Membela Kediktatoran Proletariat: Demistifikasi dan Menjawab Fitnah

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Arthive


Pendahuluan

DI DALAM gudang senjata ideologis kaum borjuasi, sedikit konsep yang telah difitnah dan didistorsi secara begitu sistematis dan jahat seperti “kediktatoran proletariat”. Istilah ini dihadirkan sebagai sinonim bagi tirani berdarah, penindasan totaliter, dan kekuasaan sewenang-wenang oleh segelintir orang. Ia sengaja dibuat menakutkan dengan tujuan jelas: menanamkan dalam benak kelas pekerja sebuah kengerian naluriah terhadap gagasan kekuasaan mereka sendiri, serta membuat alternatif terhadap kapitalisme tampak begitu mengerikan sehingga status quo yang eksploitatif seolah menjadi satu-satunya pilihan yang “bebas” dan “demokratis”. Pertarungan atas definisi ini, oleh karena itu, bukan sekadar perdebatan akademis, melainkan bagian integral dari perjuangan kelas itu sendiri.

Dengan ini, kita akan merebut kembali makna Marxis yang otentik dari kediktatoran proletariat dari distorsi yang dilakukan oleh musuh-musuh kelas pekerja—kaum liberal borjuis, kaum anarkis, dan yang paling merusak dari semuanya, kaum Stalinis. Kediktatoran proletariat, jauh dari citra tiraninya, merupakan ekspresi kekuasaan mayoritas pekerja yang terorganisir: sebuah demokrasi buruh yang luas dan partisipatif, yang berfungsi sebagai instrumen transisi yang mutlak diperlukan untuk menghancurkan perlawanan kelas penindas yang telah digulingkan dan untuk memulai pembangunan masyarakat tanpa kelas serta tanpa negara. Melalui demistifikasi teoretis dan jawaban polemis terhadap para pengkritiknya, artikel ini akan menunjukkan bahwa kediktatoran proletariat bukanlah ancaman bagi kebebasan, melainkan satu-satunya jalan menuju pembebasan sejati umat manusia.


Mendemistifikasi Kediktatoran Proletariat

Untuk memahami konsep kediktatoran proletariat, pertama-tama kita harus membersihkannya dari lapisan-lapisan misrepresentasi yang telah menumpuk selama lebih dari satu abad. Hal ini menuntut kita kembali ke sumber-sumber Marxisme klasik, memahami istilah-istilah dalam konteks ilmiah, dan melihat bagaimana konsep ini diwujudkan dalam pengalaman historis nyata kelas pekerja.


Negara, Demokrasi, dan “Kediktatoran” dalam Leksikon Marxis

Kesalahpahaman pertama dan paling fundamental berasal dari kata kediktatoran itu sendiri. Dalam bahasa politik modern, kata ini membangkitkan citra seorang diktator individu atau sebuah klik partai yang memerintah dengan tangan besi. Namun, dalam leksikon Marxisme, istilah ini memiliki makna yang sangat berbeda dan ilmiah: ia merujuk pada aturan atau kekuasaan dari satu kelas sosial atas kelas-kelas lainnya.

Menurut analisis Marxis, negara bukanlah badan yang netral atau wasit yang berdiri di atas masyarakat. Sebaliknya, seperti dijelaskan Friedrich Engels dalam Asal-Usul Keluarga, Kepemilikan Pribadi, dan Negara (1884):

Negara sama sekali bukanlah kekuatan yang dipaksakan dari luar ke dalam masyarakat; begitu pula ia bukan ‘perwujudan dari ide moral’ atau ‘citra dan kenyataan dari akal budi,’ seperti yang dikatakan Hegel. Sebaliknya, negara adalah hasil dari perkembangan masyarakat pada suatu tahapan tertentu. Ia merupakan pengakuan bahwa masyarakat telah terjerumus dalam kontradiksi yang tak terselesaikan dan terbelah ke dalam pertentangan yang tak terdamaikan. Agar pertentangan ini—yakni kelas-kelas dengan kepentingan ekonomi yang saling bertentangan—tidak saling menghancurkan dan mengoyak masyarakat dalam konflik yang sia-sia, maka muncullah suatu kekuasaan yang tampaknya berdiri di atas masyarakat, untuk meredakan benturan itu dan menjaga agar tetap dalam batas ‘ketertiban.’ Kekuasaan ini berasal dari masyarakat itu sendiri, namun menempatkan dirinya di atas masyarakat dan kian hari makin terasing darinya: inilah negara.

Secara fundamental, negara adalah “organ penindas khusus” dari satu kelas terhadap kelas lain. Sebagaimana Lenin tuliskan dalam Negara dan Revolusi: “Dengan kata lain: di bawah kapitalis kita mendapatkan negara dalam arti kata yang sesungguhnya, yaitu mesin penindas khusus dari satu kelas terhadap kelas yang lain dan bahkan dari minoritas terhadap mayoritas. (penekanan dari saya)

Maka dengan ini dapat dipahami bahwa setiap negara, tanpa kecuali, adalah kediktatoran kelas. Di bawah feodalisme, negara merupakan kediktatoran kaum bangsawan feodal atas para budak. Di bawah kapitalisme, bahkan dalam bentuknya yang paling demokratis, negara adalah kediktatoran borjuasi. Meskipun demokrasi parlementer memberikan hak pilih universal dan kebebasan formal, kekuasaan sejati tidak berada di tangan parlemen, melainkan pada dewan direksi perusahaan-perusahaan raksasa, bank, dan institusi keuangan yang mengendalikan tuas ekonomi, media, dan dengan demikian, aparatus negara itu sendiri. Engels dengan tajam menyatakan:

Banyak orang mengira bahwa mereka telah mengambil langkah maju yang luar biasa berani ketika mereka meninggalkan kepercayaan pada monarki turun-temurun dan menjunjung tinggi republik demokratis. Namun pada kenyataannya, negara tak lain hanyalah alat untuk menindas satu kelas oleh kelas lainnya—dan hal ini tetap berlaku dalam republik demokratis sama halnya seperti dalam sistem monarki. (Engels dalam “Pengantar Tahun 1891 tentang Peringatan 20 Tahun Komun Paris” untuk Perang Sipil di Prancis oleh Marx)

Republik demokratis, yang pada kenyataannya tak lain adalah demokrasi borjuis, merupakan cangkang demokratis bagi kediktatoran kapital.

Dengan demikian, ketika kaum Marxis berbicara tentang “kediktatoran proletariat”, mereka tidak sedang berbicara tentang tirani, melainkan tentang pembalikan tatanan kelas yang ada. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, mayoritas yang dieksploitasi akan menjalankan kekuasaan atas minoritas mantan penindas. Inilah aturan kelas proletariat. Para ideolog borjuis telah dengan sengaja mempersenjatai istilah kediktatoran secara semantik. Dengan mengeksploitasi konotasi modern dari kata tersebut—yang diasosiasikan dengan rezim fasis seperti Hitler atau Mussolini—mereka secara preemptif menyamakan kekuasaan buruh dengan totalitarianisme. Ini adalah fitnah ideologis yang bertujuan membuat alternatif apa pun terhadap kapitalisme tampak mengerikan.

Rezim Stalinis, yang secara keliru dan curang menyebut dirinya sebagai kediktatoran proletariat, sayangnya memberikan “bukti” historis yang kuat bagi fitnah ini, sehingga lebih sulit untuk dibantah. Oleh karena itu, tugas pertama dalam demistifikasi adalah membongkar senjata semantik ini dan memulihkan makna ilmiah asli dari istilah tersebut: kekuasaan kelas mayoritas.


Prototipe Sejarah: Pelajaran dari Komune Paris (1871)

Kediktatoran proletariat bukanlah skema utopis yang diciptakan di ruang kerja seorang filsuf. Ia adalah konsep yang ditarik dari pengalaman nyata perjuangan kelas pekerja. Pada tahun 1871, kaum buruh Paris bangkit dan, untuk pertama kalinya dalam sejarah, mengambil kekuasaan ke tangan mereka sendiri. Meskipun hanya bertahan selama 72 hari, Komune Paris memberikan model historis pertama dari negara buruh yang berfungsi.

Pentingnya Komune Paris begitu mendasar sehingga Friedrich Engels secara eksplisit dan definitif menyatakan:

Akhir-akhir ini, filistin Sosial-Demokrat sekali lagi dipenuhi dengan teror yang sehat pada kata-kata: Kediktatoran Proletariat. Baiklah, Tuan-tuan, apakah Anda ingin tahu seperti apa kediktatoran ini? Lihatlah Komune Paris. Itulah Kediktatoran Proletariat.” (Engels, ibid.)

Pernyataan ini mengakhiri semua spekulasi tentang apa yang dimaksud para pendiri Marxisme.

Jadi, seperti apa negara-Komune ini? Fitur-fitur utamanya, yang dianalisis secara brilian oleh Marx dan kemudian dirangkum oleh Lenin dalam Negara dan Revolusi, merupakan antitesis langsung dari negara birokratis borjuis yang represif:

  • Penghapusan birokrasi dan privilese. Semua pejabat, mulai dari anggota Komune hingga pekerja di tingkat terendah, dipilih melalui hak pilih universal dan dapat ditarik kembali (recall) oleh pemilih mereka kapan saja. Untuk memberantas karierisme dan privilese, semua pejabat publik hanya menerima upah yang setara dengan upah rata-rata seorang buruh terampil. Seluruh tunjangan khusus dan hak istimewa dihapuskan.
  • Penghapusan tentara tetap. Komune menghapus tentara tetap—instrumen utama penindasan internal dan perang eksternal—dan menggantinya dengan rakyat bersenjata. Pertahanan serta ketertiban publik menjadi tanggung jawab seluruh warga negara melalui milisi rakyat.
  • Fusi kekuasaan eksekutif dan legislatif. Komune bukanlah badan parlementer dalam pengertian borjuis—sebuah “pabrik omong kosong” tempat para politisi berdebat sementara birokrasi memerintah—melainkan badan yang bekerja, bersifat eksekutif sekaligus legislatif.

Fitur-fitur ini mengungkapkan kebenaran mendalam: jauh dari penghapusan demokrasi, kediktatoran proletariat, sebagaimana dicontohkan Komune, justru merupakan perluasan dan pendalaman demokrasi ke tingkat yang belum pernah ada sebelumnya dalam sejarah manusia. Ini adalah demokrasi bagi mayoritas luas rakyat pekerja, sekaligus kediktatoran (yakni, alat penekan) terhadap minoritas kecil mantan penindas. Kontradiksi yang tampak antara “demokrasi” dan “kediktatoran” diselesaikan secara dialektis: demokrasi kelas pekerja yang paling penuh niscaya berarti penindasan terhadap perlawanan borjuasi.


Negara Buruh: Instrumen Transisi Menuju Sosialisme

Setelah proletariat merebut kekuasaan politik dan mendirikan negaranya sendiri—sebuah negara tipe Komune—ia harus segera menggunakan instrumen ini untuk dua tugas besar yang saling terkait. Pertama, menekan perlawanan balik yang tak terhindarkan dari kelas penguasa yang digulingkan serta sekutu internasional mereka. Kedua, memulai reorganisasi masyarakat di atas fondasi sosialis.

Tugas pertama bersifat represif. Borjuasi tidak akan menyerahkan kekayaan dan privilese mereka tanpa perlawanan sengit. Mereka akan menggunakan segala cara yang tersedia—sabotase ekonomi, konspirasi, pemberontakan bersenjata, dan intervensi militer asing—untuk merebut kembali kekuasaan. Negara buruh, oleh karena itu, harus menjadi instrumen yang kuat dan terpusat untuk menghancurkan perlawanan ini.

Tugas kedua bersifat konstruktif. Manifesto Komunis menguraikan bahwa proletariat akan menggunakan supremasi politiknya “untuk merebut, selangkah demi selangkah, semua kapital dari borjuasi, untuk memusatkan semua alat produksi ke tangan negara, yaitu proletariat yang terorganisir sebagai kelas penguasa”. Manifesto kemudian menguraikan serangkaian langkah transisional yang, meski dapat bervariasi antarnegara, secara umum mencakup:

  1. Penghapusan kepemilikan pribadi atas tanah.
  2. Pajak penghasilan progresif yang berat.
  3. Penghapusan semua hak waris. (Catatan: Di kemudian hari, Marx dan Engels mengubah posisi mereka terkait tuntutan “penghapusan hak waris” sebagai bagian dari program Komunis. Dalam “Report of the General Council on the Right of Inheritance” (1869) dan “Record of Marx’s Speech on the Right to Inheritance” dari rapat Dewan Umum pada 20 Juli 1869, Marx menjelaskan bahwa hak waris bukanlah penyebab eksploitasi buruh, melainkan dampak dari kondisi produksi borjuis. Yang diperlukan adalah penghapusan kepemilikan borjuis atas alat produksi. “Menghilangnya hak waris akan menjadi hasil alami dari perubahan sosial dalam kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi; tetapi penghapusan hak waris tidak akan pernah bisa menjadi titik awal transformasi sosial semacam itu,” tulis Marx. Di sini, Marx berpolemik melawan Bakunin dan kaum anarkis yang bersikeras mengajukan tuntutan tersebut sebagai titik tolak revolusi sosial.)
  4. Penyitaan properti semua emigran dan pemberontak. (Catatan: Yang dimaksud Marx dan Engels dengan “emigran” dan “pemberontak” adalah kaum penguasa yang melarikan diri ke luar negeri setelah revolusi pecah dan kemudian berkomplot untuk menumpasnya. Istilah “emigran” terutama digunakan pada masa Revolusi Prancis 1789 untuk merujuk pada kaum bangsawan yang melarikan diri ke luar negeri.)
  5. Sentralisasi kredit di tangan negara melalui bank nasional dengan monopoli eksklusif.
  6. Sentralisasi alat komunikasi dan transportasi di tangan negara.
  7. Perluasan pabrik serta alat produksi milik negara.
  8. Kewajiban kerja yang sama bagi semua.
  9. Penggabungan pertanian dengan industri manufaktur.
  10. Pendidikan publik gratis bagi semua anak.

Kita melihat penerapan konkret program ini dalam hari-hari pertama Revolusi Rusia. Segera setelah merebut kekuasaan, pemerintah Soviet mengeluarkan Dekrit Perdamaian (menyerukan diakhirinya perang imperialis), Dekrit Tanah (menghapus kepemilikan tanah pribadi dan menyerahkannya kepada komite-komite tani), serta memberlakukan kontrol buruh atas pabrik-pabrik. Tindakan-tindakan ini bukan formula abstrak, melainkan jawaban langsung atas kebutuhan mendesak jutaan buruh, tentara, dan tani. Langkah-langkah tersebut menunjukkan bagaimana negara buruh menggunakan kekuasaan untuk “memenangkan simpati mayoritas rakyat pekerja” dengan memenuhi tuntutan ekonomi paling mendesak mereka.

Namun, program transisional ini memiliki tujuan lebih dalam: “memajukan kekuatan produktif secepat mungkin”. Mengapa hal ini sangat penting? Karena kapitalisme, dengan kontradiksi inherennya antara produksi sosial dan apropriasi pribadi, telah menjadi belenggu raksasa bagi perkembangan kekuatan produktif. Krisis, pengangguran massal, dan pemborosan luar biasa adalah ciri khas sistem yang sekarat.

Sosialisme, sebaliknya, membutuhkan tingkat kelimpahan material yang tinggi untuk berfungsi. Tanpa itu, seperti diperingatkan Trotsky dengan mengutip Marx dalam Revolusi yang Dikhianati, kelangkaan akan melahirkan kembali “semua sampah lama”—ketidaksetaraan, kompetisi untuk sumber daya, dan kebutuhan akan “polisi” (negara) untuk mengatur distribusi yang tidak adil. Oleh karena itu, tugas ekonomi kediktatoran proletariat—mengembangkan kekuatan produktif melalui perencanaan sadar—berkaitan langsung dengan tujuan politik akhirnya: pelenyapan negara itu sendiri. Yang satu adalah prasyarat material bagi yang lain.


Tujuan Akhir: “Melenyapnya” Negara

Perbedaan mendasar antara Marxisme dan anarkisme terletak pada sikap terhadap negara pasca-revolusi. Kaum anarkis menuntut penghapusan negara secara segera, sedangkan kaum Marxis memahami bahwa negara, sebagai produk antagonisme kelas, tidak dapat dihapuskan lewat dekrit. Ia hanya akan lenyap seiring dengan hilangnya kondisi yang melahirkannya.

Friedrich Engels dalam Anti-Dühring merumuskan hal ini dengan jelas:

Tindakan pertama di mana negara tampil sebagai representasi masyarakat—yakni pengambilalihan alat-alat produksi atas nama masyarakat—juga merupakan tindakan independen terakhirnya sebagai negara. Campur tangan negara dalam hubungan sosial menjadi, satu per satu, berlebihan, dan kemudian mati dengan sendirinya. Pemerintahan atas manusia digantikan oleh administrasi atas benda dan pengelolaan proses produksi. Negara tidak ‘dihapuskan’. Ia melenyap.

Proses itu terjadi karena fungsi utama negara, khususnya fungsi represifnya, menjadi tak diperlukan lagi. Ketika alat-alat produksi menjadi milik bersama dan eksploitasi berakhir, tidak ada lagi kelas yang perlu ditindas. Kelimpahan material menggantikan kelangkaan, sehingga kejahatan dan konflik sosial yang bersumber pada kemiskinan ikut surut. Kebutuhan akan aparat koersif—polisi, pengadilan, penjara—akan berkurang hingga akhirnya hilang sama sekali.

Kediktatoran proletariat sendiri adalah bentuk transisi. Semakin berhasil ia menekan perlawanan borjuasi dan membangun fondasi sosialisme, semakin ia membuat dirinya tidak relevan. Trotsky menulis dalam Revolusi yang Dikhianati: “Kediktatoran proletariat membuka semakin lebar ruang bagi kejeniusan manusia bila kediktatoran itu semakin memudar. Budaya sosialis hanya akan berkembang sejalan dengan memudarnya Negara.”

Dengan demikian, “melenyapnya negara” menegaskan bahwa negara adalah kategori historis, bukan institusi abadi. Ia lahir bersama masyarakat kelas dan akan lenyap bersama penghapusan kelas. Inilah yang membedakan Marxisme dari pemikiran borjuis, yang menaturalisasi negara sebagai syarat peradaban, maupun dari anarkisme, yang melihat negara sebagai akar segala kejahatan. Bagi Marxis, akar persoalan ada pada antagonisme kelas, sedangkan negara hanyalah instrumen darinya. Karena itu, penyelesaian bukanlah menghapus gejala secara paksa, melainkan menghapus penyebabnya: pembagian kelas.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Menjawab Fitnah dan Distorsi

Setelah fondasi teoretis kediktatoran proletariat dipaparkan, kita dapat menanggapi fitnah yang disebarkan musuh politik sosialisme—liberal, anarkis, maupun Stalinis—yang masing-masing mencerminkan kepentingan kelas dan keterbatasan teorinya.

Melawan Fitnah Borjuis: Demokrasi Buruh vs. Totalitarianisme

Fitnah paling umum adalah penyamaan kediktatoran proletariat dengan totalitarianisme fasis atau rezim satu partai monolitik. Perbedaan elementer ini sengaja dikaburkan: kediktatoran proletariat adalah kekuasaan mayoritas pekerja atas minoritas penindas, sedangkan rezim fasis adalah kekuasaan minoritas penindas atas mayoritas rakyat. Kritikus liberal sering mengutip Lenin di luar konteks untuk menuduh Bolshevisme totaliter. Michael H. Hart, misalnya, menulis bahwa Lenin terlalu “tergoda” oleh ide kediktatoran proletariat, lalu mengutip: “Diktatur proletariat tak lain dan tak bukan daripada kekuasaan berdasarkan kekerasan yang tak ada batasnya, baik batas hukum maupun aturan absolut.”

Kutipan ini menyesatkan karena diambil terpisah dari konteks. Marx sendiri menyatakan kepada Joseph Weydemeyer bahwa kediktatoran proletariat adalah keniscayaan perjuangan kelas. Lenin menekankan bahwa “kekerasan” yang dimaksud diarahkan untuk menghancurkan perlawanan bersenjata tuan tanah dan kapitalis, bukan menindas rakyat pekerja. Negara buruh justru mempertahankan kekuasaan dengan memenuhi kebutuhan massa.

Lenin juga menegaskan bahwa demokrasi Soviet—berbasis dewan buruh, tani, dan tentara yang dipilih langsung—merupakan bentuk demokrasi yang jauh lebih tinggi dan partisipatif daripada parlementarisme borjuis. Soviet bukan lembaga terpisah dari massa, melainkan organ politik di mana jutaan orang untuk pertama kalinya terlibat langsung dalam pengambilan keputusan di pabrik, desa, dan barak.

Contoh klasik yang sering disorot kaum liberal adalah pembubaran Majelis Konstituante pada Januari 1918. Mereka menyebutnya tindakan anti-demokratis, padahal majelis itu dipilih berdasarkan daftar partai sebelum Revolusi Oktober, sehingga tak lagi mencerminkan realitas kekuasaan. Kekuasaan riil telah beralih ke Soviet, yang justru mewakili rakyat pekerja secara lebih langsung. Ketika majelis menolak mengakui kekuasaan Soviet dan menentang dekrit perdamaian serta tanah, pembubarannya menjadi konsekuensi logis. Fakta bahwa tidak ada perlawanan massa besar menunjukkan rakyat melihat demokrasi Soviet lebih relevan.

Perdebatan ini menegaskan perbedaan konsep “demokrasi”. Demokrasi borjuis bersifat formal—hak politik di atas kertas tanpa kesetaraan ekonomi. Demokrasi proletar bersifat substantif—berakar pada kekuasaan kolektif kelas pekerja atas produksi dan masyarakat. Bagi Marxisme, pertanyaan kuncinya bukan “demokrasi atau kediktatoran secara umum”, melainkan “demokrasi untuk kelas mana, dan kediktatoran terhadap kelas mana”. Kediktatoran proletariat adalah demokrasi seluas-luasnya bagi kaum tertindas, dan sekaligus penindasan tegas terhadap kaum penindas.


Melawan Kritik Anarkis: Kebutuhan Akan Kekuasaan Pekerja yang Terpusat

Berbeda dari kaum liberal, kaum anarkis juga memusuhi kapitalisme dan negara. Mereka, seperti Marxis, menginginkan masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara. Perbedaannya terletak pada metode dan program. Kritik anarkis terhadap kediktatoran proletariat, meski sering tulus, berakar pada kesalahpahaman idealis tentang hakikat kekuasaan dan negara—dan terbukti fatal secara historis.

Mikhail Bakunin, tokoh utama anarkisme abad ke-19, memperingatkan bahwa setiap “negara pekerja” akan melahirkan “birokrasi merah” baru. Ia meramalkan munculnya rezim barak yang diperintah “ilmuwan” atau “insinyur negara.” Peringatan ini memang relevan bila melihat degenerasi Stalinis di Uni Soviet. Marxisme mengakui bahaya birokratisasi dalam negara buruh, terlebih jika ia terisolasi. Namun, solusi anarkis—penolakan mutlak terhadap otoritas, sentralisasi, dan negara—justru membuka jalan bagi kekalahan.

Revolusi Spanyol 1936–1939 menjadi bukti paling jelas. Kaum anarkis dalam CNT dan FAI memimpin perlawanan heroik terhadap kudeta Franco, menguasai Barcelona dan sebagian besar wilayah industri. Kekuasaan ada di tangan mereka, tetapi para pemimpinnya menolak mengonsolidasikannya dalam bentuk negara buruh yang terpusat. Mereka mempertahankan negara borjuis Republik sambil mencoba membangun “komunisme libertarian” di pabrik dan desa. Milisi mereka, yang longgar dan anti-disiplin, tidak mampu menghadapi mesin perang fasis yang terorganisir dengan dukungan Hitler dan Mussolini.

Tragedi bertambah ketika, menolak membentuk negara sendiri, mereka akhirnya masuk ke pemerintahan borjuis. Tokoh seperti Federica Montseny dan Juan García Oliver duduk sebagai menteri Front Populer—koalisi yang justru menyabotase revolusi. Langkah ini, bertolak belakang dengan prinsip anti-negara mereka, memicu kritik keras dari basis anarkis sendiri.

Pengalaman Spanyol menunjukkan kontradiksi mendasar anarkisme: menolak kekuasaan terpusat tidak melahirkan kebebasan, melainkan kekalahan atau kolaborasi. “Kemurnian” anti-otoriter runtuh ketika berhadapan dengan realitas perang saudara. Dalam menghadapi musuh kelas yang terorganisir, proletariat juga harus memusatkan kekuatannya. Trotsky merumuskan dengan tegas dalam Pelajaran dari Spanyol: Peringatan Terakhir: “Menolak untuk menaklukkan kekuasaan berarti secara sukarela menyerahkan kekuasaan itu kepada mereka yang sudah memegangnya—para penindas.”


Melawan Distorsi Stalinis: Kediktatoran Proletariat vs. Kediktatoran Birokrasi

Distorsi paling berbahaya terhadap kediktatoran proletariat justru datang dari rezim yang mengklaim mewakilinya: Stalinisme. Bagi jutaan orang, komunisme identik dengan kediktatoran birokrasi totaliter Stalin. Inilah kebohongan terbesar abad ke-20, yang sejak awal dibongkar tanpa ampun oleh kaum Trotskis.

Uni Soviet di bawah Stalin bukanlah kediktatoran proletariat, melainkan kediktatoran atas proletariat oleh kasta birokrasi yang parasitik. Trotsky, dalam Revolusi yang Dikhianati, menyebutnya degenerated workers’ state: basis ekonomi hasil Revolusi Oktober—kepemilikan negara atas alat produksi—masih dipertahankan, tetapi kekuasaan politik kaum pekerja telah dirampas oleh birokrasi yang tak bisa dikontrol atau ditarik kembali.

Degenerasi ini tidak lahir dari sifat pribadi Stalin atau cacat teoretis Bolshevisme, melainkan kondisi objektif: keterbelakangan Rusia, kehancuran akibat perang, dan kegagalan revolusi di Eropa, terutama Jerman. Tanpa dukungan revolusi internasional, Soviet terisolasi. Kelelahan massa dan kemiskinan menciptakan ruang bagi birokrat—administrator, pejabat, manajer—untuk mengangkat diri di atas masyarakat.

Lapisan baru ini membutuhkan ideologi yang sesuai: teori “Sosialisme di Satu Negara.” Doktrin ini menanggalkan perspektif internasionalis Lenin–Trotsky dan menjadikan partai-partai Komunis dunia sebagai alat kebijakan luar negeri Moskow.

Di dalam negeri, birokrasi menghancurkan sisa-sisa demokrasi buruh. Larangan faksi tahun 1921—tindakan darurat sementara di masa Lenin—diubah Stalin menjadi prinsip permanen untuk membungkam kritik. Hasilnya: pembantaian Oposisi Kiri dan eliminasi fisik generasi Bolshevik Lama dalam Pembersihan Besar 1930-an.

Secara ekonomi, kediktatoran birokrasi membawa bencana. Kepemilikan negara memberi keuntungan besar bagi perencanaan, tetapi tanpa kontrol demokratis, perencanaan berubah jadi birokratis, boros, dan sewenang-wenang. Trotsky menekankan bahwa demokrasi bukan ideal abstrak, melainkan syarat hidup-mati bagi ekonomi sosialis. Magnitogorsk menjadi contoh: produksi baja melonjak, tetapi dengan kualitas buruk, kondisi kerja nyaris perbudakan, dan inefisiensi luar biasa akibat perintah dari atas.


Simpulan

Kediktatoran proletariat, ketika dipahami dalam kerangka Marxis yang otentik, muncul bukan sebagai momok totaliter, tetapi sebagai konsep yang secara fundamental demokratis dan membebaskan. Ia adalah nama ilmiah untuk negara buruh, sebuah negara transisional di mana mayoritas luas rakyat pekerja, untuk pertama kalinya dalam sejarah, memegang kekuasaan politik dan menggunakannya untuk menekan perlawanan minoritas mantan penindas dan membangun masyarakat baru yang bebas dari eksploitasi. Model historisnya, Komune Paris, dan prinsip-prinsip teoretisnya, yang diuraikan oleh Marx, Engels, dan Lenin, menunjukkan sebuah bentuk demokrasi yang jauh lebih unggul dan partisipatif daripada parlementarisme borjuis mana pun.

Konsep ini telah menjadi sasaran serangan dari tiga arah. Ia difitnah oleh kaum borjuis, yang dengan sengaja menyamakannya dengan tirani untuk menakut-nakuti kelas pekerja agar tidak memperjuangkan kekuasaannya sendiri. Ia disalahpahami oleh kaum anarkis yang tulus namun idealis, yang karena penolakan abstrak mereka terhadap semua “otoritas”, menolak alat yang paling diperlukan untuk kemenangan revolusioner, dan dengan demikian membuka jalan bagi kekalahan atau kolaborasi. Dan yang paling tragis, ia dikhianati secara brutal oleh birokrasi Stalinis, yang membangun kediktatoran totaliternya sendiri di atas tulang punggung revolusi yang merosot dan menodai panji komunisme dengan kejahatan-kejahatannya.

Tugas kaum revolusioner Marxis saat ini adalah tugas ganda: membersihkan panji Marxisme dari kotoran Stalinisme yang telah mencemarinya selama beberapa dekade, dan dengan sabar menjelaskan kepada lapisan buruh dan pemuda yang paling maju tentang perlunya kediktatoran proletariat yang sejati. Ini berarti memperjuangkan sebuah rezim demokrasi buruh yang terorganisir secara internasional, berdasarkan dewan-dewan pekerja yang demokratis, sebagai satu-satunya jembatan menuju pembebasan akhir umat manusia: sebuah masyarakat komunis dunia yang tidak mengenal kelas, eksploitasi, atau negara. Perjuangan untuk merebut kembali makna sejati dari kediktatoran proletariat adalah perjuangan untuk masa depan sosialis itu sendiri.***


Daftar Rujukan

Engels, Friedrich. 1878. Anti-Dühring: Herr Eugen Dühring’s Revolution in Science. Leipzig: Genossenschaftsbuchdruckerei.

Hart, Michael H. 1978. The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History. New York: Hart Publishing Company.

Lenin, Vladimir Ilyich. 1917. The State and Revolution. Petrograd: Zhizn i Znanie.

Marx, Karl. 1852. “Letter to Joseph Weydemeyer, March 5, 1852.” In Marx and Engels Collected Works, Vol. 39. Moscow: Progress Publishers, 1983.

Trotsky, Leon. 1937. The Revolution Betrayed: What Is the Soviet Union and Where Is It Going? New York: Doubleday, Doran & Co.


Rakyat Husein, aktivis sosial.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.