PEMILIHAN presiden pada Juli ini, merupakan pilpres terakhir bagi elit politik didikan dan binaan rezim orde baru. Tengok saja figur-figur seperti Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, atau Wiranto. Ketiganya adalah sosok yang di masa orba merupakan pendukung utama rezim bau darah tersebut, yang kemudian berhasil menyesuaikan dirinya di tengah gelombang pasang reformasi.
Karena itu, adalah dusta belaka jika mereka mendukung reformasi, atau berkomitmen tinggi menuntaskan agenda-agenda reformasi. Coba tengok kembali tuntutan-tuntutan reformasi berikut: cabut dwifungsi ABRI, bubarkan komando territorial ABRI, pengadilan terhadap Soeharto dan jenderal-jenderal pelanggar HAM berat, berantas KKN hingga ke akar-akarnya, serta sita harta kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya dan diserahkan kepada negara. Kecuali dwifungi ABRI yang secara formal telah dicabut, seluruh tuntutan reformasi di atas tidak terwujud. Itu sebabnya, figur macam Aburizal, Prabowo, dan Wiranto ini, dengan bekal kekayaan melimpah yang mereka miliki sebagai hasil dari keistimewaan-keistimewaan yang mereka peroleh di masa lalu, bisa tetap eksis bahkan berkuasa sekarang ini.
Nah, ketika ketiga figur ini bertarung dalam pilpres mendatang (dengan catatan berhasil memenuhi syarat presidential threshold), maka apa yang bisa kita harapkan dari mereka? Janji-janji dan program-program seperti apa yang ingin mereka kerjakan di masa depan, atau yang bisa membawa bangsa ini maju ke depan? Apakah mereka akan menuntaskan tuntutan reformasi total yang disuarakan oleh gerakan rakyat di masa awal reformasi dulu? Seperti yang pernah saya tulis dalam editorial sebelumnya, janji yang mereka kemukakan tidak lain adalah kembali ke masa lalu orde baru yang ‘gemilang.’ Wajar karena itulah era dimana mereka mendulang sukses hanya dengan berucap atas petunjuk bapak Presiden.
Jadi, bagi ketiganya, masa depan adalah masa lalu. Indonesia masa depan yang mereka bayangkan adalah orde baru yang otoriter, yang sarat kekerasan, dimana kebebasan berbicara dan berekspresi diancam oleh moncong senapan, dimana pers dikekang, , intelektual kritis dibungkam, mahasiswa dikebiri, buruh dan tani ditindas secara ekonomi dan politik, dan penggusuran dan perampasan lahan milik warga secara sewenang-wenang, serta ketimpangan sosial-ekonomi yang sangat lebar. Tidak heran jika mereka bicara bahwa ‘isu HAM adalah isu elit,’ ‘kerusuhan etnis 1998 adalah cerita dongeng belaka,’ ‘krisis ekonomi 1997 adalah hasil konspirasi IMF,’ ‘zaman Soeharto adalah zaman normal,’ atau ‘kebebasan penting tapi ketertiban jauh lebih penting.’
Tapi, saya tak bisa dibohongi oleh mereka. Bagi saya, masa lalu orde baru tak boleh lagi terulang. Kita tak bisa membangun peradaban yang baik di atas deretan batu nisan rakyat sebangsa; kita tak bisa membangun karakter manusia Indonesia yang sehat dan bermartabat jika tidak ada jaminan bagi penegakan HAM; kita tak mungkin mencapai keadilan sosial jika ketimpangan sosial ekonomi ciptaan dan warisan orde baru ini tidak dikoreksi secara radikal; kita tak mungkin menjadi bangsa yang mandiri jika tetap melanjutkan politik ekonomi orde baru yang sangat tergantung pada ekonomi internasional dan utang luar negeri seperti saat ini.
Masa depan justru harus dimulai dengan mengoreksi masa lalu.***