Tulisan ini terdiri dari empat cerita tentang keluarga. Keempatnya tidak diniatkan terhubung satu sama lain, sekadar cerita yang bisa dibaca sendiri-sendiri.
“….Susahnya kalau jadi bujangan
Hidup tidak akan bisa tenang
Urusi segala macam sendirian….”
(Rhoma Irama, “Bujangan”)
Dalam buku The View from Afar[1], ada cerita yang mirip lirik lagu Rhoma Irama. Suatu kali, dalam kunjungannya ke sebuah suku pedalaman di Brazilia, antropolog Perancis, Claude Lévi-Strauss, menjumpai seorang laki-laki usia tiga puluhan yang tampak lusuh. Duduk di bale gubuk, badannya dekil, kurus, dan bau tak terurus. Rambutnya acak-acakan. Kelihatannya seperti sedang diare. Namun, tidak ada satu pun orang yang peduli padanya. Lévi-Strauss lantas bertanya kepada warga yang memandunya: “Siapa dia? Apakah dia sedang sakit?”. Warga yang ditanya menjawab, “Bukan siapa-siapa, tidak… dia tidak sakit… dia begitu bukan karena sakit, tapi karena dia… bujangan.” .
Entah cerita di atas diperlebay Lévi-Strauss atau tidak, menjadi bujangan tua dalam masyarakat tertentu memang bisa jadi kisah memilukan. Dalam tatanan sosial suku tempat Lévi-Strauss melakukan etnografi, menjadi bujangan berarti tidak mempunyai tenaga kerja (anak dan perempuan) yang tunduk di bawah komando untuk membantu mengerjakan ladang, memelihara ternak, membikin baju, dan mengurus rumah. Mungkin juga tidak akan mendapat hak garap lahan komunal karena syaratnya haruslah sudah kawin. Akibatnya, tidak ada surplus yang bisa dihasilkan dan dipakai buat bergaul dengan sesama laki-laki atau berpolitik di kehidupan komunitas. Intinya, menjadi bujangan seumur hidup berarti makan seadanya, berpakaian alakadarnya, tinggal di rumah kumuh, dan mati sendiri.
Hikmah dari cerita di atas ialah bahwa dalam kebanyakan masyarakat, berkeluarga itu penting. Bukan karena berkeluarga itu ilahiah sebab Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, tetapi karena masyarakat tersebut hanya dapat mereproduksi dirinya dengan, pertama-tama, mengorganisasi reproduksi biologis anggota-anggotanya. Pada kebanyakan masyarakat tradisional, satu-satunya cara untuk mereproduksi tenaga kerja yang dibutuhkan untuk melanjutkan kehidupan kolektif ialah dengan memaksakan anggotanya kawin dan beranak-pinak. Untuk masyarakat dengan surplus produksi dan tenaga kerja rendah, ditambah dengan tingkat mortalitas tinggi dan usia harapan hidup yang pendek, seperti masyarakat tribal, penyegeraan kawin merupakan mekanisme sosial yang vital. Dalam konteks ini, bujangan tua, kalau tidak jadi ‘musuh’ masyarakat, sekurang-kurangnya tidak dianggap. Jangankan oleh seluruh komunitas, tidak dianggap oleh mertua saja bikin pusing tujuh keliling.
Di dalam masyarakat kita, menjadi bujangan tua memang tidak akan mengalami kejadian separah cerita di atas. Tapi pembaca mungkin pernah mengalami pada suatu masa, sekira umur kita 35, di tengah obrolan, kenalan baru bertanya: “Sudah berkeluarga?”. Apabila kita jawab bahwa kita rahib Katolik atau biksu Buddha, pasti tidak akan ada pertanyaan lanjutan. Apabila bukan dan jawaban kita negatif, ada kemungkinan si kenalan lanjut bertanya: “Kenapa?”. Demi sopan santun, kita biasanya menjawab, “Ah, belum ada jodoh saja bu, belum ada yang cocok”, ditambah dengan senyum kecut; atau sambil menguatkan hati, kita jawab “Ya… segera, Bu, sedang mengumpulkan biayanya. Hehe.”. Dari sini, kita bisa katakan bahwa dalam masyarakat kita berkeluarga itu lebih bernilai ketimbang tidak berkeluarga. Bagi masyarakat kita sekarang, umur 35 tahun belum berkeluarga dianggap telat. Apalagi buat perempuan. Setidaknya, selepas kita peroleh ijazah sarjana, kita kawin. Melewati umur itu, kemungkinan kita bakal dijuluki ‘bujang lapuk’, ‘perawan tua’, atau ‘jomlo’.
Batas umur untuk mengakhiri masa bujangan tidak sama menurut masa dan masyarakat tempat kita hidup. Bangsa lima puluh atau enam puluh tahun ke belakang, ambang akhir orang boleh menjadi bujangan tidak setelat sekarang. Generasi kakek saya misalnya, ambang akhir bujangan ialah 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Melewati tahun itu, sebutan ‘jomlo’, siap kita sandang. Dan sebutan ini bisa menyakitkan. Sebutan itu sendiri tidak akan menyakitkan apabila tidak berimplikasi pada kejatuhan kedudukan sosial. Pada banyak masyarakat tani tradisional, hanya orang (laki-laki) dewasa yang punya suara dalam pengambilan keputusan penting di dalam keluarga dan komunitas.
Batas bawah kedewasaan biasanya ialah berkeluarga. Buat kaum tani, kawin sedini mungkin, lantas punya anak sebanyak mungkin, bisa menyelesaikan persoalan jaminan pasokan tenaga kerja tambahan buat menggarap sawah dan mengangon kebo. Tanah dan tenaga kerja merupakan harta terpenting buat mereka. Tidak heran apabila dalam model pewarisan ante-mortem yang pada banyak masyarakat tani dikhususkan untuk kategori harta berupa lahan, salah satu syarat seorang anak untuk mendapatkannya adalah kawin. Kawin menjadi kunci ke mobilitas sosial. Dalam konteks ini, menjadi bujangan tua akan membuat orang dipinggirkan dari kehidupan sosial. Mereka masih hidup secara biologis, tapi secara sosial dianggap tidak ada. Mereka akan menjalani hidup, ibarat pepatah, seperti orang yang hidup segan mati tak mau.
Sekarang, buat kelas menengah perkotaan, batas akhir pendaftaran ulang sebagai bujangan seperti pada zaman nenek saya memang sudah jadi masa lalu. Atau malah, apabila terjadi sekarang, bisa jadi kisah amoral yang perlu ditangani oleh KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). Sekarang, amat tidak lumrah apabila seorang gadis 13 tahun dinikahkan seperti yang terjadi dengan nenek saya. Sekarang, sekolah lebih lama jauh lebih penting ketimbang reproduksi calon tenaga kerja sedini mungkin. Itulah kenapa Syekh Puji, kala mengawini gadis berumur 12 tahun, dihujat sedemikian rupa oleh banyak orang kota. Maklum, hidup sekarang jauh beda dengan hidup zaman nenek saya di pedesaan.
Norma-norma sosial bergeser ke arah penyesuaian diri kepada struktur sosial baru yang dikembangkan kapitalisme. Memang, seperti setiap formasi sosial, kapitalisme juga memerlukan pasokan tenaga kerja untuk menggerakkannya. Namun, kapitalisme memerlukan tenaga kerja yang sesuai dengan kekuatan produktif yang menopangnya. Alih-alih sawah dan kebo yang bisa digerakkan tanpa pengetahuan sekolahan; yang pengetahuan tentangnya cukuplah kita peroleh dari tuturan orang tua, paman, bibi, dan para tetangga, kapitalisme ditopang oleh industri. Setidaknya, tenaga-tenaga kerja yang memasuki pasar industrial haruslah sudah dididik sedemikian rupa sehingga dapat dioperasikan di pabrik-pabrik manufaktur bermesin modern, tambang-tambang berteknologi tinggi, laboratorium canggih, dan kantor-kantor dengan manajemen administrasi yang semuanya mengandaikan kemampuan baca tulis (dan kini, komputer). Lembaga-lembaga pendidikan modern lebih penting kedudukannya daripada sosialisasi keterampilan dari orang tua ke anak. Kini, yang terakhir hanya menjadi hak istimewa di dalam keluarga elite politik maupun elite ekonomi. Buat anak-anak dari keluarga elite, seperti keluarga Soeharto, tidak perlulah itu tetek bengek pendidikan tinggi dan serba keterampilan. Cukuplah patuh pada bapak, bergaul dengan jaringan sosialnya beliau, dan berselera tinggi.
Selain itu, karena penopang kapitalisme adalah kapital yang bisa ditanam di mana pun dan dipindahkan ke mana pun asal di situ laba berkenan dilipatgandakan, maka pranata-pranata reproduksi tenaga kerja haruslah juga mengikuti watak kapital yang lentur ini. Apabila di zaman kakek saya keluarga besar (gabungan beberapa keluarga batih yang terpaut pertalian darah dan perkawinan) merupakan satu-satunya pranata reproduksi tenaga kerja, kini tugas itu diambil alih, salah satunya, oleh pranata pendidikan modern yang dikendalikan negara: sekolah. Apabila ada pembaca yang berasal dari masyarakat Minangkabau atau Batak, tentu masih ingat akan pranata rumah gadang atau rumah besar. Dahulu rumah gadang bukan sekadar bangunan tempat tinggal yang di dalamnya hidup beberapa keluarga batih yang dipimpin orang paling senior. Di sana, bisa dua-tiga generasi hidup bersama di satu atap. Mereka terikat oleh aturan kekerabatan dalam mengelola harta bersama, tanah keluarga. Alih-alih sekadar bangunan, rumah gadang adalah pranata sosial. Ia mengatur segala upaya dan pilihan perilaku anggota-anggotanya dari mulai jodoh kawin, nama anak, giliran garap, pembagian kerja, hingga penguburan. Tidak ada keputusan individu yang tidak diputuskan oleh kolektif. Kenapa pranata ini lenyap? Kenapa orang-orang Minang tidak lagi mengorganisasi kehidupannya dengan rumah gadang? Kenapa mereka sekarang kebanyakan tinggal di rumah-rumah individual yang berintikan keluarga batih? Jawabannya sederhana: penetrasi kapital. Watak kapital itu cair. Watak ini, yang digerakkan oleh norma efisiensi, tidak akan maujud tanpa disokong oleh tenaga kerja yang juga cair.
Tenaga-tenaga kerja di bawah kendali kapital tidak hanya harus terus berubah dalam kualitas dan kuantitas mengikuti perubahan kekuatan produktif, tetapi juga yang dapat bergerak bebas lintas wilayah. Salah satu prasyarat kebebasan gerak ini ialah sederhananya proses pengambilan keputusan. Apabila pengambilan keputusan untuk individu ada di tangan kolektif rumah gadang, berbagai aturan adat-istiadat, khususnya terkait dengan kedudukan dan peran orang-orang, akan memperlambatnya. Pada tingkat agregat, arus pasokan tenaga kerja akan tampak lelet jalannya mengikuti gerak kapital yang lincah. Buat kapitalisme, semakin individual keputusan diambil, semakin baik. Dalam konteks ini, keruntuhan keluarga besar dan pranata rumah gadang (termasuk bangunan tempat tinggal bermodelkan pranata tersebut) merupakan implikasi penetrasi kapitalisme melalui sistem perekonomian dan pendidikan modern beserta moralitas individualistiknya.
Keluarga dalam Injil Malthus
Mungkin Marx ada benarnya waktu bilang bahwa tiap-tiap moda produksi memiliki hukum kependudukannya sendiri-sendiri. Pernyataan yang tidak pernah dikembangkannya lebih dari sekadar pernyataan singkat dalam Das Kapital ini mengabarkan bahwa persoalan kependudukan tidak dapat dianggap terpisah dari relasi produksi dominan. Tidak ada itu yang namanya sebab-sebab kependudukan. Gejala yang disebut demograf sebagai pertumbuhan penduduk, misalnya, dikondisikan oleh halangan-halangan ekonomi-politik ketimbang oleh kapasitas biologis manusianya. Di semua masyarakat kapasitas biologis perempuan untuk prokreasi jauh di atas tingkat kelahiran. Perempuan homo sapiens, sejak evolusi pertamanya 200 ribu tahun silam, sebetulnya secara biologis dapat melahirkan 15 anak sepanjang hidupnya. Namun, nyatanya tidak demikian. Kemiskinan, penyakit, kelaparan, ritus, kepercayaan, atau dalam masyarakat borjuis kita ‘ideologi kesejahteraan’, menyetel tingkat reproduktif jauh di bawah tingkat kesuburan.
Tiap-tiap masyarakat mempunyai mekanisme pengendalian penduduknya sendiri-sendiri. Pada banyak masyarakat tribal pemburu-peramu, infantisida atau pematian kanak-kanak, kebanyakannya anak perempuan, merupakan praktik lumrah yang disokong komunitas. Sebaliknya, pada masyarakat Negara pertama di wilayah Sabit Subur 6000-4000 tahun silam, Negara justru mensponsori ‘banyak anak, banyak rejeki’ melalui upacara orgi di kuil-kuil Dewi Kesuburan seluruh negeri. Dalam masyarakat kita sekarang, Negara mensponsori keluarga berencana dengan semboyan ‘dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja’. Pascapenumbangan Soeharto, pemerintah mengubah semboyan ini menjadi ‘dua anak lebih baik’ tanpa embel-embel ‘laki-laki perempuan sama saja’. Kenapa sih negara perlu mengendalikan jumlah dan komposisi penduduknya sama sekali?
Dari segi sejarah, program KB (Keluarga Berencana) di seluruh dunia utamanya digebyah-uyah pasca-baby-boom plus krisis dasawarsa 1970-an. Di negara-negara kapitalis, penggenjotan angka kelahiran pasca Perang Dunia Kedua berujung buah simalakama. Penggenjotan itu memang perlu untuk memasok angkatan kerja yang menyusut brutal pascaperang. Jutaan penduduk usia muda di negara-negara yang terlibat perang, khususnya Eropa dan Amerika, habis dilahap mesin-mesin perang yang baru pertama kali unjuk gigi dalam sejarah manusia. Jerman, Perancis, dan Inggris yang berantakan, misalnya, butuh jutaan tenaga kerja untuk menyulih anak-anak mereka yang tewas. Miliaran dolar utang lewat Marshall Plan tiada guna tanpa pasokan tenaga kerja ini. Sambil menunggu pertumbuhan penduduk internal menaik, didatangkanlah pekerja-pekerja dari negeri-negeri bekas jajahan untuk membangun infrastruktur dan manufaktur. Tapi pada suatu titik, hasil program keluarga besar, ditambah arus masuk pekerja migran, ini berbenturan dengan pranata welfare state yang di dalamnya negara turut serta dalam ‘membiayai’ ongkos pendidikan, kesahatan, dan jaminan hari tua warganya melalui subsidi negara kesejahteraan. Makin lama makin besar dana yang dibutuhkan untuk mengongkosi jaminan kesehatan dan pendidikan. Belum lagi, arus masuk penduduk dunia, khususnya dari negeri-negeri bekas jajahan, yang sebelumnya diperlukan untuk menyulih kekurangan tenaga kerja dalam negeri, lama-lama menjadi beban.
Di sektor swasta, model Fordisme dari 1940-an yang awalnya merevolusi perekonomian dengan memassalkan manufaktur, lama-lama membuat perekonomian obesitas[2] sehingga lambat geraknya. Kontra-revolusi pasca-Fordisme, dengan ideologi pasca-Fordisme, mengembangkan pranata subkontrak dan pembubaran pabrik-pabrik raksasa model Fordis, mengurangi kebutuhan akan pasokan tenaga kerja nasional. Apabila lebih murah membiayai produksi dengan memecah lini-lini ke banyak negara miskin, kenapa pusing-pusing mempertahankan model manufaktur raksasa di dalam negeri? Di titik ini, apa yang disebut orang proses deindustrialisasi, terjadi di banyak pusat manufaktur negara-negara kapitalis. Dalam konteks ini, pertumbuhan penduduk tinggi pun lebih tampak sebagai beban ketimbang peluang.
Buat negara kita yang digelontori utang-utang sejak tekén kontrak dengan para rentenir global mulai 1968, mengendalikan jumlah penduduk merupakan program yang pernah jadi kunci hidup-matinya rezim. Bagaimana tidak, salah satu patokan tingkat kemajuan ekonomi menurut PBB ialah pengurangan tingkat pertumbuhan penduduk. Semakin rendah tingkat pertumbuhannya, semakin murah ongkos membangun infrastruktur ekonominya. Nah, untuk membuktikan bahwa utang-utang yang telah dipinjamkan itu memang untuk memajukan perekonomian bangsa, bukan (hanya) untuk memperkaya sanak-kadangnya, rezim bekerja keras mengurangi nilai angka pembagi dalam rumus rumus Pendapatan Per Kapita yang rumusnya adalah Pendapatan Nasional dibagi jumlah penduduk.
Di bawah ancaman penghentian ‘bantuan’ dan ditakut-takuti cerita horor Malthusian soal ledakan penduduk, negeri-negeri semacam Indonesia didisiplinkan penduduknya. Dalam cerita itu, pertumbuhan penduduk bergegas ibarat kancil lari mendahului pertumbuhan pangan yang melata ibarat kura-kura. Pada suatu titik, pasokan pangan hanya tinggal segenggam dibanding jumlah berjuta-juta mulut yang mesti dipuaskan. Huru-hara, peperangan, dan kelaparan akan tak terhindarkan. Itulah hukum kependudukan kita, kata para penutur ceritanya. Memang ngeri ceritanya. Ada masuk akalnya juga. Bayangkan saja, tanah di bumi tidak bertambah. Penduduk yang banyak memerlukan tempat tinggal yang banyak juga. Lahan produksi pangan diubah menjadi permukiman. Sementara jumlah penduduk bertambah, jumlah lahan untuk produksi pangan justru berkurang. Namun, ada alur yang hilang dalam cerita itu. Lahan langka buat mereka yang sanggup menggarapnya karena benteng kelembagaan yang disebut ‘hak milik pribadi’. Tak terhitung banyaknya ‘lahan tidur’ yang tidak tergarap. Bukan karena tidak ada orang yang ingin mencangkul hidup darinya, tetapi karena tanah-tanah itu oleh negara telah disahkan sebagai milik absolut orang yang belum tentu bisa dan berkenan menggarapnya sebagai lahan pangan. Pagar-pagar tak kasat mata namun tajam dari ‘hak milik pribadi’ yang ditopang sistem hukum modern ini akan mengusir siapa pun yang tidak sah menurut hukum untuk memanfaatkannya. Jangankan menggarap tanahnya, mengambil tiga buah kakao jatuhan di tanah milik perusahaan coklat saja bisa dipenjara.
Selain itu, perkembangan teknologi atau kekuatan produktif yang disokong sains modern sebetulnya bisa membikin sejumlah kecil petak tanah menjadi lahan dengan produktivitas berlipat-lipat. Padi yang tumbuh dari benih unggul bikinan laboratorium bisa menghasilkan gabah lima kali lipat dengan masa panen setengah lebih cepat daripada padi dari benih lama. Tapi, masalahnya tidak terletak pada produktivitas, tetapi dalam kerangka perekonomian macam apa produktivitas pangan itu berada. Kekuatan sains dan teknologi modern akan sanggup memproduksi pangan melebihi jumlah kebutuhan riil. Soalnya, di tangan rumus umum kapital dan dijaga lembaga kepemilikan pribadi, kelimpahan tersebut hanya dapat diakses oleh mereka yang efektif menukarnya dengan sejumlah tertentu uang. Lagipula, produksi pangan berlimpah-limpah bisa bikin rugi korporasi yang memproduksinya. Kelangkaan mesti dibikin sedemikian rupa supaya diameter laba terjaga tetap gendut. Kita mesti ingat bahwa tujuan akhir korporasi meningkatkan produktivitas produksinya bukan untuk amal ibadah tapi demi pelipatgandaan modal yang sudah ditanam. Tirani laba inilah yang membikin lahan dan pangan tampaknya melata selambat kura-kura sementara pertumbuhan penduduk berlari secepat kancil. Jadi, alih-alih sebagai hukum umum kependudukan, cerita horor Malthus lebih merupakan hukum umum kependudukan di bawah tirani kapitalisme.
Tanpa perlu memperhatikan secara saksama saja kita bisa mafhum bahwa program-program ‘keluarga berencana’ di Dunia Ketiga (yang berangkat dari pengandaian cerita horor Malthus itu) setidaknya punya dua tujuan, yakni mengundurkan masa reproduktif dan mengurangi jumlah kelahiran anak. Kedua tujuan tersebut sebetulnya setali tiga uang, yakni sebagai fungsi dari tatanan perekonomian sekarang. Kalaulah boleh bersuuzon, mengundurkan masa reproduktif, wabil khusus perempuan, merupakan bagian dari proses proletarisasi perempuan. Sebagai warganegara, perempuan juga harus berjuang sepenuh jiwa raga dalam memajukan negara. Kebetulan sekarang memajukan masyarakat berarti turut serta dalam kehidupan ekonomi.
Mengurangi jumlah kelahiran anak per keluarga bertujuan mulia meningkatkan kesejahteraan anggota-anggota. Apabila dalam perekonomian tradisional yang bertumpu pada lahan garapan, banyak anak berarti kemandirian keluarga dalam memenuhi tenaga kerja dan kepastian jaminan hari tua, dalam perekonomian industrial, banyak anak berarti tambah beban. Di tengah-tengah persiapan menyambut investasi yang memerlukan tenaga kerja berpendidikan, banyak anak sama saja dengan kian banyaknya uang yang harus dikeluarkan untuk mensosialisasi anak-anak supaya mereka cocok dengan kondisi ekonomi yang ada. Lagipula, pasar, yang disokong infrastruktur transportasi yang memudahkan pergerakan orang ke pusat-pusat perekonomian, telah mengambil alih pasokan tenaga kerja. Revolusi Hijau yang dicanangkan Orde baru dalam meningkatkan produktivitas pertanian nasional bukan hanya memperkenalkan bibit unggul dan traktor, tetapi juga kerja upahan. Kerja upahan menjadi norma. Juga di lahan garapan.
Keluarga dan Seks
Kalau kita perhatikan, dua cerita di atas seolah bilang bahwa keluarga lebih berurusan dengan politik-ekonomi ketimbang penyatuan dua cinta. Sebetulnya, apa sih hubungan keluarga dan seks? Coba kita simak percakapan berikut.
Ibu A : “Eh jeng, suami-suami kamu pada ada di rumah?”
Ibu B : “Nggak semua, yang dua lagi nganter orang ke Chumalongmo, yang satu lagi ngurusin Yak di bukit sebelah timur. Cuma satu yang ada di rumah, nungguin di bungsu.”
Ibu A : “Emang yang satu itu bapaknya, ya?”
Ibu B : “Iya, ‘kan kemaren waktu upacara dia yang ngongkosin.”
Ibu A : “Bersyukur, ya, anak kamu dua laki-laki. Cuma satu yang perempuan.”
Ibu B : “Iya, coba kalo ketiganya perempuan, bisa-bisa mesti dimatiin dua deh… ‘kan nggak tega ngeliatnya.”
Ibu A : “Eh, suami kamu semuanya sodara kandung bukan sih, kok mirip gitu mukanya?”
Ibu B : “Nggak juga, yang tiga sih kakak-beradik, yang dua bukan, tapi masih temannya yang kakak-
beradik itu.”
Saya haqul yakiin bahwa tidak ada di antara pembaca yang pernah mendengar percakapan semacam ini sebelumnya. Percakapan di atas memang imajiner, tapi fakta yang terkandung di dalamnya riil. Di situ ada beberapa fakta yang menurut kesadaran sosial kita tidak lumrah sama sekali. Pertama, seorang perempuan boleh menikahi beberapa suami sekaligus, dan kalo bisa suami-suami itu saudara sekandung. Kedua, ayah dari anak tidak ditentukan oleh kebapakan biologis, tetapi sepenuhnya sosial.
Apa ada masyarakat yang mengakui bentuk keluarga macam ini? Sakinah atau tidak, tentu saja ada. Menurut antropolog, ada 53 masyarakat di dunia yang melembagakan perkawinan dan keluarga poliandri; seorang perempuan mengawini beberapa orang laki-laki sekaligus dan membentuk sebuah keluarga[3]. Keluarga poliandri itu bermacam-macam modelnya. Seperti di percakapan di atas, yang berlaku pada beberapa masyarakat Tibet, Nepal, dan Lautan Teduh, modelnya fraternal. Artinya, seorang perempuan dikawini oleh dua atau lebih laki-laki yang bersaudara kandung. Buat masyarakat kita, bentuk keluarga macam ini sungguh tidak lumrah. Kalau ada di sini, bisa copot itu engsel otaknya oleh para polisi moral kita. Betapa tidak, buat masyarakat kita bentuk keluarga normal itu cuma dua: monogami dan poligini. Masih wajar kalau seorang laki-laki mengawini beberapa perempuan. Tapi kalo perempuan yang punya suami banyak, apalagi suami-suaminya itu kakak-beradik, dan mereka tinggal di satu rumah bersama, masya Allah, itu bejat namanya. Namun, bejat atau tidak adalah urusan moralitas. Dan moralitas itu terikat pada kebudayaan. Buat masyarakat Tibet, misalnya, poliandri merupakan fungsi dari keterbatasan ekologis. Buat mereka yang punya lahan banyak tidak masalah apabila membagi-baginya kepada semua anak lelaki. Dengan modal lahan in,i mereka dapat membentuk keluarga monogami. Tapi tidak banyak keluarga yang punya cerita macam ini. Kebanyakan mereka hanya memiliki lahan subur terbatas. Untuk menghindari besar pasak daripada tiang dengan mempraktikkan monogami, lebih baik laki-laki sesaudara kandung mengawini seorang perempuan saja. Lalu polisi moral kita bertanya: “Kalau suaminya banyak bagaimana dengan nasab anak-anak yang dilahirkan?”. Pertanyaan ini dijawab polisi moral di Tibet kira-kira begini: “Nasab si anak tidak ditentukan oleh pertalian darah biologis dengan genitornya, tetapi lebih sosial. Suami mana saja yang sanggup menyelenggarakan upacara pengakuan anak akan menjadi bapak dari si anak. Kalau dua atau lebih berkenan melakukan upacara, mereka tinggal hompimpa saja. Jadi, setiap anak yang lahir dalam keluarga itu bisa beda ayah-ayahnya.”. Dalam bahasa kita, pertanyaan polisi moral kita bisa dijawab: “Emang masalah buat lo kalo kebapakkan ditentukan oleh upacara doang?”.
Cerita di atas belum seberapa. Polisi moral kita akan lebih kelenger apabila dengar praktik kawin dan bentuk keluarga masyarakat Nayar (Nair) di India Tengah. Seorang perempuan Nayar dikawinkan kepada seorang laki-laki pada saat usia akhil balig. Tapi setelah usai upacara perkawinan, suami-istri tidak tinggal bersama. Istri tetap di kelompok ibunya. Suami kembali ke kelompoknya berasal. Hanya beberapa kali setahun dia datang dan tinggal semalam atau dua untuk berhubungan dengan istrinya. Di luar itu, baik si istri maupun si suami boleh berhubungan seks (bahkan kawin sah) dengan siapa pun yang mereka kehendaki. Polisi moral Nayar menilai praktik macam ini wajar. Tapi apa jadinya kalo ini terjadi di sini. “Bejat sebejat-bejatnya,” kata polisi moral kita. Mereka pasti bertanya: “Lantas gimana nasab anak-anaknya?”. Dalam kerangka moral kita, anak dinisbatkan kepada keluarga batih, yakni pasangan laki-laki dan perempuan yang sah secara hukum. Tetapi tidak buat orang Nayar. Anak bukan ‘milik’ keluarga batih. Keluarga batih tidak berhak atas nama dan harta bersama. Oleh karena itu, alih-alih ke keluarga batih, anak dinisbatkan pada klan asal ibunya. Lagipula, tidak seperti kita, nasab anak tidak mengikuti ayah, tetapi ibu. Buat orang Nayar, tidak penting siapa ayah biologisnya, yang penting siapa perempuan yang melahirkannya. Bagi mereka tidak ada bin atau binti Adam, yang ada bin atau binti Hawa. Karena itu, dalam urusan rumah tangga, bukan otoritas suami yang penting, tetapi nenek dan paman-paman dari garis ibu. Begitu pula model pewarisannya[4].
Kita seringkali tanpa pikir panjang menilai bahwa keluarga monogami beserta moralitas seksualnya, yang berangkat dari moralitas seksual agama Semitik bahwa hubungan seks bagaimana pun terlarang kecuali dalam ikatan perkawinan dan untuk menghasilkan anak keturunan, merupakan moralitas yang alamiah. Survei Ethnographic Atlas[5] menemukan bahwa dari 1.231 masyarakat di dunia, hanya 186 masyarakat yang secara tradisional menganut monogami. Dari jumlah terbatas itu pun hanya 29 yang sekalian menormakan monogami seksual. Artinya, hanya sekitar 2 persen saja yang melarang hubungan seks di luar ikatan perkawinan monogami. Pada masyarakat yang melembagakan keluarga monogami, kebanyakan tidak melarang hubungan seks pra dan di luar perkawinan. Buat orang Masai dan Changga di Afrika, Samoa di Lautan Teduh, orang Boróro di Brazilia tengah, orang Muria di India, orang Mouso di Tiongkok selatan, banyak masyarakat suku di pegunungan Indocina, dan banyak masyarakat lainnya, perkawinan tidak ada hubungannya dengan pengesahan hubungan seks antarjenis kelamin. Sebelum kawin, orang Muria, misalnya, melembagakan rumah seks komunal untuk kaum mudanya. Alih-alih di rumah orang tuanya, muda-mudi Muria tinggal di rumah komunal desa. Di sana mereka boleh memilih pasangan dan melakukan hubungan seks suka sama suka dengan siapa pun yang mereka kehendaki. Sampai usia tertentu yang menurut adat mereka harus membentuk keluarga, barulah mereka keluar dari rumah komunal dan membentuk keluarga monogami. Jadi, setiap orang di desa bisa tahu pasangan seks suami/istrinya sebelum kawin. Di dataran tinggi Indocina dan bangsa Mouso di Tiongkok Selatan, misal yang lain, budaya seksnya pasti bisa bikin pecah itu kepalanya polisi moral kita. Bagaimana tidak, setiap ayah yang punya anak gadis wajib secara adat menyediakan gubuk di pekarangannya atau kamar khusus di rumahnya untuk dipakai si gadis menerima tamu malamnya. Di sana, si anak gadis yang sudah dianggap akhil balig boleh berhubungan seks dengan perjaka mana pun yang menyenangi dan disenanginya sampai waktunya mereka mencapai usia untuk dikawinkan.
Saya kira sudah cukuplah cerita-cerita dari etnografi ihwal tidak universalnya keluarga monogami konjugal kita beserta moralitas seksualnya. Karena cerita-cerita inilah saya pernah sesumbar dalam hati, ketimbang filsafat, antropologi jauh lebih subversif buat masyarakat kita. Tanpa tetek bengek kalkulus integral, etnografi menyediakan pasokan data betapa lenturnya masyarakat manusia itu. Tidak ada kebudayaan yang universal, apalagi mengaku dirinya berhak menjadi polisi moral buat kebudayaan manusia selebihnya. Buat antropologi, mayoritas tidak selamanya benar. Bentuk keluarga dan moralitas seksualnya tak lebih dari pranata sosial yang berkembang secara historis. Sebagai anasir penting mekanisme reproduksi (biologis dan sosial), keluarga terikat pada bentuk dan dinamika infrastruktur material masyarakatnya. Lantas, adakah perkara ini berhubungan dengan cinta?
Keluarga dan Cinta
Keluarga sepasangan yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak tinggal di dalam satu rumah tangga, merupakan bentuk baru dalam sejarah manusia. Sebelum industri modern dan perdagangan global berkembang, bentuk keluarga paling adaptif adalah keluarga besar yang tersusun atas beberapa keluarga batih sekerabat (semacam rumah panjangnya orang Dayak). Menurut Engels, bentuk awalnya mungkin berasal dari keluarga patriakhal semacam yang berlaku pada masyarakat Yunani, Romawi, dan Yahudi Kuno. Keluarga patriakal tersusun atas seorang laki-laki dewasa yang mengawini seorang perempuan sebagai istrinya ditambah dengan anak-anak dan beberapa budak perempuan yang boleh disetubuhi oleh si suami. Karena suami berhak melakukan apa saja kepada budak-budak perempuannya, keluarga patriakal boleh dikata adalah monogami sosial, tetapi tidak seksual. Di sini, suami adalah pemegang hak milik atas harta. Istri, anak, dan budak-budak setara kedudukannya dalam arti semuanya adalah milik seorang laki-laki yang menjadi kepala keluarga. Sampai saat ini, meski minus budak-budak belian, lumrah dibilang bahwa suami adalah kepala keluarga. Ini rupanya warisan ideologis dari keluarga patriakal kuno itu. Boleh dibilang, keluarga patriakal merupakan mekanisme reproduksi ketika kepemilikan pribadi telah berkembang sedemikian rupa menggantikan pranata kepemilikan komunal.
Salah satu ideologi dari keluarga sepasangan ialah cinta romantis. Dikatakan bahwa keluarga dimulai oleh rasa cinta sepasang kekasih. Namun sejarah membuktikan bahwa cinta tidak pernah kuat menembus dinding kokoh kepemilikan pribadi yang menjadi asumsi keluarga monogami. Dalam banyak kasus, perkawinan dikondisikan oleh kedudukan kelas pihak-pihak yang terlibat. Perkawinan lebih merupakan kontrak dua pihak pemegang hak milik pribadi, dan keluarga adalah organisasi pengelolaan hak milik ini. Oleh karena itu, sebelum cinta, yang utama adalah bibit, bebet, dan bobot. Seperti pertukaran komoditas, menurut Martin Suryajaya yang mengandaikan keseukuran nilai[6], begitu pula perkawinan. Keluarga yang diinisiasi oleh cinta romantis, apalagi cinta antara dua orang dengan bibit, bebet, botot yang tidak setara, utamanya apabila laki-lakinya berasal dari kelas bawah, ditakdirkan pasti gagal. Entah bunuh diri dia (Romeo dan Juliet) atau mati tenggelam (Titanic) atau diracun (Siti Nurbaya). Kalau pun berhasil sampai ke pelaminan, sekurang-kurangnya si laki-laki haruslah lulus menjadi insinyur (Si Doel Anak Sekolahan). Bagaimanapun, buat kelas bermilik keluarga dibentuk sebagai jaminan kepastian nasab anak-anak. Dan nasab, pertama-tama, berurusan dengan distribusi kekayaan dan pewarisan. Buat kelas bermilik, cinta romantis tidak boleh mendahului perhitungan ekonomi. Kalaupun mau muncul, mestinya setelah perkawinan dilaksanakan. Baru setelah sekian lama berkeluarga sajalah cinta boleh membumbui reproduksi: awiting tresno jalaran soko kulino.
Menurut Engels, alih-alih diinisiasi oleh cinta romantis, munculnya keluarga monogami modern justru yang menginisiasi cinta romantis ke dalam pranata keluarga[7]. Cinta romantis, yang disebut Engels sebagai ‘kemajuan moral paling besar’ dalam keluarga manusia, muncul sebagai kekuatan penyetara[8]. Melaluinya, supremasi laki-laki atas perempuan dibuat lebih lembut wujudnya dan karenanya perempuan dapat memiliki kedudukan lebih bebas dan lebih dihormati daripada zaman sebelumnya. Namun, seperti halnya sains dan teknologi modern, cinta romantis terbelenggu oleh pranata kepemilikan pribadi dan dominasi laki-laki. Seperti halnya sains dan teknologi yang di bawah cengkraman kapital hasilnya bukan untuk kemaslahatan banyak orang, begitu pula cinta romantis dalam keluarga yang hanya menjadi ideologi pengikat perempuan dalam keluarga monogami. Daya pembebasnya tunduk pada kalkulasi ekonomis.
Lagi-lagi menurut Engels, cinta romantis sebagai landasan keluarga yang di dalamnya supremasi laki-laki tergerus itu “hanya terbentuk dan hanya bisa menjadi aturan nyata di antara kelas tertindas yang artinya sekarang di antara proletariat”[9]. Alasannya, di sini “tidak ada kepemilikan untuk dilanggengkan dan diwariskan yang darinya monogami [seksual] dan supremasi laki-laki tegak; dengan demikian tidak ada insentif untuk membuat supremasi laki-laki ini efektif”[10]. ‘Hukum borjuis’, kata Engels, “yang melindungi supremasi [laki-laki] ini, hanya tegak bagi kelas bermilik dan dalam hubungan mereka dengan proletariat”[11]. Oleh karena itu, buat proletariat, kata Engels, “kondisi personal dan sosial lebih berperan” dalam relasi kawin dan pembentukan keluarga. Sekarang, kondisi macam apakah yang paling berperan itu? Menurut Engels, “industri skala besar telah membetot istri dari rumah ke pasar tenaga kerja dan ke dalam pabrik, dan [ini] membuatnya seringkali sebagai pencari nafkah utama keluarga” sehingga “tidak ada lagi landasan untuk setiap jenis supremasi laki-laki yang tersisa dalam rumah tangga proletariat”[12].
Tidak seperti dahulu, sekarang perempuan dapat menggugat cerai. Tanpa beban harta milik dan konsekuensi-konsekuensi politiknya, baik laki-laki maupun perempuan yang disatukan oleh cinta romantis dan urusan pribadi dalam perkawinan, dapat setara. Tidak hanya di muka hukum, tetapi juga di muka masyarakat. Inilah keluarga monogami sebenar-benarnya perkataan itu. Bukan monogami hanya untuk perempuan seperti dalam keluarga borjuis. Dari manakah manusia belajar soal ini? Dari proletariat modern, tentu saja.
[1] Claude Lévi-Strauss, 1992. The View from Afar, Chicago: Chicago University Press.
[2] Salah satu ciri Fordisme ialah pengorganisasian produksi manufaktur melalui sistem pabrik raksasa yang di dalamnya berbagai lini produksi beroperasi di satu tempat. Pada satu sisi, manufaktur skala besar meningkatkan produktivitas perekonomian secara umum. Pada sisi lain, administrasi perusahaan menjadi birokratis sehingga memperlambat gerak pengambilan keputusannya. Dari kesulitan-kesulitan yang diakibatkan Fordisme inilah berkembangnya sistem subkontrak, ketika perusahaan memecah lini produksi yang sebelumnya ditangani langsung dan mengalihkannya ke perusahaan lain, termasuk yang di luar negeri.
[3] Katherine E. Starkweather dan Raymond Hames, 2012. “A survey of Non-Classical Polyandry”, Human Nature, 23: 149—72.
[4] Ihwal masyarakat Nayar, lihat E.K. Gough, 1952. “ Changing Kinship Usage in the Setting of Political and Economic Change among the Nayars of Malabar”, Journal of the Royal Anthropological Institute, 82: 71—87; E.K. Gough, 1959. “The Nayars and the Definition of Marriage”, Journal of the Royal Anthropological Institute, 89: 23—34.
[5] http://lucy.ukc.ac.uk/EthnoAtlas/ethno.html
[6] Martin Suryajaya, 2013. Asal-Usul Kekayaan, Yogyakarta: Resist Book.
[7] Frederick Engels, 1972. The Origin of Family, Private Property, and the State, London: Lawrence & Wishart, hlm. 128 dan 133.
[8] Engels, ibid., hlm. 132.
[9] Engels, ibid., hlm. 135.
[10] Ibid.
[11] Ibid.
[12] Ibid.