basis-struktural, dengan mengacu pada kontekstualisasi tesis hegemoni dengan model determinasi skema analisis kelas, pada dasarnya terdiri dari dua premis. Pertama, basis tidak secara mekanistik menentukan suprastruktur, melainkan mendistribusikan basis struktural atau mengkonstitusikan batasan-batasan yang memungkinkan suprastruktur (watak limitasi). Dalam kerangka tersebut, bentuk aktual dari suprastruktur akan tergantung pada faktor-faktor kontingen yang berada di luar proses sosial determinasi. Pada titik ini yang kemudian menempatkan hegemoni sebagai faktor kontingen yang mendistorsi manifestasi basis struktural—sebagai prakondisi sosial perubahan di tingkat basis—ke dalam wilayah suprastruktur.
Kedua, suprastruktur tidak hanya objek pasif yang dibentuk oleh basis. Sebaliknya, suprastruktur dalam batasan tertentu dapat mengubah basis melalui praxis (perjuangan kelas) yang pada dasarnya memiliki watak transformatif. Signifikansi premis kedua ini berkaitan dengan kritik terhadap sikap pasif aktor-aktor progresif dalam menghadapi suatu prakondisi-prakondisi sosial dan ekonomi yang memungkinkan suatu perubahan fundamental. Artinya, perubahan-perubahan di tingkat basis hanya dapat terjadi ketika diperjuangkan melalui praxis, yaitu perjuangan ideologis-politis (wilayah suprastruktur). Premis inilah yang menjadi sumbangan penting Gramsci, bahwa Gramsci tidak hanya berhenti pada corak determinasi basis terhadap suprastruktur, melainkan melihat hubungan-balik suprastruktur terhadap basis.
Penyimpul: Berjuang untuk Sosialisme
Arti penting rekonstruksi tafsir tradisional determinisme basis-suprastruktur adalah penekanannya pada praxis perjuangan kelas. Maka menjadi jelas, bahwa sosialisme bukan merupakan “berkah yang turun dari langit,” melainkan ia harus diperjuangkan. Sikap pasif yang menganggap bahwa suatu perubahan sosial akan dengan sendirinya terjadi ketika prakondisi sosial dan ekonomi telah tersedia tidak akan berarti apapun ketika prakondisi tersebut tidak ditindaklanjuti oleh praxis.
Dalam kerangka pikir Gramsci, hal tersebut menyaratkan distribusi pengetahuan untuk mengungkapkan realitas sosial yang terselubung di balik fenomena-fenomena di permukaan. Hal ini sebagaimana dijelaskan Gramsci mengenai “reformasi moral dan intelektual,” yaitu suatu transformasi kesadaran politik yang melampaui kepentingan-kepentingan mendesak. Transformasi tersebut menjadi penting untuk melawan hegemoni borjuis, yaitu membebaskan massa rakyat pekerja dari keterpesonaan kapitalisme.
Melawan hegemoni borjuis pada dasarnya berarti membuang anggapan-anggapan bahwa kapitalisme merupakan kondisi alamiah, bahwa “there is no alternative”. Sementara membangun hegemoni tandingan berarti menyatakan bahwa “there is alternative”. Artinya, melawan hegemoni borjuis menyaratkan perlawanan atas fondasi yang melandasi beroperasinya kapitalisme. Dalam kaitannya dengan perjuangan kelas misalnya, hal tersebut menyaratkan pelampauan perjuangan atas kepentingan-kepentingan mendesak.
Dalam hal ini penulis memahami bahwa kepentingan mendesak bukan berarti tidak perlu dipenuhi. Ia disebut mendesak karena sifatnya yang harus disegerakan untuk dipenuhi. Namun, hal tersebut akan menjadi bermasalah ketika ia direduksi hanya sebatas pada isu-isu material-ekonomi.
Dengan demikian, dalam pandangan penulis ketika kelas pekerja melakukan demonstrasi misalnya, tuntutan yang perlu diperjuangkan tidak lagi sebatas kenaikan upah, melainkan tuntutan kolektivisasi alat-alat produksi. Sebab, tuntutan kenaikan upah itu sendiri ketika tidak dilampaui pada akhirnya dapat menjaga keberlangsungan sistem kerja upahan yang menjadi landasan beroperasinya kapitalisme. Sebaliknya, tuntutan kolektivisasi alat-alat produksi pada dasarnya merupakan upaya untuk mendekonstruksi struktur kelas yang eksploitatif. Maka, bagi penulis, perjuangan atas tuntutan kolektivisasi alat-alat produksi sebagai wujud tertinggi dari perjuangan kelas inilah yang menjadi jalan menuju sosialisme.
Penulis dapat ditemui di twitland dengan ID @rizalassalam
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis, Cultural Studies, (Olsy Vinoli Arnof, Penerjemah), Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
Patria, Nezar dan Andi Arief. Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Simon, Roger. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. (Kamdani dan Imam Baehaqi, Penerjemah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Suryajaya, Martin. “Menalar Marx”, Indoprogress 8 Oktober 2014. Diakses pada tanggal 8 Oktober 2014 pukul 09.10 WIB. <https://indoprogress.com/2014/10/menalar-marx>.
Wright, Erik Olin, dkk., The Debate on Classes, London and New York: Verso, 1989.
Wright, Erik Olin. Class, Crisis and The State, London and New York: Verso, 1978.
______________. Classes. London: Verso, 1985.
[1] Martin Suryajaya, Menalar Marx. [internet]. Diakses dari https://indoprogress.com/2014/10/menalar-marx pada 8 Oktober 2014.
[2] Nezar Patria dan Andi Arief, Antonio Gramsci Negara dan Hegemoni, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
[3] Uraian lain yang memberikan pengantar atas pemikiran hegemoni dapat merujuk pada Roger Simon, Gagasan-Gagasan Politik Gramsci, (Kamdani dan Imam Baehaqi, Penerjemah), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
[4] Lihat Nezar Patria dan Andi Arief, op. cit., hlm 13.
[5] Lihat Roger Simon, op. cit., hlm 49.
[6] Ibid., hlm 6.
[7] Sebagaimana dikutip dari Nezar Patria dan Andi Arief, op. cit., hlm 73.
[8] Sebagaimana dijelaskan oleh Gramsci, bahwa “…kelas yang berkuasa tak cuma membenarkan dan memelihara dominasinya, tapi mengatur untuk memenangkan konsensus aktif dari yang diatur.” Dikutip dari ibid., hlm 13.
[9] Ibid., hlm 126.
[10] Lihat Roger Simon, op. cit., hlm 124.
[11] Nezar Patria dan Andi Arif, op. cit., hlm 127.
[12] Uraian lengkapnya lihat Louis Althusser, Tentang Ideologi: Strukturalisme Marxis, Psikoanalisis, Cultural Studies, (Olsy Vinoli Arnof, Penerjemah), Yogyakarta: Jalasutra, 2010.
[13] Ibid, hlm 9.
[14] Lihat Erik Olin Wright, dkk., The Debate on Classes, London and New York: Verso, 1989, hlm 271.
[15] Meskipun dialektika yang mengkonstitusikan analisis kelas dalam model determinasi merefleksikan hubungan basis-suprastruktur, namun bukan berarti hal tersebut merefleksikan keseluruhan hubungan basis-suprastruktur. Terdapat berbagai elemen suprastruktur yang belum terlingkupi dalam model determinasi di sini, seperti negara atau budaya. Dalam konteks tulisan ini, hegemoni itu sendiri, sebagai suprastruktur ideologi, berada di luar proses sosial pada model determinasi. Meskipun demikian, sebagaimana akan ditunjukkan dalam tulisan ini, hegemoni ikut terlibat dalam proses sosial tersebut sebagai faktor kontingen.
[16] Lihat Erik Olin Wright, Classes, London: Verso, 1985, hlm 30. Dalam sumber aslinya, corak determinasi struktur kelas terhadap perjuangan kelas adalah seleksi. Namun setelah penulis verifikasi dengan merujuk pada penjelasan Wright lebih lanjut, pada dasarnya corak determinasi struktur kelas terhadap perjuangan kelas adalah limitasi. Penulis menduga adanya kesalahan penulisan keterangan dalam skema model determinasi pada sumber aslinya. Selain itu, skema tersebut sedikit dimodifikasi dengan menambahkan elemen kapasitas organisational kelas dan kapasitas struktural di dalam formasi kelas dengan merujuk pada Erik Olin Wright, Class, Crisis and The State, London and New York: Verso, 1978, hlm 104.
[17] Lihat Erik Olin Wright, op. cit., 1985, hlm 29-30.
[18] Dalam penjelasan aslinya, mediasi “… defines a mode of determination in which a given social process shapes the consequences of other social processes… processes of mediation determine the terrain on which other modes of determination operate.”. Lihat Erik Olin Wright, op. cit., 1978, hlm 23.
[19] Ibid., 102. Potensial di sini dalam arti bahwa penentuan aktualnya melibatkan faktor-faktor kontingen.
[20] Mengenai premis tersebut Wright menjelaskan, bahwa “class structure … constitute the basic mechanism for distributing … capacities to act”. Dengan demikian, kata kunci untuk melihat corak determinasi struktur kelas adalah ‘distribusi kapasitas’. Artinya, struktur kelas mendistribusikan basis struktural kapasitas bagi setiap posisi kelas. Lihat Erik Olin Wright, op. cit., 1985, hlm 28.
[21] Lihat ibid., hlm 88-90
[22] Lebih lanjut lihat Erik Olin Wright, op. cit.,1978, hlm 99.
[23] Sebagaimana dikutip oleh Wright dalam ibid., hlm 98.
[24] Atau dalam artian yang lebih luas mengubah hubungan-hubungan sosial produksi dalam suatu tatanan masyarakat.
[25] Wright sebagaimana mengutip Katherine Stone, lihat Erik Olin Wright, op. cit., 1979, hlm 100.
[26] Lihat Roger Simon, op. cit., hlm 84