Ilustrasi: Pieter Brueghel the Younger, ‘Paying the Tax (The Tax Collector)’ / Getarchive.net
BANYAK dari kita yang mungkin sering mendengar pertanyaan-pertanyaan khas yang biasa dilontarkan mahasiswa di kelas, misalnya apa solusi terkait topik yang sedang dibahas, seringnya terkait masalah sosial, pembangunan, atau seputar itu. Ini juga sering muncul ketika diskusi panjang di luar. Di ilmu sosial, kita juga akan menghadapi atau menemukan diri sendiri dan orang lain pada persimpangan yang membuat perasaan menjadi tidak tenang. Pertanyaan tentang apa manfaat dari ilmu yang dipelajari dan akan jadi apa kerap bermunculan.
Di ilmu sosial atau filsafat, kita sudah biasa melihat mahasiswa jago berdebat dengan retorika yang tinggi. Namun, rupanya tidak semua menyukai hal yang serupa. Beberapa lebih senang dengan sesuatu yang praktis dan bermanfaat. Adakalanya, ketika dihadapkan dengan pertanyaan tentang pekerjaan apa yang cocok untuk mereka, mereka ciut dan kehabisan kata-kata.
Pertanyaan dan kegalauan yang menggerogoti mahasiswa terkadang merepresentasikan apa yang dipahami dari ilmu yang dipelajari. Mereka yang menekuni ilmu sosial humaniora tentu bakal akrab dengan teori klasik, modern, dan kontemporer. Para mahasiswanya dituntut menguasai semua dengan baik. Mereka wajib memiliki kemampuan penerapan teori yang baik, metodologi penelitian yang tajam meskipun tidak semua biasa dikuasai—contohnya penelitian kuantitatif, banyak yang tidak terlalu menyukai sesuatu yang dianggap bersifat positivistik. Singkatnya, orang-orang di bidang ilmu sosial humaniora harus pandai menggunakan teori, menganalisis dan mengidentifikasi masalah, hingga mendeskripsikan fenomena.
Selayaknya ilmu murni, ilmu sosial memiliki tugas merumuskan dan menyempurnakan teori-teori sosial seiring dengan perubahan sosial itu sendiri. Dengan kata lain, ilmu sosial bukanlah ilmu yang bertugas menjawab solusi atas suatu masalah sosial. Mereka yang belajar kebijakan atau politiklah yang bertugas menawarkan solusi. Sederhananya, bidang keilmuan ini hanya memaparkan data yang akhirnya diterjemahkan lewat pendekatan kebijakan dan politik.
Jadi, mengapa semua dituntut punya solusi? Ada beberapa aspek yang bakal dielaborasi lebih jauh. Pertama, efek produksi pengetahuan ilmu sosial di Indonesia yang mendukung dan melegitimasi kebijakan pemerintahan. Kedua, permasalahan sistemik dalam pendidikan sosial dan humaniora kita. Untuk itu, kesadaran bagi mereka yang belajar di ilmu sosial menjadi penting, agar paham bagaimana seharusnya ilmu tersebut dipahami, bahkan diimajinasikan dalam lanskap yang lebih luas.
Ilmu Sosial di Indonesia dalam Perkembangan Sejarah
Di masa dulu, era kolonial Belanda, ada sepaket ilmu sosial terapan yang dinamakan indologi. Mestika Zed dalam “Konstruksi Ilmu Sosial Indonesia dalam Perspektif Historis-Komparatif” mengatakan ini adalah studi dan penelitian tentang bahasa, daerah, dan suku bangsa yang ada di Hindia-Belanda. Indologi didukung terutama oleh Lembaga Kerajaan Belanda yang bernama Koninklijk Instituut voor Taal, Land, en Volkenkunde (KITLV). Karya-karya para sarjana ini bahkan diakui dalam lingkungan akademis internasional.
Apa yang menjadi soal dari indologi bukan pada tingkat kesarjanaan, melainkan ideologi di baliknya, sesuatu yang disebut Edward Said sebagai “orientalisme”. Hal ini termasuk prasangka (bias) yang begitu kuat dari kulit putih Eropa terhadap warga lokal.
Ini persis seperti rezim developmentalisme dalam ilmu-ilmu sosial Amerika yang memengaruhi perkembangan ilmu sosial di Indonesia era Orde Baru. Sejak Orde Baru, ilmu-ilmu sosial dan humaniora sangat diharapkan dapat memberi dukungan kepada pemerintah, khususnya terhadap kebijakan-kebijakan yang menyangkut pembangunan nasional. Salah satu contohnya adalah kegiatan HIPIS atau Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial. Ini termasuk soal pembangunan dan ekonomi. Pembangunan dan ekonomi mesti dibantu lewat ilmu-ilmu sosial non-ekonomi dengan cara menciptakan social engineering yang dapat mendorong institusi-institusi sosial dan nilai-nilai budaya selaras dengan visi yang ada (Kleden dan Abdullah, 2017).
Mari kita lihat lebih detail di bidang sosiologi. Secara teoretis, produksi pengetahuan di jurusan ini hanya berfokus pada teori-teori fungsionalisme yang apolitis ketimbang teori-teori kritis. Ilmu sosial terapan, seperti sosiologi pembangunan dan ekonomi pembangunan, mendapatkan perhatian yang lebih besar karena relevansinya dengan kebijakan pemerintah.
Ini jelas tidak lepas dari pengaruh politik Orde Baru yang sangat otoritarian dan anti pada teori atau bacaan “kiri”. Banyak cara dilakukan untuk membuatnya tidak berkembang, baik menggunakan wacana politik di pendidikan tinggi hingga pemberangusan secara fisik (represif). Normalisasi Kehidupan kampus (NKK) menjadi ujung tombak kebijakan pemerintah untuk mengendalikan aktivitas mahasiswa dan mengurung mereka dari keterlibatan politik.
Orientasi keilmuan tidak hanya bergeser dan terfokus pada konteks dan tantangan pembangunan. Integrasi sosial menjadi isu penting dalam upaya membangun negara yang stabil dan berdaulat, mengingat berbagai aspek yang memicu disintegrasi sosial masih begitu terasa saat itu. Pancasila menjadi pedoman semua wacana tersebut, dengan mendorong spirit keilmuan sesuai dengan apa yang diarahkan. Dalam hal ini, paradigma ilmu sosial di Indonesia menjadi tidak terkonsentrasi secara baik. Taufik Abdullah menyebut peranan ilmu sosial saat Orde Baru sebagai a branch of applied science, yang membuat ilmu sosial dan humaniora kehilangan peran utamanya sebagai a system of scientific knowledge. Penelitian untuk memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri menjadi berkurang karena telah didominasi oleh wacana developmentalisme yang dominan.
Dalam kadar tertentu, ilmu sosial memang bisa dipahami sebagai suatu ilmu terapan. Suatu kebijakan akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk berhasil mencapai tujuan kalau dibuat berdasarkan bukti ilmiah yang diperoleh dari hasil penelitian. Sebaliknya, suatu hasil penelitian akan lebih bermanfaat jika digunakan sebagai dasar bagi pembuatan kebijakan. Di sinilah letak relasi yang seakan harus selalu dihubungkan baik antara peneliti, pengambil kebijakan, dan pemangku kepentingan.
Pendidikan tinggi pasca-Orde Baru juga tidak lepas dari wacana yang sama. Pada Kampus Merdeka, misalnya, wacana pendidikan ini seperti menegaskan kembali bahwa keilmuan harus selalu siap pakai, baik untuk masuk dalam pasar kerja atau mendukung pembangunan nasional dalam berbagai sektor. Kampus Merdeka memperkuat logika neoliberal dengan menekankan pada keterampilan yang dapat dipasarkan (marketable skills), alih-alih membantu pengembangan ilmu dan mendorong konsistensi belajar. Wacana ini hanya semakin mereduksi bidang-bidang ilmu sosial.
Masalah lain, salah satu Tri Dharma perguruan tinggi yaitu pengabdian masyarakat, masih dipahami sebatas bagaimana ilmu sosial dapat memberikan dampak yang baik secara langsung—semacam proyek pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, peran akademik dalam perspektif ilmu sosial kritis untuk mendorong konsolidasi sipil yang baik, misalnya, tidak menjadi bagian dari wilayah pengabdian masyarakat.
Dengan begitu, menurut tulisan yang dirangkum oleh Ignas Kleden dan Taufik Abdullah “Paradigma Ilmu Pengetahuan Dan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial Dan Humaniora di Indonesia”, ilmu sosial dan humaniora perlu dirancangkan kembali melalui pembentukan paradigma ilmu yang lebih terkonsolidasi. Jelas di sini bahwa tanpa adanya paradigma, kita tidak mempunyai ukuran tentang maju atau mundurnya ilmu yang mengantarkan kita pada the progress of knowledge.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Membangun Kembali Spirit Keilmuan
Setelah melihat problem struktural ilmu sosial yang sudah berjalan secara historis dan panjang, fenomena sederhana seperti yang telah disebutkan di bagian pembuka menjadi tidak terelakan. Akibatnya, perkembangan ilmu sosial mengalami stagnasi serius. Tidak banyak teori yang bisa dihasilkan, sebab tuntutan struktural jauh lebih dominan.
Mereka, para pelajar ilmu sosial, bahkan tidak terlalu mengenali cukup baik bidang yang sedang digeluti. Mereka diliputi keraguan dalam diri mereka sendiri tentang bagaimana seharusnya mereka memanfaatkan ilmunya. Sementara itu, hasrat keilmuan perlahan pudar, diganti dengan berbagai persoalan yang dianggap lebih berprioritas dan pasti.
Tidak ada penghubung yang benar antara ilmu sosial dalam pendidikan tinggi, negara, dan imajinasi kolektif mahasiswa. Ini menyebabkan mereka sulit menggali potensi diri dan keilmuannya, serta terbata-bata menjalani hidup pasca-pendidikan. Situasi ini bahkan tidak hanya dialami para mahasiswa ilmu sosial, melainkan menjadi problem umum hampir semua mahasiswa di berbagai bidang keilmuan.
Mereka seperti terpisah-pisah sehingga sulit untuk terhubung. Universitas di era neoliberal lebih gencar menuntut sebanyak mungkin orang untuk berkuliah. Fokus terhadap komoditas menjadi lebih penting ketimbang memastikan kesiapan para calon pelajar dengan bidang keilmuannya masing-masing. Terdapat sesuatu yang luput, yakni membangkitkan kembali spirit pengetahuan yang semakin menghilang di generasi yang terus berkembang dan pragmatis ini.
Sebagai suatu sistem pengetahuan ilmiah, ilmu-ilmu sosial perlu menciptakan progress of knowledge melalui penelitian-penelitian dasar. Di sisi lain, sebagai sebuah cabang ilmu-ilmu terapan, ilmu-ilmu sosial juga tetap diharapkan dapat melayani kebutuhan masyarakat lewat penelitian tentang sektor-sektor khusus perkembangan masyarakat. Selanjutnya, sebagai suatu sistem wacana kritis, ilmu-ilmu sosial harus memerlukan tinjauan kritis berdasarkan studi ilmiah tentang arah perkembangan masyarakat dan kebijakan politik dalam menanggapi perkembangan tersebut. Dengan kesadaran ini, perkembangan ilmu tidak hanya menonjol pada satu sisi.
Agar menjamin semuanya tetap terkoneksi dengan baik, negara perlu memainkan peran sebagai fasilitator yang dapat menjamin sepenuhnya kebutuhan perkembangan pengetahuan. Negara harus berperan sebagai pelindung otonomi akademik. Ia tidak bisa hanya hadir sebagai regulator, tetapi juga sebagai pendukung yang memastikan ilmu sosial tumbuh subur, kritis, dan relevan. Negara juga harus menjamin kebutuhan ilmu dengan penyerapan sumber daya yang sepadan.
Ujungnya adalah bagaimana membangun kembali imajinasi kolektif bagi mereka yang bergelut di ilmu sosial, pemerintah, hingga masyarakat luas. Ketika fondasi historis yang telah terbentuk lama dan konstruksi sosial berhasil dipecahkan, upaya menemukan kembali spirit keilmuan yang hilang semoga mampu terbuka lebih lebar.
Daftar Pustaka
Abdullah, T. (1971). Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra. Ithaca: Cornell University (Modern Indonesia Project).
Kleden, Ignas. (1988). Sikap ilmiah dan kritik kebudayaan. Jakarta: LP3ES.
Kleden, Ignas., Abdullah, T. (2017). Paradigma Ilmu Pengetahuan dan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial dan Humaniora di Indonesia. Jakarta: LIPI Press.
Said, Edward. (1979). Orientalism. New York: Vintage Books.
Anselmus A.Y Barung, alumnus Magister Sosiologi UGM yang berprofesi sebagai wirausahawan dan penulis.