Ilustrasi: illustruth
SECARA filosofis, cermin sering kali menjadi metafora bagi kesadaran diri. Ia merefleksikan kembali citra yang kita proyeksikan, namun juga sekaligus membentuknya. Dalam retakan cermin yang kita hadapi, tersembunyi fragmen-fragmen kebenaran yang terdistorsi, namun tetap menyimpan potensi untuk mengungkapkan realitas yang lebih utuh.
Identitas Papua, sebagai subjek kajian, adalah cermin yang retak. Ia merefleksikan sejarah panjang interaksi dengan kekuatan eksternal yang kompleks, mulai dari kolonialisme hingga modernisasi. Identitas Papua bukanlah entitas yang statis, melainkan konstruksi sosial yang terus berevolusi dalam konteks sejarah dan politik yang dinamis. Identitas Papua, yang konstruksinya kerap dipaksakan dari luar, telah menciptakan retakan-retakan dalam tatanan sosial, budaya, dan politik. Retakan-retakan ini bukan sekadar kerusakan, melainkan juga peluang untuk mengintip ke dalam kedalaman jiwa kolektif masyarakat Papua.
Melalui lensa konstruksi eksternal, kita dapat mengurai bagaimana identitas Papua dibentuk, dibentuk ulang, dan dipertanyakan. Proses ini melibatkan dinamika kekuasaan, narasi dominan, dan perlawanan.
Pembentukan Identitas Papua
Kita telah menggunakan metafora cermin retak untuk menggambarkan identitas Papua yang terfragmentasi akibat berbagai pengaruh eksternal. Pembahasan kita mulai dengan menganalisis lebih dalam bagaimana retakan-retakan ini muncul dan berkembang seiring berjalannya waktu.
Persepsi dan identitas orang Papua dalam lokus pengetahuan baru dimulai dengan interaksi masyarakat lokal dan dunia luar, dari kekristenan, Belanda, sampai integrasi ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengetahuan baru ini tidak selalu berdampak positif pada identitas kepapuaan, karena bisa jadi merupakan bentuk lain dari imperialisme.
Fragmentasi identitas Papua terjadi dalam tiga wilayah. Pertama, imperialisme tinta teks teologi yang diimpor oleh kekristenan. Nilai-nilai lokal dielaborasi dalam narasi teologis, membuat masyarakat cenderung melihat budaya sebagai musuh dalam selimut. Contohnya ketika kekristenan hadir di Lembah Baliem. Tanpa mengetahui apa yang benar dan salah, masyarakat secara spontan membakar atribut-atribut budaya karena bertentangan dengan teks suci Alkitab. Imperialisme tinta teks teologi telah memproduksi cara pandang bahwa sesuatu yang tidak berdasar pada teks keagamaan distigmatisasi sebagai sesuatu yang tidak benar dan harus ditolak. Imperialisme tinta teks teologi yang ada membuat masyarakat lokal tidak mampu mengonstruksi identitas yang didasarkan pada budaya lokal. Hal ini secara tidak langsung membuat mereka terjajah oleh imperialisme tinta yang mendorong pemahaman bahwa kebenaran hakiki selalu datang dari teks.
Semestinya folklor dalam masyarakat lokal dilihat sebagai living text yang adalah kebenaran identitas yang harus dihidupi dan diproteksi. Interpretasi teks suci harus didasarkan pada kemampuan membaca latar sosial untuk menemukan kebenaran dan memproduksi kebenaran pada konteks baru.
Contoh lain dari segregasi identitas adalah proyek kristenisasi di Mansinam. Belanda memulainya dengan mengganti secara sistematis keyakinan agama-agama asli, yang terkait erat dengan alam dan kehidupan sosial. Mereka yang mempertahankan kepercayaan tradisional sering kali mengalami pemaksaan dan diskriminasi. Hubungan dengan alam pun diputus lebih jelas. Kristen yang dibawa oleh Belanda sering kali mengajarkan pandangan yang berbeda tentang alam, yang dapat melemahkan hubungan spiritual masyarakat Papua dengan lingkungan mereka.
Kedua, imperialisme Belanda dalam konteks politik. Dalam wacana di ruang publik seperti di Konferensi Linggarjati, Belanda terlihat mendukung penuh kemerdekaan Papua, tetapi sebenarnya ingin menjadikan tempat ini sebagai koloni Hindia Timur-nya, sebagai permukiman kaum Indo-Belanda yang hendak mencari tanah air baru. Hal ini tidak didasarkan pada kecintaan Belanda akan Papua. Tetapi, dari buku Schoorl (1997), kita dapat melihat pendekatan Belanda terhadap masyarakat lokal cukup humanis, dengan metode belajar lebih dulu budaya setempat dan setelah itu pelayanan didasarkan pada pembelajaran yang sudah dilakukan.
Ketiga, integrasi ke dalam NKRI melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada Agustus 1969. Pepera menjadi tonggak sejarah yang signifikan dalam perjalanan Papua. Proses ini, yang banyak dianggap tidak demokratis dan inklusif, memicu berbagai persoalan yang hingga kini masih dirasakan oleh masyarakat, terutama terkait dengan identitas dan eksistensi mereka. Banyak hal terjadi ketika Papua bergabung dengan Indonesia, yang berdampak langsung pada identitas kepapuaan, misalnya:
Amblasnya otonomi. Dengan hadirnya Indonesia sebagai kolonialis baru, banyak sistem pemerintahan tradisional di berbagai wilayah di Papua melemah bahkan hilang sehingga melenyapkan akar-akar identitas lokal. Di sisi lain, birokrasi sentralistik yang berakar di Jakarta cenderung mengabaikan aspirasi dan kebutuhan hidup masyarakat di lokal.
Transfigurasi sosial budaya. Indonesia terus berusaha secara sistematis menghapus identitas kepapuaan dengan cara mengkonstruksi nilai-nilai indonesiasentris (atau jawasentris) lewat ruang-ruang publik seperti sekolah, kampus, gereja, media dan lain-lain, dengan dasar Pancasila dan semboyan bhinneka tunggal ika. Satu dampak kecil: karena determinasi bahasa Indonesia, sekurangnya empat bahasa daerah di Papua telah punah, dan 11 akan menyusul jika tidak ada upaya berarti.
Sebetulnya misi-misi penginjilan yang masif juga menyebabkan perubahan signifikan yang mengakibatkan distorsi sejarah dan budaya yang merusak identitas kepapuaan. Dalam konteks teologi, misalnya, masyarakat dikonstruksi untuk mencintai Israel. Pun dengan masuknya dunia modern dengan cepat. Pengenalan gaya hidup modern, juga urbanisasi yang cepat, membuat generasi muda Papua terealisasi dari nilai-nilai tradisional yang adalah identitas mereka. Hal ini memperkeruh pengenalan akan identitas kepapuaan sehingga generasi muda dengan muda dapat dieksploitasi.
Eksploitasi sumber daya. Inilah hal signifikan lain yang terjadi saat Indonesia masuk ke Papua. Eksploitasi sumber daya alam yang masif sering kali memicu konflik antara perusahaan, pemerintah, dan masyarakat adat. Salah satu yang ramai dibicarakan adalah kasus “All Eyes on Papua” beberapa waktu lalu. Kerusakan lingkungan dan terancamnya keberlangsungan hidup masyarakat menjadi niscaya. Masyarakat adat sering kali terpinggirkan dalam proses pembangunan dan tidak memperoleh manfaat yang seimbang dari eksploitasi yang terjadi.
Diskriminasi dan rasisme. Baik pemerintah maupun masyarakat Indonesia lain kerap memiliki stereotipe negatif tentang orang Papua. Ini sering kali muncul di media massa atau malah percakapan sehari-hari. Hal tersebut memperkuat perasaan termarjinalisasi dari masyarakat.
Indonesia tidak mau orang luar tahu tentang semua ini. Salah satu contoh terbaru ialah bagaimana youtuber asal Amerika, IShowSpeed, batal ke Papua karena dua kali tiket yang dipesannya dibatalkan oleh kekuasaan. Ada kekhawatiran jika IShowSpeed melakukan siaran langsung—seperti yang sering dia lakukan selama ini—mata dunia akan terbuka akan situasi Papua.
Sampai sini, kita dapat melihat bahwa negara selalu hadir untuk membentuk identitas keindonesiaan melalui kebijakan, ekonomi, politik, pendidikan dan sosial. Semua dilakukan secara sistematis dan terukur. Agama dan budaya dari luar juga telah dengan sistematis memengaruhi nilai-nilai dan praktik sosial budaya masyarakat Papua. Terakhir ialah bagaimana globalisasi dan modernisasi telah sedikit demi sedikit mengubah Papua, membentuk generasi muda yang bersikap dingin terhadap identitas daerah.
Perlawanan Identitas Papua
Masyarakat Papua tidak hanya berdiam diri menghadapi cerminnya yang semakin retak. Ada upaya, misalnya, pelestarian budaya sebagai identitas dari ancaman kolonialisme dan modernisasi lewat berbagai kegiatan. Misalnya Festival Lembah Baliem yang mempertontonkan perang-perang, tari-tarian tradisional, dan hal-hal yang berhubungan dengan kemampuan bertahan hidup dalam pengetahuan masyarakat lokal. Ada juga Festival Danau Sentani di Jayapura, di mana kita dapat melihat pengetahuan masyarakat dalam mengolah sagu menjadi papeda, juga tarian-tarian yang berbaur dengan banyak atribut budaya lain.
Peran gereja dalam upaya mempertahankan identitas perlu juga dilihat. Salah satu gereja di Post 7 Jayapura, misalnya, berusaha melawan kepunahan bahasa daerah dengan beribadah dengan bahasa Lany.
Banyak pula aksi-aksi lain dari masyarakat lokal untuk mempertahankan identitas dan mengonstruksi identitas kepapuaan di ruang publik luar Papua. Misalnya apa yang dilakukan mahasiswa Papua di Salatiga, Jawa Tengah, yang mengadakan bakar batu serta menggunakan koteka dan busana daerah di acara-acara kampus.
Gerakan Papua merdeka pun termasuk perjuangan identitas politik. Apa yang dilakukan pada pejuang kebebasan bangsa West Papua, dari yang ada di hutan rimba sampai luar negeri, membuat masalah Papua diperbincangkan di seantero dunia. Mereka mencoba membawa masalah mereka, luka mereka, air mata mereka, duka cita mereka, serta doa dan harapan mereka. Ini juga dilakukan oleh siapa saja yang sampai hari ini masih berdoa di mimbar-mimbar kamar, berharap suatu waktu boleh berdiri di atas tanah sendiri, menatap matahari terbit dan terbenam, tanpa rasa takut akan hidup.
West Papua merdeka sebagai perjuangan identitas politik tidak lahir dari ketiadaan kesejahteraan. Penulis dengan rendah hati ingin menyampaikan kepada pembaca yang budiman bahwa sebelum Indonesia merdeka pun bangsa West Papua telah hidup dengan tidak berkekurangan satu apa pun. Masyarakat hidup aman, damai, dan tentram sebagai manusia yang beradab, bermartabat di hadapan Tuhan Allah, dan di hadapan alam dengan mematuhi norma-norma budaya, adat, dan agama.
Akar masalahnya adalah kejahatan negara dalam Pepera 1969. Hal ini juga diungkapkan oleh Dr. Socratez Sofyan Yoman, bahwa Pepera 1969 itu tidak demokratis dan merugikan hak politik bangsa West Papua. Pepera itu dimenangkan ABRI (sekarang TNI) dengan moncong senjata. Pada 2001, penulis terbang ke Jenewa, Swiss, dan mendatangi perpustakaan PBB demi mencari dokumen Pepera 1969. Penulis mendapat laporan Annex I dan Annex II. Annex I adalah laporan perwakilan Sekjen PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz, tentang apa yang sesungguhnya terjadi di West Papua. Sedangkan Annex II adalah laporan Indonesia yang sangat paradoks, bertolak belakang dengan laporan perwakilan PBB.
Tanah Papua sebagai tanah damai, yang dijaga oleh leluhur, mulai dari Sorong dan Merauke, telah dicoreng dan diusik dengan aneksasi lewat opini bahwa Papua adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI. Masuknya Papua ke NKRI lewat Pepera 1969 itu cacat hukum, penuh dengan kebohongan, kemunafikan, ancaman, dan intimidasi dari aparat.
Apa yang dikatakan Yoman bukan tanpa dasar. Itu didukung oleh temuan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang menyatakan terdapat empat persoalan mendasar tanah Papua, yakni: pertama, masalah sejarah dan status politik integrasi; kedua, kekerasan dan pelanggaran HAM sejak 1965 melalui operasi militer; ketiga, perasaan terdiskriminasi dan termarjinalkan yang disebabkan oleh penyingkiran orang-orang Papua dalam rumusan pembangunan; dan terakhir, kegagalan pembangunan.
Berdasarkan persoalan fundamental di atas, pencarian identitas politik marak dapat kita jumpai di ruang publik di Papua, Indonesia, dan dunia internasional, yang hampir dilakukan oleh semua kalangan, dari mulai pelajar, mahasiswa-mahasiswi, ibu-ibu tokoh adat, dan tokoh agama.
Upaya mempertahankan identitas juga tak bisa dilepaskan dari konteks Otonomi Khusus (Otsus) Papua. Otsus adalah instrumen hukum untuk memproteksi identitas orang Papua, dan paling dasar hak hidup mereka. Otsus di Papua diberlakukan melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.
Sayangnya, meski bertujuan memberikan otonomi lebih dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, banyak penelitian membuktikan bahwa penerapan Otsus Papua belum sepenuhnya berhasil. Misalnya riset dari Marit (2017) yang melihat ketimpangan ekonomi yang signifikan antara Papua dan daerah lain. Masyarakat Papua masih banyak yang hidup dalam kemiskinan meskipun ada Dana Otsus. Budhi (2010) juga mencatat bahwa meskipun Dana Otsus mengalir, pengelolaan yang buruk dan korupsi menghambat pembangunan yang seharusnya terjadi. Akses pendidikan dan kesehatan masih rendah. Banyak sekolah tidak memiliki fasilitas memadai, dan pelayanan kesehatan buruk. Human Rights Watch (2021) juga menyoroti bahwa meskipun ada Dana Otsus, banyak masyarakat yang masih kesulitan bahkan untuk mendapatkan layanan dasar.
Dalam konteks politik, partisipasi masyarakat pun sangat kurang; didominasi oleh pendatang. Penelitian dari Anugerah (2019) menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait Otsus sangat minim. Banyak masyarakat yang merasa tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program yang berkaitan dengan Otsus.
Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa instrumen hukum untuk memproteksi hak hidup dan identitas orang Papua tidak dapat memberikan banyak harapan. Malah dalam prakteknya justru melemahkan identitas orang Papua di ruang publik.
Kesimpulan
Imperialisme teologi, politik, dan budaya telah berkontribusi pada distorsi identitas kepapuaan. Nilai-nilai lokal sering kali terpinggirkan oleh narasi dominan yang dipaksakan oleh kekuatan luar.
Teologi imperialisme melalui kekristenan telah mengubah cara pandang masyarakat Papua terhadap budaya mereka sendiri, menjadikan nilai-nilai lokal sebagai sesuatu yang dianggap tidak sah. Kolonialisme Belanda, meskipun tampak humanis, tetap mengeksploitasi sumber daya alam Papua tanpa memberikan manfaat yang seimbang kepada masyarakat lokal. Sementara integrasi Papua ke NKRI, yang tidak demokratis, telah menghilangkan akar-akar identitas lokal dan memarginalisasi masyarakat.
Dalam konteks ini, perjuangan untuk mempertahankan identitas Papua menjadi semakin penting. Gerakan pelestarian budaya dan penegakan hak politik, seperti yang terlihat dalam upaya Otsus, menunjukkan bahwa masyarakat Papua berusaha untuk mengkonstruksi kembali identitas mereka di tengah tantangan yang ada. Namun, Otsus yang tidak efektif justru menampilkan kegagalan sistem dalam memenuhi harapan masyarakat Papua, sehingga identitas mereka semakin terancam.
Identitas Papua merupakan hasil interaksi kompleks antara kekuatan eksternal dan dinamika internal. Untuk mengatasi retakan dalam cermin identitas ini, diperlukan upaya kolektif untuk mengakui dan merestorasi nilai-nilai lokal, serta memperjuangkan hak-hak politik yang sah bagi masyarakat Papua. Hanya dengan cara ini, masyarakat Papua dapat menemukan kembali jati diri mereka yang utuh dan berdaya.***
Referensi
Anugerah, B. (2019). Papua: Mengurai Konflik dan Merumuskan Solusi. Jurnal Lemhannas RI , 7 (4), 51-65.
Budhi, GS, & Aminah, M. (2010). Swasembada kedelai: antara harapan dan kenyataan. Dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi (Vol. 28, No. 1, pp. 55-68).
Human Rights Watch. (2021). World report 2021: Events of 2020. Seven Stories Press.
Marit, EL (2017). Toponimi Badan Usaha di Era Otsus Papua: Analisis Nilai Ekonomi, Sosial-Budaya, dan Politik di Kota Jayapura. Melanesia , 1 (2), 1-14.
Pim Schoorl, (1997). Belanda di Irian Jaya Amtenar di masa penuh gejolak 1945-1962. Garba Budaya.
Abet Nego Tabuni adalah dosen di Sekolah Tinggi Teologi Walter Post Jayapura