Politik Perampasan Ruang di Kota Kapitalis: Kasus Revitalisasi Rusun di Palembang

Print Friendly, PDF & Email

Foto: dokumentasi penulis


SAYA selalu percaya bahwa kota bukan sekadar barisan gedung dan jalanan. Kota adalah ruang di mana manusia hidup, bermimpi, bertahan, sekaligus dipinggirkan. Keyakinan itu semakin kuat ketika saya menghabiskan setahun meneliti kawasan rumah susun (rusun) di Kecamatan Bukit Kecil, Palembang. Di tempat itu, saya menyaksikan bagaimana ruang hidup bisa menjadi alat kekuasaan, bagaimana wacana revitalisasi kota bisa berarti ancaman bagi ribuan orang yang menggantungkan hidupnya di lorong-lorong sempit rusun yang kumuh. Rusun yang terletak di lahan seluas 12 hektare itu adalah satu-satunya tempat yang masih bisa mereka sebut rumah di tengah mahalnya harga tanah di pusat kota.

Rusun ini dibangun pada tahun 1981, berlokasi di tengah kota, persisnya di Jalan Kolonel Achmad Badaruddin. Orang-orang mengenalnya dengan sebutan “kompleks rusun” saja. Kawasan rusun bukan ruang asing bagi warga Palembang. Asal-usulnya dapat ditelusuri sejak tahun 1980-an. Saat itu Pemerintah Kota Palembang berinisiatif mendirikan rusun untuk menampung  korban kebakaran sekaligus menghindari semakin banyaknya permukiman kumuh yang sebelumnya sudah menyebar di pusat kota. 

Rusun terbagi dalam banyak blok. Pada setiap blok terdapat dua gedung saling berhadapan. Satu blok terdiri dari 64 ruang petak hunian. Total terdapat 3.456 petak hunian. Adapun jumlah penghuninya saat ini, merujuk data kantor kecamatan, mencapai 17.280 jiwa. Jumlah anggota per keluarga bervariasi, bisa lima sampai tujuh. Para penghuni berasal dari beragam latar belakang. Mereka bukan hanya warga miskin kota yang kehilangan tempat tinggal karena kebakaran atau penggusuran masa lalu, tapi juga buruh informal, pedagang kecil, pekerja serabutan, hingga warga miskin desa yang merantau ke kota. Sebagian besar dari mereka hidup dalam kondisi ekonomi rentan, tanpa akses terhadap kepemilikan rumah formal, dan tidak punya banyak pilihan. Rusun ini merupakan tempat istimewa bagi mereka sebab bisa diakses cukup Rp3 juta per tahun—perbandingannya, rumah sewa sederhana di kawasan lain di Palembang sudah sampai di angka Rp12 juta per tahun. 

Saya mendengar banyak sekali cerita dari sejumlah penghuni; tentang bagaimana mereka bertahan tanpa sertifikat. Sebagian berbekal surat sewa saja, sementara mayoritas bahkan hanya mengandalkan perjanjian lisan tanpa bukti administratif karena membeli rusun dari preman yang menguasai kawasan. Karena perkara inilah ketika saya bertanya tentang kabar revitalisasi, mereka jelas sekali tampak tidak nyaman. Bagi mereka, revitalisasi adalah nama lain dari penggusuran permanen yang akan menghilangkan mereka dari kehidupan di jantung kota. 

“Pemerintah menanyakan surat kepemilikan rusun untuk kepentingan revitalisasi, sedangkan kami tak punya sertifikat, cuma surat sewa lama. Saya cuma ingat dulu pertama kali datang ke sini, pemerintah berjanji tidak akan mengusir kami. Tapi ternyata pemerintah membohongi kami, surat administrasi kami tidak pernah diberikan kejelasan. Sebagian warga juga membeli rusun sama preman, enggak pakai surat-surat. Nah, Kalau revitalisasi jadi, berarti kami digusur dari sini. Terus kami mau ke mana?” ujar Yani, penghuni sejak 1981.

Dalam skema revitalisasi yang beredar, kawasan rusun Bukit Kecil akan dikosongkan sementara waktu. Namun, hingga kini, pemerintah belum memberikan kejelasan apakah warga akan mendapatkan tempat tinggal sementara selama proses revitalisasi berlangsung. Itu pun mungkin hanya bagi penghuni yang memiliki surat-surat kepemilikan. Banyak warga khawatir setelah revitalisasi selesai mereka tidak bisa kembali ke tempat itu. Pengalaman dari kota-kota lain menunjukkan, proyek revitalisasi sering kali justru menjadi dalih untuk menggusur warga miskin kota secara permanen, digantikan oleh hunian vertikal komersial atau apartemen mahal yang tak lagi terjangkau oleh warga lama.


Proyek Kapitalisme di Pusat Kota

Menjelang bangunan rusun dirobohkan, ideologi terus bekerja. Media pemerintah terus mengampanyekan bahwa revitalisasi adalah demi keindahan kota. Pejabat terus memburu investor yang mau bekerja sama merealisasikan proyek. Tapi, di tengah itu semua, tak ada yang bertanya, di mana tempat para warga yang telah membangun kehidupan di rusun selama puluhan tahun?

Dalam pusaran ideologi pembangunan, warga miskin sering diposisikan sebagai penghalang kemajuan. Padahal, tanpa mereka, kota kehilangan rohnya. kehilangan lorong yang hidup, solidaritas, dan hendak menghapus sejarah perjuangan masyarakat kelas bawah yang mempertahankan hidup di pusat kota. 

Revitalisasi bukan proses netral. Ia adalah arena politik. Politik ruang, politik kelas, politik ideologi. Dan selama revitalisasi terus dikemas dalam bahasa pembangunan yang indah, kita wajib terus bertanya: rusun ini punya siapa? Revitalisasi terhadap objek yang dicap “kawasan kumuh” di berbagai kota Indonesia hampir selalu berujung pada penggusuran warga miskin. Rumah susun yang dicap kumuh diganti apartemen. Begitu pula dengan warung-warung kecil bersalin rupa menjadi toko milik waralaba. Kota dengan sendirinya steril dari ruang-ruang komunitas miskin, dan semakin eksklusif untuk kelas menengah. 

Revitalisasi yang digadang-gadang pemerintah tentu tidak bisa dibaca sekadar sebagai proyek perbaikan fisik. Di balik jargon keindahan kota dan hunian layak, ada kekuatan ekonomi-politik yang bekerja. Kota, dalam proyek kapitalisme, bukan ruang bebas nilai, melainkan ruang produksi nilai lebih. David Harvey menyebutnya sebagai proses accumulation by dispossession, di mana ruang-ruang urban dimanipulasi melalui kebijakan dan regulasi agar bisa diambil alih, dikomodifikasi, lalu dijual kembali dengan nilai lebih tinggi.

Kawasan rusun yang selama ini dihuni kelas miskin kota dipandang tidak produktif secara ekonomi dan estetika. Kawasan seperti itu dianggap beban bagi narasi kota modern yang steril, aman, dan ramah investasi. Karena itu, revitalisasi hadir bukan semata untuk memperbaiki kondisi warga, tapi lebih sebagai cara mengontrol ruang kota, menyingkirkan warga miskin ke pinggiran, dan membuka ruang baru untuk kelas menengah yang menguntungkan pemilik bisnis properti di pusat kota.

“Yang miskin disingkirkan dari pusat kota, kami tidak dianggap bagian dari kota supaya di sini nanti berdiri apartemen mewah yang cocok buat orang kaya, bukan warga miskin seperti kami,” kata Ranti, warga yang sudah lebih dari dua dekade tinggal di rusun itu.

Di sinilah kita melihat bagaimana ideologi bekerja. Ketika kecemasan membuat penghuni rusun susah tidur, narasi di luar sana terdengar jauh berbeda. Media menulis: “Pemkot Palembang Siapkan Proyek Revitalisasi demi Wajah Kota Modern”. Pejabat berbicara tentang “penataan kawasan kumuh”. Investor melirik lahan strategis di jantung kota. Warga? Tak pernah disebut, seolah tak pernah ada.

Louis Althusser menjelaskan bahwa kekuasaan kapitalis tidak hanya beroperasi lewat aparat dan hukum, tapi juga melalui alat ideologis negara seperti media, bahasa kebijakan, dan arsitektur tata ruang. Revitalisasi adalah salah satu wajah ideologi itu: penggusuran dipoles menjadi “modernisasi”, “penataan”, atau “peremajaan kota.” Tapi siapa yang dimodernisasi? Dan siapa yang dikorbankan?

Di balik narasi-narasi manis itu, terjadi sesuatu yang jauh lebih sistematis: perampasan ruang kota dari mereka yang tak punya daya beli, untuk diberikan kepada mereka yang membawa kapital. Inilah yang Lefebvre maksudkan dalam gagasannya tentang hak atas kota. Kota selalu diproduksi oleh kekuasaan dan proyek kapitalisme modern tak sekadar menciptakan ruang fisik, tapi juga ruang sosial yang diatur relasi kuasa. Siapa yang harus diusir dari pusat kota, dan siapa yang mendapat akses terhadap ruang-ruang strategis di pusat kota ditentukan oleh logika akumulasi kapital.

Pengalaman meneliti kawasan rusun di Bukit Kecil membuat saya memahami betapa relasi kapitalisme di kota tak sekadar soal siapa kaya siapa miskin, tapi juga tentang siapa yang berkuasa atas ruang. Karl Marx pernah menulis tentang alienasi; bagaimana pekerja dalam sistem kapitalisme teralienasi dari hasil produksinya. Di kota modern, alienasi ini meluas. Warga miskin kota teralienasi dari ruang hidupnya sendiri. Warga rusun Bukit Kecil tak memiliki kontrol atas rumah tempat mereka tinggal sebab tak punya legalitas kepemilikan. Revitalisasi hanyalah satu episode dari alienasi panjang ini.

Di sinilah ruang kota bukan sekadar ruang fisik, melainkan medan pertempuran kelas. Ruang hidup, dalam logika kapitalisme, hanya dihitung sebagai komoditas, bukan sebagai hak sosial. Setiap jengkal kota yang memiliki nilai strategis akan terus diperebutkan, dan yang paling rentan tentu saja kelompok miskin kota yang tak memiliki kuasa politik dan ekonomi. Inilah proyek kapitalisme urban yang terus mereproduksi ketimpangan. Kota bukan lagi ruang bersama, melainkan ruang yang diprivatisasi. Hak atas kota hanya berlaku bagi yang mampu membeli rumah di kota. Sementara warga miskin kota didorong ke pinggiran, kehilangan akses terhadap ekonomi, pendidikan, layanan kesehatan, dan ruang sosial.

Kasus rusun di Bukit Kecil menjadi miniatur dari problem kota-kota Indonesia. Selama kebijakan tata ruang hanya berpihak pada kapital, revitalisasi hanya akan menjadi nama lain dari perampasan ruang. Rusun bukan sampah kota. Ini adalah ruang sosial, tempat tumbuhnya solidaritas, sejarah keluarga, dan kehidupan bersama.


Perlawanan Sunyi dan Politik Kelas Urban

Saya berkali-kali mengelilingi kawasan rusun Bukit Kecil. Selama itu saya sering melihat anak-anak bermain bola di lapangan olahraga. Mereka seperti sedang menunggu ekskavator tiba, sekaligus memberi kabar perlawanan: jangan gusur kami. Bagi saya, itu adalah bentuk resistansi politik kelas urban yang khas. James Scott menyebutnya “everyday forms of resistance”, perlawanan kecil-kecilan yang sulit terdeteksi namun tetap punya makna politik.

Saya masih ingat percakapan dengan Pak Yani, pedagang sayur di pasar tradisional 26 Ilir yang tinggal di Blok 10. Ia dan keluarganya sudah menetap di rusun itu selama 44 tahun. “Dulu kamar ini cuma satu petak. Anak-anak sudah besar, saya nekat nyambung ke belakang,” katanya, sambil menunjuk bangunan tambahan dari papan dan seng yang menjorok ke belakang berbatasan dengan kloset. Bangunan kecil itu, katanya, dibangun malam hari, pelan-pelan, agar tidak terlalu mencolok. “Kalau ketahuan pemerintah, memang disuruh bongkar. Tapi kami bangun lagi, sampai pemerintah jengah alias tutup mata,” tambahnya sambil tersenyum getir.

Pak Yani bukan satu-satunya. Banyak warga lain melakukan hal serupa: memperluas ruang tinggal, membuka warung kecil di depan rumah, atau menyekat bagian dalam rusun untuk disewakan. Semua itu dilakukan tanpa izin resmi. Tapi bagi mereka, itu adalah satu-satunya cara memperbaiki kondisi hidup, meski selalu dibayangi ketakutan ancaman revitalisasi.

Di luar itu, sebagian penghuni memilih membiarkan praktik kriminal seperti prostitusi yang berlangsung di sekitar area rusun. Kawasan ini sudah lama mendapat cap sebagai “sarang prostitusi”. Namun, stigma itu justru dipandang sebagian warga sebagai kedok perlawanan. Dengan adanya prostitusi, muncul relasi yang rumit antara preman lokal yang mengelola bisnis tersebut, aparatur yang masuk mengawasi, dan warga yang diam-diam diuntungkan karena revitalisasi menjadi sulit dijalankan. Selama kawasan ini dicap rawan dan penuh konflik kepentingan, proyek-proyek besar pemerintah tertahan, dan warga bisa mempertahankan tempat tinggal mereka meski setiap malam tidur tidak nyenyak karena harus berbagi ruang dengan aktor yang mengendalikan konflik kepentingan di rusun.

Perlawanan terhadap revitalisasi hanya dalam skala kecil-kecilan. Aktor-aktornya menyebarkan kebencian terhadap pemerintah dari musala, warung kopi, dan pekarangan. Perlawanan penghuni rusun Bukit Kecil masih jauh dari kata terorganisir. Hingga kini, belum ada forum diskusi yang masif atau wadah kolektif yang mempertemukan seluruh penghuni. Upaya mereka juga belum terhubung ke lembaga bantuan hukum yang bisa memberi pendampingan dalam menghadapi ancaman penggusuran berkedok revitalisasi. Bahkan, advokasi di tingkat jejaring lokal maupun nasional yang dapat menjadi aliansi ideologis belum terbentuk. Situasi ini membuat perlawanan mereka bersifat sporadis, dan minim dukungan struktural.

Meskipun resistansi penghuni rusun sporadis dan belum berorientasi pada struktural, saya membaca kesadaran kelas mulai tumbuh. Warga miskin kota menyadari posisi mereka sebagai kelompok yang selama ini dipinggirkan. Meski belum menjadi gerakan kolektif, perlawanan ini adalah cikal bakal dari apa yang bisa disebut sebagai politik kota kelas bawah.

Inilah yang selama ini absen dalam wacana urban, bahwa persoalan kota bukan sekadar persoalan fisik dan infrastruktur, tapi persoalan kelas. Revitalisasi tanpa partisipasi warga miskin kota hanya akan mereproduksi ketimpangan, memperkuat represi struktural, dan membungkam hak warga atas ruang hidup.

Pengalaman saya di rusun Bukit Kecil menghasilkan pelajaran penting: bahwa ruang kota bukan sekadar soal siapa tinggal di mana, tapi siapa yang berkuasa menentukan ruang. Revitalisasi, perencanaan kota, dan kebijakan tata ruang tak pernah netral. Ia selalu menjadi instrumen kekuasaan untuk mengakumulasi kapital.

Perlawanan warga miskin kota, meski sunyi, tetap menjadi bentuk politik kelas urban yang tak boleh diabaikan. Perlawanan ini harus diorganisir, dibangun jejaring advokasi dari tingkat lokal sampai nasional untuk disambungkan dengan advokasi hukum, politik, yang kemudian dapat menjadi gerakan sosial progresif penghuni rusun melawan politik perampasan ruang hidup atas nama revitalisasi.

Hak atas kota bukanlah hadiah dari negara, tapi hasil perjuangan. Kota yang manusiawi bukan soal gedung mewah, tapi ruang aman, setara, dan adil bagi siapa saja—termasuk penghuni rusun kawasan Bukit Kecil yang selama ini dianggap sampah kota. Dan saya percaya, selama lorong-lorong rusun masih menyimpan perlawanan meski sunyi, kota belum sepenuhnya dikuasai kapital.


Asmaran Dani adalah peneliti sosial yang fokus pada isu urban, ketimpangan ruang kota, dan perlawanan masyarakat akar rumput.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.