Prolog
IDE penyelenggaraan Pentas Budaya Rakyat untuk memperingati tiga tahun tragedi penembakaran petani Urutsewu oleh TNI di Lapangan Setrojenar, lahir dari pertemuan tak sengaja antara Sunu Widodo, Angga Palsewa Putra, Reza, dan Bosman Batubara dalam serial diskusi tentang RUU Desa di kantor Karsa pada 31 Januari 2014. Sekedar pengingat, tragedi penembakan petani 16 April 2011 bermula dari kemarahan para petani dan warga Urutsewu atas klaim sepihak TNI pada lahan desa milik mereka dan tindakan pematokan tanah secara sewenang-wenang oleh tentara. Demonstrasi petani dan warga ditanggapi tentara dengan pemuntahan peluru (karet dan tajam) serta tindakan kekerasan lainnya. Akibat perstiwa itu, enam petani dikriminaliasasi (pasal pengrusakan dan penganiayaan), 13 orang luka-luka, enam orang di antaranya luka akibat tembakan peluru karet, dan di dalam tubuh seorang petani lainnya bersarang peluru karet dan timah; 12 sepeda motor milik warga dirusak dan beberapa barang, seperti ponsel, kamera, dan data digital dirampas secara paksa oleh tentara. Kriminalisasi dan tindakan brutal tersebut sampai sekarang tak jelas penyelesaiannya. Yang membuat warga Urutsewu semakin resah, Kodam IV Diponegoro justru terus melanjutkan pemagaran tanah warga sampai radius 1000 meter dari garis pantai.
Pertemuan tak sengaja antara Sunu Widodo—kepala desa Wiromartan, Kecamatan Ambal, Kebumen—dengan teman-teman dari Yogya tersebut memunculkan gagasan untuk menyelenggarakan acara peringatan tragedi penembakan petani tersebut. Sesudah diskusi RUU Desa di kantor Karsa, keempat orang tersebut melanjutkan diskusi tentang konflik tanah di Urutsewu secara lebih intensif dengan satu tujuan: menemukan strategi baru bagi perluasan isu konflik tanah di pesisir selatan Kebumen tersebut. Angga Palsewa Putra, Reza, dan Bosman Batubara mengusulkan agar warga Urutsewu menyelenggarakan kegiatan kesenian/kebudayaan sebagai sarana konsolidasi yang lebih riil menuju gerakan ekonomi-politik mereka. Sunu Widodo, kepala desa Wiromartan dan sekaligus ketua Forum Paguyuban Petani Kebumen Selatan (FPPKS), tertarik dengan usulan tiga orang tersebut meskipun belum jelas bentuk kegiatan riilnya seperti apa.
Kerjasama antara beberapa elemen gerakan petani dan warga urutsewu dengan GLI dan FNKSDA ini kemudian bergerak semakin riil setelah diadakan pertemuan lanjutan di LkiS, pada Februari 2014. Elemen gerakan dari Urutsewu, GLI, FNKSDA, Etnohistori, Sanggar Nusantara, Komunitas Rupa Seni Rangka Tulang, dan Mantra Merah Putih menyepakati terbentuknya aliansi Solidaritas Budaya Untuk Masyarakat Urutsewu, sebagai sebuah aliansi gerakan kebudayaan yang akan menyelenggarakan kerja-kerja kesenian di pesisir Kebumen Selatan. Untuk memperkuat kerja kebudayaan ini, dirasakan kebutuhan mendesak untuk melibatkan elemen gerakan sosial dan kebudayaan lain yang memiliki kepedulian pada masyarakat pinggiran yang hak-haknya dieksploitasi oleh penguasa lalim dan militer. Road Map acara disusun, pihak-pihak yang terlibat dalam aliansi mulai menyusun program kerja dan orang-orang yang akan melaksanakannya, serta sumber pendanaan didskusikan.
Sejak awal kami sadar bahwa Kodam IV Diponegoro atau TNI AD adalah pihak yang akan kebakaran jenggot lantas bereaksi keras terhadap pelaksanaan acara ini. Namun kami membayangan bahwa kegiatan kesenian—yang hanya berisi pertunjukan teater, tari, parade ogoh-ogoh, dan musik—tak akan membuat mereka memberikan reaksi berlebihan atas apa yang sedang kami rencanakan.
Anggota Solidaritas Budaya untuk Masyarakat Urutsewu dari bidang tari, sedang melatih tari Laskar Caping pada anak-anak dari desa Kaibon Petangkuran, Kecamatan Ambal, Kebumen
Intimidasi awal
Kedatangan kelompok kecil Solidaritas Budaya Untuk Masyarakat Urutsewu (selanjutnya akan disingkat eSBuMuS), yang terdiri dari perwakilan bidang seni, peneliti, dan akademisi ke wilayah Urutsewu, dilaksanakan pada 9 Maret 2014. Mereka bertemu dengan perwakilan warga Urutsewu dari beberapa desa di rumah Seniman, seorang tokoh masyarakat berpengaruh yang mencurahkan hampir seluruh tenaga dan pikirannya untuk membela petani dan warga yang tanahnya dirampas TNI. Di momen ini, Seniman yang didampingi Sunu Widodo, Muchlisin dan perwakilan warga mempresentasikan kondisi sosial budaya masyarakat Urutsewu pada rombongan aliansi eSBuMuS. Momen ini, selain menjadi ajang perkenalan kedua belah pihak, juga menjadi ajang untuk menyadarkan siapa pun bahwa pihak yang mereka tuntut bukan main-main: TNI AD, khususnya Kodam IV Diponegoro. Seniman dan Sunu Widodo mengingatkan bahwa intimidasi atau pun teror bisa dilakukan sewaktu-waktu oleh aparat agar acara yang kami gagas bersama tak terlaksana.
Kami setengah tak mempercayai para pemegang bedil di era reformasi masih mau merecoki kegiatan kesenian. Kalau pun intelijen dan Babinsa berseliweran di sekitar rumah Seniman, hal itu lebih dikarenakan mereka mengira kami sedang melakukan konsolidasi politik massa untuk menuntut dikembalikannya hak tanah Urutsewu pada warga sebagai pemilik sahnya. Survey pertama ini tak menciptakan kegaduhan yang berarti. Tiap kelompok seni berhasil menentukan di mana mereka bisa bekerja, kelompok masyarakat seperti apa yang disasar sebagai rekan kerja, siapa koordinator desa yang bisa mereka kontak sewaktu-waktu, dan kebutuhan peralatan apa saja yang harus tersedia. Rombongan yang mengunjungi lokasi bekas penembakan petani dan warga Urutsewu di lapangan Setrojenar juga tak mengalami intimidasi dari pihak militer. Gedung Dinas penelitian dan Pengembangan TNI AD yang dicat hijau daun berdiri angkuh di depan lapangan. Kami akan melaksanakan kegiatan di depan muka mereka. Benar-benar pertaruhan nyali!
Dalam kunjungan kedua, 28-30 Maret 2014, basecamp tempat kami menginap berpindah ke Wiromartan, di rumah sang kepala desa Sunu Widodo. Rapat koordinasi berjalan lancar. Masing-masing kelompok seni mulai menyebar ke beberapa desa yang menjadi sasaran kerjanya. Warga Urutsewu, mulai dari anak-anak hingga orang tua, berlatih menari, bermain teater, menyablon baju, dan beberapa permainan dari Maluku. Dua hari kami keluar masuk jalan dan gang wilayah Urutsewu, keluar masuk rumah-rumah penduduk, dan berinteraksi dengan warga di pesisir Kebumen Selatan ini. Di malam terakhir, kami mengadakan pertunjukan kecil-kecilan bersama warga Mirit.
Kami mengira kunjungan kedua ini tak mendapatkan cobaan berarti. Malam itu kami tidur dengan tenang di rumah Kepala Desa Sunu Widodo. Pagi tanggal 30 September, salah seorang penduduk Tlogo Pragoto berencana mengadakan ritual di batas terakhir pembangunan pagar TNI yang membelah lahan warga dan lahan yang diklaim milik TNI AD. Bosman, Reza, dan Tahdia bersama Sunu Widodo selaku ketua FPPKS menghadiri acara ritual yang dilakukan oleh Pak Bolot dan kelompok tani Wong Bodo Duwe Karep dari Tlogo Pragoto. Di sinilah persinggungan pertama kami dengan pihak militer. Babinsa dari desa Tlogo Pragoto, beberapa tentara, dan beberapa orang yang menjadi antek-antek penguasa militer berusaha menghalang-halangi proses ritual Pak Bolot. Di sini terjadi perdebatan keras antara Pak Bolot dan kawan-kawannya dengan Babinsa dan tentara. Mereka juga meminta Sunu Widodo untuk tak ikut campur dengan persoalan di desa Tlogo Pragoto. Tentara dan kaki tangannya ini meminta Bosman, Tahdia, dan Reza bersama Sunu Widodo meninggalkan lokasi ritual.
Bosman, Tahdia, dan Reza kembali ke desa Wiromartan dan bersiap-siap pulang. Sementara Sunu Widodo yang belum tidur semalam suntuk beristirahat di rumah Pak Bolot. Siang saat kami bersiap-siap pulang ke Yogya, tiba-tiba dikagetkan dengan kedatangan dua tentara ke rumah Kepala Desa Setrojenar. Sembari berbisik, Bu Lurah memberitahu bahwa dua tentara itu adalah anggota Babinsa yang selalu rutin mendatangi rumahnya. Jelas sudah kalau kehadiran mereka merupakan imbas dari aksi Pak Bolot di Tlogo Pragoto. Mereka bertanya asal dan maksud kedatangan kami ke Urutsewu. Interogasi halus ini berlangsung kurang lebih dua jam. Mereka pulang tanpa menemukan jejak informasi yang berarti dari kami.
Berita pencemar nama baik di harian Suara Merdeka
Penyebaran kebohongan lewat media dan intimidasi menuju puncak acara
Guna meyakinkan keberhasilan acara tanggal 16 April 2014, sejak tanggal 11 April 2014 eSBuMuS memutuskan untuk turba selama enam hari di wilayah Urutsewu Kebumen. Kehadiran kami di malam tanggal 11 April langsung disambut oleh serangkaian jurnalisme menyesatkan dari koran Suara Merdeka. Wartawan Suara Merdeka yang bekerja di wilayah Kebumen dan menyuplai berita di halaman Suara Kedu, Arif Widodo, menuliskan reportase-reportase palsu tentang gerakan kami dan warga urutsewu secara sistematis. Beberapa di antaranya adalah bahwa gerakan kami mendapatkan dana sebesar 9 Milyar dari salah seorang pejabat eselon II pemerintah Kabupaten Kebumen. Dari kalangan masyarakat Urutsewu, wartawan yang sama juga melakukan usaha pencemaran nama baik secara sistematis terhadap Kyai Imam Zuhdi. Usaha ini dilakukan lewat pemberitaan nama Imam Zuhdi sebagai ketua organisasi Wong Parkiran, yang melakukan pemerkosaan terhadap pengunjung pantai Setrojenar. Seiring berlalunya waktu, lewat lembaran Suara Kedu, Suara Merdeka memberitakan kunjungan Pangdam Diponegoro ke Kebumen serta himbauan dan intimidasi warga agar tak menghadiri acara mujahadahan serta pentas budaya rakyat tanggal 16 April, dan meminta agar gerakan atau LSM tak memprovokasi warga.
Penyebaran kebohongan lewat media yang kemungkinan diarahkan militer bekerjasama dengan wartawan Arif Widodo itu gagal ditangani selama kami di Urutsewu, karena padatnya kegiatan orang-orang yang terlibat di acara pentas budaya rakyat. Tidak ada serangan balik dari kami, baik lewat media sosial maupun pengajuan hak jawab. Lagipula, yang paling penting, pemberitaan negatif tentang acara peringatan tiga tahun tragedi Setrojenar tak berhasil menghentikan aktivitas kami. Semua kelompok seni, tim dokumentasi, dan warga terus menjalankan kegiatannya masing-masing guna mensukseskan acara puncak tanggal 16 April. Tim tari bekerja bersama pemuda dan anak-anak melatih tari Laskar Caping di halaman SDN Petangkuran.
Tim ogoh-ogoh dari desa Lembu Purwo, Wiromartan, dan Tlogo Pragoto terus merampungkan pembuatan ogoh-ogoh. Tim sastra keluar-masuk SD Petangkuran dan Wiromartan untuk memberi workshop menulis cerita dan puisi pada para siswa SD. Karina Rima Melati dan tim Etnohistori, memberikan workshop membatik pada ibu-ibu di Petangkuran. Tim musik bekerja sama dengan kelompok musik Lesung dari desa Mirit berusaha memadukan seni musik Lesung tradisional dengan permainan Toki Gaba-Gaba dari Maluku. Dan tim Seni Rupa memberikan workshop menggambar pada para siswa SDN Wiromartan. Dan sebagai pamungkas dari persiapan ini adalah gladi bersih bersama dari desa-desa yang terlibat dalam penyiapan pentas budaya rakyat di lapangan desa Petangkuran.
Puncak intimidasi dan provokasi: praktek militer khas Orde Baru di era reformasi
Begitu malam tanggal 15 mulai turun dan peserta gladi bersih sudah pulang ke rumah masing-masing, para aktivis seni eSBuMuS yang tinggal di rumah kepala desa Wiromartan menjadi saksi beberapa orang hilir-mudik di jalan depan rumah sambil menggeber-geber motornya sampai jam dua dini hari. Mobil patroli dan satu dua motor tentara berseliweran. Situasi di basecamp Petangkuran, dekat rumah Kepala Desa Petangkuran, tak mengalami intimidasi seperti yang terjadi di Wiromartan. Semua orang yang terlibat dalam kegiatan keesokan siangnya, tak diperbolehkan berkeliaran semaunya guna menghindari kemungkinan kekerasan fisik dari orang yang tak bertanggungjawab.
Esok paginya, kami sudah bangun sejak subuh. Bosman, saya, dan Teuku Reza bersama kelompok musik harus berangkat pagi-pagi ke lapangan Setrojenar untuk memasang tali pembatas area pertunjukan serta memasang alat-alat musik di panggung. Saya mengambil inisiatif pribadi untuk menyisir area di sekitar lapangan Setrojenar, guna mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak diinginkan. Sejak pukul tujuh pagi tentara telah menyebar dari depan kantor camat Bulus Pesantren hingga lapangan Setrojenar. Di Timur, Selatan dan Barat lapangan sejumlah tentara dan polisi berjaga-jaga. Penjagaan paling longgar hanya di sebelah Selatan dan Barat. Seandainya situasi kacau tercipta, akan sangat mudah bagi tentara dan polisi untuk menguasai medan Setrojenar dan menggiring anggota aliansi eSBuMuS ke arah Barat dan Selatan yang sepi.
Menjelang pukul 08.00 pagi, koordinatur umum eSBuMuS, Angga Palsewa Putra, yang mengendarai motor sendirian dari desa Petangkuran menuju Setrojenar, dicegat oleh seorang oknum tentara dan seorang lelaki tegap berbaju sipil. Keduanya memaksa Angga menghentikan motornya. Di pinggir jalan antara desa Brecong dan Setrojenar itulah oknum tentara yang memaksa Angga berhenti mengeluarkan ancaman.
‘Kamu bukan penduduk Urutsewu jangan macam-macam di sini. Kalau macam-macam, siap-siap saja menerima akibatnya. Kita akan bertemu di lapangan dan bertarung di sana. Kita lihat siapa yang mati di sana!’
Dengan tenang Angga menerima tantangan mereka. Ia berjanji pada tentara berbaju dinas kalau ia tak akan lari selama di lapangan nanti. Angga kembali menyalakan motor dan memacunya menuju lapangan Setrojenar. Ketika sampai di sekitar lokasi dan memarkir motor, dua lelaki berbadan kekar menunjuk-nunjuk ke arahnya. ‘Itu dia orangnya’ ujar salah seorang dari mereka. Kedua pria itu bergerak cepat menghampiri Angga, yang segera paham bahwa dirinya akan sasaran kriminalisasi agar memancing kerusuhan. Melihat gelagat mengancam itu, ia segera berlari cepat ke arah rombongan yang duduk di bawah tenda di depan panggung, menyelinap ke barisan pemuka wilayah Urutsewu dan duduk di samping Seniman. Kedua preman yang akan melakukan tindakan kriminal itu kemudian menjauh dari lokasi dan hilang entah kemana.
Aparat diturunkan untuk membubarkan acara Solidaritas Budaya untuk Masyarakat Urutsewu
Pukul sembilan pagi, jumlah tentara dan polisi yang berada di sekitar lapangan hingga jalan depan Kecamatan Bulus Pesantren semakin banyak. Rombongan pembawa ogoh-ogoh yang dipimpin kepala desa Wiromartan, Sunu Widodo, memasuki jalan depan kecamatan. Di perempatan yang berjarak 30 meter dari lapangan Setrojenar, rombongan pembawa ogoh-ogoh dari desa Tlogo Pragoto, Mirit, Lembu Purwo, dan Petangkuran ini dihentikan langsung oleh Dandim Kebumen, Letnan Kolonel Inf Dany Rakca A. S.AP. Mereka meminta rombongan dari luar Setrojenar hanya boleh masuk ke lapangan kalau memiliki surat ijin dari kepala desa. Inilah pengakuan Sunu Widodo saat dihentikan serombongan tentara yang menutup jalan menuju lapangan Setrojenar:
‘Ketika rombongan kami memasuki ruas jalan menuju Setrojenar, Urutsewu, tempat kegiatan mujahadah dan pentas budaya rakyat diselenggarakan, tiba-tiba sekelompok tentara menghadang kami. “Berhenti dulu mas. Kami lapor komandan dulu apakah boleh masuk atau tidak.” Aku bingung sendiri… Apa urusannya sama tentara? Bukankah yg mengurus keamanan sipil harusnya Polisi? Yang Lebih membingungkan lagi waktu ketemu komandannya. Dia bilang “Sebentar, jangan masuk dulu. Kita tanya dulu kepada kepala desa, apakah mengijinkan atau tidak….” Lho… Sejak kapan tentara jadi “satpam”nya kepala desa, yang kalau ada tamu harus distop dulu, terus ia bertanya sama juragannya apakah sang tamu bisa masuk atau tidak?’
Para wartawan dan fotografer daerah tampak segan untuk mendekat dan menyorongkan kamera ke arah Dandim perlente itu. Namun begitu, Bosman yang bertugas mendokumentasikan peringatan tiga tahun Tragedi Setrojenar, maju ke depan dan memotret dari jarak dekat, serombongan wartawan dan fotografer itu langsung mendekat ke pusat perdebatan antara Sunu Widodo dan Dandim Kebumen. Kepala yang sekaligus Ketua FPPKS ini kemudian berorasi di depan sekumpulan tentara dan polisi yang menghalangi jalannya dan para peserta mujahadah, rombongan kesenian, dan masyarakat umum yang ingin menyaksikan acara tersebut. Rombongan kesenian dari lima desa di Urutsewu beserta mahasiswa dan aktivis/peneliti merapatkan barisan di belakang Kepala Desa Wiromartan. Adegan itu berlangsung kurang lebih dua puluh menit. Penghentian sepihak oleh tentara dan polisi baru berhasil diatasi setelah Kyai Imam Zuhdi dan Seniman yang menjadi tuan rumah mujahadah dan Pentas Budaya Rakyat, meyakinkan tentara dan polisi bahwa pihak panitia telah mengundang mereka.
Rombongan kesenian segera memasuki lapangan Setrojenar dan mendapatkan sambutan meriah dari peserta mujahadah maupun masyarakat. Namun wajah-wajah tentara dan polisi yang garang terus menebar pandangan mengancam pada beberapa mahasiswa dan aktivis budaya yang datang belakangan. Dalam pengakuan salah seorang aktivis budaya dari Blora, Hei Harjono, pengamanan tentara dan polisi jelas-jelas tak menyiratkan bahwa peringatan tragedi penembakan petani Urutsewu itu bukanlah kegiatan agama dan kesenian.
‘Saya jauh-jauh datang dari Blora karena ingin menyaksikan acara itu. Semula saya mencari Mas Dwicipta di Petangkuran karena saya telah membuat janji pribadi dengannya. Tapi oleh teman-teman eSBuMuS, saya diberitahu bahwa dia sudah mendahului teman-teman berangkat ke lapangan Setrojenar sejak pagi. Akhirnya saya menyusul ke Setrojenar. Sampai di depan kecamatan Bulus Pesantren saya kaget melihat banyaknya tentara dan polisi berjaga-jaga. Di belokan masjid, pengendara motor-motor sport ber-cc besar memelototi saya. Jelasnya saya merasa hari itu mencekam, karena setiap sudut saya melihat berseliweran orang-orang aneh yangg saya yakin bukan warga setempat, menyelidik setiap gerakan saya seakan diawasi.’
Kegiatan mujahadah tetap berjalan. Dandim Kebumen, rombongan tentara dan serombongan polisi tetap berjaga-jaga di sekitar area mujahadah dan pentas budaya rakyat Urutsewu. Komandan tentara di wilayah Kebumen itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala sambil memaki kecil melihat ogoh-ogoh demit dan joglo yang dicat dengan warna doreng. Setelah acara mujahadah yang dipimpin oleh Kyai Imam Zuhdi selesai, panitia pentas budaya rakyat bersiap-siap memulai acara. Seniman, ulama sekaligus tokoh masyarakat Urutsewu mengumandangkan adzan sebagai pembuka acara. Kebetulan adzan Seniman bersamaan dengan waktu sholat dzuhur. Di saat itulah dari markas Dinas Litbang TNI yang letaknya tidak jauh dari lapangan juga terdengar suara adzan. Padahal di hari-hari biasa, saat memasuki waktu sholat, tidak pernah terdengar adzan dengan pengeras suara dari dalam markas tentara tersebut. Tak cukup hanya menyuarakan adzan, mereka juga menghimbau pada siapa pun orang yang berkumpul di lapangan untuk segera melaksanakan sholat. Jelas sudah himbauan yang tak biasanya terdengar dari markas tentara itu ditujukan untuk memecah massa yang telah memenuhi lapangan Setrojenar. Untunglah massa tidak terpengaruh suara himbauan dari dalam markas Dinas Litbang TNI AD. Mereka tetap mengikuti pertunjukan hingga selesai.
Epilog
Banyak pihak meyakini bahwa 16 tahun pasca reformasi tentara akan melepaskan intervensinya di lapangan kehidupan masyarakat sipil. Mereka hanya akan menjalankan tugas utamanya di bidang pertahanan dan keamanan. Sementara persoalan-persoalan di luar pertahanan dan keamanan akan diserahkan pada pihak sipil. Namun, peristiwa peringatan Tragedi Penembakan Petani Urutsewu di Lapangan Setrojenar pada 16 April 2014, secara gamblang menunjukkan sebaliknya. Bukti nyata dari turut campur tentara adalah intimidasi—baik tersembunyi maupun terang-terangan—pada aktivis eSBuMuS yang terlibat dalam penyiapan Pentas Budaya Rakyat, pemelintiran isu soal Urutsewu lewat pemberitaan sistematis di koran Suara Merdeka, dan usaha nyata untuk menghalang-halangi rombongan kesenian yang akan pentas di lapangan Setrojenar. Ini belum termasuk dengan memanfaatkan elemen masyarakat sipil seperti kelompok preman guna memprovokasi terjadinya kekacauan di tempat acara.
Peristiwa ini secara jelas memberi sinyal bahwa tindakan-tindakan militer yang sewenang-wenang dan menindas masyarakat sipil terus terjadi, meski rezim otoriter-birokratik-militeristik telah tumbang 16 tahun lalu. Era reformasi dan kehidupan demokratis sekarang ini tak memberikan jaminan pasti intervensi militer di wilayah sipil. Intimidasi, teror, dan ancaman dari pemegang bedil bisa sewaktu-waktu menimpa seseorang atau sebuah organisasi. Kalau sudah beginitidak ada pilihan lain bagi seluruh elemen masyarakat sipil di negeri kecuali menyatukan kembali barisan dan berseru pada militer agar kembali ke barak dan tak lagi melakukan intervensi dalam lapangan aktivitas masyarakat sipil!***
Penulis, tinggal di Jogja