PERUBAHAN zaman pasti akan tercermin pada bahasanya. Begitu zaman berganti, kosakata yang digunakan masyarakat juga ikut berubah. Tidak pernah terjadi pada zaman baru orang tetap menggunakan istilah atau kata-kata warisan zaman lama. Walaupun misalnya zaman lama begitu ngebet ingin menghibahkan bahasanya kepada zaman baru, sangat patut diragukan zaman baru sudi menerima warisan itu. Tidaklah berlebihan kalau ditegaskan bahwa zaman lama akan selalu gagal mewariskan bahasanya kepada zaman baru. Dan karena dalam 15 tahun terakhir Indonesia terutama mengalami perubahan politik, maka yang mencolok adalah perubahan bahasa politik.
Tergusur sudah istilah-istilah khas orde baru seperti ‘pembangunan’ atau ‘stabilitas keamanan nasional’. Tidak terdengar lagi ungkapan ‘suksesi kepemimpinan nasional’, lantaran sejak 1998 kita sudah sampai empat kali ganti presiden. Betapa waktu itu kita harus berbelit-belit hanya untuk mengungkapkan hasrat punya presiden baru!
Dengan menyebut ‘mufakat lonjong versus mufakat bulat’, telunjuk seseorang pasti berkait. Istilah-istilah itu digunakan untuk menuding keretakan dalam kekuasaan mutlak orde baru yang tidak bisa mencapai mufakat bulat. Pada Sidang Umum MPR Maret 1988, Fraksi ABRI menginterupsi pencalonan Sudharmono sebagai wakil presiden. Itulah untuk pertama kalinya para pemirsa televisi seluruh tanah air dipersilahkan menonton siaran langsung yang dengan jelas mempertontonkan betapa sang Jenderal Besar tidak mampu lagi mengendalikan para jendralnya. Bukankah pada siaran itu terlihat seorang jenderal yang sibuk menginterupsi kemauan sang Jenderal Besar? Sudharmono disebut terpilih melalui ‘mufakat lonjong’. Sementara si Jenderal Besar tetap terpilih dengan ‘mufakat bulat’. Terpilih? Layakkah calon tunggal untuk masing-masing jabatan disebut terpilih?
Seiring dihapusnya jabatan menteri penerangan, tidak terdengar lagi seorang pejabat yang seolah menunduk-nunduk melontarkan, ‘petunjuk bapak presiden’. Presiden RI yang sekarang dipilih langsung oleh rakyat juga tidak perlu lagi disebut sebagai ‘mandataris MPR’. Bahkan MPR sekarang seperti sudah tak berkutik dan kehilangan makna, dibandingkan dengan tatkala sang Jenderal Besar dulu begitu sibuk merekayasa siapa-siapa yang boleh ikut sidang lima tahunan lembaga tertinggi negara ini.
Sebagi gantinya sekarang muncul istilah-istilah baru seperti ‘pilkada’ atau sering digunakannya kata ‘nyaman’. Makin galak juga pemakaian awal ‘ber’ sebagai wujud masyarakat yang tidak lagi pasif. Yang lebih penting, orang sekarang tidak lagi bicara tentang ‘diamankan’, tapi langsung saja ‘dicokok’.
Bagaimana kita harus memaknai pergantian bahasa (politik) ini? Lebih dari itu bisakah perkembangan ini disebut positif dan bermanfaat? Kalau memang demikian, manfaat apa yang bisa dipetik daripadanya? Untuk menggiring pembaca pada jawaban rangkaian pertanyaan itu, berikut terlebih dahulu dibahas beberapa kata atau istilah yang belakangan sering digunakan orang Indonesia dalam menulis atau bertutur kata.
Pilkada atau pemilukada?
Seiring dengan zaman yang lebih terbuka dan demokratis, perubahan bahasa juga harus bisa dikritik alias tidak perlu dituruti begitu saja. Maklum, pada zaman yang disebut reformasi ini banyak orang makin sadar bahwa bahasa bukan lagi medium komunikasi semata, bahasa adalah pula wujud dinamika masyarakat yang menggeliat dilanda perubahan. Kritik harus bisa dilancarkan terhadap istilah baru, jika itu tidak sesuai dengan akal sehat berbahasa.
‘Pilkada’ tidak lama beredar, belakangan istilah ini tergeser oleh ‘pemilukada’. Pergeseran terakhir ini perlu dikritik, karena ini istilah baru yang kurang tepat dan sebaiknya juga tidak digunakan saja.
‘Pilkada’ seperti kita tahu merupakan singkatan pemilihan kepala daerah. Ini berarti rakyat daerahlah yang memilih kepala mereka. Lebih penting lagi, supaya ada yang dipilih, maka calon kepala daerah yang maju pemilihan harus lebih dari seorang. Kalau calon tunggal (seperti kebiasaan orde baru dulu) maka sia-sia belaka pemilihan itu.
Sayang istilah yang sudah bagus ini belakangan digeser oleh ‘pemilukada’ yang justru sangat dipertanyakan maknanya. Betapa tidak? ‘Pemilukada’ merupakan singkatan pemilihan umum kepala daerah. Istilah ini sebenarnya contradictio in terminis, yaitu gabungan kata yang maknanya bertentangan satu sama lain.
Pertama-tama di sini kita berurusan dengan pemilihan kepala daerah, jadi pemilihan yang hanya berlangsung di daerah tertentu, bukan di seantero negeri. Kalau begitu mengapa kemudian digunakan kata ‘umum’? Bukankah pemilihan umum merujuk pada pemilihan yang berlangsung di seantero negeri dan tidak hanya di satu daerah tertentu? Dengan kata lain ‘pemilihan umum kepala daerah’ merupakan istilah yang mengandung pertentangan. Pemilihan umum berlangsung di seluruh negeri sedangkan pemilihan daerah hanya berlangsung di daerah tertentu, tidak di seantero negeri.
Pemilukada bisa dikatakan sederajat dengan ‘lingkaran segi empat’ yang jelas tidak mungkin karena memang tidak masuk akal. Karena itu, walaupun mungkin istilah baru, pemilukada sebaiknya tidak dipakai lagi. Mari kembali menggunakan pilkada! Istilah awal ini lebih tepat dan lebih masuk akal serta tidak mengandung pertentangan.
Dalam bahasa Inggris dikenal general elections (pemilihan umum) sebagai lawan local elections (pemilihan daerah). Sedangkan bahasa Belanda mengenal algemene verkiezingen versus locale verkiezingen. Tidak mungkin bahasa Inggris menggunakan general local elections atau bahasa Belanda algemene locale verkiezingen. Itu jelas istilah rancu yang malah membingungkan, karena tidak jelas lagi mana yang dimaksud: pemilihan daerah atau pemilihan umum.
Selain pemilukada, layak pula disebut satu perkembangan lain yang kira-kira senada: alias tidak terlalu menggembirakan. Ini berkaitan dengan ‘di’: sebagai awalan atau sebagai kata depan? Perkembangan ini dilatarbelakangi oleh semakin populernya facebook dan twitter. Begitu populernya jejaring sosial ini membuat mengutarakan pendapat dalam bentuk tulisan sudah seperti bernafas saja. Siapa saja melakukannya, bukan cuma aktivis, tapi juga para artis yang jadi caleg dan TKI yang bekerja di luar negeri. Walau begitu tidak semua tulisan pada jejaring sosial gampang dipahami, misalnya hanya karena penulisnya sering rancu dalam menggunakan ‘di’: ‘di’ yang dipisah (kata depan) atau ‘di’ yang harus disambung dengan kata berikutnya (awalan). Tidak semua orang mampu membedakannya. Ada yang memisahkannya, padahal sebagai awalan, ‘di’ itu harus disambung dengan kata berikutnya. Lalu ada pula yang menggabungkan ‘di’ dengan kata berikutnya, padahal sebagai kata depan ‘di’ itu harus dipisah dari kata berikutnya.
Tentu saja kesalahan memukul rata ‘di’ ini paling sering dipergoki pada jejaring sosial, karena di situ tidak ada campur tangan editor atawa redaktur bahasa. Merekalah yang biasanya memperbaiki kesalahan itu. Di manapun editor tidak turun tangan (misalnya di surat atau undangan) maka kerancuan ‘di’ sebagai awalan atau sebagai kata depan ini ini pasti akan terjadi.
Diamankan versus dicokok
Perkembangan lain yang juga layak disebut adalah kata ‘diamankan’ yang terpaksa turun panggung untuk menyerahkan tempat kehormatannya kepada kata ‘dicokok’. Dulu, kalau ada yang sampai ‘diamankan’ maka orang justru akan mengkhawatirkan keselamatan mereka yang dikenai langkah itu. Maklum ‘diamankan’ waktu itu berarti seseorang ditangkap, paling sedikit berurusan dengan aparat keamanan. Dan lantaran aparat keamanan merupakan kepanjangan tangan orde baru yang berkuasa begitu sewenang-wenangmaka hampir bisa dipastikan orang itu justru tidak akan aman (misalnya mengalami siksaan). Alih-alih dia bisa kembali, karena sampai sekarang, seperti penyair Wiji Thukul, masih ada saja yang belum juga kembali. Mereka ‘diamankan’, tapi mereka tidak kembali. Bagaimana ini? Di sini tampak betapa makna kata ‘aman’ telah dipermak dan direkayasa oleh orde baru! Lebih dari itu kasus kata ‘diamankan’ juga membuktikan betapa besar kekuasaan orde baru. Bukan hanya dia berkuasa menahan orang atas alasan yang tidak jelas, dia jelas juga unjuk kuasa dengan mengubah makna kata itu.
Untunglah, tatkala zaman berlalu, segera kita lupakan kata ‘diamankan’. Maka tatkala Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditahan oleh KPK, tidak ada lagi orang yang menggunakan istilah dia telah ‘diamankan’, walaupun orang yakin dalam tahanan dia tidak akan disiksa. Sekarang kita memilih menggunakan kata ‘dicokok’, karena selain blak-blakan, kata ini jelas juga tidak mengandung kemunafikan. Dengan menggunakan ‘dicokok’ kita berkesempatan untuk menunjuk betapa munafiknya Akil Mochtar, Chairun Nisa, dan tiga orang lain yang pada Rabu malam 2 Oktober itu ditangkap KPK. ‘Dicokok’ atau paling sedikit ‘ditangkap’ adalah juga wujud dukungan umum pada KPK yang begitu tangkas menindak pelaku tindak kriminal korupsi. Di lain pihak kasus korupsi dalam tubuh Mahkamah Konstitusi juga telah mencoreng kepercayaan masyarakat pada lembaga peradilan. Padahal sejak orde baru tersingkir, lembaga peradilan sudah, sedikit demi sedikit, mulai mandiri tampak dari campur tangan pihak kekuasaan exekutif atau judikatif. Kemandirian itu berarti peradilan dipercaya hanya mendasarkan vonisnya semata-mata pada hukum dan pasal-pasal undang-undangnya, tidak lagi hanya melayani pesanan kalangan luar. Ketika kedapatan ternyata masih ada saja pihak yang mengkhianati kepercayaan itu, maka masyarakat tidak segan-segan lagi menghunjamkan kata ‘dicokok’ (artinya diborgol) terhadap mereka yang jadi pesakitan.
‘ber’ lawan ‘me’
Istilah lain yang sekarang banyak kita dengar adalah ‘beraktivitas’. Sering kita dengar ucapan ‘selamat beraktivitas’. Istilah ini tidak dikenal pada zaman orde baru, tapi jelas merupakan perkembangan segar, juga karena menggunakan awalan ‘ber’.
Dulu, di zaman orde baru, orang takut menggunakan kata ‘aktif’, mungkin karena berkaitan dengan ‘aktivis’ yang waktu itu termasuk kata terkutuk. Maklum para ‘aktivis’ adalah kalangan LSM yang sukanya mengganggu gugat pemerintah, bersikap oposan dan bahkan di luar negeri disebut anti Indonesia. Dulu itu awalan ‘ber’ juga jarang digunakan. Alasannya sederhana saja: budaya orde baru menghasilkan manusia pasif, orang Indonesia waktu itu lebih suka tunggu perintah. Sekarang kata aktivis bermakna harum, nyaris herois, berkat mereka lahir zaman reformasi. Lebih dari itu: masyarakat yang melek politik juga menjadi aktif, gemar berinisiatif, beraksi dan beraktivitas. Ini tercermin pada makin digemari dan karena itu sering digunakannya awalan ‘ber’.
Dulu orang lebih sering menggunakan awalan ‘me’. Di zaman orde baru lebih sering terdengar orang menyebut ‘menceritakan’ katimbang ‘bercerita’, ‘menuturkan’ katimbang ‘bertutur’, ‘mengucapkan terima kasih’ katimbang ‘berterima kasih’. Sekarang awalan ‘me’ justru makin jarang digunakan, karena, selain lebih aktif, awalan ‘ber’ juga lebih ekonomis lantaran tak perlu menggunakan akhiran. Beda dengan ‘me’ yang kadang-kadang memang perlu diakhiri dengan ‘kan’. Sedangkan awalan ‘me’ kebanyakan masih butuh akhiran ‘kan’. Tapi untunglah sekarang ‘beraktivitas’, sudah luas digunakan. Moga-moga terus bermunculan kata-kata lain yang berawalan ‘ber’! Kalau memang demikian maka jelas masyarakat kita memang lebih aktif.
Mengulang orde baru?
Sulit dipungkiri: pelbagai istilah baru tadi hanya bisa muncul setelah orde baru tergusur. Pilkada jelas tak terbayangkan di zaman itu. Jangankan kepala daerah yang dipilih langsung oleh warganya, pada zaman orde baru dulu kalau sampai ada yang berani berujar ‘nyaman’ saja, bisa-bisa dia akan diamankan setelah dituding membahayakan stabilitas keamanan nasional serta jalannya pembangunan. Bahasa memang selalu terkait dengan politik sebagai bangunan atasnya. Artinya bahasa tidak terlepas dan tidak bisa dilepaskan dari tata kehidupan masyarakatnya. Tidak kurang ahli dan pengamat bahasa kita yang melepaskan bahasa dari kaitannya dengan masyarakat. Bagi mereka bahasa melulu persoalan bahasa, sehingga bahasa tidak lebih dari tata bahasanya semata. Pandangan sempit dan oportunistik khas orde baru itu jelas tidak dianut oleh penulis esai ini.
Jadi bagaimana kita bisa memaknai rangkaian perubahan ini? Pertama-tama kiranya jelas: hanya kekuasaan sewenang-wenang yang merasa perlu untuk juga merekayasa bahasa. Walaupun berkuasa semena-mena, seorang jenderal besar seperti Soeharto pasti tidak ingin disebut orang kuat atau diktator. Karena itu bahasa orang harus diatur, tegasnya harus dikendalikan. Bahasa, terutama kosakatanya, harus dijaga (dalam istilah mereka ‘dibina’) seketat-ketatnya. Jangan sampai kata-kata kurang ajar itu digunakan orang. Dan ini sudah terjadi di Italia pada zaman Benito Mussolini, salah satu gembong fasis dunia. Contoh terkenal yang berkali-kali diulang adalah bagaimana Mussolini melenyapkan kata ‘voi’ yang artinya ‘anda’. Sebagai gantinya orang Italia sekarang menggunakan ‘lei’, padahal itu semula berarti dia laki-laki. Orde baru sudah melakukannya seperti terlihat pada kata ‘diamankan’, yang mereka ganti maknanya sama sekali.
Dengan mengendalikan bahasa maka pikiran orang juga akan terkuasai, karena di manapun juga orang selalu berpikir dalam bahasa. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di Negeri Belanda, si bekas penjajah atau di Jepang, bekas penjajah yang lain: bahasa merupakan piranti berpikir makhluk manusia. Begitu bahasa terkendali maka pikiran orang juga terkuasai. Dalam keadaan seperti ini, tidak bakalan lagi dia menggunakan kata-kata kotor yang tidak berkenan bagi seorang penguasa mutlak. Kata-kata macam itu hilang dari kotakata, tentu saja dihilangkan oleh sang penguasa, seperti ketika dia menghilangkan para penentangnya.
Selain dilakukan langsung oleh yang berkepentingan (dalam hal ini aparat keamanan seperti terlihat pada kasus kata ‘diamankan’), pada zaman orde baru dulu pengendalian bahasa juga dilakukan oleh Pusat Bahasa. Pusat itulah yang merancang, mengendalikan dan menyebarkan bahasa yang sesuai dengan selera pemerintah. Mereka juga tak henti-hentinya mencela kosakata, ejaan, pendeknya apapun yang tidak sesuai dengan kaidah yang mereka sebut ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar’. Di lain pihak mereka mengaku melakukan rekayasa ini demi modernisasi dan kemajuan bahasa Indonesia, tapi dalam iklim politik yang begitu ketat dan terlalu jauh dari kebebasan, tidaklah mengherankan jika apa yang disebut modernisasi dan kemajuan itu baru akan terjadi kalau sudah cocok dengan penguasa punya selera.
Sekarang, sepeninggal kekuasaan sewenang-wenang itu, bahasa tak perlu lagi direkayasa. Orang sudah aktif berbahasa sendiri. Bahkan mereka melakukannya tanpa butuh pengarahan, tanpa perlu tunggu perintah dan tanpa kampanye ‘bahasa Indonesia yang baik dan benar’. Istilah-istilah baru seperti ‘pilkada’ atau ‘dicokok’, muncul tanpa campur tangan Pusat Bahasa yang pada akhir 2010 ganti nama menjadi Badan Bahasa. Di balik alasan resminya (yang masih harus diteliti lebih jauh selain reorganisasi dalam tubuh kemdiknas), pergantian nama itu pasti dilakukan karena yang bersangkutan ingin membersihkan diri dari citra Pusat Bahasa sebagai lembaga penguasa otoriter yang punya tugas tidak lebih dari sekedar melayani kehendak sang penguasa. Badan Bahasa ingin tampil bersih. Tidak boleh dilupakan Pusat Bahasa waktu juga kena tuduhan menjiplak Tesaurus Bahasa Indonesia karya Eko Endarmoko. Jadi cukup alasan untuk bersih-bersih dan cuci-cucidan itu mereka dilakukan dengan cara ganti nama!
Walau pun nama sudah diperbarui, kalau Badan Bahasa tetap saja meneruskan cara kerja Pusat Bahasa dulu maka tidak usah heran kalau makin banyak lagi yang perduli pada lembaga pemerintah ini. Masyarakat sekarang sudah aktif berbahasa sendiri, pasti mereka tak butuh otoritas untuk menghakimi cara mereka berbahasa. Zaman sudah lain, tidaklah mengherankan kalau keberadaan otoritas bahasa itu dipertanyakan. Mudah-mudahan pergantian nama itu juga membawa berubahan pada cara kerja dan posisi Badan Bahasa di tengah masyarakat.
Perubahan yang melanda Indonesia menyusul tersingkirnya orde baru bisa diringkas sebagai upaya untuk tidak kembali pada zaman otoriter itu lagi. Tapi harus diakui upaya ini berlangsung seperti tiga langkah maju dan dua langkah mundur. Walau begitu, upaya untuk tidak kembali ke zaman orde baru ini sebaiknya juga diterapkan pada bidang bahasa. Artinya jangan sampai ada kekuasaan mutlak di bidang bahasa. Dengan begitu otoritas bahasa seperti zaman orde baru dulu sebaiknya juga tidak diulang lagi. Artinya: harus ada lebih dari satu otoritas. Selain otoritas tandingan, sebaiknya otoritas yang sudah ada (baca: Badan Bahasa) tidak diberi wewenang seperti zaman orde baru dulu. Bangkitnya pelbagai lembaga pegiat dan aktinya pribadi pengamat bahasa patut disambut. Mereka jelas memperkaya kemajemukan organisasi bahasa yang memang diperlukan pada zaman yang makin demokratis ini.
Dengan makin banyaknya kalangan yang aktif dalam bidang bahasa, termasuk masyarakat yang aktif berbahasa sendiri, maka pengaturan bahasa jelas tidak bisa dimonopoli oleh satu kalangan saja. Kalangan lain juga berhak mengatur bahasa. Biarlah terjadi perdebatan terbuka mengenai istilah baru, misalnya mana yang benar: pilkada atau pemilukada. Dengan berdebat terbuka, maka akan terjadi adu nalar berbahasa yang juga akan bisa mengasah kecerdasan dan ketajaman berbahasa masyarakat.
Langkah mundur dalam bidang ini terlihat tatkala masih ada saja kalangan yang berpendapat bahwa otoritas bahasa tetap dibutuhkan. Dan kalangan seperti ini biasanya ingin kembali ke zaman orde baru: mereka sangat mendukung Pusat Bahasa yang memonopoli otoritas. Bagi mereka, tanpa otoritas, bahasa akan amburadul. Jelas ini cuma kekhawatiran tidak riil, bahkan suatu khayalan belaka. Selain itu kalangan ini juga menutup mata dari kenyataan bahwa justru otoritas itulah yang memandulkan bahasa. Lagi pula jika memang masih benar-benar dibutuhkan, haruskah otoritas bahasa itu seketat zaman orde baru yang dengan mengontrol bahasa, ternyata juga ingin mengendalikan pikiran orang?
Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dihasilkan oleh Pusat Bahasa, satu-satunya otoritas bahasa zaman orde baru, sebenarnya juga masih jauh dari sempurna. Salah satu contoh adalah penggunaan ‘ch’, yang sebenarnya sudah diganti oleh ‘kh’ oleh orde baru dengan EYDnya, kecuali kalau itu menyangkut nama orang yang kebanyakan masih ditulis dalam ejaan Suwandi (Akil Mochtar atau Chairun Nisa). Tetapi ternyata KBBI mengeja Ceko, sebagai Cheska, padahal warganya menyebut negeri mereka ‘Ceská’. Kenapa mereka kembali menggunakan ‘ch’? Bukankah ‘ch’ sudah dihapus oleh EYD? Bagaimana pula lafal ‘Cheska’ itu? Jangan-jangan karena ‘ch’ kembali digunakan ini, sekarang makin banyak orang mengeja Tiongkok sebagai China (tunduk-tunduk pada bahasa Inggris), padahal warganya itu menyebut negeri mereka ‘Zhung guo’.
Jelas Pusat Bahasa tidak luput dari kesalahan, dan karena itu dalam soal bahasa sebaiknya kita memang berdebat secara terbuka dan tidak menelan mentah-mentah apa yang dilontarkan oleh otoritas bahasa yang sekarang menyebut diri Badan Bahasa. Ini akan mengundang banyak orang untuk menyibukkan diri dengan bahasa. Dan bahasa memang mengundang kreativitas, atau malah mendorong orang menjadi kreatif.***
**Joss Wibisono setelah selama ini aktif menulis non-fiksi dengan bukunya Saling Silang Indonesia-Eropa (Marjin Kiri 2012), kini mulai menjelajahi genre fiksi. Pernah bekerja sebagai penyiar Radio Nederland di Hilversum, Negeri Belanda.