Saatnya Memilih: Sosialisme atau Barbarisme!

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Wikimedia


SEJAK meletusnya aksi demonstrasi menentang kenaikan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 25 Agustus lalu, belum tampak tanda-tanda aksi-aksi ini akan mereda. Namun, protes atas kenaikan tunjangan itu hanyalah puncak gunung es dari berbagai kebijakan pemerintah yang anti rakyat selama ini. Perlawanan rakyat ini adalah akumulasi dari kesengsaraan dan ketertindasan yang dideritanya, bukan karena “intervensi asing,” atau “provokasi liar dari para begundal yang tidak ingin melihat Indonesia Bangkit.”

Selain deretan kebijakan yang mencekik leher, rakyat kemudian dipertontonkan dengan arogansi, ketamakan, dan brutalitas para elite yang bisa berbuat apa saja tanpa hukuman. Ambang batas kesabaran itu akhirnya jebol. Ketika air bah massa demonstran telah berada di depan rumahnya, atau bahkan berhasil merangsek ke halaman rumah mereka lalu merusak dan menjarah harta bendanya, barulah kelas berkuasa ini terbuka matanya. Namun, mereka tak punya solusi untuk mengatasi krisis penderitaan rakyat ini. Apa yang dilakukan oleh para elite bebal yang tak pernah menderita itu? Sebagian elite minta maaf ramai-ramai kepada rakyat Indonesia atas perbuatannya yang durjana. Elite lainnya memainkan kartu judi gerakan konspirasi: “aksi ini di dalangi oleh aktor-aktor asing,” lalu mengumbar seruan-seruan moral bau bangkai: “Hei, aksi yang damai dong, sampaikan aspirasimu dengan baik-baik, jangan anarkis, jangan merusak, jangan menjarah, dan bla-bla-bla.” Kenapa para elite, kalangan oligarkis, atau kelas berkuasa ini tidak memiliki jalan keluar dari krisis penderitaan rakyat ini?

Beberapa waktu lalu, dalam artikel berjudul “Prabowo dan Kediktatoran Kapital,” saya menulis tentang bagaimana pemerintahan Prabowo telah terjebak dalam kediktatoran kapital. Sistem ekonomi kapitalistik, yang dianut oleh Indonesia sejak genosida 1965 hingga kini, telah membuat negara ini dan pemerintahan yang berkuasa harus tunduk dan patuh pada logika akumulasi kapital jika ingin terus eksis. Tujuan utama logika kapital adalah meraup keuntungan semaksimal mungkin untuk kepentingan kelas kapitalis dan para begundalnya, melalui, misalnya, pemberlakuan tarif pajak yang rendah; liberalisasi pasar barang, jasa, dan keuangan; hak sewa tanah yang berjangka sangat panjang; kemudahan mendapatkan pinjaman perbankan, pemberian ijin pertambangan secara ugal-ugalan; privatisasi barang-barang kebutuhan publik dan pada saat yang sama belanja-belanja publik dipotong secara drastis atas nama efsisiensi dan efektivitas; serta pelemahan kekuatan serikat pekerja melalui pasar tenaga kerja fleksibel, outsourcing, prekarianisasi kerja, dst. Jika terjadi gangguan terhadap kelancaran investasi, sepatu-sepatu lars bertameng dan bersenjata siap sedia mengamankan.

Akibat penghambaan terhadap kapitalisme ini, produktivitas ekonomi terlihat meningkat pesat; lapangan kerja terbentuk, sehingga memungkinkan adanya penyerapan tenaga kerja; jalan-jalan beraspal dan gedung-gedung pencakar langit muncul di mana-mana sebagai simbol kemajuan. Dalam waktu tertentu, pilihan terhadap jalan kapitalisme sebagai cara ‘membangun kemajuan negeri’ dirayakan sebagai sebuah kebenaran mutlak. Sisi lain dari kediktatoran kapital, yang tidak muncul dalam pidato kenegaraan presiden setiap tahunnya, adalah betapa mahal harga yang harus dibayarkan. Kemiskinan yang meluas, kesenjangan yang sangat mencolok antara yang kaya (minoritas) dan miskin (mayoritas); pelayanan publik yang sangat buruk dan ugal-ugalan; hancurnya solidaritas sosial karena setiap orang dipaksa untuk berkompetisi satu dengan lainnya; individualisasi problem sosial sehingga penyelesaiannya pun dilakukan dengan cara-cara individual; mafia peradilan yang telah menggurita sehingga sulit bagi rakyat untuk memperoleh jaminan keadilan di bawah hukum; korupsi massal serta rusaknya ekosistem lingkungan akibat praktik eksploitasi alam secara gila-gilaan. Daftar ini masih bisa diperpanjang.

Singkatnya, kediktatoran kapital ini kemudian menciptakan dua dunia yang kontradiktif: “Dunia Oligarkis” yang bertabur bintang dan berhiaskan emas berlian, dan “Dunia Mayoritas Rakyat” yang berkabut awan hitam tebal diselingi gemuruh guntur dan kilatan petir membahana. Dalam dunia oligarkis, semuanya serba baik, serba teratur, serba terprediksi. Dalam dunia mayoritas rakyat hidup dengan penuh kalkulasi, masa depan suram, dengan kondisi hidup sehari-hari yang sangat rentan. Kontradiksi ini berhubungan secara internal; keduanya saling membutuhkan tetapi juga bertentangan secara tidak terdamaikan. Kontradiksinya bisa berlangsung di bawah tanah, di warung-warung kopi, dan di media-media sosial; tetapi sewaktu-waktu meledak seperti lahar panas yang menghancurkan, seperti yang kita saksikan saat ini.

Tidak heran, ketika dua dunia ini bergesekan, bertabrakan, dan kemudian berkonfrontasi dengan keras yang berpotensi menghancurkan tatanan kediktatoran kapital ini, dunia oligarkis tidak memiliki solusi untuk menyelesaikan krisis penderitaan rakyat yang diakibatkan oleh kediktatoran kapital tersebut. Mereka tak bisa membayangkan, atau lebih tepatnya, takut membayangkan, untuk keluar dari dekapan hangat kediktatoran kapital. “Oh, bisa apa aku hidup dalam dunia yang rentan dan tidak punya masa depan?” sehingga apa yang bisa mereka lakukan adalah mempertahankan sebisa mungkin dan sekuat mungkin sistem kapitalisme ini: memanggil seluruh komponen dalam dunia oligarkis untuk menguatkan persatuan, mengoreksi kecil-kecilan kesalahan yang dilakukan oleh para anggota keluarga oligarkisnya, sambil memberi permen kepada para pemberontak dari dunia mayoritas rakyat. Tidak lebih dan tidak kurang.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Sekarang kita bertanya, apakah kita ingin terus hidup dalam kediktatoran kapital, yang kini menawarkan demokrasi perwakilan sebagai cara untuk merawat kehidupan politik? Apakah kita cukup menunjuk hidung kepada para anggota keluarga oligarkis seperti Ahmad Sahroni, Surya Utama alias Uya Kuya, Eko Patrio, atau Nafa Urbach sebagai biang keladi penderitaan ini? Ketika mereka berempat dihukum oleh keluarga besarnya, apakah itu sudah mencukupi buat kita?

Saya berpendapat tidak. Aksi-aksi besar bergelombang ini bukan baru kali ini terjadi. Hasilnya? Para punggawa kediktatoran kapital tersebut tetap jumawa, tetap tidak mundur sejengkal pun dari kebijakan-kebijakannya. Setelah aksi massal dengan #IndonesiaGelap yang memakan begitu banyak korban, para oligarkis ini kemudian mengeluarkan rentetan kebijakan seperti menaikkan tunjangan mereka, menaikkan pajak rakyat gila-gilaan, menganugrahkan gelar kehormatan kepada para punakwannya yang setia, lalu melindas hingga mati Affan Kurniawan. Mereka tidak sedang bekerja untuk dunia mayoritas rakyat, mereka justru sedang memperkuat dunia oligarkis karena itulah cara mempertahankan tatanan kediktatoran kapital ini. Mereka, kalau merasa perlu, akan menggunakan cara-cara barbar (baca: militerisme atau fasisme) untuk mempertahankan kekuasaan dan kekayaannya.

Karena itu, kita harus mengajukan tata dunia baru yang bisa melayani kepentingan mayoritas rakyat. Kita telah dan akan terus berjuang dengan penuh keyakinan dan pengorbanan untuk melawan anak-anak “nakal” dari trah keluarga oligarkis ini. Dengan semangat dan keyakinan yang sama, kita juga harus berjuang merobohkan tatanan kediktatoran kapital yang melahirkan keluarga oligarkis tersebut. Tatanan itu bernama Sosialisme. Jika tidak, barbarisme akan datang menjemput di depan pintu rumah kita.  Inilah pilihan yang tersedia: Barbarisme atau Sosialisme.***


Coen Husain Pontoh adalah editor dan penerjemah di IndoPROGRESS.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.