Dari Konsesi ke Kekerasan: Wajah Konflik Agraria di Bengkulu

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Bengkulu Network


PENEMBAKAN terhadap lima petani di Desa Kembang Seri, Kecamatan Pino Raya, pada 24 November 2025 oleh pihak keamanan PT Agro Bengkulu Selatan (ABS) merupakan titik paling kelam dalam sejarah panjang konflik agraria di kawasan tersebut. Peristiwa ini bukan tindakan kekerasan spontan, melainkan bagian dari rangkaian konflik agraria yang berulang, terus meningkat, dan telah menelan korban di berbagai tahap. Para petani ditembak saat mempertahankan tanah garapan yang telah mereka kelola selama bertahun-tahun, sementara perusahaan mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian dari konsesi mereka. Kejadian ini menunjukkan bahwa konflik agraria yang dibiarkan berlarut-larut selalu membawa korban jiwa, mengancam keselamatan rakyat, dan menimbulkan trauma sosial yang mendalam.

Tanda-tanda eskalasi sebenarnya sudah terlihat jauh sebelum penembakan terjadi. Sejak 30 November 2023, petani Kembang Seri menghadapi intimidasi dan upaya pengusiran terselubung melalui pencabutan bibit tanaman oleh orang-orang PT ABS di area seluas 444 hektare yang selama ini mereka kelola. Perusahaan secara sepihak memasuki wilayah garapan warga dan mengklaimnya sebagai aset perusahaan, meskipun status perizinan mereka telah lama bermasalah. Situasi ini memicu ketegangan antara pekerja perusahaan dan warga, yang berulang kali hampir berujung bentrokan fisik. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa konflik ini bukan semata soal klaim atas tanah, tetapi menyangkut hak rakyat atas ruang hidup yang telah mereka kelola turun-temurun.

Permasalahan menjadi semakin kompleks karena dasar hukum perizinan PT ABS tidak lagi berlaku. Perusahaan memperoleh izin lokasi seluas 2.950 hektare pada 2012 dan perpanjangan pada 2015. Namun seluruh izin tersebut, termasuk izin prinsip dan izin usaha, tidak lagi berlaku sejak 2016.. Lebih jauh lagi, PT ABS tidak pernah memiliki Hak Guna Usaha (HGU), tetapi tetap melakukan aktivitas perkebunan tanpa pengawasan yang memadai dari pemerintah daerah. Dari ribuan hektare wilayah yang pernah diberikan kepada perusahaan, sekitar 2.506 hektare justru terlantar dan kembali dimanfaatkan oleh rakyat sebagai ruang produksi mereka. Situasi ini menciptakan kekosongan dan ketidakpastian hukum yang memicu benturan. Perusahaan terus mengklaim lahan tersebut, sementara warga bergantung pada tanah itu untuk mempertahankan penghidupan mereka..


Bukan Satu-Satunya

Kasus penembakan lima petani di Pino Raya tidak dapat dipahami sebagai peristiwa yang berdiri sendiri. Peristiwa ini justru mencerminkan pola konflik agraria yang terus berulang di berbagai wilayah Bengkulu. Sebagaimana cermin yang memantulkan kondisi struktural yang lebih luas, insiden Pino Raya hanyalah satu episode dari rangkaian panjang pertentangan klaim antara warga, perusahaan, dan negara. Dalam perspektif yang lebih besar, Bengkulu menyimpan sejarah panjang peminggiran masyarakat adat, kriminalisasi petani, perebutan ruang hidup, hingga perambahan kawasan hutan oleh perusahaan besar. Seluruh pola tersebut menunjukkan bahwa konflik agraria di Bengkulu tidak muncul dari kesalahpahaman lokal, melainkan merupakan konsekuensi dari tata kelola agraria yang timpang dan permisif terhadap ekspansi perkebunan.

Sejak awal 2000-an, konflik agraria di Bengkulu menunjukkan pola yang konsisten. Pada 2003, warga Desa Lubuk Lagan berkonflik dengan PT MSS yang menggunakan skema kemitraan semu, seperti janji kebun plasma dan pembagian lahan yang tidak pernah ditepati, meninggalkan warga tanpa kepastian hak atas wilayah kelola mereka. Pada 2010, PTPN VII terlibat dalam dua konflik besar sekaligus. Pertama, dengan masyarakat adat Serawai Semidang Sakti yang mempertahankan wilayah adat dari ekspansi perkebunan. Kedua, dengan masyarakat adat Pering yang tidak pernah mendapatkan kembali wilayah mereka setelah masa “pinjam pakai” 25 tahun berakhir. Pada periode yang sama, masyarakat adat Pekal menghadapi situasi yang tak kalah serius ketika lahan mereka dijual secara ilegal oleh oknum mantan perangkat desa kepada PT Grand Jaya Niaga, mengakibatkan hilangnya ruang hidup yang telah mereka kelola turun-temurun.

Memasuki dekade berikutnya, konflik agraria di Bengkulu terus berlanjut dengan pola yang semakin kompleks. Pada 2019, tujuh warga Ketahun melaporkan PT Air Muring karena lahan garapan mereka secara sepihak dimasukkan ke dalam HGU perusahaan, mengungkap lemahnya kontrol negara terhadap batas konsesi dan proses pengukuran ulang HGU. Pada 2022, PT Daria Dharma Putra (DDP) kembali memicu konflik ketika empat buruh panennya dikriminalisasi atas tuduhan pencurian buah sawit. Kasus ini diduga berkaitan erat dengan sengketa antara warga dan perusahaan, menunjukkan bagaimana kriminalisasi pekerja kerap digunakan sebagai alat untuk meredam protes dan mempertahankan penguasaan perusahaan atas wilayah yang disengketakan.

Selain konflik yang berakar pada izin perkebunan, Bengkulu juga menghadapi persoalan serius berupa perambahan kawasan hutan oleh perusahaan-perusahaan besar. PT Daria Dharma Pratama mengelola 1.427,5 hektare kebun sawit di dalam kawasan konservasi TWA Seblat dan hutan produksi terbatas (HPT) Air Ipuh I–II, menjadikannya pelaku perambahan terbesar di provinsi ini. Pelanggaran serupa dilakukan oleh PD Pati yang membuka kebun sawit seluas 520 hektare di kawasan hutan produksi (HP) Air Teramang dan HPT Air Ipuh II tanpa izin kehutanan. PT Persada Sawit Mas dan PT Laras Prima Sakti juga tercatat melakukan aktivitas perkebunan di dalam kawasan lindung dan hutan produksi, sementara PT Jatropha Solutions di Bengkulu Selatan menggarap sebagian arealnya yang berada di dalam HPT Bukit Rambang dan sempadan sungai, melanggar ketentuan tata ruang. Fenomena ini menunjukkan bahwa perambahan kawasan hutan oleh sektor perkebunan bukanlah pengecualian, melainkan praktik umum yang dibiarkan berlarut-larut.

Dari seluruh rangkaian kasus tersebut, tampak jelas bahwa konflik agraria di Bengkulu bersifat sistemik dan saling berkaitan. Penelantaran lahan skala besar, pelanggaran tata ruang, ketidakjelasan batas konsesi, praktik kemitraan yang tidak pernah diwujudkan, hingga kriminalisasi petani dan buruh panen adalah pola berulang yang membentuk lanskap konflik agraria provinsi ini. Karena itu, konflik di Pino Raya tidak dapat dipandang sebagai persoalan lokal atau kesalahan administrasi yang terisolasi; ia merupakan bagian dari cerita lebih besar mengenai bagaimana struktur agraria yang timpang, lemahnya penegakan hukum, dan dominasi kepentingan korporasi telah menciptakan krisis agraria yang menahun di Bengkulu. Penembakan petani di Pino Raya, dalam konteks tersebut, adalah titik ekstrem dari suatu sistem yang telah lama gagal melindungi rakyat dan ruang hidup mereka.


Memahami Konflik Agraria di Bengkulu

Rangkaian konflik agraria yang berlangsung di Bengkulu, mulai dari Lubuk Lagan, Pering, Pekal, Ketahun, Mukomuko, hingga Pino Raya, telah memperlihatkan pola yang jauh dari kebetulan. Pola tersebut menunjukkan bagaimana ekspansi perkebunan sawit bekerja melalui mekanisme kekuasaan yang menciptakan kondisi di mana konflik bukan hanya mungkin terjadi, tetapi justru diproduksi secara sistematis. Ketika izin lokasi diberikan dengan longgar, ketika kawasan hutan dimasuki tanpa PPKH, ketika lahan terlantar tetap diklaim sebagai aset perusahaan, dan ketika protes warga dibalas intimidasi, kriminalisasi, hingga kekerasan, terlihat jelas bahwa struktur agraria di Bengkulu dibangun untuk memfasilitasi perampasan ruang hidup rakyat.

Pada tahap awal, negara memainkan peran sentral dalam membuka ruang ekspansi bagi perusahaan. Seperti dijelaskan Wood (2002), logika pembangunan kapitalis menempatkan negara sebagai institusi yang memastikan ketersediaan tanah bagi investasi, meskipun hal tersebut mengabaikan kemampuan perusahaan ataupun hak-hak rakyat. Pemberian izin lokasi seluas hampir 3.000 hektare kepada PT Agro Bengkulu Selatan (ABS), yang sebagian besar kemudian dibiarkan terlantar, merupakan contoh konkret bagaimana logika tersebut berjalan. Izin diberikan, diperpanjang, namun dibiarkan kedaluwarsa tanpa evaluasi. Dalam kerangka pemikiran Wood, kebijakan semacam ini bukan sekadar kelalaian administratif, melainkan cerminan prinsip bahwa konsesi perkebunan lebih diutamakan daripada kepastian tenurial rakyat.

Ketika izin dan regulasi telah membuka pintu pertama bagi perusahaan, proses perampasan kemudian berlangsung melalui mekanisme yang lebih kasar, termasuk tekanan dan kekerasan. Harvey (2003) menyebut proses ini sebagai accumulation by dispossession, yaitu pencabutan hak rakyat atas tanah melalui kombinasi kebijakan negara, mekanisme pasar, dan kekerasan. Pola tersebut tampak jelas dalam berbagai konflik di Bengkulu: tanah yang dipinjam selama 25 tahun tidak dikembalikan kepada masyarakat adat Pering; tanah adat Pekal dijual secara ilegal kepada perusahaan; batas HGU PT Air Muring tiba-tiba memasukkan lahan garapan warga Ketahun; serta kriminalisasi buruh panen PT Daria Dharma Putra sebagai bentuk tekanan. Puncaknya terlihat di Pino Raya, ketika warga mempertahankan wilayah kelola yang mereka usahakan lebih dari satu dekade dan perusahaan merespons dengan kekerasan bersenjata. Kekerasan ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan puncak dari proses dispossession yang berlangsung lama.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Perampasan berlangsung mulus karena tanah dan hutan di Bengkulu tidak lagi diperlakukan sebagai ruang hidup, melainkan sebagai aset yang harus tetap berada dalam penguasaan perusahaan meskipun terlantar. Polanyi (2024) menyebut kondisi ini sebagai komodifikasi paksa (fictitious commodification), di mana tanah yang merupakan bagian dari kehidupan sosial dan ekologis direduksi menjadi komoditas ekonomis. Hal ini terlihat ketika perusahaan mempertahankan lahan tidur sebagai “aset”, atau ketika ribuan hektare kawasan konservasi dan hutan produksi, seperti TWA Seblat, HPT Air Ipuh, dan Bukit Rambang, dikonversi menjadi kebun sawit tanpa izin. Tanah kehilangan nilai sosialnya, hutan kehilangan fungsi ekologisnya, lalu yang tersisa hanyalah nilai kapitalnya.

Namun praktik perampasan hak petani di Bengkulu tidak hanya berjalan melalui izin dan pasar. Ia bekerja melalui mekanisme kekuasaan yang lebih kompleks. Pada konteks ini, kuasa eksklusi berlangsung melalui empat mekanisme, yaitu regulasi (regulation), pasar (market), legitimasi (legitimation), dan paksaan (force). Regulasi tampak melalui penerbitan izin lokasi dan pembiaran perusahaan beroperasi tanpa HGU. Mekanisme pasar bekerja ketika lahan terlantar tetap diklaim sebagai aset investasi. Legitimasi diwujudkan melalui narasi pembangunan yang menempatkan ekspansi sawit sebagai syarat kemajuan daerah, sembari menstigma rakyat sebagai penghambat. Kekerasan yang digunakan untuk “memaksa” menjadi mekanisme terakhir ketika rakyat menolak dikeluarkan dari ruang hidup mereka, sebagaimana terlihat dalam kriminalisasi buruh panen pada 2022 dan penembakan warga Pino Raya pada 2025 (Hall, Hirsch, & Li, 2020).

Konflik yang terus berulang tidak hanya dipicu oleh tindakan perusahaan, tetapi juga dipelihara oleh struktur agraria yang longgar, seperti lemahnya pengawasan, tumpang tindih izin, dan pembiaran pelanggaran. Rachman (2017) menunjukkan bahwa konflik agraria berkembang melalui “rantai sebab-akibat”, yakni penyebab langsung seperti izin lokasi yang tumpang tindih, lalu adanya bentuk kriminalisasi warga dan pembiaran pelanggaran tata ruang, serta akar struktural berupa konsentrasi lahan dalam konsesi besar dan ketidakpastian tenurial. Bengkulu memperlihatkan ketiga lapisan ini bekerja bersamaan; dalam hal ini, izin diberikan tanpa evaluasi, pelanggaran dibiarkan berlangsung, dan rakyat terus kehilangan akses. Penembakan di Pino Raya merupakan puncak dari struktur konflik yang telah dibiarkan bekerja tanpa kontrol selama dua dekade.

Dengan demikian, membaca rangkaian konflik di Bengkulu dari 2003 hingga 2025 memperlihatkan pola besar yang sangat jelas. Konflik tersebut merupakan hasil dari hubungan yang tidak setara antara negara, perusahaan, dan rakyat. Negara membuka pintu melalui regulasi; perusahaan memperluas kontrol melalui mekanisme pasar, legitimasi, dan kekerasan; sementara rakyat berupaya mempertahankan ruang hidup di tengah berbagai mekanisme eksklusi yang saling menguatkan. Konflik agraria Bengkulu, termasuk penembakan lima petani di Pino Raya, bukan peristiwa terpisah, tetapi ekspresi paling nyata dari bagaimana perampasan hak dan kuasa eksklusi dijalankan dalam struktur agraria yang timpang dan prokorporasi.


Bagaimana Seharusnya Negara Berperan

Rangkaian konflik agraria di Bengkulu, mulai dari janji kemitraan yang diingkari, penyerobotan batas HGU, kriminalisasi buruh panen, hingga penembakan lima petani di Pino Raya, sebenarnya menunjukkan dengan jelas kegagalan negara dalam melindungi warganya dari perebutan ruang hidup. Ketika perusahaan seperti PT ABS tetap beroperasi tanpa HGU dan dengan izin yang kedaluwarsa sejak 2016, sementara tindakan represif dibiarkan terjadi, tampak bahwa struktur hukum dan perizinan lebih berfungsi sebagai fasilitator ekspansi perkebunan ketimbang pelindung hak-hak rakyat.

Dalam situasi tersebut, negara harus kembali menempatkan dirinya sebagai pelindung rakyat. Langkah paling mendasar adalah mengoreksi seluruh izin yang cacat prosedur, kedaluwarsa, atau terbukti memicu konflik. Operasi perusahaan yang tidak memiliki dasar hukum, seperti ketiadaan HGU dan PPKH, harus dihentikan. Penertiban ini bukan sekadar tindakan administratif, tetapi penegasan bahwa negara tidak boleh membiarkan tanah rakyat dikuasai melalui mekanisme perizinan yang lemah dan manipulatif.

Namun, penertiban izin saja tidak cukup, karena akar persoalan terletak pada ketimpangan struktur penguasaan tanah. Karena itu, negara harus menjalankan reforma agraria sejati, yang mencakup redistribusi lahan-lahan terlantar kepada warga penggarap. Ribuan hektare area PT ABS yang dibiarkan terbengkalai harus menjadi prioritas, bukan menjadi cadangan spekulasi korporasi. Reforma agraria juga harus memperkuat wilayah kelola rakyat dan mempercepat pengakuan wilayah adat agar rakyat tidak terus hidup dalam ketidakpastian hukum seperti yang dialami komunitas Pering, Pekal, atau Serawai Semidang Sakti.

Pada saat yang sama, penegakan hukum yang adil dan simetris harus menjadi prinsip utama. Selama ini, petani dan buruh sering menjadi sasaran kriminalisasi, sementara perusahaan yang membuka kawasan hutan, melampaui batas konsesi, atau menggunakan kekerasan fisik nyaris tidak pernah ditindak. Penembakan di Pino Raya lahir dari rangkaian impunitas semacam ini, di mana pelanggaran dan kekerasan sebelumnya tidak pernah ditangani secara serius oleh negara. Negara harus menindak perusahaan yang merambah kawasan hutan atau melanggar batas HGU, serta menghentikan kriminalisasi terhadap warga yang mempertahankan ruang hidup mereka.

Penyelesaian konflik agraria di Bengkulu pada akhirnya membutuhkan keberanian politik untuk mengubah struktur penguasaan tanah secara menyeluruh. Reforma agraria sejati mensyaratkan pencabutan izin perusahaan yang melakukan pelanggaran, pengembalian tanah kepada rakyat yang telah lama mengelolanya, serta pemulihan hak-hak warga yang dirampas. Tanah harus diperlakukan sebagai ruang hidup rakyat, bukan sebagai komoditas yang dapat dikuasai tanpa batas, sebagaimana terlihat dalam konflik-konflik agraria yang terus berulang di Bengkulu. Tanpa langkah-langkah fundamental ini, tragedi seperti penembakan lima petani di Pino Raya hanya akan terus berulang, karena akar persoalan ketimpangan agraria tidak pernah benar-benar diselesaikan.


Daftar Rujukan

Hall, D., Hirsch, P., & Li, T. M. (2020). Kuasa eksklusi: Dilema pertanahan di Asia Tenggara (D. Simaepa & A. Choirudin, Penerj.). INSISTPress.
Harvey, D. (2003). The New Imperialism. Oxford University Press.
Polanyi, K. (2024). The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time, with introduction by Gareth Dale. Penguin Books.
Rachman, N. F. (2017). Petani & penguasa: Dinamika perjalanan politik agraria Indonesia. INSISTPress.
Wood, E. M. (2002). The Origin of Capitalism: A Longer View. Verso.


Wahyu Eka Styawan, DIvisi Riset dan Kampante WALHI Nasional.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.