Foto: Antaranews/Fikri Yusuf
Pengantar: Transformasi Bali di Bawah Rezim Energi
MASYARAKAT Bali pada dasarnya sudah terbiasa mengutamakan gerak alam. Diskursus alam buktinya sudah ada dalam Tri Hita Karana, falsafah yang menjadi basis dalam keseharian hidup mereka, terutama yang berkenaan dengan praktik upacara. Dalam tata upacara, masyarakat Bali berprinsip “apa yang menjadi hasil alam kemudian dijadikan sarana upacara”, atau dalam bahasa yang lebih religius sering disebut sebagai “persembahan pada dewa/dewi”.
Tak hanya itu, praktik ini juga mencerminkan prinsip komunal masyarakat. Seperti yang dikatakan Helen Creese dalam artikel Acts of citizenship? Ruler and ruled in traditional Bali, pada masa pra-kolonial, kerja adat sebagai reproduksi sosial menjadi kerja perawatan kolektif. Jadi, alih-alih dikerjakan oleh rumah tangga, kebutuhan sarana upacara dengan skala besar dilaksanakan oleh komunitas itu sendiri, yang diregulasikan adat.
Setelah masuknya industri pariwisata yang dimulai pada 1930-an oleh pemerintah kolonial Belanda, yang sekaligus menandai terintegrasinya Bali ke dalam ekonomi politik global, terjadilah transformasi pada sistem kerja. Kerja adat yang sebelumnya merupakan kerja kolektif, bagian dari perawatan komunal (communal care), menjadi termediasikan oleh pasar. Pergeseran ini karena akumulasi primitif yang terjadi secara terus-menerus membuat ketersediaan lahan rendah dan sumber daya alam untuk konsumsi langsung masyarakat menipis.
Pergeseran ini terlihat misalnya dari penyesuaian regulasi desa adat. Saya mewawancarai I Ketut S (70), mantan pembantu umum Desa Adat Jinengdalem, Kabupaten Buleleng, terkait peregulasian kerja komunal oleh otoritas desa adat. I Ketut S mengatakan dengan lugas bahwa saat ini desa adat sudah bisa menerima urun dana (disebut peturunan) dari mereka yang sudah berkeluarga tapi tidak bisa menyumbang tenaga untuk menggarap upacara. “Orang-orang yang bekerja itu ‘kan cukup dengan bayar peturunan saja sekarang, karena sudah banyak orang tidak sempat ikut ngayah (kerja adat) ke pura,” katanya. Praktik dan regulasi ini sudah lumrah dilaksanakan di seluruh wilayah desa adat di Bali.
Rezim kapitalisme pariwisata ini singkatnya telah menjadi payung dari retaknya relasi masyarakat Bali dengan ekologinya. Dengan menggunakan bingkai ekologis-marxis, keretakan metabolik telah terjadi di Bali dan bahkan lebih kompleks pada abad ke-21 ini karena overtourism.
Dengan latar belakang masalah seperti itu, negara lantas datang dengan solusi pembangunan berkelanjutan, tapi sembari tetap mendukung rezim kapitalisme pariwisata. Solusi tersebut menjadi bagian dari program transisi energi, dan salah satu regulasi yang dimasifkan di Bali adalah soal kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan beberapa peraturan terkait kendaraan listrik, dari mulai Peraturan Gubernur (Pergub) No. 45 Tahun 2019, Pergub No. 48 Tahun 2019, sampai Peraturan Daerah (Perda) No. 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah 2020-2050. Ketiga regulasi ini merupakan respons terhadap Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2019 tentang akselerasi program kendaraan listrik untuk transportasi darat. Program kendaraan listrik merupakan salah satu bagian dari ambisi besar Indonesia sekaligus juga yang disebut sebagai komitmen internasional untuk zero-net carbon. Di sini Bali dijadikan satu dari tujuh provinsi percontohan.
Industri kendaraan listrik di Bali dipelopori oleh PT Wika Industri Manufaktur (WIMA), dibangun di Kabupaten Jembrana pada 2021 dan membawahi merek dagang kendaraan listrik roda dua bernama Gesits. Setelah itu muncul pula beragam merek lain meramaikan pasar. Bahkan, dilansir dari Antara, dalam mendukung proyek percepatan kendaraan listrik di Bali, Perusahaan Listrik Negara (PLN) menggandeng jenama otomotif asal Korea Selatan, Hyundai Motor Group dan PT Dat Mobility Systems. Kerja sama berupa dukungan infrastruktur seperti baterai pada charging-station, juga pemberian unit.
Bali: Pasar EV yang Menggiurkan
Setelah ada regulasi terkait, pusat penyewaan kendaraan listrik tampak segera menjamur, terutama pada area padat pariwisata. Pasar kendaraan listrik tidak hanya datang dari rumah tangga, melainkan juga dari desa adat. Penting menggarisbawahi bahwa belanja kendaraan listrik dari desa adat juga ditujukan untuk usaha penyewaan. Artinya, tidak berbeda jauh dengan usaha-usaha swasta pada umumnya. Tapi, kenapa hal ini dilakukan?
Untuk menjawabnya, perlu diketahui dulu bahwa otoritas di Bali tidak hanya dimiliki oleh negara yang pusatnya di Jakarta, tapi juga adat. Otoritas adat menjadi penanggung jawab hal-hal yang berkenaan dengan aturan (awig-awig) adat termasuk tata upacara. Upacara di Bali itu jenis dan levelnya sangat beragam, dan bisa sangat besar. Tentu saja upacara-upacara ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dan untuk menyelenggarakannya tak lagi bisa dengan cara seperti dulu.
Seperti yang dikemukakan di awal, setelah Bali terintegrasi dengan sistem ekonomi-politik global melalui jaring pariwisata, transformasi juga terjadi di level adat yang kebutuhannya dimediasi oleh pasar. Untuk produksi banten (nama Bali untuk sajen), diperlukan bahan-bahan alam seperti buah, janur, bambu, daun, dan lain sebagainya. Di masa kini, akses terhadap bahan-bahan tersebut sebagian besar didapatkan melalui pasar dan tentu saja dibutuhkan dalam jumlah besar. Persis di sini desa adat mesti memikirkan dari mana uang untuk membelinya, yang upayanya bisa diparalelkan dengan kegiatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Menyewakan kendaraan listrik adalah salah satu realisasinya.
I Kadek Restu Widhi, Ketua Paguyuban Transportasi Roda Dua Desa Adat Ubud, mengatakan kepada saya bahwa dalam waktu dekat desa adat akan meregulasi badan usaha yang mengelola pemasukan dari sektor transportasi roda dua, termasuk yang bertenaga listrik. “Pemasukan badan usaha akan digunakan untuk kepentingan upacara Tawur lima tahunan di Ubud,” ujarnya.
Desa Adat Besakih, Kabupaten Karangasem, adalah salah satu desa adat yang menggantungkan pendapatannya pada sektor pariwisata. Desa adat ini menjadi pengelola dari situs pura terbesar di Pulau Bali yang juga tempat ibadah terbesar umat Hindu se-Bali. Merespons kebijakan daerah terkait energi bersih, Desa Adat Besakih menetapkan peraturan penggunaan kendaraan listrik di kawasan Pura Besakih, terutama untuk wisatawan. Desa Adat Besakih menyediakan penyewaan sepeda dan motor listrik di kawasan pura. Kondisi serupa juga kemungkinan besar terjadi di Desa Adat Jatiluwih, Kabupaten Tabanan dan Kintamani, Kabupaten Bangli. Di samping rumah tangga, desa adat menjadi pasar besar bagi kendaraan listrik.
Di Ubud, Kabupaten Gianyar, salah satu proyek kendaraan listrik untuk publik diinisiasi oleh kerja sama antara Pemprov Bali dan Toyota Mobility Foundation (TMF). Proyek infrastruktur ini diberi tajuk SMART Shuttle Ubud, menggunakan Toyota Zenic. Menurut Restu Widhi, Ketua Paguyuban Transportasi, SMART Shuttle tidak melibatkan kelompok masyarakat saat melaksanakan baseline research. Hal ini sempat memicu protes dari pekerja transportasi kecil. Setelah terjadi protes dan keramaian di media sosial, TMF baru mengadakan rapat bersama dengan mengundang desa adat, masyarakat setempat, dan kelompok pekerja transportasi. Informasi tentang kejadian ini juga disebut oleh Camat Ubud dan Ketua Yayasan Bina Wisata Ubud dalam sesi FGD bersama Universitas Udayana.
Dalam acara peluncuran program, Toyota menyebut SMART Shuttle Ubud dimaksudkan untuk mengatasi masalah kemacetan parah di wilayah itu. Namun tawaran ini tidak didukung dengan baseline research yang komprehensif terkait kemacetan itu sendiri, yang adalah salah satu konsekuensi dari overtourism di selatan Bali.
Pada akhirnya, SMART Shuttle Ubud hanya satu contoh dari setumpuk “solusi” tanpa analisis dengan perspektif lingkungan. Apa yang ingin dipertontonkan oleh program ini tidak lain adalah imaji dekarbonisasi dan green-solution melalui penggunaan kendaraan listrik.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Kendaraan Listrik: Ladang Rebutan Baru
Agung Wardana, dosen hukum lingkungan di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, dalam bukunya Contemporary Bali: Contested Space and Governance (2019), mengatakan bahwa kepemerintahan dualistik di Bali—yakni negara dengan unit terkecil “desa dinas” dan otoritas adat dengan wujud “desa adat”—telah melahirkan institusi tata kelola yang sering kali berkonflik soal penerimaan hibah atau proyek pembangunan. Konflik ini berupa perebutan klaim atas siapa yang lebih layak menjadi pengelola utama proyek. Di Ubud, misalnya, hal ini terjadi dalam proyek transportasi hibah dari BRI. Proyek itu dikelola langsung oleh Desa Adat Ubud tapi di sisi lain dinas sudah memiliki pengelola transportasi utama, yakni Yayasan Bina Wisata Ubud. Sistem otoritas dualistik seperti ini semakin menambah kompleksitas konstelasi kapital, termasuk menyangkut proyek-proyek pembangunan hijau.
Pemasifan kendaraan listrik (EV) di Bali juga disokong oleh lembaga swadaya masyarakat/non governmental organization (LSM/NGO) dengan haluan environmentalisme ala Sustainable Development Goals (SDGs) yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mengapa mereka mendukung? Pada dasarnya, model operasi NGO sangat bergantung pada pihak yang mendanai (funding). Hal ini membuat NGO mesti menjalankan proyek yang sesuai dengan agenda dan kepentingan patron. Pemasifan suatu isu dan solusi yang ditawarkan NGO harus melalui proses seleksi dan disetujui oleh patron. Ketidaksesuaian proyek yang dijalankan sama saja dengan dicabutnya pendanaan atau dieliminasinya kelompok sosial yang terlibat. Basis materiel ini menjelaskan mengapa NGO tidak bisa secara bebas mendesain proyek suka-suka meskipun misalnya mereka menginginkannya.
Salah satu proyek yang mendukung serta melakukan riset media dan riset audiens mengenai pengadopsian EV adalah KemBali Becik. Ini adalah program kampanye green-lifestyle di bawah naungan Purpose Foundation, organisasi nirlaba berbasis di Amerika Serikat yang pengoperasiannya di Bali sempat dieksekusi oleh Yayasan K (nama yayasan terpaksa disamarkan karena alasan relasi kerja yang masih berlangsung dengan klub studi yang dikelola penulis). Dengan baseline research bersama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana, KemBali Becik menjadi perpanjangan tangan peraturan daerah Bali terkait transisi energi bersih. Melalui aktivasi media sosial, proyek kampanye KemBali Becik memuat konten bertema lingkungan dan praktik hijau, salah satunya penggunaan EV.
Di samping itu, fitur utama proyek kampanye ini adalah sebuah laman direktori untuk pelaku bisnis berbasis di Bali yang dianggap berkomitmen menjalankan ekonomi hijau. Terdapat lima sektor bisnis yang diakomodasi fitur ini, salah satunya adalah sektor transportasi dan bisnis EV atau yang berkaitan dengan penggunaan EV. Menurut pelaku bisnis, fitur ini cukup menguntungkan. Nama bisnis yang terdaftar di laman direktori KemBali Becik bisa digunakan untuk memperkuat citra mereka terutama di media sosial. Mereka merasa itu penting sebab berdasarkan survei Rakuten Insights 2024 di Asia Pasifik, sebanyak 68% dari responden warga Indonesia setuju dan mendukung praktik konsumsi ramah lingkungan. Survei ini sendiri ditujukan untuk mendukung pengembangan bisnis, menjadi acuan brand dan korporat untuk pengambilan keputusan terkait strategi pemasaran.
KemBali Becik sering mendapat pertanyaan terkait indikator penilaian pada bisnis yang telah terdaftar pada laman direktorinya. Sependek pengalaman saya sebagai pemagang di sana, pertanyaan yang paling sering muncul adalah, “Bagaimana cara Anda sebagai inisiator lingkungan memastikan semua bisnis yang terdaftar benar-benar melakukan praktik yang ramah lingkungan dan bukan greenwashing?” Pertanyaan ini hampir selalu muncul setiap KemBali Becik terlibat dalam forum publik.
Merespons pertanyaan tersebut, KemBali Becik meluncurkan sistem penilaian dalam rangka evaluasi dan pemantauan pada bisnis-bisnis yang terdaftar di halaman direktori mereka. Pada sistem penilaian ini, tim enumerator KemBali Becik (pihak ketiga yang biasanya dikontrak untuk mengambil data lapangan dan bersifat outsource) akan mengunjungi lokasi bisnis yang terdaftar dan mengevaluasi apakah mereka telah menerapkan praktik-praktik hijau dengan indikator praktik hijau yang diadopsi dari SDGs. Hasil evaluasi digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan terkait program lanjutan yang bisa disediakan KemBali Becik untuk meningkatkan kapasitas bisnis-bisnis ini.
Indikator penilaian dibagi enam: praktik terkait transportasi, biodiversitas, pemanfaatan air, energi, pengelolaan sampah, dan pemberdayaan komunitas—semuanya merujuk pada standardisasi internasional SDGs. Salah satu indikator adalah apakah EV telah digunakan dalam operasional bisnis.
Sistem penilaian ini bukan tanpa masalah. Kebijakan dari KemBali Becik adalah bisnis bisa kembali mendapatkan badge—menunjukkan telah diuji kelayakan praktik hijau—apabila telah memenuhi satu sektor saja. Singkatnya, bisa dikatakan, yang problematis dari regulasi ini adalah penyederhanaan terhadap praktik yang betul-betul bisa dianggap sebagai praktik dengan konsiderasi ekologis. Mengabaikan esensi keterhubungan antara satu praktik dengan praktik lainnya pada dasarnya tidak berperspektif ekologis.
Untuk mengetahui bagaimana penggunaan kendaraan listrik di level rumah tangga, saya mewawancarai AA (30), seorang desainer sekaligus pengusaha tekstil di Kabupaten Buleleng. Dia sehari-hari menggunakan motor listrik namun menurutnya itu tidak bisa diandalkan. “Kita di sini kan daerah dataran tinggi, sedangkan saya sering mengantar barang atau bahan baku dari daerah atas juga, jadi kalau pakai motor listrik sangat tidak membantu karena kilometernya sering tidak kuat.”
Problem serupa juga dialami DH (23) asal Ubud. “Sebenarnya aku cukup waswas dengan penggunaan EV sehari-hari karena tidak bisa dikontrol dayanya saat di tengah jalan, apalagi jarak jauh.”
Salah satu alasan mengapa mereka membeli kendaraan listrik adalah subsidi. “Punya EV ini karena lebih murah dan ada subsidinya,” ujar DH. WG (30) asal Denpasar, pemilik unit Toyota Zenic tipe hybrid, pun demikian. “Lebih karena lifestyle sih dan ada subsidi juga.”
Di permukaan, subsidi untuk pembelian EV dari pemerintah tampak sebagai strategi untuk mengakselerasi transisi jenis kendaraan. Hal ini misalnya dikatakan oleh Institute for Essential Service Reform (IESR), dilansir dari Kontan. IESR sendiri mendukung insentif pemerintah ini. Pernyataan yang sama juga disebut langsung oleh perwakilan IESR pada forum peluncuran program penilaian KemBali Becik di Gianyar pada 21 Juli 2023.
Lebih dari itu, menurut Trissia Wijaya dan Lian Sinclair (2024) dalam An EV –fix for Indonesia: the green development-resource nationalist nexus, peregulasian ini pada dasarnya adalah strategi de-riskanisasi untuk mengamankan investasi domestik pada industri energi secara global. Strategi deriskanisasi EV di Indonesia dilakukan dalam bentuk penggelontoran insentif pada investasi dan fiskal. Melalui proyek EV, konglomerat batu bara memastikan bahwa tetap ada akses terhadap kapital dan di satu sisi negara dapat memenuhi agenda hilirisasi nikel.
Regulasi EV di Bali: Bukan Solusi Keretakan Ekologis
Bali, sebagai lokus industri pariwisata, menjadi pangsa pasar besar untuk akumulasi kapital industri ekstraktif yang menjadi penyokong industri EV. Secara ekologis, pada dasarnya peregulasian EV jauh dari konsiderasi ekologis. Solusi dekarbonisasi yang ditawarkan regulasi EV mengabaikan fakta bahwa perusakan ekologis di Bali adalah problem yang kompleks. Definisi dekarbonisasi yang ditawarkan dalam diskursus EV juga dipersempit secara habis-habisan dengan hanya melihatnya sebagai pengurangan polusi udara. Peregulasian EV jelas abai pada rantai pasok industri EV dari produksi, distribusi, hingga konsumsi, mereduksi diskursusnya pada semata persoalan pengurangan jejak karbon.
Kerusakan lingkungan di Bali semestinya dilihat sebagai permasalahan keretakan ekologis yang holistis, yakni keretakan pada keterhubungan hidup sosial dan gerak alam. Bagaimana regulasi EV bisa menjawab permasalahan polusi dan sampah di Bali tanpa menyasar overtourism yang merupakan konsekuensi kapitalisme pariwisata sebagai akar permasalahannya? Juga bagaimana regulasi EV bisa menjawab permasalahan polusi tanpa membongkar pasok industrinya yang berakar dari penambangan batu bara?
Keretakan ekologis di Bali telah sampai pada level perusakan perawatan kolektif. Celakanya, belum ada kebijakan berbasis lingkungan yang bisa menyasar kerusakan yang ini. Misalnya, bagaimana mengatasi pergeseran praktik orang Bali pada pembuatan banten yang sebelumnya merupakan kerja kolektif namun kini dijembatani oleh pasar. Akibatnya, akses pada hasil-hasil alam yang digunakan untuk keperluan adat tidak lagi diambil dari alam secara langsung melainkan melalui pasar komoditas.
Dalam hal ini, tidak berlebihan untuk menyebut bahwa regulasi EV di Bali yang diklaim sebagai solusi hijau (green-solution) sebetulnya adalah solusi hijau palsu (pseudo-green solution). Seperti kata WG kepada saya: “Sebenarnya saya tahu kalau kendaraan listrik ini akal-akalan saja untuk disebut program lingkungan. Logis saja, sumber listriknya memang datang dari mana?”
Daftar Pustaka
Andi, D. (2022, December 21). IESR: Insentif Konversi Motor Listrik dan Elektrifikasi Transportasi Umum Didukung. kontan.co.id. https://industri.kontan.co.id/news/iesr-insentif-konversi-motor-listrik-dan-elektrifikasi-transportasi-umum-didukung
Creese, H. (2019). Acts of citizenship? rulers and ruled in traditional Bali. Citizenship Studies, 23(3), 206–223. https://doi.org/10.1080/13621025.2019.160326
Lazuardi, A. (2023, August 29). PLN dan Hyundai percepat ekosistem kendaraan listrik di Bali. ANTARA News Bali. https://bali.antaranews.com/berita/323817/pln-dan-hyundai-percepat-ekosistem-kendaraan-listrik-di-bali
Dokumen shareable deck KemBali Becik
Dokumen riset analisis media sikap masyarakat terkait pariwisata hijau
Dokumen Rakuten Insights 2024: Sustainable Consumption in APAC
Wardana, A. (2019). Contemporary Bali: Contested Space and Governance. Springer.
Wijaya, T., & Sinclair, L. (2024). An EV-fix for Indonesia: the green development-resource nationalist nexus. Environmental Politics, 1–23. https://doi.org/10.1080/09644016.2024.2332129
Putu Dinda Ayudia menekuni isu gender dan media. Saat ini tengah mengelola kelompok belajar Perempuan Mahima. Bisa dihubungi melalui ayudiapdinda@gmail.com.
Naskah ini adalah liputan khusus program beasiswa kursus IISRE, kerja sama Indoprogress dan Trend Asia.