Ilustrasi: Jonpey
TUDUHAN Fadhil Aprilyandi Sultan dalam artikelnya bahwa saya adalah konservatif sekaligus berniat memfragmentasi gerakan adalah berlebihan sekaligus tak berdasar. Dari tulisannya, Fadhil terlihat hanya ingin menyombongkan diri sebagai intelektual tanpa ada intensi untuk memajukan gerakan.
Tulisan saya yang dikritik Fadhil adalah refleksi atas gerakan mahasiswa sekaligus ajakan provokatif kepada seluruh organisasi untuk konsolidasi bersama merumuskan arah politik baru bagi gerakan. Tulisan saya memang berada di tataran praktis dan strategis, menawarkan jalan tengah yang adil, sementara Fadhil mengawang tak keruan. Fadhil secara serampangan membawa “politik kelas pekerja” sebagai tawaran bagi gerakan mahasiswa sambil berkampanye bahwa “mahasiswa adalah calon buruh.” Dia mereduksi problematika mahasiswa secara riil dengan menarik-narik mereka ke kubangan sektor lain secara serampangan.
Mari kita bedah lebih jauh. Bagi saya Fadhil telah gagal menafsirkan pikiran Hizki Yosie dalam Majalah Balairung edisi 59. Yosie menulis, “Apabila kampus tidak mampu membayar, dan bahwa mahasiswa sudah menyadari posisi kelasnya sebagai buruh yang krusial bagi modus produksi universitas, maka tidak ada pilihan lain, mahasiswa harus mengamalkan tugas kepeloporannya sebagai buruh mayoritas untuk mengambil alih sarana produksi pendidikan tersebut, dan mengubahnya menjadi rumah produksi pengetahuan rakyat pekerja.” Bila Fadhil menjadikan tulisan tersebut sebagai pijakan, maka artikel pertamanya telah runtuh total sebab Yosie pun mendorong mahasiswa untuk memperkuat basis sektoralnya—sebagai pekerja akademik—dahulu.
Secara garis besar, saya tidak mempersoalkan tulisan Yosie. Pun saya mengamini posisi mahasiswa di kampus sebagai kelas paling tertindas. Maka saya tidak sepakat jika mereka yang tertindas di kampus juga harus diposisikan pasif sebagai kantong massa bagi gerakan-gerakan lain. Seperti yang saya katakan dalam tulisan pertama, kecenderungan menarik mahasiswa ke isu-isu lain berujung pada penempatan mahasiswa sebagai subjek pasif tanpa mendorong penguatan mereka dalam ruang ketertindasan sendiri (kampus). Hal tersebut misalnya dilakukan oleh sebagian LSM dengan terus-menerus memaksa mahasiswa mengikuti agenda mereka yang kebanyakan hanya berfokus pada mengadvokasi perundang-undangan. Ketakutan tersebut menjadi landasan kenapa saya juga tidak sepakat bila kita serampangan memasukkan secara spesifik agenda politik kelas pekerja ke dalam gerakan mahasiswa—sebab sekali lagi berpotensi menempatkan mahasiswa pada posisi pasif.
Pun Fadhil tidak berani menunjukkan sikap yang jelas tentang politik kelas pekerja apa yang dia maksud. Apakah Partai Buruh? Atau politik kelas pekerja dari serikat buruh ekstraparlementer? Sebab gerakan mahasiswa progresif pun terbagi sikap politiknya.
Yosie cukup jelas posisinya: jadikan kampus sebagai medan pertarungan kelas—perjuangan nilai—dengan memperkuat posisi mahasiswa, hingga ujungnya bisa merebut kampus. Toh pertarungan kelas di kampus juga tidak semudah membalik telapak tangan, sebab kita harus jujur bahwa gerakan mahasiswa progresif belum memiliki kaki yang kuat di rumahnya sendiri—seperti yang saya katakan di tulisan awal, “pelopor tiap sel kampus hari ini juga tidak memiliki basis massa yang cukup kuat secara kualitas maupun kuantitas, sehingga ujungnya selalu mengandalkan massa cair.” Basis fundamental yang rapuh inilah yang perlu diperbaiki. Selagi kekuatannya masih belum terkonsolidasi baik, kita akan berkutat pada persoalan gerakan mahasiswa yang begitu-begitu saja. Mengutip kata Fadhil, “Pun apabila mahasiswa ikut bersuara terkait persoalan ‘rakyat’, tuntutan tersebut kerap kali berakhir sebagai aksi simbolik semata seperti bakar ban, teater, orasi, menabur bunga, dan bagi-bagi pamflet. Akibatnya, gerakan mahasiswa menjelma sebagai ruang masturbasi intelektual yang becek oleh retorika dan simbol.”
Saya sama sekali tidak menemukan kebaruan dalam analisis Fadhil dari dua artikelnya di Indoprogress. Tidak ada yang baru dari analisisnya tentang neoliberalisme pendidikan. Soal politik kelas pekerja, Yosie sudah amat gamblang menjelaskannya. Pun politik kelas pekerja yang didefinisikan Fadhil pada artikel pertamanya, sudah dilakukan oleh organisasi-organisasi mahasiswa progresif. Persoalannya adalah bagaimana memperlebar secara kuantitatif maupun kualitatif basis gerakan di kampus. Ini merupakan ikhtiar tandingan dari pola viral based movement yang marak hari ini.
Di tulisan kedua, Fadhil hanya ingin meninggikan ego intelektualnya dengan menempatkan saya sebagai orang yang tidak setara. Ini terlihat dari cara dia menjabarkan neoliberalisme pendidikan, fetisisme sektoral, hingga aktivisme anti-realis. Sayangnya, kemampuannya mengutip dari mulai Roy Bhaskar sampai D.N. Aidit tidak dibarengi dengan langkah praktis yang riil bagi kemajuan gerakan. Maka, sebaiknya, mari kita coba kesampingkan ego dan kegenitan intelektual lalu melangkah ke dunia yang lebih riil. Saya sepakat kapitalisme harus tumbang, tapi meruntuhkannya tidak semudah meneriakkan “hidup rakyat!”.
Membangun (Kembali) Kiri Populis
Kemenangan seorang sosialis muda Zohran Mamdani di pemilihan umum New York serta antusiasme terhadap partai kiri baru yang didirikan Jeremy Corbyn dan Zarah Sultana di Inggris jelas menjadi angin segar di tengah tren konservatisme yang melanda dunia. Di tengah dunia yang pemimpin kanannya sedang naik daun—imbas neoliberal—kaum progresif ternyata masih diharapkan.
Terdapat dua hal yang bisa kita soroti dari kemenangan Zohran: kemampuan mengorganisir dan penguasaan media sosial. Dua kekuatan kunci itu dibarengi dengan isu yang amat populis bagi warga New York, yaitu biaya hidup. Zohran dengan gila berani mengatakan: bebaskan biaya sewa, layanan bus gratis dan cepat, penggratisan Universitas New York, hingga peningkatan pajak perusahaan. Bisa dikatakan, Zohran telah sukses membalikkan populisme kanan ala Trump. Namun, Fadhil mungkin juga akan dengan sinis mengatakan orang-orang semacam Zohran hanya fokus pada permukaan, seperti apa yang dia katakan kepada saya, “Bahayanya bukan hanya kegagalan untuk menciptakan perubahan, melainkan juga memperkuat ilusi seolah-olah perubahan telah terjadi padahal yang berganti hanyalah bentuk luar.”
Fadhil mereduksi saya hanya fokus pada persoalan gejala serta tidak memahami akar dari neoliberalisme pendidikan. Sedangkan apa yang saya katakan adalah menjadikan neoliberalisme pendidikan sebagai entry point bagi mahasiswa kebanyakan untuk menyadari dulu posisi kelasnya di kampus. Bahasa yang lebih mudah, isu student loan, uang kuliah mahal, beban riset mahasiswa, dan sebagainya dijadikan pijakan populis untuk memperluas basis gerakan mahasiswa progresif di kampus. Ujungnya, ya, pasti pertarungan kelas secara luas. Tapi prasyaratnya: penguatan kualitatif dan kuantitatif gerakan mahasiswa progresif.
Ini sejalan dengan tradisi ortodoks marxis, tindakan politik kelas mengerucut pada pertanyaan bagaimana mengubah klasse an sich (kelas dalam dirinya) menjadi klasse für sich (kelas untuk dirinya). Sederhananya adalah bagaimana individu menyadari posisi kelasnya dalam status quo serta mengubah kesadaran tersebut menjadi kesadaran kolektif bersama. Cara yang digunakan bisa lewat populisme kiri sebagaimana dijabarkan dalam buku For a Left Populism karya Chantal Mouffe (2018)—meski bukan tujuan utama. Semua itu dapat dijadikan langkah awal untuk membentuk/memperkuat klasse für sich. Ia dapat dijadikan tawaran hegemonik alternatif akan neoliberalisme dan nasionalisme radikal.
Secara khusus saya mendorong kita untuk melihat mahasiswa bukan sebagai penolong atau pembawa perubahan saja, namun juga korban neoliberalisme pendidikan. Selayaknya korban konflik agraria, yang pertama dilakukan adalah menyadarkan posisi mereka, lalu memperkuat daya tawar di hadapan negara dan/atau kampus secara khusus.
Benar domain riilnya adalah kapitalisme, tapi menjauhkan diri dari fenomena-fenomena spesifik yang melingkupi kelas-kelas sosial dalam masyarakat—termasuk mahasiswa—merupakan kenaifan dari seorang yang mendaku dirinya progresif. Malah menurut saya pribadi, hal demikian hanya menyumbang stagnasi pada gerakan progresif. Aidit (1964) saja, saat menjelaskan ketertindasan pada buruh tani, tidak serta merta menunjuk kapitalisme sebagai pelaku utama. Dia membedah secara mikro dengan bahasa-bahasa yang mudah dipahami rakyat bawah, lewat pendekatan tujuh setan desa.
Patut diakui populisme kiri menjadi kelemahan gerakan progresif kita. Fokus pada gejala riil dan spesifik bukan berarti melupakan persoalan sistemik, itu adalah ikhtiar untuk memperlebar ceruk gerakan.
Penutup
Saya sebetulnya menghindari perdebatan ideologis panjang dengan mereka yang masih satu irisan. Toh tujuan akhir kita sama, kapitalisme runtuh. Masalah kita juga masih itu-itu saja. Tapak jalannya? Bisa kita bangun bersama. Elite saja mudah konsolidasinya, masa kita hanya ribut persoalan egoisme semata? Merebut negara saja belum, tapi dengan mudah menghakimi kawan seperjuangan.
Agar gagasan saya tidak hanya indah di kepala dan menjadi retorika semata, mari kita masuk ke tawaran taktis dan strategis. Dalam tulisan “Gerakan Rhizomatik: Kritik dari Masa Lalu, Belajar untuk Masa Depan”, saya dengan gamblang mengkritik kondisi gerakan hari ini—selain persoalan kapitalisme global—juga merupakan hasil dari kegagalan organisasi progresif dalam beradaptasi dengan zaman, karakter generasi, hingga dunia digital. Hal demikian juga diperburuk dengan melemahnya basis mahasiswa progresif secara kualitatif dan kuantitatif di kampus dalam lima tahun terakhir.
Maka yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah: (1) perkuat basis mahasiswa progresif di kampus; (2) penentuan arah politik bersama. Poin pertama sangat fundamental. Kita harus akui bersama bahwa mahasiswa progresif di kampus tidak mempunyai massa yang besar sehingga ujung-ujungnya mengandalkan instrumen resmi seperti BEM dan Senat untuk menarik simpati massa. Mari kita lampaui logika semacam itu. Paling tidak, basis mahasiswa progresif harus punya massa cukup besar agar memiliki daya tawar di depan kampus maupun organ-organ konservatif.
Berbarengan dengan itu, seperti tulisan saya yang pertama, mari kita singkirkan ego antarorganisasi progresif dan rumuskan arah politik bersama. Sebab saya percaya revolusi adalah praktik, tugas pergerakan adalah menyusun penjelasan sistematis tentang revolusi sebagai tindakan melangsungkan pembebasan untuk kelas tertindas oleh kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasan masing-masing. Mari kita mulai dari batas paling minimal: mengorganisir.
Izam Komaruzaman, Biro Mahasiswa Nasional Front Perjuangan Pemuda Indonesia