Kapitalisme Transnasional dalam Kebijakan Hilirisasi Nikel dan Gerakan Perlawanan yang Rimpang

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Betahita


DEBAT mengenai efektivitas Gerakan Rimpang dan Non-Rimpang semakin maju dan menarik. Setelah mengalami turbulensi akibat tulisan Abdil Mughis Mudhoffir di IndoProgress, beberapa artikel terakhir menunjukkan upaya untuk mencari titik temu dua kecenderungan tersebut. Dalam artikel ini, saya akan mencoba mendorong debat ini lebih membumi, harapannya agar ikhtiar dan upaya kita mencari dan membangun metode gerakan yang tepat semakin menjadi mungkin.

Untuk itu, saya akan mengajak kita semua menyimak problem yang terjadi di seputar pertambangan nikel. Dari pembacaan dan pemahaman tentang kasus pertambangan nikel ini, saya kemudian merefleksikannya ke dalam persoalan tentang apa metode gerakan yang tepat dalam merespon problem ekonomi politik yang ada saat ini.

Sebagaimana telah kita diketahui secara luas, Indonesia kini memainkan peran penting sebagai produsen nikel dalam perekonomian global. Nikel merupakan komponen kunci dalam produksi kendaraan listrik. Selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, pemerintah menerapkan kebijakan tentang hilirisasi industri nikel dengan ikut menetapkan PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) yang berlokasi di Halmahera Tengah, dan PT. Harita Group yang berlokasi di Halmahera Selatan, Maluku Utara, sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

IWIP dan Harita menjadi dua aktor utama dalam aktivitas penambangan nikel di Halmahera, Maluku Utara, dengan model Penanaman Modal Asing (PMA). Pemerintah turut melibatkan perusahaan-perusahaan transnasional yang berbasis di Tiongkok, seperti Tsingsahn Holding Group, Huayou Cobalt, Green Eco Manufacture (GEM) Co Ltd, dan Lygedn Resouces Technology Co. Ltd. Mereka adalah perusahaan yang paling diuntungkan dalam PSN nikel.

Berdasarkan realitas tersebut, tulisan ini berupaya untuk menganalisisnya melalui persepketif ekonomi-politik-global yang dikemukakan oleh William I. Robinson tentang transnational capitalist class (TCC). Pendekatan TCC menyoroti keberadaan kelas kapitalis global yang menguasai dan memiliki kendali atas modal produksi lintas negara. Dalam konteks ini, menurut saya, perusahaan-perusahaan transnasional yang terlibat dalam PSN sektor nikel merupakan bagian dari kelas kapitalis global yang mengontrol sumberdaya dan proses produksi. Robinson sendiri berpendapat bahwa, kelas kapitalis transnasional ini beroperasi melampaui batas-batas nasional, membentuk jejaring kekuasan ekonomi global yang mengabaikan dampak sosial dan lingkungan demi kepentingan penguasaan modal dan produksi.


TCC dan Bangkitnya Kelas Kapitalisme Global

Sebagaimana ditulis Robinson dalam bukunya, A Theory of Global Capitalism (2004), transnasional merupakan fase baru dari perkembangan kapitalisme global. Ciri dari era baru ini ditandai oleh munculnya kapital transnasional yang telah terintegrasi di hampir semua negara dan masyarakat ke dalam sistem produksi keuangan dan jasa global. Meski demikian, Robinson berpendapat bahwa fase baru dari transnasional ini memerlukan pergeseran dari ekonomi dunia (world economy) ke ekonomi global (global economy).

Pergeseran ini perlu untuk diuraikan secara singkat. Fase ekonomi Dunia dimulai dari pertengahan abad ke-19 hingga awal dekade 1870-an, adalah fase di mana tiap-tiap negara berfokus pada pengembangan ekonomi nasionalnya. Dalam fase ini, negara-negara yang memproduksi komoditas dalam negerinya lalu menjualnya ke dalam perdagangan internasional yang saling terintegrasi. Sementara, pada fase kedua yang disebut ekonomi global, menurut Robinson, dimulai pada akhir dekade 1970-an hingga saat. Fase ini ditandai dengan peningkatan globalisasi dalam proses produksi, di mana hasil produksi kini telah bersifat global. Mobilitas kapital global memungkinkan para kapitalis untuk mengatur ulang proses produksi di seluruh dunia berdasarkan kalkulasi keuntungan. Mereka ini memiliki kebebasan untuk mencari tenaga kerja berupah murah, tarif pajak yang rendah, serta sistem regulasi yang lebih longgar yang memudahkannya untuk beroperasi. Akibatnya, sistem produksi nasional telah terfragmentasi dan terintegrasi secara eksternal ke dalam sirkuit akumulasi global

Secara praktis, perbedaan antara kedua fase ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Dalam fase ekonomi dunia, sebuah perusahaan mobil di negara X melaksanakan seluruh tahapan produksi—dari awal hingga produk akhir—di dalam wilayah negaranya sendiri. Mobil yang dihasilkan kemudian dijual untuk kebutuhan pasar domestik dan luar negeri. Sebaliknya, pada fase ekonomi global, proses pembuatan mobil terfragmentasi secara geografis: misalnya, ban diproduksi di Indonesia, rangka dibuat di Jepang, dan perakitan akhir berlangsung di Tiongkok. Semua tahapan ini dilakukan di lokasi-lokasi yang berbeda secara global, namun dikelola secara terpusat oleh sistem manajemen digital yang tidak terikat secara fisik pada lokasi produksi maupun negara tempat perusahaan bermarkas.

Globalisasi dalam proses produksi ini telah menyebabkan terpecahnya sirkuit ekonomi nasional dan integrasinya secara fungsional ke dalam sirkuit akumulasi global baru. Seiring munculnya ekonomi global, globalisasi produksi adalah yang pertama kali mengalami transnasionalisasi. Perbedaan utama antara ekonomi dunia dan ekonomi global adalah globalisasi proses produksi itu sendiri, atau munculnya sirkuit produksi dan akumulasi yang terglobalisasi. Robinson mengaskan bahwa globalisasi ekonomi berbeda dengan internasionalisasi. Baginya internasionalisasi melibatkan perluasan kegiatan ekonomi lintas batas negara, sedangkan transnasionalisasi mencerminkan perubahan yang lebih mendasar karena tidak hanya menyangkut perluasan geografis kegiatan ekonomi lintas batas negara, tetapi juga mencakup integrasi fungsional dari aktivitas-aktivitas yang tersebar secara internasional tersebut.

Transnasional ini, menurut Robinson, memiliki wajah dan digerakkan oleh suatu kelas yang disebutnya sebagai Transnational Capitalist Class (TCC), yang juga berperan sebagai fraksi dominan dalam hegemoni global. Menurutnya, TCC terdiri dari para pengelola dan pemilik perusahaan transnasional (TNC), serta lembaga-lembaga keuangan internasional yang memainkan peranan penting dalam menggerakan ekonomi global, seperti IMF, Bank Dunia, WTO, Bank for International Settlement (BIS), bank-bank regional seperti Interamerican Development Bank (IDB), the Asian Development Bank (DB), dst. Robinson menyebut kemunculan TCC dimulai pada akhir 1970-an, yang dilambangkan oleh kebangkitan jaringan perakitan global dan ekspansi pabrik-pabrik modern di zona perdagangan bebas di berbagai penjuru dunia. Menyusul gelombang deregulasi keuangan di sebagian besar negara di dunia, sistem perbankan dan keuangan nasional mulai mengalami transnasionalisasi pada dekade 1990-an dan 2000-an.

Masih menurut Robinson, TCC telah berusaha membentuk ulang struktur ekonomi global dengan memperluas pengaruhnya ke ranah politik yang melintasi batas-batas negara. Mereka menjalankan agenda-agendanya melalui apa yang disebut sebagai aparatur negara transnasional (TNS/Transnational State). Bagi Robinson, TNS bukanlah bentuk pemerintahan global, melainkan merupakan perangkat atau jaringan institusi transnasional yang telah berada dibawah kendali para pengambil keputusan dan birokrat negara yang berpihak pada kepentingan transnasional. Oleh karena itu, para aktor dalam TNS ini secara aktif terlibat dalam mengatur kondisi nasional agar sejalan dengan tujuan akumulasi kapital transnasional Dalam kasus hilirisasi nikel ini, kelompok yang tergabung dalam proyek bisnis seperti IWIP dan Harita, serta Tsingshan Holding Group, Huayou Cobalt, Zhenshi Holding Group, dan Lygend Resources & Technology, merupakan bagian dari kelas kapitalis transnasional (TCC) dalam sistem kapitalisme global. Mereka inilah yang memiliki kendali atas sarana produksi yang melintasi batas-batas negara.


IWIP dan Harita dalam Sirkuit Transnasional

Sebagaimana telah diketahui, IWIP merupakan perusahan patungan dari investor asal Tiongkok, yaitu Tsingshan Holding Group, Huayou Holding Group, dan Zhenshi Holding Group Co., Ltd. Saham mayoritasnya dikuasai oleh Tsingshan (40%) melalui anak perusahaan Perlux Technology Co.Ltd. Sementara Zhenshi dan Huayou menguasai saham masing-masing 30%.

Berdasarkan laporan riset dari Aksis Ekologi & Emansipasi Rakyat (AEER), Tsingshan Holding Group adalah produsen baja nirkarat dan nikel olahan terbesar dunia yang berdiri sejak 1992. Perusahaan ini memiliki fasilitas pengolahan logam yang tersebar di berbagai negara: di Pittsburgh, Amerika Serikat, Tsingshan bermitra dengan Allegheny Technology dalam mendirikan A&T Stainless Steel, serta mengimpor produk baja nirkarat slab dari Indonesia untuk pembuatan produk stainless steel sheet. Di Zimbabwe, Tsingshan memiliki anak usaha Afrochine Smelting. Plc yang memiliki fasilitas peleburan ferrochorme karbon tertinggi di dunia. Di Indonesia, investasi Tsingshan paling cepat tumbuh, berlokasi di Morowali dan di Lelilef, Halmahera Tengah, dengan membangun fasilitas HPAL untuk menghasilkan MHP dan mengembangkan proyek konversi NPI menjadi nickel matte. Tokoh penting di balik Tsingshan adalah Xiang Guangda, seorang pengusaha dengan jaringan bisnis yang menggurita secara global. Xiang Guangda dapat dikategorikan sebagai bagian dari TCC.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Sementara itu, Zhejiang Huayou Cobalt Co., Ltd atau yang lebih dikenal sebagai Huayou Holdings, berdiri sejak tahun 2015. Perusahaan ini merupakan perusahaan saham gabungan dari Great Mountain Enterprise Pte Ltd dengan saham 50,10%, Tongxian Huayou Investment Co Ltd memiliki saham 29,29% dan sisanya tersebar di Huayou serta delapan entitas bisnis lainnya yang masing-masing memiliki kurang dari 4% hingga 4% saham.

Huayou Holdings memiliki puluhan anak usaha yang tersebar berbagai negara. Di Republik Kongo, mereka menjalankan operasi melalui anak usaha Congo Dongfang International Mining SARL. Di Harare, ibu kota Zimbawe, Huayou telah mengakuisisi 90% kepemilikan tambang lithium Arcada. Produk-produk Huayou Holdings juga digunakan dalam rantai pasok baterai ke LG Chem (Korea Selatan), Contemporary Amperex Technology Co Ltd (Tiongkok), serta produsen mobil seperti BYD (Tiongkok) dan Volkswagen (Jerman). Diberitakan pula bahwa Huayou menjalin kesepakatan dengan Tesla untuk memasok precursor ternary yang digunakan pengembangan baterai lithium-ion.

Selain di Morowali, Sulawesi Tengah, Huayao juga terlibat dalam proyek IWIP melalui PT Huake Nickel Indonesia, yang berfokus pada proyek pirometalurgi. Dalam perusahaan ini, Huayou menguasai 70% saham, sementra 30% sisanya dimiliki oleh Tsingshan. Huayou juga memiliki keterlibatan dalam PT. Huake Nickel Indonesia dengan kepemilikan 20%, dan anak usahanya Huayou International Cobalt, memegang 31% saham. sisahnya dimiliki oleh Eve Battery 17%, Glaucous International 30%, dan Lindo Investment 2%.

Perusahaan lain yang terlibat di IWIP ialah Zhenshi Holding Group Co., Ltd. yang berdiri sejak 1989. Jaringan bisnisnya tersebar di Tiongkok, Amerika Serikat, Spanyol, Turki, Mesir, dan juga Indonesia, tepatnya di Lelilef, Halmahera Tengah, melalui perusahaan patungan dengan Tsingshan bernama PT Yashi Indonesia Investment. Selain itu, Zhenshi juga telah mendirikan perusahaannya sendiri di Indonesia, yakni PT. IHIP (Indonesia Huabao Industrial Park) yang berlokasi di Topogaro, Morowali.

Sementara itu, Harita group merupakan konglomerat bisnis yang didirikan oleh Lim Hariyanto Wijaya Sarwono. Sejak tahun 2010, melalui anak perusahaannya PT. Trimega Bangun Persada (TBP), Harita aktif terlibat dalam industri nikela. Menurut AEER dalam laporannya, Lygend mengontrol 54,9% saham di Halmahera Persada Lygend, sementara Harita Group menguasai 45,1% saham. Di sisi lain, dalam struktur kepemilikan melalui Lygend New Power, Lygend menguasai 60% saham, PT Obi Nickel Cobalt (anak usaha Harita) memiliki10%, dan Li Yuen Pte Limited mengontrol 30% tersisa. Di proyek RKEF yang dioperasikan oleh PT Halmahera Jaya Feronikel, kepemilikan saham dibagi antara Lygend sebesar 36,9% dan Harita sebesar 63,1% dengan pengelolaan perusahaan dijalankan oleh Harita group melalui anak perusahaanya yakni TBP.

Laporan yang sama juga menyebutkan bahwa Lygend Resources & Technology didirikan pada 2009 dan berkantor pusat di kota Ningbo, provinsi Zhejiang, Tiongkok. Produk-produk yang dihasilkan perushaan ini digunakan dalam industri hilir, khususnya untuk kendaraan listrik dan baja nirkarat. Di Pulau Obi, Lygend menjadi perusahaan penghasil MHP (Mixed Hydroxide Precipitate) pertama di Indonesia dengan mengoperasikan smelter HPAL. Produk HPAL Lygend dari Obi ini dikirim ke GEM Co Ltd. Pada September 2020, Lygend bersama PT Halmahera Persada Lygend (anak usaha Lygend) di Pulau Obi, telah menyetujui kontrak kerja sama dengan GEM Co Ltd untuk jual beli produk MHP dalam pengembangan baterai kendarai listrik.

Selain itu, di Pulau Obi juga menjadi lokasi beroperasinya Penanaman Modal Asiang (PMA) lainnya, yakni PT Wanatiara Persada. Berdasarkan laporan AEER, kepemilikan saham ini terbagi antara Jinchuan Group Co., Ltd yang menguasai 60% dan PT. Rimba Kurnia Alam yang memiliki 40%. Jinchuan sendiri adalah perusahaan manufkatur dunia di bidang logam non besi yang berbisnis di bidang pertambangan, pengolahan mineral, dan peleburan logam. Selain beroperasi di Obi (Indonesia) dan Tiongkok, Jinchuan juga beroperasi di Zambia melalui anak perusahaanya Metorex, di Tibet China, melalui Tibet Jinchuan Mining Co. Ltd, serta di Republik Demokratik Kongo dan Afrika Selatan, juga Metorex. Di Mexico, aktivitas bisnisnya dijalankan melalui Jinchuan Group Mexico.


Dampak Sosial dan Ekologis

Sebagaimana banyak diberitakan oleh berbagai media, keberadaan PT. IWIP dan Harita telah menimbulkan daya rusak yang tinggi. Dalam berbagai kasus, masifnya aktivitas eksplorasi yang dilakukan oleh IWIP dan Harita telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang parah, dan ketimpingan sosial yang tinggi. Penelitian terbaru dari Nexus3 Foundation dan Universitas Tadulako, misalnnya, menemukan bahwa ikan tangkapan nelayan serta darah warga lokal mengandung zat berbahaya seperti arsenik dan merkuri yang melebihi ambang batas aman. Sebanyak 47% warga tercatat memiliki kadar merkuri yang tinggi, sementara 32% menunjukkan kadar arsenik yang berlebihan. Penelitian ini juga mengungkapan bahwa polusi logam berat dari IWIP telah tersebar ke lingkungan sekitar. Selain itu, air sungai yang selama ini menjadi sumber konsumsi warga kini dinyatakan tercemar dan tidak layak diminum.

Sementara itu, menurut laporan JATAM antara tahun 2021 hingga 2023, aktivitas IWIP dan Perusahaan tambang nikel lainya telah menyebabkan hilangnya tutupan hutan seluas 27,9 ribu hektar, meningkatkan emisi gas rumah kaca, dan merusak hulu sungai-sungai besar. Laporan lain dari BPS tentang penduduk miskin di Maluku Utara pada Maret 2023, menunjukkan presentase penduduk miskin mencapai 6,46%. Di Halmahera Tengah, Tingkat kedalaman kemiskinan pada 2023 tercatat sebesar 1,8 poin, lebih tinggi dari rata-rata nasional 1,53 poin, – menunjukkan adanya, kesenjangan sosial yang signifikan.

Di Halmahera Selatan, Harita Grup juga dituding menyebabkan kerusakan lingkungan yang serupa. Operasi tambang ini menyebabkan pencemaran air, dengan ditemukannya kontaminasi kromium heksavalen (Cr6) di Sungai Tugaraci pada 2012. Meskipun kadar Cr6 tersebut telah melebihi batas aman, informasi ini tidak pernah disampaikan kepada masyarakat dan, hanya diketaui oleh jajaran direksi perusahaan. Sejak 2022, pengujian internal Harita mengkonfirmasih bahwa pencemaran air di Kawasi dengan kadar Cr6 mencapai 19 kali lipat dari ambang batas. Masyarakat setempat mengaku terpaksa mengonsumsi air tercemar karena tidak mampu membeli air kemasan, sementara alternatif pasokan air bersih tidak pernah disediakan. Audit lingkungan yang ditugaskan Harita sebagai bagian dari proses penawaran saham perdana (IPO) juga menemukan sejumlah pelanggaran serius, seperti buruknya fasilitas pengolahan limbah, data yang tidak lengkap, serta indikator kimiawi yang melanggar standar kualitas air tanah.

Saat ini, Harita dan Pemerintah berupaya melakan relokasi warga Kawasi yang masuk dalam Kawasan pertambangan. Namun, rencana relokasi ini mendapat penolakan dari warga. Bagi mereka, Kawasi bukan sekedar tempat tinggal, melainkan warisan peninggalan leluhur dan bagian tak terpisahkan dari identitas budaya mereka.


Refleksi Perlawanan yang Rimpang

Kondisisi lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat yang kian memburuk akibat aktivitas pertambangan dari kelas kapitalis transnasional (TCC) ini, telah memicu munculnya aksi-aksi protes yang digerakkan secara spontan oleh aktivis mahasiswa dan Organisasi Non-Pemerintahan (NGO). Gelombang protes juga meluas ke media sosial yang di ekspresikan melalui penggunaan tagar (#). Namun, pertanyaannya: apakah aksi-aksi protes tersebut telah membuahkan hasil, setidaknya kemenangan kecil?

Dalam kasus penolakan terhadap aktivitas PT. IWIP dan Harita, terlihat bahwa gerakan perlawanan yang muncul bersifat terpecah-pecah dan tidak terkoordinasi secara utuh. Fragmentasi ini justru memicu respons represif yang semakin intens dari aparat, sementara dukungan publik terhadap gerakan tersebut sangat minim. Perjuangan atas nama keadilan sosial dan kelestarian lingkungan harus berhadapan dengan kekuatan besar yang dimiliki perusahaan, baik dari segi ekonomi maupun politik. Didukung oleh jejaring kekuasaan dan regulasi yang menguntungkan, perusahaan memiliki posisi dominan yang membuat berbagai upaya untuk menghentikan atau membatasi aktivitas eksplorasi mereka tampak tidak membuahkan hasil.

Untuk menghadapi kekuatan besar seperti kapitalisme transnasional yang telah memengaruhi arah kebijakan ekonomi dan industri secara global, sudah dapat dipastikan bahwa bentuk perlawanan yang Rimpang tidak mencukupi. Aksi-aksi protes yang muncul di berbagai ruang, baik melalui demonstrasi di jalanan, maupun lewat media sosial dengan penggunaan tagar seperti, #Selamatkanlingkungan, #SaveHalmahera dan #Stopgusurtanah, hanya berhasil mengganggu aktivitas pertambangan, tetapi tidak menghentikannya.

Dari uraian singkat tentang TCC yang beroperasi di industri pertambagan nikel, maka bentuk organisasi yang terstruktur, terorganisir, terpimpin, dan demokratis adalah senjata perlawanan yang efektif. Terstruktur artinya, gerakan perlawanan ini tidak cukup mengambil bentuk kolektif-kolektif kecil yang terisolasi satu dengan yang lainnya berdasarkan kasus-kasus yang tidak saling terhubung. Sementara itu, teroganisir bermakna gerakan ini tidak bergerak secara sporadis atau reaktif semata, tetapi dilakukan secara terpadu dengan arah yang terencana. Organisasi perlawan yang terorganisir juga harus memiliki visi, misi dan program yang jelas dan konkret sebagai alternatif yang nyata dan sepadan terhadap dominasi TCC. Tanpa landasan ini, sekeras apapun perjuangan kita i—meskipun heroik dan militan i—akan sulit mencapai hasil yang nyata dan cenderung tidak mendapatkan dukungan publik yang luas dan berkelanjutan. Perlawanan kita bukan untuk sekadar melawan, melainkan perlawanan untuk menggulingkan TCC dan membangun suatu model pembangunan dengan orientasi yang baru dan berbeda.

Yang dimaksud dengan “terpimpin” adalah bahwa gerakan ini harus dijalankan dengan kepemimpinan yang memiliki arah ideologis, politik, dan struktur organisasi yang tegas serta bertanggung jawab. Saya sepenuhnya menyadari bahwa kita membawa beban sejarah dan pengalaman politik terkait model organisasi semacam ini—terutama kecenderungannya menjadi kaku, hierarkis, top-down, serta rentan terhadap pengkhianatan para pemimpinnya dan dominasi nilai-nilai patriarkal. Atas dasar kesadaran ini, saya menekankan pentingnya syarat tambahan: organisasi perlawanan harus memiliki demokrasi internal yang kuat. Dengan mekanisme demokratis di dalamnya, kecenderungan menuju otoritarianisme, hirarki yang menindas, dan bias patriarkal bisa ditekan atau bahkan dihapus. Oleh karena itu, persoalan organisasi seharusnya dihadapi dan diselesaikan dalam kerangka organisasional—bukan dengan menolaknya sepenuhnya dan menggantinya dengan model organisasi yang hanya didasarkan pada preferensi pribadi atau subjektivitas belaka.


Penutup

Artikel ini telah membahas kebijakan hilirisasi nikel yang melibatkan keterlibatan perusahaan-perusahaan transnasional, yang berdampak pada perusakan lingkungan dan memperparah ketimpangan sosial. Dengan menggunakan perspektif transnasional seperti yang dijelaskan oleh Robinson, terlihat bahwa negara, yang idealnya mengatur dan melindungi perekonomian nasional, justru kehilangan kendalinya. Fungsi negara telah bergeser menjadi pelayan bagi kepentingan kelas kapitalis global, bukan lagi sebagai wakil rakyat. Negara kini terbelenggu oleh perjanjian internasional dan tunduk pada agenda perusahaan transnasional yang terus mengakumulasi kapital tanpa memperhatikan konsekuensi sosial maupun ekologis.

Oleh karena itu, dalam menghadapi dominasi TCC, tidak cukup jika perlawanan hanya bersifat reaktif dan terpecah-pecah. Kita memerlukan suatu bentuk organisasi perlawanan yang memiliki struktur yang jelas, terkelola dengan baik, memiliki kepemimpinan yang solid, serta berjalan secara demokratis. Membangun kekuatan seperti ini menjadi tantangan utama sekaligus amanat sejarah yang harus dipikul oleh setiap pelaku gerakan sosial dan lingkungan hari ini dan di masa mendatang.***


Masril Karim adalah Ketua Umum HMI Cabang Manado periode 2015-2016 dan pernah menjadi Pengurus Besar (PB) HMI periode 2021-2023; saat ini mengelola Diskusi Buku IndoProgress.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.