Ilustrasi: Ilustruth
SETIAP tahun, Penghargaan Nobel dianugerahkan kepada berbagai disiplin ilmu, termasuk ilmu ekonomi. Dan setiap tahun pula, penghargaan ini menghasilkan gelombang euforia dan sensasi. Namun, tidak seperti sastra dan ilmu-ilmu alam, ekonomi adalah satu-satunya ilmu sosial yang dianugerahi Nobel. Bahkan suara-suara kritis dalam disiplin ilmu ini pun terpengaruh oleh sensasi Nobel. Terlepas dari masalah marginalisasi absolut orang-orang kulit hitam, perempuan, dan ekonom yang kritis terhadap kapitalisme di antara para pemenang penghargaan, ada masalah serius lainnya dengan Nobel Ekonomi ini.
Pertama-tama, Nobel Ekonomi sebenarnya bukanlah Penghargaan Nobel. Penghargaan dalam ilmu ekonomi tidak termasuk di antara sekumpulan disiplin ilmu yang tercantum dalam Penghargaan Nobel pada 1901. Penghargaan ini dibuat oleh Bank Sentral Swedia (Sveriges Riksbank) pada 1969 atau 68 tahun kemudian, dan bukan oleh Komite Nobel itu sendiri. Ironisnya, fakta ini bahkan disebutkan di situs web Penghargaan Nobel, yang menyatakan, “Penghargaan dalam ilmu ekonomi bukanlah Penghargaan Nobel.” (NobelPrize.org, 2018). Oleh karena itu, berbeda dengan semua Penghargaan Nobel lain dalam berbagai subjek/bidang, Penghargaan Nobel di bidang ekonomi disebut dengan nama khusus: Sveriges Riksbank Prize in Economic Sciences in Memory of Alfred Nobel.
Pada awalnya, para anggota Komite Nobel (termasuk anggota keluarga Alfred Nobel) sangat keberatan dengan penamaan penghargaan dari Bank Sentral Swedia sebagai Penghargaan Nobel (Offer & Söderberg, 2016). Mengutip perkataan cicit Alfred, Peter Nobel, “Nobel membenci orang-orang yang lebih mementingkan keuntungan daripada kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang mengindikasikan bahwa ia menginginkan penghargaan seperti itu,” dan asosiasi yang disengaja dengan Penghargaan Nobel di bidang ekonomi adalah “kudeta humas oleh para ekonom untuk meningkatkan reputasi mereka” (The Local – Nobel Descendant Slams Economics Prize, 2005).
Penghargaan yang diprakarsai dan diberikan oleh Bank Sentral Swedia dan secara keliru dijuluki sebagai Nobel Ekonomi ini telah menjadi kendaraan institusional untuk mendukung dan membangun ide-ide neoliberal (sebagian besar fundamentalisme pasar bebas) di bidang ekonomi (Offer & Söderberg, 2016). Faktanya, anggota Komite Penghargaan Nobel Ekonomi diketahui berafiliasi dengan Mont Pelerin Society yang terkenal kejam (Mirowski, 2020). Tercatat, delapan anggota Mont Pelerin Society termasuk Friedrich Hayek, Milton Friedman, George Stigler, Maurice Allais, James M. Buchanan, Ronald Coase, Gary Becker, dan Vernon Smith, telah memenangkan Nobel.
Menariknya, ilmu ekonomi, layaknya ilmu sosial lain seperti ilmu politik, sosiologi, filsafat, dan antropologi memiliki beragam aliran pemikiran dan pendekatan untuk menganalisis dan mempelajari modus operandi kapitalisme yang sering secara halus disebut sebagai “ekonomi”. Namun, dalam 68 tahun terakhir keberadaannya, tidak ada satu pun ekonom yang melakukan penelitian teoretis dan empiris yang ketat dalam mazhab ekonomi politik marxis pernah menjadi penerima penghargaan ini; seperti Paul Marlor Sweezy, Maurice Dobb, Samir Amin, Oskar Lange, Josef Steindl, Michał Kalecki, John Roemer, Anwar Shaikh, Prabhat Patnaik, dan lain-lain. Bahkan ekonom pasca-keynesian yang sangat berpengaruh, Joan Robinson, juga tidak pernah dianugerahi Penghargaan Nobel.
Sebaliknya, komite Penghargaan Nobel cukup bermurah hati untuk memberikannya kepada para peneliti di luar bidang ekonomi, termasuk psikolog Daniel Kahneman, ahli matematika Lloyd Shapley, dan ilmuwan politik Herbert A. Simon. Tindakan pengecualian oleh komite seleksi ini menunjukkan bias ideologis yang mengakar dan mekanisme penyensoran yang sudah tertanam dalam diri mereka terhadap para sarjana yang kritis terhadap kapitalisme. Pengakuan selektif terhadap para ekonom yang sebagian besar berasal dari mazhab yang mendukung kapitalisme meminggirkan semua mazhab lain yang kritis terhadapnya dalam disiplin ilmu ekonomi.
Lebih jauh lagi, Penghargaan Nobel semu di bidang ekonomi ini secara tidak perlu menciptakan “juru bicara subjek”, padahal idealnya mereka tidak perlu ada (Offer & Söderberg, 2016). Dengan memberikan penghargaan kepada para ekonom yang sebagian besar berasal dari mazhab neoklasik, hal ini tidak hanya cenderung mengurangi keragaman dalam subjek tersebut tetapi juga secara sewenang-wenang menciptakan juru bicara untuk subjek tersebut itu. Masyarakat umum, media, universitas, dan para pembuat kebijakan dengan demikian sangat dipengaruhi oleh opini dan saran yang diberikan oleh para pemenang Nobel.
Ilmu ekonomi adalah subjek yang sangat berorientasi pada kebijakan, berurusan dengan keputusan seperti perpajakan, subsidi, pengeluaran pemerintah, regulasi, dan sebagainya. Penciptaan juru bicara yang secara dominan berasal dari mazhab neoklasik dan bias bawaan mereka yang mendukung kebijakan pasar bebas (pro-bisnis besar) dan keengganan terhadap kebijakan negara kesejahteraan dapat berdampak buruk pada kehidupan sehari-hari dan mata pencaharian para wong cilik. Media dan pemerintah sering menggunakan pandangan para pemenang Nobel untuk menjustifikasi kebijakan-kebijakan yang berdampak negatif terhadap kelas pekerja dan wong cilik. Kebijakan-kebijakan ini termasuk penghapusan undang-undang perburuhan yang pro-pekerja, privatisasi perusahaan-perusahaan sektor publik, pemotongan pajak untuk perusahaan, pengurangan dana untuk sektor-sektor sosial, peningkatan pajak tidak langsung, deregulasi lembaga-lembaga keuangan, dan lain-lain. Kebijakan-kebijakan tersebut secara tidak proporsional menguntungkan perusahaan-perusahaan transnasional dan kelas kapitalis di seluruh dunia.
Sebagai contoh, peraih Nobel Milton Friedman merasa nyaman dengan kudeta ilegal terhadap Presiden Chili Salvador Allende yang terpilih secara demokratis, dan bahkan secara aktif mengawasi kebijakan ekonomi neoliberal diktator Augusto Pinochet (Fischer, 2009; Frank, 1976; Klein, 2007). Ide-ide dari beberapa peraih Nobel seperti Hipotesis Pasar Efisien, formula Black-Scholes, serta posisi yang mendukung deregulasi pasar terutama pasar keuangan dan asumsi efisiensi ajaib dari pasar yang tidak diregulasi, telah menyebabkan bencana ekonomi terbesar di generasi kita, yaitu Krisis Keuangan Hebat tahun 2007 (Bresser-Pereira, 2010; Crotty, 2017).
Oleh karena itu, sudah cukup jelas bahwa Nobel semu dalam ekonomi telah menghambat keragaman pemikiran dalam ilmu ekonomi, cenderung menghasilkan juru bicara disiplin ilmu tersebut (tentu saja dengan pandangan yang pro-pasar), dan semakin berubah menjadi mekanisme institusional untuk mempromosikan dan melegitimasi kebijakan-kebijakan neoliberal di seluruh dunia.
Selain itu, penerima Penghargaan Nobel semu di bidang ekonomi sebagian besar terkonsentrasi di beberapa universitas di Global North. Mayoritas penerima Nobel berasal dari beberapa universitas di Amerika Utara (Totska, 2023). Hampir 46% dari 96 penerima Nobel Ekonomi antara 1969 hingga 2024 berafiliasi dengan empat universitas di Amerika Serikat (AS), yaitu University of Chicago, Massachusetts Institute of Technology, Harvard University, dan Princeton University. Jumlah ini hanya mewakili 0,12% dari seluruh universitas di AS, 0,02% di Eropa, atau 0,00012% dari seluruh universitas di dunia.
Lalu, penelitian telah menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa PhD di bidang ekonomi di universitas Ivy League, AS, di mana Nobel terkonsentrasi, berasal dari latar belakang ekonomi dan sosial yang istimewa (Stansbury & Schultz, 2023). Selain itu, para pemenang Nobel Ekonomi terhubung melalui jaringan hubungan profesor-mahasiswa yang erat (Tol, 2022) dan kemungkinan nepotisme hampir tidak dapat dikesampingkan (Zuckerman, 1977). Temuan ini tidak mengherankan mengingat fakta bahwa komite seleksi Penghargaan Nobel mengizinkan penerima Nobel sebelumnya menominasikan kandidat untuk tahun-tahun berikutnya (NobelPrize.org, 2018) dan dengan dinominasikan oleh penerima sebelumnya secara dramatis meningkatkan peluang untuk menerima penghargaan (Economist Data Team, 2021).
Dengan secara sepihak mengecualikan pengetahuan yang dihasilkan oleh Global South, dan hanya fokus pada beberapa universitas di satu negara dari Utara, di mana disiplin ilmu ini sebagian besar dipelajari oleh individu-individu dengan latar belakang sosial-ekonomi yang istimewa, Penghargaan Nobel semakin menegaskan kecenderungan eksklusi yang lazim dalam subjek ini dan mengukuhkan monopoli produksi pengetahuan oleh beberapa pusat di Global North dan membuat dekolonisasi ekonomi hampir tidak mungkin dilakukan.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Nobel Ekonomi tahun ini diberikan kepada tiga ekonom: Daron Acemoglu (MIT), Simon Johnson (MIT), dan James Robinson (Universitas Chicago). Menurut Komite Nobel, mereka dipilih karena “mampu menunjukkan hubungan antara institusi dan kemakmuran. Mereka juga telah mengembangkan perangkat teoretis yang dapat menjelaskan mengapa perbedaan-perbedaan dalam institusi tetap ada dan bagaimana institusi dapat berubah.”
Karena sulit untuk mengulas seluruh korpus penelitian yang dilakukan oleh Acemoglu dkk, tinjauan singkat atas karya-karya mereka yang paling berpengaruh (yang dikutip) disajikan di sini dengan tingkat keumuman yang tinggi. Kvangraven dkk., (2024) baru-baru ini juga mengkritik karya Acemoglu yang dianugerahi Nobel tahun ini. Karya Acemoglu sebagian besar berada di bawah mazhab Ekonomi Kelembagaan Baru (New Institutional Economics) dan telah menunjukkan pentingnya institusi (aturan/norma sosial-hukum yang mengatur/memengaruhi perilaku ekonomi) dalam pertumbuhan atau kemunduran ekonomi suatu negara. Inti dari penelitian mereka adalah mencari tahu institusi yang tepat untuk kemakmuran ekonomi. Namun, jika kita menginterogasi jenis institusi yang dicari, akan terlihat jelas bahwa institusi-institusi tersebut sebagian besar adalah institusi yang memungkinkan atau mengukuhkan aturan kepemilikan pribadi borjuis, yang pada gilirannya meningkatkan fungsi dan hasil pasar.
Dalam makalah “The Colonial Origins of Comparative Development: An Empirical Investigation – American Economic Association”, mereka bahkan berargumen bahwa tergantung dari jenis institusi (ekstraktif atau inklusif) yang dibentuk oleh penjajah, negara-negara bekas jajahan akan memiliki konsekuensi ekonomi yang berbeda pada masa pasca-penjajahan. Namun, apa yang gagal diakui oleh penelitian mereka adalah bahwa justru jaringan mekanisme kelembagaan rumit yang dirancang oleh kolonialisme yang memungkinkan pengambilalihan dan transfer kekayaan secara sepihak dari negara-negara Selatan (bekas jajahan dengan institusi ekstraktif), memungkinkan mereka mengumpulkan kekayaan yang sangat besar di negara-negara Utara (negara pemukim dengan institusi yang mendukung) sambil memaksa bekas jajahan untuk bergantung secara ekonomi dan miskin (Amin, 1988; Frank, 2013). Dari tahun 1765 hingga 1938, transfer kekayaan dari koloni India ke Inggris mencapai 45 triliun dolar AS (Patnaik, 2017) dan pengurasan kekayaan dari Global South ke Global North diperkirakan sekitar 242 triliun dolar AS dari tahun 1990 hingga 2015 (Hickel et al., 2022).
Acemoglu dkk gagal untuk mengakui mekanisme historis dan kontemporer yang kompleks dari neo-kolonialisme, di mana perkembangan Utara dikondisikan oleh keterbelakangan Selatan (Amin, 1988), kendala struktural yang dipaksakan pada ruang kebijakan domestik negara-negara Selatan (dengan lembaga-lembaga ekstraktif) oleh kapital keuangan global (Patnaik, 2005, 2018), dan ketidakmampuan untuk memahami akumulasi kapital sebagai proses skala global yang ditentukan secara otonom (Grinberg, 2018). Selain itu, Acemoglu berpendapat bahwa semua solusi kelembagaan non-kapitalis yang disediakan di bawah sosialisme seperti perencanaan ekonomi, koordinasi, dan nasionalisasi adalah lembaga “ekstraktif”. Banyak negara bekas jajahan, seperti India dan Cina, mampu mendorong industrialisasi melalui penggunaan ekstensif institusi ekstraktif, seperti kepemilikan publik atas bank-bank komersial swasta dan lembaga keuangan, serta penggunaan perencanaan ekonomi yang komprehensif. Acemoglu memang mendukung solusi yang agak demokratis secara sosial seperti upah minimum, mematahkan monopoli, mengurangi ketidaksetaraan, serikat pekerja, mendukung demokrasi yang lebih besar, mengatasi dampak buruk AI terhadap pekerja, dll. Tetapi semuanya berada dalam ranah kapitalisme.
Oleh karena itu, Acemoglu (dan yang lainnya) yang mendapatkan Nobel adalah contoh lain dari validasi para peneliti yang penelitiannya tidak menantang kemapanan kapitalisme.
Kapitalisme telah menimbulkan risiko eksistensial yang nyata bagi umat manusia: dari krisis ekologi, menciptakan ketidaksetaraan yang belum pernah terjadi sebelumnya, kian menyengsarakan masyarakat umum karena penghematan neoliberal yang keras, dan konsekuensinya memperkuat kaum neo-fasis sayap kanan di Eropa, Amerika, dan tempat lain. Pada titik bersejarah ini, perayaan Penghargaan Nobel di bidang ekonomi, yang melegitimasi para pembela kapitalisme dan membungkam kritik terhadapnya, membuat Nero (kaisar Romawi yang bengis-tambahan dari penerjemah) pun merasa malu. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengakhiri pemujaan terhadap Nobel Ekonomi dan menuntut apa yang dilakukan oleh ekonom cum sosiolog Gunnar Myrdal 50 tahun yang lalu, yaitu mengupayakan penghapusannya (Brittan, 2009).
Daftar Pustaka:
Acemoglu, D. (2005). Institutions as the Fundamental Cause of Long-Run Growth. Handbook of Economics Growth.
Acemoglu, D., Johnson, S., & Robinson, J. A. (2001). The colonial origins of comparative development: An empirical investigation. American Economic Review, 91(5), 1369–1401.
Acemoglu, D., & Robinson, J. A. (2013). Why nations fail: The origins of power, prosperity, and poverty. Crown Currency.
Altman, M. (2004). The Nobel Prize in behavioral and experimental economics: A contextual and critical appraisal of the contributions of Daniel Kahneman and Cernon Smith. Review of Political Economy, 16(1), 3–41.
Amin, S. (1988). Accumulation on a World Scale: Thirty Years Later. Rethinking Marxism.
Brittan, S. (2009, June 30). The not so noble Nobel Prize – Samuel Brittan: The Financial Times 19/12/03.
Crotty, J. (2017). The Realism of Assumptions Does Matter: Why Keynes-Minsky Theory Must Replace Efficient Market Theory as the Guide to Financial Regulation Policy. In Capitalism, Macroeconomics and Reality (pp. 13–38). Edward Elgar Publishing.
Economist Data Team. (2021). The best way to win a Nobel is to get nominated by another laureate. The Economist, 1.
Fischer, K. (2009). The Influence of Neoliberals in Chile before, during, and after Pinochet. The Road from Mont Pèlerin: The Making of the Neoliberal Thought Collective, 305–346.
Frank, A. G. (1976). Economic genocide in Chile: Open letter to Milton Friedman and Arnold Harberger. Economic and Political Weekly, 880–888.
Frank, A. G. (2013). The development of underdevelopment. In Sociological Worlds (pp. 135–141). Routledge.
Grinberg, N. (2018). Institutions and Capitalist Development: A Critique of the New Institutional Economics. Science & Society, 82(2), 203–233.
Hickel, J., Dorninger, C., Wieland, H., & Suwandi, I. (2022). Imperialist appropriation in the world economy: Drain from the global South through unequal exchange, 1990–2015. Global Environmental Change, 73, 102467.
Klein, N. (2007). The Shock Doctrine: The Rise of Disaster Capitalism. Metropolitan Books.
Kvangraven, Ingrid Harvold, and Surbhi Kesar Devika Dutt.2024. The Colonial Origins of Economics. Economic and Political Weekly. Vol. 59, Issue No. 42
MacLean, N. (2017). Democracy in Chains. The Deep History of the Radical Rigth’s Stealth Plan for America. (No Title).
Maxton, G., & Randers, J. (2016). Reinventing prosperity: Managing economic growth to reduce unemployment, inequality, and climate change. Greystone books.
Mirowski, P. (2020). The neoliberal Ersatz nobel prize. Nine Lives of Neoliberalism, 219–254.
Myrdal, G. (1977). The Nobel Prize in Economic Science. Challenge, 20(1), 50–52.
Nature. (2024). Nobel prizes are globally unrepresentative—The nomination process must be opened up. Nature, 634(8033), 266–266.
NobelPrize.org. (2018, July 4). Nomination and selection of economic sciences laureates. NobelPrize.Org. https://www.nobelprize.org/nomination/economic-sciences/
Offer, A., & Söderberg, G. (2017). The Nobel Factor: The Prize in Economics, Social Democracy, and the Market Turn. Princeton University Press.
Patnaik, P. (2018). Reflections on contemporary capitalism. The Changing Face of Imperialism. New York and Oxford: Routledge, 15–36.
Patnaik U. (2017). Revisiting the ‘Drain,’ or transfers from India to Britain in the context of global diffusion of capitalism. In Chakrabarti S., & Patnaik U. (Eds.), Agrarian and other histories: Essays for Binay Bhushan Chaudhuri. Tulika Books.
Stansbury, A., & Schultz, R. (2023). The Economics Profession’s Socioeconomic Diversity Problem. Journal of Economic Perspectives, 37(4), 207–230.
The Local—Nobel descendant slams Economics prize. (2005, September 28).
Tol, R. S. J. (2022). Rise of the Kniesians: The professor-student network of Nobel laureates in economics. The European Journal of the History of Economic Thought, 29(4), 680–703.
Tol, R. S. J. (2023). Nobel begets Nobel (arXiv:2207.04441).
Tol, R. S. J. (2024). The Nobel family. Scientometrics, 129(3), 1329–1346.
Totska, O. L. (2023). Nobel Prize in Economics: Retrospective analysis and prediction of laureates. Journal of Management & Technology [Revista Gestão & Tecnologia], 23(2), 10–28.
Zuckerman, H. (1977). Scientific Elite: Nobel Laureates in the United States. The Free Press.
Dawa Sherpa adalah asisten profesor di Departemen Ekonomi Kurseong College, University of North Bengal, India. Artikel ini sebelumnya telah terbit di Developing Economics A Critical Perspective on Development Economics. Diterjemahkan oleh Coen Husain Pontoh dan diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.