Pengantar Penerjemah
NASKAH ini diterjemahkan dari esai berjudul “Yes, We Mean Literally Abolish the Police” sebagai respons atas meletusnya kekerasan oleh polisi di Jakarta, Semarang, Makassar, dan beberapa wilayah lain selama rentetan aksi #PeringatanDarurat. Tak lama sebelumnya, kita dikejutkan pula dengan kasus meninggalnya Afif akibat dianiaya polisi dan betapa Polda Sumatra Barat menutup-nutupi fakta kematiannya. Lebih jauh lagi, sebetulnya sudah menjadi rahasia umum bahwa secara historis kepolisian selalu memposisikan diri untuk melindungi status quo, apalagi di saat konflik kelas meruncing tajam.
Semua peristiwa ini menghasilkan pertanyaan wajar: apa yang harus dilakukan terhadap kepolisian? Berbeda dari wacana reformasi institusi yang boleh dikatakan paling umum, penerjemah ingin memperkenalkan dan mengajukan tawaran yang berbeda: bubarkan kepolisian.
“Bubarkan” di sini mengacu pada abolisi, yakni pandangan politik, keilmuan, dan gerakan sosial yang menentang Prison Industrial Complex (PIC). PIC adalah pengerahan penjara dan kepolisian sebagai solusi masalah sosial-ekonomi-politik kita. Para abolisionis mengkaji dan, maka dari itu, memandang bahwa penjara dan kepolisian menjadi aparat kekerasan negara bukan akibat penyimpangan dalam sistem keduanya, melainkan memang didesain seperti itu sejak awal. Karena itu mereka menyimpulkan keduanya tidak dapat diperbaiki.
Untuk memutus rantai ketergantungan kita terhadap kepolisian dan penjara, para abolisionis memperjuangkan setidaknya dua strategi utama. Pertama, menciptakan (creating) sistem yang memenuhi kebutuhan akan tempat tinggal, pekerjaan, pangan, sistem pendidikan, dan layanan kesehatan publik yang berkualitas dan mudah diakses—karena masyarakat yang aman bukanlah masyarakat di bawah kontrol aparat kekerasan, melainkan masyarakat yang sejahtera. Kedua, menumbangkan (dismantling) kuasa kepolisian dan penjara lewat serangkaian aksi konkret seperti memangkas bahkan memutus anggaran (defunding), mengusut tuntas pelanggaran HAM yang mereka lakukan, mendekriminalisasi kelompok marginal, dan seterusnya. Dismantling juga dapat dilakukan dengan menggugat dan membongkar pemahaman kita tentang kontrol, kuasa, dan keadilan.
***
KONGRES Demokrat berencana memudahkan identifikasi dan pengadilan terhadap pelanggaran yang dilakukan kepolisian; Joe Biden ingin menggelontorkan 300 juta dolar AS untuk departemen-departemen kepolisian. Akan tetapi, upaya penyelesaian kekerasan polisi melalui reformasi liberal semacam ini sudah gagal selama nyaris satu abad ini.
Cukup sudah. Kita tidak bisa mereformasi polisi. Satu-satunya cara meminimalkan kekerasan polisi adalah dengan mengurangi kontak antara publik dan polisi.
Sepanjang sejarah Amerika Serikat, kepolisian selalu merupakan alat kekerasan terhadap orang-orang kulit hitam. Kepolisian di Selatan didirikan dari patroli budak pada 1700-an dan 1800-an, yang bertugas menangkap dan menarik kembali budak-budak yang kabur. Di Utara, departemen kepolisian kota pertama pada pertengahan 1800-an terlibat dalam pemberangusan aksi buruh dan pemberontakan melawan orang kaya. Tak peduli di mana pun itu, mereka menindas kelompok marginal demi melindungi status quo.
Ketika kalian menyaksikan polisi menekan lututnya ke leher orang kulit hitam sampai tewas, itu adalah konsekuensi logis dari kepolisian di Amerika. Saat polisi dengan brutal menyerang orang kulit hitam, dia sedang menjalankan apa yang dia anggap sebagai tugasnya.
Rentetan aksi nasional sepanjang dua minggu terakhir telah memicu seruan untuk memutus anggaran kepolisian, sementara yang lain berpendapat bahwa hal itu akan membahayakan keamanan kita.
Hal yang harus diketahui pertama-tama adalah polisi tidak melaksanakan apa yang kalian kira mereka penuhi. Mereka menghabiskan waktu dengan menanggapi komplain tentang kebisingan, memberi surat peringatan parkir dan lalu lintas, serta perkara non-kriminal lainnya. Kita diakali agar mengira mereka “menangkap orang-orang jahat; mengejar perampok bank; menangkap pembunuh berantai,” kata Alex Vitale, koordinator Proyek Kepolisian dan Keadilan Sosial di Brooklyn College, dalam wawancara dengan Jacobin. Namun itu hanyalah “mitos besar,” ungkapnya. “Mayoritas polisi melakukan penangkapan kejahatan serius satu kali dalam setahun. Kalau menangani dua kasus saja, mereka akan digadang-gadang sebagai cop of the month.”
Kita tidak bisa sekadar mengubah tupoksi kerja mereka untuk fokus kepada banditnya para bandit. Mereka tidak disiapkan untuk itu.
Kedua, dunia yang “aman” bukanlah dunia di mana polisi terus-menerus mengontrol kelompok kulit hitam dan kelompok marginal lainnya di bawah ancaman penangkapan, pemenjaraan, kekerasan, dan pembunuhan.
Saya mengadvokasi abolisi kepolisian selama bertahun-tahun. Terlepas pandangan kalian tentang tenaga kepolisian—entah apakah kalian ingin mengakhiri kepolisian atau cukup mengurangi brutalitas mereka—tuntutan yang dapat kita ajukan segera adalah memangkas setengah total personel dan anggaran mereka. Semakin sedikit polisi, semakin sedikit pula peluang mereka melancarkan brutalitas dan pembunuhan. Gagasan ini sukses mencuri perhatian publik Minneapolis, Dallas, Los Angeles dan kota-kota lainnya.
Sejarah adalah pembelajaran, tapi bukan karena menawarkan cetak biru cara bertindak untuk hari ini melainkan membantu kita merumuskan pertanyaan-pertanyaan yang lebih baik untuk masa depan.
Lexow Committee melaksanakan investigasi besar-besaran pertama terhadap pelanggaran kepolisian di New York pada 1984. Pada masa itu, keluhan terbanyak kepada kepolisian mempersoalkan clubbing, yakni “pemukulan rutin terhadap warga sipil oleh petugas patroli yang bersenjata pentungan atau blackjack,” tulis sejarawan Marilynn Johnson.
Wickersham Commission, yang didirikan untuk mengkaji sistem peradilan pidana dan menginvestigasi penegakkan Prohibition[1], melayangkan gugatan keras pada 1931. Mereka juga membeberkan bukti strategi interogasi brutal yang dilakukan kepolisian. Gugatan ini mempertanyakan nihilnya profesionalisme kalangan polisi.
Pasca pemberontakan kota pada 1967, Kerner Commission mendapati bahwa “tindakan polisi menjadi insiden ‘final’ tepat sebelum meletusnya kekerasan berdasarkan 12 dari 24 kericuhan yang diteliti.” Laporan tersebut memuat daftar rekomendasi yang sudah umum hari ini, seperti membangun “layanan publik untuk penegakkan hukum” dan meninjau operasi kepolisian “di ghetto, demi memastikan kinerja yang tepat oleh petugas kepolisian.” Komisi-komisi ini sama sekali tidak menghentikan kekerasan; hanya berfungsi sebagai kontra-pemberontakan setiap kali kekerasan yang dilakukan polisi menyulut protes. Reformasi serupa diserukan sebagai reaksi atas pemukulan brutal oleh polisi terhadap Rodney King pada 1991 dan pembangkangan yang pecah setelahnya, serta pasca-pembunuhan Michael Brown dan Eric Garner.
Laporan akhir President’s Task Force on 21st Century Policing (Satgas Presiden tentang Kepolisian Abad ke-21) rezim Obama membuahkan perubahan prosedural seperti pelatihan anti-bias, listening sessions, serta sedikit perbaikan dalam kebijakan dan sistem penggunaan paksaan untuk sejak dini mengidentifikasi petugas polisi yang bermasalah. Namun, Tracey Meares, anggota satgas itu sekalipun, menuliskan pada 2017 bahwa “kepolisian sebagaimana kita ketahui haruslah diabolisi sebelum bisa ditransformasi.”
Filosofi yang mendasari reformasi semacam ini adalah semakin banyak aturan berarti semakin sedikit kekerasan. Tetapi, polisi selalu melanggar aturan. Lihat saja apa yang terjadi beberapa minggu terakhir—polisi membocorkan ban, melabrak keras lansia di depan kamera, serta menangkap dan melukai jurnalis dan demonstran. Para polisi ini sama sekali tidak mengkhawatirkan reaksi massa. Setali tiga uang dengan Daniel Pantaleo, mantan polisi New York yang mencekik mati Eric Garner. Dia melambaikan tangan ke kamera yang merekam insiden tersebut. Dia tahu persis serikat polisi akan membekingi dirinya. Dan, memang betul, dia tetap bekerja sebagai polisi sampai lima tahun pasca-insiden.
Minneapolis telah menerapkan “praktik terbaik” tetapi tetap saja gagal untuk memecat Derek Chauvin meski ada 17 aduan pelanggaran yang dia perbuat selama dua dekade. Puncaknya, saat seisi dunia menyaksikan dia mengimpit lututnya ke leher George Floyd selama sembilan menit.
Kenapa pula kita pikir reformasi seperti yang sudah-sudah akan berhasil? Kita harus mengganti tuntutan. Cara paling pasti untuk meminimalkan kekerasan kepolisian adalah dengan mengurangi kekuatan polisi dengan menyunat jumlah anggaran dan personel mereka.
Namun, jangan salah paham. Kita tidak membiarkan masyarakat kita melakukan kekerasan. Kita tidak ingin sekadar menyudahi kepolisian. Kita ingin membuat mereka usang; tidak lagi relevan.
Miliaran uang yang masuk kantong kepolisian harus kita alihkan ke pengadaan layanan kesehatan, permukiman, pendidikan, dan pekerjaan yang layak. Bila kita berhasil mewujudkannya, ketergantungan dengan polisi akan menurun.
Kita dapat menciptakan metode lain dalam menangani masalah dalam masyarakat. “Pekerja perawatan masyarakat” yang profesional dapat mengadakan pemeriksaan kesehatan mental jika ada yang membutuhkan. Kota dapat melaksanakan model keadilan restoratif ketimbang melempar orang ke penjara.
Bagaimana dengan perkosaan? Pendekatan hari ini tak kunjung menyudahinya. Nyatanya, kebanyakan pemerkosa tidak pernah diseret ke ruang sidang. Dua dari tiga korban kekerasan seksual tidak pernah melapor. Para pelapor kasus kekerasan seksual sering kali tidak puas dengan tanggapan yang diberikan. Terlebih lagi, polisi-lah yang kerap menjadi pelaku kekerasan seksual. Temuan sebuah studi pada 2010 menunjukkan bahwa kekerasan seksual adalah kasus pelanggaran kepolisian tertinggi nomor dua. Pada 2015, Buffalo News melaporkan bahwa seorang polisi kedapatan melakukan kekerasan seksual setiap lima hari sekali.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Ketika orang-orang, khususnya kulit putih, membayangkan dunia tanpa polisi, mereka gemetar ketakutan. Terbayang dalam benak mereka masyarakat yang sama kejinya dengan masyarakat hari ini, tetapi tidak memiliki penegakan hukum. Sebagai masyarakat, kita begitu terindoktrinasi oleh gagasan seolah masalah akan beres dengan memolisikan dan memenjarakan orang. Kita jadi tidak bisa mengimajinasikan solusi masalah kekerasan dan kejahatan selain penjara dan polisi.
Namun orang seperti saya yang menginginkan abolisi penjara dan polisi memiliki visi tentang masyarakat yang sama sekali berbeda. Masyarakat yang menjalin kolaborasi ketimbang individualisme. Masyarakat yang mengutamakan mutual aid[2] alih-alih perlindungan individu semata.
Kira-kira, bagaimana jadinya negara bila miliaran dolar dialokasikan untuk permukiman, pangan, dan pendidikan untuk semua orang? Perubahan masyarakat mustahil terwujud dalam sekedipan mata, tetapi rentetan aksi massa memperlihatkan bahwa ada begitu banyak orang yang siap menerima visi yang berbeda mengenai keamanan dan keadilan sosial.
Ketika ruas-ruas jalan kota mulai tenang dan orang-orang lagi-lagi mengusulkan agar kita semata-mata mempekerjakan polisi kulit hitam atau mendirikan lebih banyak dewan peninjau sipil,[3] semoga kita tetap ingat betapa upaya-upaya tersebut sudah gagal.
[1] Prohibition merujuk pada ilegalisasi produksi dan distribusi minuman beralkohol di Amerika Serikat pada 1920–1933 berdasarkan Amandemen Konstitusi ke-18. Dalam masa ini persaingan dan meletusnya pertikaian antar gangster sangat lumrah terjadi.
[2] Lebih lanjut tentang mutual aid bisa di baca di sini dan di sini.
[3] Dewan peninjau sipil (civilian review board) adalah kelompok yang terdiri dari elemen masyarakat sipil yang ditunjuk pejabat daerah untuk meninjau urusan internal kepolisian setempat. Dewan ini lazim di Amerika Serikat.
Penulis artikel, Mariame Kaba adalah organisatoris, pendidik, juru arsip, dan kurator dengan abolisi kepolisian dan penjara, keadilan transformatif, serta keadilan rasial dan gender sebagai fokus aktivismenya. Dia adalah penggagas Project NIA. Selain itu, ia juga terlibat membersamai pembentukan dan aktif dalam organisasi dan proyek sosial lainnya. Untuk lebih mengenalnya, silakan baca profil di laman situsnya. Penerjemah, Kevin Aryatama, merupakan salah satu pengasuh Lingkar Diskusi Gender.