Bayu Baskoro F, Mahasiswa Ilmu Sejarah UI dan Anggota SEMAR UI
Judul buku: Why Marx Was Right
Penulis: Terry Eagleton
Penerbit : Yale University Press, 2011
Tebal: 239 halaman
DARI beberapa diskusi dengan kawan-kawan saya di kampus, banyak yang mengira Marxisme sudah habis relevansinya dan tidak dapat digunakan kembali dalam suatu pemerintahan. Kesimpulan ini muncul karena mayoritas menganggap bahwa dengan hancurnya negara-negara komunis di dunia, khususnya hancurnya kedigdayaan Uni Soviet di tahun 1992, maka Marxisme telah gagal dalam pengaplikasiannya di dalam suatu sistem pemerintahan. Dengan kata lain, ada yang salah di dalam Marxisme sebagai suatu ajaran dan ideologi. Selain ideologi yang dianggap telah berakhir, banyak mitos lain yang muncul di masyarakat terkait Marxisme. Misalnya, sering kita dengar bahwa cita-cita Marxisme akan masyarakat komunis adalah utopis; Marx mereduksi segalanya ke dalam tatanan ekonomi semata; Marxisme menghilangkan nilai spiritualitas dan lain-lain.
Dalam selimut kabut mitos Marxisme inilah Terry Eagleton menulis karyanya: Why Marx was Right ini. Eagleton, kritikus sastra sekaligus Marxis asal Inggris, juga mendapati permasalahan yang sama terkait mitos-mitos seputar Marxisme. Di dalam buku ini Eagleton mendapati 10 pertanyaan, mitos dan kritik terhadap pemikiran Marx. Terry Eagleton berusaha menghadirkan mitos-mitos tersebut dan menjawabnya satu per satu berdasarkan analisa dan pembacaannya terhadap sejarah dan argumentasi yang beroposisi terhadap mitos tersebut. Setiap bab yang dituliskan di buku ini merupakan pertanyaan dan jawaban atas mitos-mitos dan pertanyaan seputar Marxisme.
Pemikiran Utopis
Salah satu kritik yang cukup populer terhadap Marxisme adalah ia dianggap sesuatu yang utopis. Marxisme dianggap mempercayai adanya kemungkinan kondisi masyarakat yang sempurna. Padahal, pada hakikatnya manusia itu hidup dalam kompetisi, agresif dan egois, sesuai dengan sifat manusia sebagai kendaraan bagi gen untuk bersaing satu sama lain agar dapat bertahan hidup dan menuju eksistensi yang abadi. Hal tersebut sangat berbeda dari pandangan Marxisme yang tidak menghendaki adanya persaingan, sifat egois, ketiadaan kepemilikan pribadi, kompetisi maupun ketidaksetaraan. Manusia akan mencapai kehidupan yang harmonis satu sama lain dan keinginan akan material akan berakhir (p. 64).
Penggunaan kata utopia sendiri cukup menarik untuk diperhatikan. Salah seorang Marxis asal Inggris, William Morris, menuliskan makna utopia di dalam Newsfrom Nowhere yang tidak seperti hampir setiap kerja para utopia lai. Di sana Morris menunjukkan detail bagaimana proses perubahan politik kelak. Marx sendiri menunjukkan sedikit minat tentang masa depan seperti faktanya, karena itu ia tidak menunjukkan dengan detail bagaimana masyarakat sosialis atau komunis akan dibangun. Mungkin para kritikus menuduhnya atas ketidakjelasan tersebut. Tetapi sebagai seorang materialis, Marx berhati-hati akan ide tentang masa depan yang justru terpisah dari realitas sejarah. Poin yang ditekankan oleh Marx bukanlah bermimpi tentang masa depan yang ideal, tetapi untuk menyelesaikan kontradiksi yang ada di masa sekarang. (p. 68). Hal ini dengan jelas dinyatakan Marx dalam The German Ideology, bahwa komunisme bukanlah ‘kondisi yang ideal dimana realitas harus menyesuaikan diri.’[1] Sebaliknya, ia memandang komunisme sebagai ‘gerakan nyata yang menghapuskan kondisi sekarang.’[2]
Jadi, apakah Marx seorang pemikir utopis? Ya, jika hal ini berarti bahwa ia membayangkan masa depan yang akan menjadi kemajuan besar dibandingkan pada saat ini. Dia percaya pada akhir dari kepemilikan pribadi, eksploitasi, kelas sosial dan negara seperti yang kita tahu saat ini dan hadirnya kesetaraan bagi semua orang. Kesetaraan yang sesungguhnya yang bukan berarti memperlakukan semua orang sama, tapi menghadirkan kesetaraan kepada kebutuhan yang berbeda untuk setiap orang. Ini adalah jenis masyarakat yang Marx bayangkan kedepannya. Kebutuhan manusia tidak semua sepadan dengan satu sama lain. Anda tidak bisa mengukur mereka semua dengan ukuran yang sama. Semua orang bagi Marx memiliki hak yang sama untuk realisasi diri, dan untuk berpartisipasi aktif dalam membentuk kehidupan sosial (p.104).
Ekonomi dan Spiritualitas
Marxisme juga dianggap terlalu deterministik: segala laku kehidupan adalah merupakan refleksi dari kegiatan ekonomi. Benarkan demikian?
Di satu sisi, klaim bahwa segala sesuatu merujuk kepada ekonomi merupakan kebenaran yang tak dapat disangkal. Marx dalam tulisannya di The German Ideology menulis bahwa aksi sejarah pertama merupakan produksi untuk memenuhi kebutuhan material manusia. Basis dari kebudayaan adalah perburuhan, tidak mungkin ada masyarakat tanpa produksi material. Marxisme menginginkan klaim lebih dari itu, Marxisme menginginkan perdebatan bahwa produksi material adalah hal yang fundamental, tidak hanya dalam klaim bahwa masyarakat tidak ada tanpa produksi material melainkan hal tersebut juga yang akhirnya menentukan dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang kemudian dikenal dengan Materialisme Historis. Masyarakat tentu saja harus dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka terlebih dahulu, dan dengan demikian merupakan aktivitas ekonomi, sebelum akhirnya berkembang ke aspek-aspek lainnya seperti berkebudayaan dan bereproduksi.
Eagleton menulis bahwa hanya ekonomi sebagai ide terdekat yang akan membawa kita masuk ke dalam ruang ekonomi. Dengan cara mengatur kembali sumber kapitalisme dengan penuh pertimbangan, sosialisme bisa mengikuti ekonomi dan tidak akan menguap melainkan akan menjadi yang paling menonjol. Marx juga menginginkan sebuah masyarakat dimana aktivitas ekonomi tidak lagi memonopoli begitu banyak waktu dan energi (p. 126). Kerja, sebagai bentuk konkret dalam aktivitas ekonomi, bagi Marx, adalah tentang kebahagiaan manusia. Kebaikan hidup untuk Marx adalah untuk waktu luang. Pembebasan diri adalah pola seharusnya dari ‘produksi,’ bukan sesuatu yang memaksa. Waktu luang tentunya dibutuhkan jika manusia ingin mengerjakan urusan mereka, berekspresi sedemikian rupa, berkebudayaan, dan lain sebagainya.
Sebagai seorang yang materialis, Marx memercayai materi sebagai satu-satunya yang eksis. Kritik yang muncul kemudian adalah bahwa Marxisme tidak memiliki ketertarikan pada aspek spiritual dalam kemanusiaan dan melihat kesadaran manusia hanya sebagai refleksi dari dunia material. Marx secara brutal menafikan agama dan memandang moralitas sebagai pertanyaan akan pembenaran; Marxisme mengosongkan kemanusiaan dan aspek berharga di dalamnya, mengecilkannya ke dalam bagian kecil gumpalan-gumpalan yang bergantung kepada lingkungan, demikian para kritikus berkata. Problem, demikian dalam buku Eagleton, ini harus ditempatkan dalam konteksnya. Sebagai salah satu buah pikiran yang paling modern, Marx terutama alergi terhadap ide-ide khayalan. Abstraksi menurut pemikiran Marx adalah sederhana dan tidak menarik, berbeda dengan sifat konkrit yang kaya dan kompleks.
Memang benar dikatakan bahwa Marx cukup sering mencela moralitas–sebagai bentuk paling nyata dari spiritualitas–namun ia memahami jenis penelitian sejarah yang mengabaikan faktor-faktor material tetapi mendukung faktor moralitas. Istilah yang pantas untuk ini bukan moralitas tapi moralisme. Moralisme abstrak merupakan sesuatu yang disebut sebagai ‘nilai-nilai moral’ dari seluruh sejarah dimana mereka diatur dan kemudian hasilnya digunakan untuk menjatuhkan penilaian moral mutlak. Penyelidikan moral yang sesungguhnya adalah menyelidiki semua aspek dari situasi manusia. Penyelidikan tersebut menolak untuk menceraikan nilai-nilai kemanusiaan, perilaku, hubungan dan kualitas karakter dari keadaan sosial dan kekuatan-kekuatan sejarah yang membentuk mereka. Dengan demikian, penyelidikan tersebut dapat memilah perbedaan antara pertimbangan moral di satu sisi dan analisis ilmiah di sisi lain. Sebuah penilaian moral yang benar perlu memeriksa semua fakta yang relevan seketat mungkin. Dalam hal ini, Marx sendiri adalah seorang moralis yang benar di tradisi Aristoteles, meskipun ia tidak selalu tahu bahwa dia termasuk salah satu diantaranya. Moralitas untuk Marx, tulis Eagleton, pada akhirnya adalah tentang tentang menikmati diri sendiri; tetapi karena tidak ada yang bisa menjalani kehidupan mereka yang terisolasi, moral harus melibatkan politik juga. Spiritual memang tentang dunia lain. Tapi itu bukan dunia lain yang sama seperti bayangan para agamawan. Spiritual adalah dunia lain dimana sosialisme terbangun di masa depan.
Marx sendiri, bagaimanapun, menganggap pemikiran tentang moralitas semacam ini benar-benar ideologis. Untuk satu hal, pemikiran tersebut mengurangi kondisi pasif manusia terhadap keadaannya. Pikiran mereka dipandang sebagai lembaran kosong, di mana mereka menerima tayangan sensorik dari dunia luar material, dan dari tayangan ini mereka membentuk ide-ide mereka. Jika tayangan ini bisa, entah bagaimana, dimanipulasi untuk menghasilkan jenis ide yang “benar,” manusia bisa membuat kemajuan yang stabil menuju tingkat kesempurnaan sosial. Melalui ide untuk dapat mengubah realitas, mereka berharap memiliki cara untuk mempengaruhi perilaku orang-orang biasa. Bagi Eagleton, sulit untuk percaya bahwa Marx dapat berpikiran materialisme seperti ini (p.129).
Pemikiran Marx akan Kelas
Argumen serangan terhadap Marxisme kembali timbul: tidak ada yang lebih usang tentang Marxisme dibandingkan obsesi membosankan tentang kelas. Bagi para kritikus, Marxis tampaknya tidak menyadari bahwa lanskap kelas sosial telah berubah, bahkan pada masa ketika Marx sendiri masih hidup. Dalam kondisi tertentu, kelas pekerja yang mereka bayangkan akan mengantar mereka menuju sosialisme telah menghilang hampir tanpa jejak. Kini, kita hidup dalam dunia di mana kelas menjadi semakin tidak penting, di mana ada mobilitas sosial dan di mana pembicaraan perjuangan kelas adalah hal yang kuno. Kelas Pekerja revolusioner, seperti orang fasik yang bertopi kapitalis, adalah isapan jempol dari imajinasi Marxis (p. 160).
Marxisme tidak mendefinisikan kelas dalam hal gaya, status, pendapatan, aksen, atau pekerjaan. Konsep Amerika kuno misalnya, menunjukkan konsep kelas sebagian besar merupakan masalah tentang sikap. Tapi, Marxisme bukanlah pertanyaan akan sikap. Kelas menurut Marxisme, bukanlah suatu hal bagaimana Anda merasa tapi apa yang Anda lakukan. Ini adalah pertanyaan tentang di mana Anda berdiri dalam moda produksi, baik sebagai budak, petani wiraswasta, pertanian penyewa, pemilik modal, pemodal, pemilik kecil atau sebagainya.
Jika Marxisme begitu memperhatikan konsep kelas, hal itu karena
ia ingin melihat latar belakang itu. Marx sendiri tampaknya melihat kelas sosial sebagai bentuk keterasingan. Untuk memanggil laki-laki atau perempuan hanya sebagai kelas “pekerja” atau “kapitalis” adalah untuk mengubur individualitas mereka di bawah labelisasi yang tak terlihat. Tapi itu adalah bentuk keterasingan yang dapat dihancurkan hanya dari dalam. Hanya dapat berjalan melalui kelas dan menerimanya sebagai realitas sosial yang tidak dapat dihindari, permasalahan itu dapat dibongkar.
Marx menyatakan bahwa konsentrasi kelas pekerja di pabrik-pabrik merupakan prasyarat emansipasi politik mereka. Dengan membawa kelas pekerja bersama-sama bersatu untuk tujuan kepentingan mereka, kapitalisme akan menciptakan kondisi dimana mereka bisa mengorganisir diri secara politik. Hal yang tentu tidak terpikirkan di dalam pikiran para penguasa. Kapitalisme tidak dapat bertahan hidup tanpa kelas pekerja, sedangkan kelas pekerja dapat berkembang jauh lebih bebas tanpa kapitalisme. Mereka yang tinggal di daerah kumuh kota-kota besar di dunia tidak terorganisir di titik produksi, tetapi tidak ada alasan untuk menganggap bahwa ini adalah satu-satunya tempat di mana berbagai halangan dan permasalahan dapat bersekongkol untuk mengubah situasi mereka. Seperti kaum proletariat klasik mereka ada sebagai kolektif, memiliki keinginan yang sangat kuat akan berlalunya tatanan dunia saat ini. Keinginan tersebut tidak akan merugikan kelas pekerja selain hancurnya rantai belenggu mereka sebagaimana dikatakan dalam Manifesto Komunis.
Revolusi dan Negara
Pengritik Marxisme kembali mengajukan argumen bahwa kaum Marxis adalah para advokat dari tindakan politik menggunakan kekerasan. Mereka menolak pemikiran moderat atau reformasi demi revolusi yang penuh kekacauan dan berlumuran darah. Segelintir pemberontak akan bangkit, menggulingkan negara dan memaksakan kehendaknya kepada mayoritas.
Ide dari sebuah revolusi biasanya membangkitkan gambar kekerasan dan kekacauan. Dalam hal ini, dapat dibandingkan dengan reformasi sosial, yang kita cenderung berpikir sebagai damai, moderat dan bertahap. Hal ini, bagaimanapun, adalah perlawanan palsu. Banyak reformasi telah melakukan apapun secara damai. Lantas, pikirkan kembali gerakan hak-hak sipil Amerika Serikat yang jauh dari revolusioner, namun melibatkan banyak kematian, pemukulan, pembunuhan tanpa pengadilan dan represi brutal. Dalam kolonial yang mendominasi Amerika Latin pada abad kedelapan belas dan abad kesembilan belas, setiap upaya reformasi liberal memicu kekerasan konflik sosial.
Terry Eagleton kemudian memberikan bukti bahwa pada beberapa revolusi, sebaliknya, relatif berjalan dengan damai. Tidak banyak orang tewas dalam pemberontakan Dublin dari tahun 1916, dimana revolusi bertujuan menghasilkan kemerdekaan parsial untuk Irlandia. Anehnya lagi, sedikit darah tertumpah dalam revolusi Bolshevik tahun 1917. Faktanya, pengambilalihan titik kunci di Moskow dicapai tanpa adanya tembakan dikeluarkan. Sangat menakjubkan melihat dukungan yang begitu kuat dari masyarakat umum kepada kaum pemberontak. Ketika sistem Soviet jatuh lebih dari tujuh puluh tahun kemudian, negeri dengan daratan luas yang memiliki sejarah dan konflik runtuh tanpa banyak terjadi pertumpahan darah dari pada ketika Soviet berdiri. Memang benar bahwa perang sipil berdarah mengikuti langkah revolusi Bolshevik. Tapi hal ini terjadi karena tatanan sosial baru diserang secara buas dari kekuatan sayap kanan serta para penyerbu asing. Pasukan Inggris dan Perancis turun mendukung pasukan kontrarevolusioner melawan kaum Bolshevik (p.180)
Bagi Marxisme, revolusi tidak ditandai dengan berapa banyak kekerasan. Rusia tidak bangun pada pagi hari setelah revolusi Bolshevik untuk kemudian menemukan semua hubungan pasar dihapuskan dan semua industri menjadi milik publik. Sebaliknya, pasar dan kepemilikan pribadi bertahan untuk waktu yang cukup setelah Bolshevik merebut kekuasaan. Partai sayap kiri mengambil garis yang sama dengan kaum tani. Tidak ada pertanyaan kaum revolusioner mengarahkan mereka ke pertanian kolektif secara paksa; sebaliknya, proses itu dilakukan secara bertahap dan konsensual. Revolusi biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk timbul, dan memakan waktu berabad-abad untuk mencapai tujuan mereka. Kelas menengah Eropa tidak menghapuskan feodalisme hanya dalam waktu satu malam. Perebutan politik adalah urusan untuk jangka pendek; mengubah kebiasaan, lembaga dan sifat masyarakat membutuhkan waktu lebih banyak lagi. Hal tersebut melibatkan proses panjang pendidikan dan perubahan budaya.
Marx sendiri tampaknya percaya bahwa di negara-negara seperti Inggris, Belanda dan Amerika Serikat, sosialis mungkin mencapai tujuan mereka dengan cara damai. Marx tidak menampik parlemen atau reformasi sosial. Dia juga berpikir bahwa partai sosialis bisa mendapat kekuatan hanya dengan dukungan dari mayoritas kelas pekerja. Marx adalah seorang yang antusias akan hadirnya organ reformis seperti partai politik kelas pekerja, perdagangan serikat pekerja, asosiasi budaya dan koran politik. Selain itu, Marx juga berbicara untuk langkah-langkah reformis tertentu seperti pemendekan jam kerja. Bahkan, pada satu titik ia dianggap agak optimis bahwa hak pilih universal akan melemahkan sendiri kekuasaan kapitalis.
Pada bab berikutnya dari buku ini, kritik muncul kembali dengan pandangan bahwa Marxisme percaya akan sebuah negara yang sangat kuat. Setelah dihapuskannya kemilikan pribadi, kaum revolusioner sosialis akan memerintah dengan kekuasaan yang sewenang-wenang, dan kekuatan yang akan mengakhiri kebebasan individu. Hal ini terjadi di mana pun ketika Marxisme dimasukkan ke dalam praktek; tidak ada alasan untuk mengharapkan hal-hal akan berbeda di masa depan. Ini adalah bagian dari logika Marxisme bahwa orang-orang akan tunduk kepada partai, partai tunduk kepada negara, dan negara patuh kepada seorang diktator yang mengerikan (p. 196). Padahal, apa yang Marx harap dalam masyarakat komunis bukanlah negara dalam arti pemerintahan pusat. Faktanya, Marx menulis di volume ketiga Capital, bahwa sebuah negara sebagai “kegiatan umum yang timbul dari sifat seluruh masyarakat.” Negara sebagai badan administratif akan hidup. Seperti yang ia katakan dalam Manifesto Komunis, kekuasaan publik di bawah komunisme akan kehilangan karakter politiknya. Dalam hal ini, Marx memandang negara dengan kacamata realisme. Negara jelas bukan organ yang netral secara politik, bahkan bertindak secara hati-hati terhadap suatu bentrokan kepentingan sosial. Negara paling tidak memihak dalam konflik antara buruh dan kapital. Negara ada, antara lain untuk mempertahankan tatanan sosial yang ada saat ini terhadap mereka yang berusaha untuk mengubahnya. Jika secara inheren tidak adil, maka dalam hal ini negara bertindak tidak adil juga.
Gerakan Sosial Baru
Kritik lain yang juga muncul terkait Marxisme dalam buku ini adalah klaim bahwa semua gerakan radikal yang paling menarik dari empat dekade masa lalu bermunculan di luar Marxisme. Feminisme, gerakan lingkungan, gay dan etnis politik, hak-hak binatang, anti globalisasi, gerakan perdamaian: semuanya kini tidak lagi diambil oleh komitmen kuno untuk perjuangan kelas, dan merupakan bentuk-bentuk baru dari aktivitas politik. Salah satu yang paling berkembang dari arus politik baru dikenal sebagai gerakan antikapitalis, sehingga sulit untuk melihat bagaimana telah terjadi pemutusan hubungan dengan Marxisme. Pergeseran dari Marxisme ke anti kapitalisme hampir merupakan kesamaan. Bahkan, hubungan Marxisme dengan tren radikal lainnya telah memiliki nama dan bagian di dalamnya. Misalnya, hubungan dengan gerakan perempuan. Beberapa Marxis seringkali menepis seluruh pertanyaan tentang seksualitas atau berusaha menyesuaikan politik feminis untuk tujuan mereka sendiri. Ada banyak tradisi Marxis yang puas dan masih buta perspektif gender dan paling buruk masih menggunakan kebudayaan patrialtikal. Banyak kaum Marxis laki-laki telah belajar dari feminisme, baik secara pribadi dan politik. Dan Marxisme pada gilirannya memiliki kontribusi besar untuk pemikiran dan praktek feminis.
Beberapa dekade yang lalu, ketika dialog Marxis-feminis berada di masa yang paling enerjik, seluruh rangkaian pertanyaan penting bermunculan. Apa pandangan Marxis tentang pekerja domestik, yang mana Marx sendiri telah abaikan? Apakah perempuan membentuk kelas sosial dalam ranah Marxis? Bagaimana teori yang berkaitan dengan produksi industri untuk memahami perawatan anak, konsumsi, seksualitas, keluarga? Apakah keluarga merupakan pusat masyarakat kapitalis, atau apakah kapitalisme akan mengumpulkan orang menuju barak komunal dan berpikir bahwa hal tersebut lebih menguntungkan? Apakah bisa ada kebebasan bagi perempuan tanpa penggulingan masyarakat kelas? Apa hubungan antara kapitalisme dan patriarki –mengingat bahwa yang terakhir lebih kuno dari pertanyaan lainnya. Beberapa Marxis-feminis berpendapat bahwa penindasan perempuan hanya bisa berakhir dengan jatuhnya kapitalisme. Mengenai pandangan yang terakhir, Eagleton menjelaskan bahwa tidak ada sifat kapitalisme yang mengharuskan tunduknya wanita. Tetapi dua sejarah tersebut: patriarki dan masyarakat kelas, begitu erat terjalin dalam praktek yang mana akan sulit membayangkan menggulingkan yang satu tanpa gelombang kejut besar bergulir terhadap yang lainnya (p. 212).
Tanggapan dan Penutup
Membaca Why Marx Was Right karya Terry Eagleton seakan-akan seperti melihat adu argumen antara seorang Marxis menghadapi para pengritiknya. Metode yang digunakan dalam penulisan Eagleton kali ini adalah dengan merujuk klaim terhadap Marxisme tidak relevan dari apa yang dibicarakan oleh Marx, lalu mengakui kebenaran dalam klaim dan menunjukkan bagaimana kebenaran ini kompatibel dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh Marx. Kemudian, Eagleton juga menunjukkan bahwa konsekuensi negatif yang disorot oleh klaim yang ada lebih banyak berlaku untuk kapitalisme daripada sosialisme, atau menunjukkan bahwa klaim tersebut tidak benar. Jantung dari buku ini adalah kebenaran yang sederhana namun mendesak. Kita perlu Marx lagi lebih dari sebelumnya. Namun sayang, beberapa pembahasan yang berputar membuat agak sedikit sulit untuk memahami inti dari gagasan yang dibawakan oleh Terry Eagleton kepada pembaca.
Dalam buku Why Marx was Right, Eagleton telah meringkas semua jawaban atas kritik terhadap Marxisme secara singkat. Menurut Eagleton, tidak ada keraguan bahwa karya Marx dibatasi oleh kondisi sosialnya. Marx adalah seorang intelektual kelas menengah Eropa. Tapi tidak banyak intelektual kelas menengah Eropa yang menyerukan penggulingan kerajaan atau emansipasi pekerja pabrik. Nyatanya banyak intelektual masa kolonial besar yang bertindak demikian. Kampanye untuk kebebasan, bernalar dan progresif, yang muncul dari kelas menengah abad kedelapan belas Eropa, adalah sebagai pembebasan dari kehidupan tirani dan bentuk halus dari despotisme sendiri; dan Marx yang membuat kita sadar akan kontradiksi ini. Dia membela cita-cita borjuis besar akan kebebasan, bernalar dan progresif, tetapi ingin tahu mengapa mereka cenderung mengkhianati diri mereka sendiri setiap kali mereka diimplementasikakan ke dalam praktek. Dengan demikian, ia seorang kritikus akan Pencerahan-tapi seperti semua bentuk kritik yang paling efektif, ia melakukannya dari dalam (kritik imanen). Marx memerankan peran apologis yang tegas, sekaligus antagonis yang buas.
Marx memiliki keyakinan penuh akan individu dan kecurigaan mendalam terhadap dogma abstrak. Dia tidak punya waktu untuk konsep masyarakat yang sempurna, berhati-hati terhadap gagasan kesetaraan, dan tidak bermimpi masa depan di mana semua manusia akan memakai jas boiler dengan nomor Asuransi Nasional tertera di punggung. Keragaman, bukan keseragaman, yang Marx harap menjadi kenyataan. Dia juga tidak mengajarkan bahwa manusia hanya sebagai mainan tak berdaya dari sejarah. Dia bahkan lebih memusuhi negara daripada sayap kanan konservatif, dan melihat sosialisme sebagai pendalaman demokrasi, bukan sebagai musuh dari demokrasi itu sendiri. Modelnya tentang kehidupan yang baik didasarkan pada gagasan artistik ekspresi diri. Dia percaya bahwa beberapa revolusi mungkin dapat dicapai dengan damai, dan menganggap tidak masuk akal menentang reformasi sosial dan tidak berfokus sempit kepada hanya kelas pekerja.
Tiap bab per bab buku Why Marx Was Right akan membantu mempersenjatai sosialis generasi baru dengan ide-ide yang diperlukan untuk memenangkan pertempuran di depan, guna menghadapi para pengkritik naif yang tidak memahami benar-benar Marxisme namun menyerangnya dengan tuduhan-tudahan. Apalagi, di negeri kita yang sangat menabukan hal-hal terkait Marxisme dan komunisme akibat pengaruh rezim lama Orde Baru, tentu kritik atas pemikiran Marx masih banyak ditemui. Padahal, kehadiran Marx lebih dibutuhkan pada masa sekarang, dimana kapitalisme sedang menjangkiti dunia dengan pengaruh kekuasaan modalnya. Selama kapitalisme masih mewabah dan menjangkiti dunia, Marxisme akan selalu ada untuk membawa umat manusia menuju pembebasan. Sebagaimana aku Eagleton, “belum ada seseorang dengan gerakan yang lebih gigih akan emansipasi perempuan, perdamaian dunia, perang melawan fasisme atau berjuang untuk kebebasan kolonial selain gerakan politik oleh Marxisme.”
[1] Teks aslinya, “an ideal to which reality will have to adjust itself”
[2] Teks aslinya, “the real movement which abolishes the present state of things”