Halaman Belakang Semarak Ritual Kampung

Print Friendly, PDF & Email

Foto: dok. pribadi


SUATU hari, di pulau yang terbentang di salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan, saya mendengar cerita soal ritual kampung. “Kenapa baru datang?” demikian tanya warga di pekarangan rumah masing-masing saat melihat saya dan teman-teman. Kampung itu baru saja menggelar ritual tahunan tiga hari sebelum kami tiba. Namanya ialah Temmu Taung. Warga bakal jauh lebih sibuk dibanding hari biasa demi mempersiapkan segala hidangan ritual maupun konsumsi harian yang akan disantap bersama para tamu maupun kerabat. Kondisi pulau memang makin meriah karena turut dihadiri tamu dari luar, dari mulai kerabat sampai orang di pemerintah daerah. 

Temmu Taung diselenggarakan untuk menghormati seorang leluhur yang diberi gelar pahlawan masyarakat setempat. Menurut cerita yang beredar, dia adalah pelaut ulung. Saat masa kolonial Belanda di abad ke-20, sebagai ekspresi untuk melawan penjajahan, ia berlayar sambil mengibarkan bendera merah putih. Karena itu ia lalu ditangkap dan dijebloskan ke penjara oleh Belanda yang merasa terhina. Di sana dia bernazar jika kelak bebas akan a’tenne-tenne (membuat kue manis), a’janna-janna (membuat makanan lezat), dan a’rannu-rannu (bersenang-senang) di pulau yang telah lama dihuni. Nazar tersebut akhirnya kesampaian. Selain jadi bagian dari upaya menghargai nenek moyang, Temmu Taung yang konsepnya serupa ini sekaligus menjadi peringatan hari jadi pulau. 

Temmu Taung dirayakan selama hampir sebulan penuh, pada Muharam berdasarkan kalender Islam. Pada Jumat pekan pertama, masyarakat akan sibuk membuat makanan berbahan kelapa muda yang dicampur dengan gula aren, disebut akkaluku lolo. Usai salat Jumat, makanan yang telah dibuat akan disantap bersama. Pada Jumat kedua, masyarakat bakal sibuk kembali membuat makanan lain, yakni jepe’ sura (sejenis bubur dicampur telur dan tumpi). Bagi yang tidak sempat membuat hidangan tersebut, sebelum memasuki Jumat kedua, mereka harus membelinya agar dapat terlibat dalam doa bersama. Pada Jumat ketiga, puncak perayaan Temmu Taung, masing-masing rumah (dihitung berdasarkan jumlah kepala keluarga; satu rumah bisa beberapa kepala keluarga) harus menyediakan 12 macam kue manis yang dihidangkan di atas nampan berbentuk bulat. Itu adalah simbol untuk menggambarkan kebahagiaan. Salah satu kue khas yang selalu ada ialah dodoro atau dodol yang berbahan dasar ketan. 

Sekilas terlihat bahwa setiap prosesi ritual memiliki nilai adat tertentu. Namun, kira-kira fenomena seperti apa yang harus dilalui setiap rumah tangga agar dapat terlibat dalam seluruh rangkaiannya? Saat pertama kali tiba saja, saya terkejut mendengar warga yang saya inapi rumahnya tidak memiliki pasokan ikan untuk disantap. Mereka terpaksa pergi mencari atau membeli ke tetangga. Kondisi demikian membuat saya bertanya-tanya, apakah saat itu hanya kebetulan saja pasokan ikan mereka habis? Atau ada hal lain yang lebih besar? 

Berdasarkan cerita yang saya peroleh, ritual-ritual di kampung turut memberi pengaruh yang cukup serius terhadap kelangsungan produksi-reproduksi sosial beberapa rumah tangga. Di tengah kondisi sulit untuk mendapatkan ikan, keluarga nelayan kecil bisa jatuh makin jauh ke jurang yang mengenaskan.


Melihat Ulang Ritual Kampung

Masyarakat perdesaan kerap dianggap sebagai komunitas yang menyimpan banyak warisan kebudayaan sesuai dengan konteks sosial-historis wilayah yang mereka huni. Beragam tradisi layaknya darah daging yang telah mengakar dan perlu dirawat hingga lintas generasi. 

Ada beragam variasi ritual yang kerap dilakukan di kampung. Pertama, yang paling umum, ritual yang berkaitan dengan siklus kehidupan seperti kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Kedua, ritual yang berkaitan dengan garis lintas sosial historis kampung. Temmu Taung, perayaan untuk mengungkapan rasa syukur sekaligus penghargaan/penghormatan terhadap perjuangan nenek moyang terdahulu, termasuk yang kedua. Sejak tiga pekan terakhir di Muharam, masyarakat akan sibuk mempersiapkan seluruh hidangan yang harus dibawa saat ritual. Bahkan sebelum memasuki Muharam, setiap rumah tangga akan membagi peran semakin tegas. 

Ongkos yang tidak sedikit untuk membuat berbagai hidangan membuat nelayan, yang kebanyakan laki-laki, lebih giat mencari ikan hingga titik terjauh (kadang berakhir di perairan Mandar, Sulawesi Barat). Sedang perempuannya berusaha sekuat tenaga melakukan kerja-kerja perawatan/domestik, bahkan beberapa di antara mereka turut mencari pendapatan sampingan seperti membuka warung kecil-kecilan. Seperti pengakuan salah satu di antara mereka: “Kalau tidak ikut ki cari uang, susahmi itu. Beli ketan saja bisa habis jutaan. Belum lagi bahan-bahan yang lain dan harus juga ada uang kalau hari H karena di situki biasa belanja, kayak pasar malam banyak penjual.” Modal yang besar untuk ikut serta dalam perayaan mendorong perempuan pulau menanggung beban ganda dalam waktu yang lebih panjang. 

Biaya ritual yang besar itu jelas menambah beban setiap rumah tangga, padahal sehari-harinya mereka sudah terhimpit. Hal ini membantah perspektif kulturalis arus umum ketika bicara tentang kegiatan ritual yang selalu lekat dengan ungkapan-ungkapan mengenai gotong royong, kebahagiaan, kebersamaan, perjuangan, spiritualitas, loyalitas, saling berbagi, kepedulian, dan lainnya. Intinya: cenderung berkonotasi positif. Sementara dilihat dari perspektif kelas, itu adalah ikatan transaksional yang rapuh antara rakyat kecil dengan kelas di atasnya (Robinson, 1981).

Kurangnya modal dan akses terhadap sumber-sumber produksi membuat mereka, para nelayan kecil, terpaksa menjalin relasi yang semakin dalam dengan penguasa desa, dan itu tidak menguntungkan. Hal ini misalnya dialami nelayan Nurdin, nama samaran. Ongkos ritual kampung membuatnya tercebur dalam lingkaran setan hubungan patronase. Di tengah kondisi hasil tangkapan yang semakin sedikit dan sulit didapat, ia harus menyusun ulang strategi bertahan hidup. Bergantung pada modal yang terbatas untuk melaut membuat deretan ketidakpastian seolah tidak berujung. “Kah bukan modal sedikit itu kalau mauki pergi melaut, manami semakin jauh dan tidak pasti bisaki dapat ikan atau tidak,” katanya. Modal awal turut memengaruhi sejauh mana mereka dapat membelah lautan, termasuk relatif menentukan jumlah ikan yang bisa ditangkap dalam satu siklus pelayaran. 

Situasi ini pada akhirnya mendorong mereka menggantungkan hidup pada orang lain. Toh berdiam diri juga bukan jawaban. Di tengah situasi sulit, demi menutupi ongkos kebutuhan harian ditambah beban biaya ritual dan memastikan mendapat modal lebih banyak, berutang sering kali menjadi satu-satunya pilihan yang tersedia. Seperti yang diungkapkan sendiri oleh Nurdin: “Susah sekali sekarang dapat ikan. Jadi kemarin waktu maumi masuk acara Temmu Taung terpaksa pinjamki di bos, karena tidak ada sekali bisa dipakai kecuali untuk kebutuhan hari-hari.” 

Utang dari penguasa desa (utamanya tengkulak dan penggawa) membuat monopoli atas hasil tangkapan makin runcing. Selama ini penggawa maupun tengkulak ikan lokal memang punya pengaruh cukup besar. Dalam penelitian yang dilakukan Maulana (2014), dikatakan bahwa hubungan patron-klien melalui utang mengikat nelayan, membentuk skema politik utang budi. Hasil tangkapan mereka dimonopoli oleh tengkulak, yang kemudian menjualnya ke luar desa dengan harga yang lebih tinggi dibanding beli langsung ke nelayan. Ketika saya tanya kemungkinan menjual ikan di tempat lain, Nurdin mengatakan, “Tidak mungkin dijual ke orang lain, karena dia (tengkulak) sering bantuki. Takut jki juga.”

Dalam konteks yang sering dicirikan dengan “kontrak saling mengunci”, Bhaduri (1983) memperlihatkan bahwa utang perdesaan menimbulkan sistem “perdagangan paksa”. Kondisi ini menggeser posisi nelayan kecil yang semula bebas menjual hasil tangkapan sejauh akses pasar yang dapat dijangkau oleh mereka menjadi terbatas ke satu orang (tengkulak atau elite desa pemberi pinjaman lain). Tentu saja hubungan patron-klien ini dapat memberi efek domino yang membuat nelayan kecil tidak dapat keluar dari lubang kemiskinan, kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan kehidupan yang secara intensif melanda mereka. 

Dengan jumlah pinjaman yang semakin menumpuk dari bulan ke bulan, para nelayan semakin meneguhkan diri sebagai klien dalam relasi patronase ini, dan hal itu memungkinkan pintu eksploitasi terbuka lebih lebar. Hal ini menjadi bentuk khusus “relasi produksi”—karena para nelayan semakin bergantung pada utang untuk mereproduksi rumah tangga mereka (Banaji 1977 & Roseberry 1978). Ditambah lagi karena para penguasa desa memang dapat “membantu” nelayan kecil kapan pun saat sedang terjepit. 

Ketergantungan yang besar kepada penguasa desa membuat posisi tawar nelayan secara umum menjadi semakin kecil. Utang sering kali mewujud sebagai ikatan kerja di antara pemodal dan peminjam demi tujuan sosial dan politik. Dalam beberapa literatur, dikatakan bahwa utang sering menjadi penghubung jangka panjang antara pemilik modal dan nelayan kecil. Dalam bentuk yang beragam, umumnya para pengambil utang wajib bekerja dengan pemberi pinjaman plus memberikan berbagai layanan sebagai balas budi. Melalui utang, patronase bekerja dengan cara yang jauh lebih halus untuk memastikan kesetiaan para klien. 

Keluarga Nurdin mengalami hal yang persis seperti ini. Akibat lilitan utang, ia merasa harus selalu menaruh simpati lebih ke orang yang telah memberinya pinjaman. Di setiap ritual siklus hidup seperti kelahiran, pernikahan, kematian, Nurdin sekeluarga wajib menyisihkan tenaga untuk membantu. Jika ada panggilan, mereka bergerak layaknya angin kencang, datang setepat mungkin memberi layanan. Tekanan sosial maupun politis pada akhirnya membuat keluarga Nurdin harus memberikan layanan dalam bentuk apa pun secara cuma-cuma, termasuk mengerjakan pekerjaan kasar seperti mengangkut barang, memasang tenda, memasak, melayani, dan lain-lain.

Dalam sejarah, utang di perdesaan juga telah berperan mengikis cara hidup berbasis komunitas. Secara langsung, utang dapat merusak hubungan harian dengan berbagai ancaman di baliknya (gosip, penyitaan, hingga penjualan aset penting). Hal ini kerap semakin mempertajam diferensiasi sosial. 

Namun demikian, perasaan takut dikucilkan jika tidak mengikuti ritual tahunan kampung sangat besar dan tak bisa dihilangkan. Hal ini yang membuat mereka berani mengambil utang. Semua demi dapat terlibat dalam segala proses perayaan. 

Jadi, di tengah laut, para nelayan kecil tidak hanya berhadapan dengan amukan ombak yang saling mengejar. Ketidakpastian menjadi bagian dari guncangan yang lain. Bayangan mendapat ikan untuk disantap bersama keluarga saat berlabuh di rumah sering kali menjadi tanda tanya besar. Kepungan biaya reproduksi, ritual, dan utang turut membuat amukan seolah tampak lebih ganas. 

Setiap rumah tangga menjadi lebih intensif mencari uang tunai, termasuk melakukan migrasi baik dalam waktu singkat atau lebih lama. Hal ini misalnya dilakukan salah satu anak Nurdin. Dalam usia yang masih muda, Emon, nama samaran, terpaksa pergi meninggalkan pulau demi mencari uang di darat. Ia bekerja serabutan sebagai buruh bangunan. Meski dengan penghasilan yang tidak seberapa dan tak juga menentu, setidaknya Emon beberapa kali dapat membawa uang ketika pulang. “Adapi biasa panggilki baru bisaki pergi, tergantung proyek ji,” ungkap Emon kepada saya. Penghasilan tersebut digunakan untuk menutupi segala daftar pengeluaran yang mungkin sudah amat panjang di keluarganya. 

Setiap mendengarkan cerita, saya menyadari bahwa ritual-ritual kampung memang mengharuskan setiap warga untuk terlibat meski seperti tanpa paksaan. Euforia untuk terlibat membuat setiap rumah tangga berani bertaruh. Gosip yang selalu menyebar cepat menyadarkan siapa saja bahwa jika mereka tidak terlibat maka konsekuensinya adalah dipinggirkan, malu, atau merasa kurang pantas karena tidak mengikuti arus umum. Berhemat dan tidak berkontribusi banyak dalam ritual hanya membuat suasana keruh. Tradisi kampung menjadi urusan semua rumah tangga. Setiap dari mereka harus berpikir lebih keras menyusun segala macam cara untuk mencari uang dan bertahan. Urusan pemenuhan biaya ritual akhirnya menjadi urusan yang sangat individual tapi dengan konsekuensi sosial.  

Belakangan, tradisi yang awalnya bersifat resiprokal atau seremonial merembes menjadi arena pertarungan sosial masing-masing rumah tangga. Beberapa rumah tangga harus meneguk kepahitan akibat kesulitan memenuhi kebutuhan ritual. Selain meminjam ke penguasa desa, beberapa dari mereka kadang harus menelan ludah melihat emasnya terjual atau bahkan mengambil kredit bank. Ini mewujud dalam ungkapan, “Kalau tidak ada sekalimi, emasta mami dijual atau pinjamki di bank.” 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Berkebalikan dengan keluarga Nurdin dan banyak rumah tangga lain, Nobo, nama samaran, seorang tengkulak sekaligus penggawa, menjadikan ritual sebagai tempatnya menegaskan kuasa di pulau. Ia selalu tampak semringah saat ritual tahunan digelar. Situasi semacam ini membuka peluang baginya untuk terlibat lebih intim dengan para orang penting daerah. “Kalau acarami, di rumah ji biasa tidur itu orang-orang dari luar (termasuk perwakilan pemerintah daerah),” ucapnya saat bercerita mengenai suasana ritual tempo hari. Belakangan saya baru tahu bahwa dia adalah calon kepala kampung yang selalu keras menawarkan soal pemekaran desa ke pemerintah daerah.

Saat saya berada di rumahnya, beberapa bapak-bapak nelayan ada di belakang rumah. Salah satunya adalah orang yang berutang pada Nobo. Keberadaan orang-orang ini turut memperkuat kuasa yang dimiliki Nobo. Para nelayan bercerita banyak hal soal kondisi kampung, namun merasa segan menyuarakan persoalan yang sedang dihadapi karena menganggap keluarga Nobo telah membantu mereka dalam banyak hal, termasuk hal yang tampak kecil bagi orang luar seperti memberikan kopi hitam gratis.


Penutup

Ritual-ritual yang kerap kali diromantisasi sebagai bagian dari jati diri komunitas di perdesaan, hingga dengan beragam nilai yang sering kali diungkapkan seperti menyimbolkan kebahagiaan, kebersamaan, perjuangan, spiritualitas, loyalitas, hingga semangat gotong royong memang dalam beberapa hal masih dapat ditemui. Namun, setiap rumah tangga di perdesaan saat ini masih belum setara secara ekonomi-politik, termasuk penguasaan atas modal, alat produksi, sumber daya dan kekuasaan. Ini membuat sebagian orang tertatih-tatih dalam mengusahakan reproduksi sosialnya. Ditambah lagi beban biaya ritual dapat mengancam setiap hubungan sosial semakin tajam ke bawah. Masing-masing rumah tangga melewati setiap perayaan dengan ongkos materiel maupun energi yang cukup banyak. Tidak semua dapat secara sempurna melewatinya. Sedang yang lain, yang secara ekonomi-politik memiliki posisi strategis, justru dapat dengan semringah menyambut setiap agenda rutin sebagai arena untuk mempertegas posisi sosialnya. 

Semarak ritual kampung secara bersamaan merawat kerentanan nelayan kecil sekaligus memperkuat posisi kelas-kelas atas (penguasa desa) untuk terus mengakumulasi modal dan membentengi diri dari gejolak rakyat kecil yang mendorong adanya redistribusi kesejahteraan dengan politik balas budi yang diraih melalui ikatan utang.


Kepustakaan

Tulisan yang termuat di Indoprogress. “Mitos Kebersamaan dalam Acara Informal Jawa”. Ditulis Oleh Anggalih Bayu Muh Kamim. 

Gerber, J.F. (2014). The Role of Rural Indebtedness in The Evolution of Capitalism. Journal of Peasant Studies, 41(5), 729–747.

Gerber, J.F. (2022). “Rural Indebtedness (Utang Pedesaan)” dalam Handbook of Critical Agrarian Studies diterjemahkan oleh STNPN PRESS. Yogyakarta.

Banaji, J. (1977). Modes of Production in a Materialist Conception of History, Capital and Class, 6, 1–44.

Badriadi, (2017). Pola Hubungan Patron-Klien Pada Komunitas Petani Rumput Laut di Desa Bungin Permai Kecamatan Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Skripsi: Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo.

Bhaduri, A. (1983). The Economic Structure of Backward Agriculture, London: Academic Press.

Roseberry, W. (1978). Peasants as proletarians, Critique of Anthropology, 3(11), 3–18.

Robinson, R. (1981). Culture, Politics, and Economy In The Political History of The New Order. Indonesia, 31, 1-29.

Maulana, A. (2014). “Hubungan Patron Klien Pada Masyarakat Nelayan Desa Kuala Karang Kecamatan Teluk Pekedai Kabupaten Kubu Raya”. Jurnal S-1 Sosiologi Volume 3 Nomor 2 Edisi Juni 2014.

Priyatna, F.N & Sumartono, (2011). “Pola Pemanfaatan Sumber Daya, Subsistensi Dan Pola Hubungan Patron-Klien Masyarakat Nelayan Danau Tempe, Sulawesi Selatan”. Jurnal Matematika, Sains Dan Teknologi. Volume 12, Nomor 1. Maret 2011, 37-45. 

Sudarmono, Sulehan, J., Rahamah, N., (2012). “Dinamika Langganan Dalam Masyarakat Nelayan: Artikulasi Ragam Pengeluaran Perikanan Berskala Kecil Di Kelurahan Cambayya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia”. Malaysia Journal Of Society And Space 8 Issue 8 (65– 75).


Muhammad Riski, akrab disapa yoyo, saat ini terlibat di Perkumpulan Cita Tanah Mahardika (CTM). Tulisan ini adalah serial kunjungan lapangan di salah satu pulau yang ada di Sulawesi Selatan. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.