Natal, Tahun Baru, dan Semangat Antirasisme

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: Illustruth


“¡Yuyen, tú eres china! —Yuyen, kamu orang Cina!” Mafalda, anak kami yang baru 5 tahun, berseru kepada teman sekelasnya yang blasteran Peru dan Tiongkok awal Desember lalu. Istri saya, yang menyaksikan sendiri adegan itu saat jam pulang sekolah, kaget luar biasa. Saat pulang dan makan siang di rumah, Mafalda bilang hal serupa: “Mamá, Bryan es negro —Mama, Bryan itu kulit hitam.” Bryan itu kawan sekelas Mafalda asal Nigeria. Bocah-bocah ini belajar bersama di sekolah negeri di Madrid, Spanyol.

Sebagai orang tua, sebisa mungkin kami mengarahkan Mafalda agar bisa bergaul dengan kawan sebaya dari berbagai latar belakang agama, warna kulit, suku, dan sebagainya. Kami senang karena sejak menjadi warga Madrid pada Maret 2023, ia mengalami itu. Ada kawan dari Nigeria seperti Bryan, ada yang berdarah Tiongkok dan Latin seperti Yuyen. Ada pula imigran asal Amerika Latin, Arab, Ukraina, Rusia, dan tentu saja Spanyol. 

Kami lalu mengonsultasikan kekhawatiran ini via surel dengan wali kelas Mafalda, namanya María Carmen. Dalam tanggapan via surel berisi sekitar 800 kata, María Carmen menjelaskan bahwa di kelas anak-anak terbiasa berekspresi secara bebas. Masalah warna kulit adalah sesuatu yang Bryan dan Yuyen hadapi senatural mungkin dalam keseharian mereka. Keduanya bahkan beberapa kali bercerita soal keluarga mereka di Nigeria dan Tiongkok. Ini semua, kata María Carmen, hanya bisa terjadi jika anak-anak itu punya konsep yang baik tentang skema tubuh mereka; bisa memahami persamaan dan perbedaan mereka dengan orang lain di sekitarnya. Mereka tak akan lakukan itu jika tidak merasa aman dan percaya diri.

Bu guru baik hati itu yakin, menghormati perbedaan membuat kita menjadi orang yang lebih baik dan begitulah caranya menularkan hal ini di kelas. Ia menduga, apa yang secara spontan Mafalda katakan itu adalah sesuatu yang telah ia sadari dan, seiring dengan meningkatnya kemampuan untuk berekspresi secara lisan, Mafalda mampu berbicara tentang topik yang perlahan tapi pasti semakin kompleks. Menurut amatan María Carmen, Mafalda maupun anak-anak lain di kelasnya tidak pernah sedikit pun menunjukkan penolakan terhadap kawan-kawannya. Karena itu, jika di kemudian hari Mafalda melontarkan komentar serupa, ia minta agar kami memperhatikan, apakah ini ia dilakukannya untuk menjelaskan sesuatu atau dalam rangka penolakan. Penolakan tentu harus dihindari.

Tak cuma itu, pada hari terakhir sebelum libur Natal dan tahun baru, Mafalda dan teman-teman sekolahnya tampil dalam pentas sederhana yang juga dihadiri orang tua murid. Mafalda dan teman-teman sekelasnya menyanyikan lagu “Rodolfo el Reno”, yang versi Inggrisnya berjudul “Rudolph the Red-Nosed Reindeer” alias “Rudolph Si Rusa Hidung Merah”. Lagu itu dipilih karena membahas keragaman fisik dari sudut pandang anak-anak. 

Kami percaya segenap pengalaman selama berdiam di Madrid, termasuk berinteraksi dengan orang dari berbagai ras, bakal berguna bagi anak kami. Kami sadar, saat kembali ke Indonesia kelak, Mafalda bakal kembali menjalin pertemanan dengan kerabat, saudara, teman sekolah, dan tetangga yang juga punya latar belakang berbeda dengan dirinya.


Rasisme yang Mengkhawatirkan 

Mafalda mengingatkan saya (sekaligus membuat khawatir) pada fenomena rasisme di Indonesia. Andai di Indonesia Mafalda menyapa kawannya dengan warna kulit, entah bagaimana cerita lanjutannya. Orang tua kawannya bisa protes keras, apa pun pembelaan kami. Kami juga khawatir setelah mendapati beberapa kawan dan kerabat dekat mengarahkan anak-anaknya untuk hanya bergaul dengan teman sebaya dari ras yang seragam, di sekolah yang homogen, yang umumnya dibesarkan dalam didikan agama yang sama. 

Hal ini diperparah dengan kondisi ketika rasisme sudah secara struktural dan kultural berkait erat dengan persoalan politik dan hak asasi manusia (HAM) seperti di Papua. Saya sedih dan makin khawatir dengan apa yang dialami orang asli Papua dari waktu ke waktu, termasuk ketika terlibat dalam penerjemahan laporan Human Rights Watch (HRW) September lalu yang berjudul “‘If It’s Not Racism, What Is It?’: Discrimination and Other Abuses Against Papuans in Indonesia”. Apa yang dikatakan Agus Sumule, dosen Universitas Papua di Manokwari, bahwa “kalau bukan rasisme, saya harus menyebutnya apa?” semestinya menjadi alarm tanda bahaya buat kita semua.

Diskriminasi rasial pula yang memicu serangan aparat terhadap sebuah asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada 17 Agustus 2019. Mereka memaksa masuk sembari membawa senjata pelontar gas air mata. Tepat pada peringatan hari kemerdekaan, polisi justru melanggar kebebasan warga. Sebanyak 43 mahasiswa sempat ditangkap meski kemudian dibebaskan. 

Ini bukan satu-satunya serangan fisik yang diterima mahasiswa Papua. Obby Kogoya jadi contoh lain. Dia adalah satu dari delapan mahasiswa asal Papua yang ditangkap ratusan polisi dan anggota sejumlah ormas, yang mengepung asrama mereka di Yogyakarta pada Juli 2016. Dengan mudah kita bisa temukan kasus serupa di berbagai tempat lain. 

Bahkan almarhum Filep Karma pun pernah mengalami hal tak mengenakkan. Mantan tahanan politik itu ditangkap dan diinterogasi oleh personel TNI Angkatan Udara di Bandara Soekarno-Hatta pada awal Januari 2018 semata-mata karena memakai pin Bintang Kejora. Salah satu dari mereka menenteng senjata api laras panjang. Mereka juga memaki Filep dengan sebutan rasis “monyet”. Bayangkan, tokoh seterkenal dan sebesar Filep Karma saja bisa diperlakukan demikian. Bagaimana dengan orang asli Papua lainnya? 

Sepanjang sejarah Indonesia sebagai negara-bangsa, menurut akademisi Tamara Soukotta, orang Papua dilihat sebagai masalah. Bukan masalah yang harus dipecahkan lewat pembicaraan dan perundingan, melainkan mesti “diurus” sebagaimana tersirat dalam kata “tumpas” yang digunakan untuk membungkam setiap gerakan dari Papua. “Tumpas” di sini bermakna mengganyang, menghabisi, membasmi dengan segala cara, entah itu lewat wacana maupun tindakan militer.

Sebagai orang tua, saya dan istri harus memutar otak amat keras untuk menjelaskan pada Mafalda bagaimana berbagai praktik rasialis ini bisa terjadi di Indonesia sekian lama. Saya dan istri juga harus mengarahkannya demi menahan diri dari gempuran berbagai praktik buruk di sekitarnya. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Menolak Pembiasaan

Demi masa depan Indonesia yang lebih baik, semangat antirasisme harus diajarkan kepada anak sedini mungkin. Kebencian atas dasar ras dan berbagai identitas lain pada diri manusia bukan sesuatu yang alami, melainkan hal yang dilihat sebagai contoh dari orang dewasa. Semakin sering diskriminasi atas dasar rasisme dirasakan oleh orang asli Papua, generasi muda akan terus menganggapnya sebagai hal yang biasa, lumrah, dan wajar-wajar saja. 

Para pemimpin di negara ini, di semua lapisan, semestinya berpikir dan bertindak lebih bijaksana dalam menghadapi orang asli Papua. Para pemegang mandat sepantasnya bertindak lebih dari sekadar urusan legal formal, terutama dengan cara berdialog secara substansial dengan orang asli Papua. Tidak bisa lagi hanya sekadar jargon, seperti yang dikatakan Prabowo Subianto dalam perayaan Natal kemarin. Katanya, Bhinneka Tunggal Ika adalah kehebatan bangsa Indonesia. Di mana-mana ada yang berbeda agama, suku, adat, dan daerah, tapi nyatanya tetap sejuk, aman, damai, dan rukun. Para pemimpin seyogianya mengusahakan dengan segala upaya dan niat baik agar keadilan didahulukan demi tercapainya kedamaian. Tanpa keadilan, rasa damai, kerukunan, dan berbagai hal yang ideal atau diidealkan hanya akan jadi kesemuan dan tak bermakna apa-apa. 

Repotnya, setiap narasi yang memperjuangkan keadilan bagi orang asli Papua kerap kali dibenturkan dengan berbagai “hal baik” yang sudah dilakukan Jakarta: dana otonomi khusus atau pembangunan infrastruktur. Setiap perlawanan terhadap rasialisme yang menimpa orang asli Papua selalu dihantam dengan makian demi makian, berikut ungkapan seperti “tidak tahu bersyukur”, “masih menuntut ini dan itu”, dan sebagainya. Mereka juga masih saja menyebut orang asli Papua dengan berbagai label negatif. 

Saya sangat setuju dengan apa yang dikatakan komika Arie Kriting dalam Aksi Kamisan pada awal Agustus 2017, bahwa nyawa dan darah tidak bisa diganti dengan aspal dan bangunan. “Jadi, kamu tidak bisa bangun Papua, dan lupakan masalah-masalah kemanusiaan di sana,” katanya. Ia lantas membuat perumpamaan: tak seorang pun akan sudi rumahnya dimasuki dan anggota keluarganya dibunuh, lalu si pembunuh tidak terima kita melawan karena, “Kan, sudah saya bangunkan pagar.”

Saya harap, Mafalda dan anak-anak Indonesia lainnya kelak bisa menikmati Indonesia yang setara, adil, dan bebas dari diskriminasi atas dasar apa pun. Tanpa itu, kedamaian hanya akan jadi pepesan kosong. Semoga saja tema Natal Nasional 2024, “Marilah Sekarang Kita Pergi ke Betlehem”, bisa benar-benar meresap dalam hati banyak orang, termasuk para petinggi gereja dan pejabat negara. Pesan Natal yang dirumuskan oleh Konferensi Waligereja Indonesia dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia itu menyoroti para gembala dalam Injil Lukas 2:15 sebagai simbol dari orang-orang miskin dan sederhana yang sepenuhnya berharap kepada Allah untuk keselamatan. Dalam kehidupan sosial, mereka sering dianggap sebagai kelompok pinggiran yang kurang diperhatikan atau dihargai.

Dalam konteks Papua, rasanya tidak berlebihan bila kita menyebut orang asli Papua sebagai kelompok pinggiran yang kurang diperhatikan atau dihargai.


Fransiskus Pascaries adalah penulis dan penerjemah paruh waktu yang untuk sementara tinggal di Madrid, Spanyol. Ia adalah penulis buku berjudul Enggan Jadi Keluarga Fasis: Kumpulan Surat untuk Anak (2022).

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.