Ilustrasi: Ilustruth
ANALIS politik Iqra Anugrah dalam tulisan terbarunya berpendapat bahwa para teknokrat ekonomi propasar yang sebagian besar menempuh pendidikan doktoral di Berkeley, Amerika Serikat, berkontribusi dalam mengonsolidasikan rezim militer di bawah kekuasaan Soeharto. Ini bukanlah pandangan baru mengenai peran intelektual pada era Orde Baru. Kontribusi akademik yang berusaha diketengahkan oleh kawan Iqra adalah bagaimana menilai secara tepat peran para teknokrat yang kerap disebut sebagai Mafia Berkeley itu dalam menopang otoritarianisme Soeharto.
Menurut Iqra, para teknokrat ini memiliki gagasan ekonomi yang luas dan kebaruan intelektual sehingga tidak bisa dianggap sekadar penyelamat bangsa atau antek asing sebagaimana digambarkan dalam studi-studi sebelumnya. Baginya, mereka lebih tepat disebut sebagai ekonom konservatif “dadakan” karena setidaknya dua alasan. Pertama, ide konservatisme ekonomi mereka yang memuja liberalisme pasar bukan semata jiplakan Barat ala Friedrich Hayek, Milton Friedman, dan James Buchanan. Kedua, visi konservatif mereka berakar dari ketakutan akan mobilisasi ideologi dan statisme negara yang destruktif, terutama sebagai respons terhadap rezim Demokrasi Terpimpin yang oleh Iqra disebut sebagai bentuk pemerintahan bonapartis sayap kiri. Ini yang kemudian, menurut Iqra, membuat para ekonom liberal justru mendukung konsolidasi rezim otoriter.
Proposisi-proposisi di atas mengandung beberapa masalah. Pertama, beberapa interpretasi dan data dalam tulisan Iqra memiliki akurasi yang patut dipertanyakan dan karena itu mengaburkan pembacaan yang lebih kritis atas ekonomi-politik Orde Baru dan peran para teknokratnya. Ini terutama berkaitan dengan analisisnya atas periode Demokrasi Terpimpin di bawah Presiden Sukarno yang disebutnya sebagai bentuk pemerintahan bonapartis sayap kiri dan karena itu menjadi tantangan terbesar bagi agenda-agenda ekonomi para teknokrat propasar.
Kedua, ada ketidakjelasan labelisasi “konservatisme dadakan”, apakah itu terkait konservatisme ekonomi atau politik. Artinya, apakah pandangan konservatisme insidental para ekonom itu lebih terkait dengan ketidaksesuaian akar gagasan ekonomi propasar dengan apa yang menjadi mainstream di Barat atau berkaitan dengan inkonsistensi pandangan ekonomi liberal yang seharusnya menolak otoritarianisme karena mengganggu liberalisme pasar? Ambiguitas semacam ini justru membuat pelabelan yang diberikan oleh Iqra menjadi tidak terlalu berguna untuk memahami secara lebih kritis peran para teknokrat dalam pembangunan ekonomi Orde Baru.
Secara gegabah Iqra menyimpulkan bahwa para teknokrat ekonomi berperan penting dalam menopang “pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pembangunan yang stabil” selama 32 tahun Soeharto berkuasa. Dengan kesimpulan semacam ini, ia cenderung memandang struktur kekuasaan Orde Baru secara statis, seolah tidak ada perubahan dan konflik internal yang memengaruhi bagaimana suatu gagasan ekonomi difasilitasi atau disingkirkan. Singkat kata, kawan Iqra lebih mirip seorang pluralis liberal yang terlalu melebih-lebihkan peran agensi dari para teknokrat ekonomi dan karena itu menjadi kurang cermat dalam memetakan struktur kekuasaan Orde Baru yang secara historis telah memengaruhi naik-turunnya gagasan-gagasan ekonomi yang saling bertentangan, terutama antara yang berorientasi pasar dan nasionalisme ekonomi.
Padahal, struktur ekonomi politik Indonesia yang bertumpu pada tatanan disorder yang dicirikan oleh penggunaan instrumen-instrumen ekstra-ekonomi yang dominan dalam akumulasi kapital dan kekuasaan—seperti hubungan-hubungan informal dengan penguasa, manipulasi hukum serta mobilisasi kekerasan—justru senantiasa menempatkan ide-ide teknokratik propasar cenderung marjinal.
Demokrasi Terpimpin: Jalan Lapang bagi Dominasi Militer, Pukulan Telak bagi PKI
Pandangan Iqra bahwa Demokrasi Terpimpin adalah bentuk pemerintahan bonapartis sayap kiri yang “berkomitmen pada demokrasi partisipatoris dan demokrasi ekonomi melalui partisipasi politik aktif dari kelas bawah, reforma agraria dan politik progresif pedesaan yang luas, dan kontrol atas kapital asing” adalah terlalu berlebihan dan cenderung menyesatkan. Hanya karena Partai Komunis Indonesia (PKI) berada dalam barisan pendukung Demokrasi Terpimpin, tidak berarti bahwa agenda-agenda politik kiri dapat dimenangkan di bawah pemerintah otoriter Sukarno. Itu sama lucunya dengan melabeli pemerintahan Joko Widodo pada tahun 2014 yang didukung oleh banyak faksi organisasi kiri sebagai representasi kemenangan politik kiri.
Meskipun menjadi partai politik terbesar keempat dalam Pemilu 1955, PKI tidak cukup punya ruang untuk bernegosiasi memajukan agenda-agenda kiri di bawah kekuasaan Sukarno. Selain tak pernah mendapat posisi penting, PKI lebih banyak mengompromikan agenda-agenda perjuangan kelasnya dengan menekan protes-protes massa demi ilusi pembangunan Front Nasional. Retorika anti-imperialisme dan ideologi marhaenisme Sukarno adalah bagian dari omong kosong politik populis di tengah kekacauan sosial dan ketidakmampuan negara mengatasi hiperinflasi tahun 1960-an. Rezim politik periode ini jelas berwatak otoriter.
Patut dipahami bahwa Dekrit Presiden 1959 adalah upaya Sukarno merebut kembali kekuasaan setelah tersingkir dalam eksperimen liberalisme politik kelas menengah, terutama yang terafiliasi dengan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dalam bentuk demokrasi parlementer pada tahun 1950-an. Di bawah demokrasi parlementer, yang berkuasa adalah perdana menteri, sementara presiden, dalam hal ini Sukarno, hanya menjadi simbol. Konstituante yang dibentuk untuk menyusun konstitusi baru yang liberal—memuat jaminan-jaminan hak asasi manusia (HAM) termasuk memberi ruang yang lebih besar kepada partai-partai politik—juga secara nyata mengancam kepentingan militer. Tahun 1954, Jenderal A. H. Nasution juga telah mendesak Sukarno menganulir demokrasi parlementer.
Tak heran, Dekrit 1959 yang membubarkan Konstituante dan mengembalikan UUD 1945 yang berwatak fasistik dan karena itu membuka jalan bagi sentralisme kekuasaan eksekutif mendapat dukungan penuh dari militer. Sukarno kemudian menamai pemerintahan demokrasi di bawah kepemimpinan satu orang sebagai Demokrasi Terpimpin, eufemisme atas bentuk rezim politik otoritarian.
Alih-alih membuka ruang bagi agenda-agenda politik kiri, Dekrit 1959 justru telah menutup rapat potensi kemenangan PKI dalam pemilu nasional 1959 di bawah demokrasi parlementer. Pasalnya, dalam pemilu tingkat lokal tahun 1957-1958 di berbagai daerah, terutama di Pulau Jawa, PKI telah mencatat perolehan suara yang fantastis dengan menyingkirkan partai-partai dominan lainnya. Kemenangan PKI di sejumlah daerah merupakan ancaman politik serius tidak hanya bagi militer, tetapi juga PNI dan partai-partai sayap kanan lainnya jika pemilu nasional 1959 diselenggarakan.
Beberapa kebijakan dan regulasi populis seperti Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960 yang mengamanatkan dilakukannya reforma agraria memang telah berhasil ditelurkan, tapi ia tidak pernah benar-benar dijalankan. Undang-undang ini lebih sebagai bagian dari upaya Sukarno memberi harapan palsu kepada PKI untuk mempertahankan dukungannya. Kebuntuan ini juga yang kemudian memicu lahirnya aksi-aksi perebutan lahan sepihak oleh anggota-anggota Barisan Tani Indonesia (BTI) di desa-desa di Jawa, Bali, dan Sumatra di luar kendali partai.
Demokrasi Terpimpin dengan demikian jelas sekadar menempatkan PKI di bawah ketiak Sukarno. Pandangan bahwa agenda-agenda kiri dapat dimenangkan melalui pembentukan Front Nasional dengan mendukung pemerintahan borjuis-nasional ala Sukarno adalah ilusi.
Yang paling diuntungkan oleh rezim otokratik Sukarno jelas adalah militer. Sukarno sejak awal bergantung pada dukungan militer dalam pengambilalihan kekuasaan melalui Dekrit 1959. Dua faksi ini yang paling berkepentingan menolak demokrasi parlementer sejak 1950-an. Tidak heran bahwa pasca-Dekrit, Sukarno banyak mengalokasikan posisi penting dan jabatan-jabatan baru seperti Komando Operasi Tertinggi (Koti) serta fraksi di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kepada militer. Setengah anggota kabinet Sukarno bahkan berasal dari faksi militer, sementara pimpinan PKI tak pernah mendapat posisi penting. Di dalam lembaga legislatif yang dibentuk sekadar memberi justifikasi legal kebijakan-kebijakan Sukarno, PKI hanya mendapat 30 dari total 261 kursi.
Dukungan PKI kepada pemerintahan Demokrasi Terpimpin adalah hasil kesuksesan Sukarno dalam mengonsolidasikan kekuasaannya, selain dari faksi NU, untuk mengimbangi dominasi militer. Sukarno menghindari dominasi pengaruh militer dengan membangun perimbangan kekuatan melalui kredo Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme). Tapi dominasi militer tak dapat dibendung di tengah konsolidasi kekuatan PKI yang kurang teorganisir. Banyak kompromi politik yang dilakukan PKI dengan mengorbankan kekuatan dari gerakan-gerakan massa. Selain ilusi redistribusi sumber daya ekonomi (tanah) melalui UU PA, PKI juga menekan pemogokan-pemogokan buruh demi kompromi kelas ala Front Nasional.
Dalam industri perkebunan, misalnya, Ann Stoler mencatat penurunan signifikan jumlah protes buruh anggota Serikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri) dari 729 pemogokan pada tahun 1956—periode krusial yang menandai desakan nasionalisasi perusahaan perkebunan Belanda—menjadi hanya 200 pemogokan di tahun 1965. Vedi Hadiz juga mencatat penurunan signifikan pemogokan buruh yang diorganisir oleh Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dari 505 di tahun 1956 menjadi nol di tahun 1962. Ini tentu bukan semata hasil represi militer yang semakin kuat pasca 1959 terhadap gerakan buruh, tapi karena kompromi pimpinan PKI yang lebih termakan oleh narasi populis anti-imperialisme Barat ketimbang berfokus mengonsolidasikan kekuatan melawan kapitalisme secara general.
Yang paling menyedihkan adalah perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda yang berhasil dinasionalisasi berkat ratusan pemogokan buruh di tahun 1950-an diambil alih kendalinya justru oleh militer. Konsesi bisnis pertambangan dan perdagangan, otomotif, kehutanan, hingga perbankan juga dikuasai oleh militer yang bekerja sama dengan pengusaha-pengusaha keturunan Tionghoa sebagai partner.
Otoritarianisme Soeharto dan Liberalisme Ekonomi Terbatas
Tak dapat disangkal bahwa dukungan para teknokrat ekonomi kepada rezim otoriter Soeharto di antaranya didasarkan atas kekecewaan terhadap model Ekonomi Terpimpin era Sukarno yang memberi ruang besar bagi negara dalam mengatur kegiatan ekonomi. Namun, ini bukan bentuk inkonsentensi gagasan liberalisme ekonomi dan politik sebagaimana dibayangkan oleh Iqra. Gagasan-gagasan ekonomi propasar tidak selalu mendapat ruang yang memadai dan tidak pernah terlalu dominan dalam mendikte kebijakan-kebijakan ekonomi Orde Baru. Agenda-agenda ekonomi liberal juga tidak selalu bertentangan dengan bentuk-bentuk rezim kekuasaan, termasuk yang tidak memberi ruang bagi liberalisme politik sekalipun. Ini menunjukkan bahwa keutamaan dalam ekonomi, kepentingan-kepentingan apa yang difasilitasi dan apa yang dihambat, bukan semata hasil pilihan kebijakan atau desakan para teknokrat sebagaimana yang diimajinasikan oleh Iqra.
Untuk memahaminya, struktur ekonomi-politik Orde Baru perlu dilihat dalam tiga tahap perkembangan sejarah, hasil dari konflik kekuatan-kekuatan sosial yang dominan baik pada level nasional maupun internasional. Fase pertama dimulai dari awal pengambilalihan kekuasaan dari Sukarno tahun 1966 hingga awal periode oil boom tahun 1973-1974, yang ditandai oleh hiperinflasi warisan rezim politik sebelumnya. Fase kedua ditandai oleh kebijakan industrialisasi substitusi impor dalam periode oil boom yang berakhir dengan jatuhnya harga minyak dunia tahun 1982. Fase ketiga ditandai dengan kebijakan industrialisasi berorientasi ekspor sejak pertengahan 1980-an hingga akhir kekuasaan Soeharto. Dalam fase pertama, gagasan ekonomi liberal diakomodasi secara terbatas untuk konsolidasi awal rezim Orde Baru, tapi kemudian disingkirkan setelah meroketnya harga minyak dunia yang memberi keuntungan bagi Soeharto untuk menentukan sendiri alokasi sumber daya ekonomi tanpa bergantung pada kapital asing. Liberalisme ekonomi kembali mendapat tempat setelah harga minyak dunia jatuh, tapi agenda-agenda reformasi struktural neoliberal dengan cepat diapropriasi oleh kepentingan-kepentingan predatoris yang dominan.
Fase pertama: liberalisme ekonomi terbatas
Gagasan-gagasan ekonomi liberal yang marjinal di bawah rezim Ekonomi Terpimpin mendapat tempat dalam periode transisi yang diawali oleh penghancuran PKI beserta ide-ide pembangunan ekonomi kerakyatan pada tahun 1965. Sejak awal 1950-an, para teknokrat telah mendorong integrasi ekonomi dengan pasar dunia tetapi juga tetap memberi ruang kepada negara dalam inisiatif-inisiatif pembangunan terutama dalam rangka pembentukan kelas-kelas kapitalis pribumi.
Akan tetapi, eksperimentasi melalui Program Benteng yang memberi keistimewaan lisensi impor bagi pengusaha pribumi serta Program Urgensi Perekonomian tahun 1951 yang mengutamakan penguatan kapasitas industri skala kecil terbukti gagal karena disalahgunakan oleh para politisi dan birokrat yang mengontrol alokasi lisensi dan kredit. Program ini hanya menghasilkan apa yang disebut sebagai “Ali Baba” karena pribumi penerima konsesi yang tak memiliki kapasitas sebagai importir hanya mampu menjual lisensi itu kepada pengusaha-pengusaha keturunan Tionghoa.
Perencanaan ekonomi yang memberi keutamaan pada sektor privat ini kandas pasca-Dekrit 1959. Sukarno menekankan peran sentral negara di bawah rezim Ekonomi Terpimpin demi “kepentingan nasional” dalam rangka menjalankan amanah Pasal 33 UUD 1945. Kebijakan ini menutup rapat upaya integrasi ekonomi dengan pasar dunia. Dengan narasi anti-imperialisme Baratnya, Sukarno juga terus mendorong nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing yang memberi ketakutan tidak hanya kepada teknokrat ekonomi propasar, tetapi juga perusahaan-perusahaan Amerika Serikat dan Inggris.
Berakhirnya Ekonomi Terpimpin membuka jalan bagi gagasan ekonomi propasar, tetapi bukan semata karena desakan dari para teknokrat Mafia Berkeley. Warisan hiperinflasi dan utang membuat Soeharto memerlukan bantuan modal asing untuk melakukan restrukturisasi ekonomi untuk memuluskan upaya konsolidasi kekuasaannya. Kelompok sosial yang paling dirugikan dalam periode transisi itu adalah kelas menengah, intelektual anti-komunis, dan aktor-aktor bisnis dalam negeri dan asing. Untuk mengonsolidasikan kekuasaannya, Soeharto bertumpu pada janji pemulihan ekonomi melalui perencanaan pembangunan dengan menekankan pada stabilitas sosial dan politik. Soeharto harus membuktikan janji itu di hadapan investor dan donor asing dengan menjamin iklim investasi yang kondusif serta menghentikan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing lebih lanjut serta tentu saja mengendalikan pemogokan-pemogokan buruh dan protes-protes massa.
Upaya itu dilakukan pertama-tama melalui pengetatan moneter dan fiskal di bawah arahan para teknokrat yang mengepalai kementerian-kementerian ekonomi strategis dan bekerja sama dengan penasihat-penasihat ekonomi Amerika Serikat. Mereka menyusun kebijakan-kebijakan ekonomi makro baru serta menyusun kerangka regulasi untuk membuka investasi asing. Pada tahun 1957 dan 1958, Soeharto kemudian membuat Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri.
Akan tetapi, musim semi bagi gagasan-gagasan ekonomi pro pasar tak berlangsung lama. Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari) tahun 1974 yang dipicu oleh aksi demonstrasi mahasiswa yang menolak kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, memastikan berakhirnya kebijakan-kebijakan ekonomi propasar. Peristiwa ini diawali oleh protes-protes kelompok populis nasionalis yang menolak investasi dan bantuan luar negeri dalam mengontrol inflasi dan karena itu mendesak perencanaan ekonomi di bawah komando negara, mengetatkan investasi asing serta meningkatkan kapasitas keunggulan kompetitif pengusaha-pengusaha pribumi agar dapat bersaing dengan investor asing.
Fase kedua: nasionalisme ekonomi dan menguatnya kapitalisme negara
Para teknokrat sebenarnya masih memberi ruang bagi negara sebagai regulator dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan perindustrian dan perdagangan sejak awal 1970-an yang lebih banyak memfasilitasi hubungan-hubungan patronase bisnis antara birokrat dan pengusaha telah mengecewakan para teknokrat dan membuat mereka mendesak lebih jauh agenda-agenda pasar bebas. Di sisi lain, kelompok-kelompok populis termasuk dari kalangan pengusaha pribumi muslim dan kelas menengah liberal terus melancarkan kritik atas longgarnya investasi asing yang menjadikan Indonesia sekadar antek perusahaan-perusahaan asing.
Namun demikian, alih-alih menjadi kepanjangan tangan asing atau berupaya membangun fondasi ekonomi liberal, hubungan-hubungan ekonomi dengan Barat yang dibangun oleh Soeharto sejak awal peralihan kekuasaan hanya menjadi bagian dari upaya meningkatkan pendapatan negara untuk mengonsolidasikan rezim otoriter dan kapitalisme negara secara lebih matang. Soeharto dapat lepas dari ketergantungan temporer investasi asing dan bantuan Bank Dunia terutama sejak meroketnya harga minyak dunia pada periode 1973-1974 dan periode 1979-1981. Dengan uang minyak, Soeharto dapat mengalokasikan pendanaan untuk proyek-proyek infrastruktur tanpa bergantung pada investasi asing serta dapat membiayai subsidi kebutuhan-kebutuhan dasar mulai dari beras, minyak goreng, hingga bahan bakar minyak dengan tujuan untuk mencegah lahirnya protes-protes massa seperti yang terjadi pada era sebelumnya. Ini jelas bukan bentuk kepedulian komunitarian seperti yang secara keliru diimajinasikan oleh Iqra.
Pada fase kedua ini, Soeharto hanya mengonsolidasikan lebih jauh nasionalisme ekonomi dan kapitalisme negara secara lebih efisien dan sentralistik yang fondasinya telah dibangun oleh Sukarno pada era Ekonomi Terpimpin. Kegiatan-kegiatan ekonomi terutama bertumpu pada pembiayaan sektor publik dengan memberikan porsi terbesar pengelolaannya kepada perusahaan-perusahaan negara yang dikuasai oleh militer. Militer semakin dapat mengonsolidasikan sektor-sektor bisnis utama tidak hanya di bidang migas melalui Pertamina dan pangan lewat Bulog tetapi juga perdagangan, kehutanan, impor, dan perbankan yang dihimpun ke dalam yayasan-yayasan seperti Yayasan Dharma Putra dan Yayasan Eka Paksi.
Bisnis militer yang makin terkonsolidasi ini menjadi sumber rente untuk akumulasi privat para perwira militer yang sekaligus dapat meneguhkan loyalitas mereka kepada Soeharto. Sebagaimana pada era Ekonomi Terpimpin, bisnis-bisnis militer ini dijalankan melalui kerja sama dengan pengusaha-pengusaha keturunan Tionghoa. Yayasan Eka Paksi bahkan dioperasikan oleh pengusaha Tionghoa berpengalaman seperti Bob Hasan.
Semakin terkonsolidasinya kapitalisme negara melalui bisnis-bisnis militer tidak hanya mengasingkan visi ekonomi kerakyatan yang populis dan radikal, tetapi juga secara efektif telah membuat gagasan-gagasan ekonomi liberal menjadi marjinal. Pengaruh para teknokrat ekonomi liberal juga sebenarnya terbatas hanya pada kebijakan moneter dan fiskal. Di samping itu, melimpahnya pendapatan negara yang bersumber dari minyak membuat Soeharto dengan mudah mengabaikan tidak hanya kritik dari para ekonom liberal, tetapi juga desakan-desakan Bank Dunia yang mendorong penghapusan kebijakan-kebijakan negara yang mendistorsi mekanisme pasar bebas seperti regulasi yang restriktif terhadap investasi asing, proteksi sektor-sektor industri berbiaya tinggi, subsidi pangan dan minyak, serta berbagai bentuk investasi negara dalam proyek-proyek infrastruktur dan sumber daya alam.
Tanpa bergantung pada investasi asing, Soeharto dapat leluasa menentukan kebijakan ekonomi negara yang menguntungkan keluarga dan kroni-kroninya terutama dari kalangan militer. Situasi ini sedikit berubah saat harga minyak dunia jatuh pada tahun 1982 yang sekaligus mengguncang konsolidasi kapitalisme negara.
Fase ketiga: lahirnya kelas kapitalis baru dan konsolidasi oligarki
Jatuhnya harga minyak dunia membuat Soeharto tak lagi dapat mengandalkan sektor migas untuk membiayai pembangunan, memonopoli sektor-sektor ekonomi penting, mempertahankan rezim perdagangan dan finansial yang protektif, serta yang paling krusial menopang patronase politik dengan militer. Situasi ini membuka kembali ruang bagi para teknokrat dalam memengaruhi secara terbatas kebijakan negara melalui dorongan restrukturisasi ekonomi. Namun yang paling signifikan adalah desakan dari Bank Dunia lewat paket reformasi penyesuaian struktural termasuk di antaranya melalui deregulasi dan privatisasi untuk membuka kembali jalan bagi mekanisme pasar bebas.
Dengan dihapuskannya monopoli negara di sektor-sektor ekonomi pokok seperti telekomunikasi dan penyiaran, energi, perbankan dan pembangunan infrastruktur, paket reformasi ini mengakhiri kejayaan kapitalisme negara pada era sebelumnya. Pengelolaannya kini wajib diserahkan kepada swasta.
Namun demikian, alih-alih membuka jalan bagi pasar bebas, penghapusan monopoli negara dan privatisasi sektor-sektor ekonomi kunci hanya mengubah mekanisme akumulasi rente yang predatoris yang semula mengandalkan perusahaan negara menjadi bertumpu pada sektor privat dalam aliansinya dengan birokrat. Privatisasi perbankan yang mendapat apresiasi dari para ekonom neoliberal, misalnya, justru menjadi instrumen baru bagi pengusaha untuk membiayai proyek-proyek bisnis mereka sendiri.
Sektor privat memang kemudian mendapat kesempatan lebih besar dalam mengelola kegiatan-kegiatan ekonomi penting, termasuk dalam pembangunan infrastruktur. Namun, lisensi dan konsesi bisnis, termasuk dalam sektor perbankan dan perdagangan, tetap ada dalam kendali birokrasi Orde Baru yang terpusat di tangan Soeharto. Negara tetap berkuasa dalam menentukan siapa yang bisa memperoleh kredit, lisensi, dan konsesi bisnis.
Akses dan kedekatan informal dengan Soeharto menentukan sejauh apa seseorang bisa memperoleh alokasi sumber daya ekonomi yang menguntungkan. Namun, Soeharto memberi keistimewaan kepada pebisnis keturunan Tionghoa selain kepada perusahaan anak-anaknya. Sejak era kolonial, pengusaha keturunan Tionghoa memiliki kapital dan kapasitas yang lebih baik dibandingkan pengusaha pribumi dan selalu menjadi partner bisnis militer sejak era Sukarno. Alasan yang lebih pokok mengapa Soeharto memberi keistimewaan kepada pebisnis keturunan Tionghoa berkaitan dengan sentimen rasial anti-Cina yang terus-menerus direproduksi sejak era kolonial. Dengan mempertahankan sentimen anti-Cina, Soeharto dapat memastikan loyalitas konglomerat Tionghoa yang semakin berkembang pesat kapitalnya. Sebaliknya, pengusaha-pengusaha keturunan Tionghoa akan terus bergantung tidak hanya pada akses atas konsesi-konsesi dan kredit usaha, tetapi juga proteksi politik dari Soeharto. Di sisi lain, Soeharto juga terus mengembangkan bisnis keluarganya yang dikuasai dan dikelola anak-anaknya.
Singkatnya, pada fase ketiga ini, hubungan kekuasaan yang predatoris tidak berubah dan yang paling diuntungkan tetap Soeharto beserta keluarga yang amat dicintainya. Tapi perubahan mekanisme akumulasi rente jelas berdampak pada konsolidasi kekuasaan politik Soeharto, yang semula mengandalkan loyalitas militer lewat monopoli berbagai sektor ekonomi menjadi bergantung pada aliansi dari faksi sosial lain, tidak hanya dari pengusaha keturunan Tionghoa yang dia besarkan tetapi juga kalangan muslim konservatif. Militer yang paling diuntungkan lewat bisnis minyak dan kapitalisme negara pada periode sebelumnya perlahan mulai tersingkir, tidak hanya secara ekonomi tetapi juga politik. Hal ini yang kemudian melahirkan kekecewaan dan protes dari kalangan petinggi tentara terutama yang diorkestrasi oleh Jenderal Benny Moerdani sejak pertengahan tahun 1980-an.
Namun, yang paling pokok, sebagaimana telah terjadi di tahun 1960-an, euforia keberhasilan reformasi pasar neoliberal berlangsung amat singkat. Dengan cepat, perubahan-perubahan teknokratik dari Bank Dunia dan para ekonom propasar diapropriasi oleh kepentingan-kepentingan predatoris. Praktik predatorisme tetap hegemonik. Meskipun Indonesia menjadi lebih terbuka dengan investasi asing, aliansi bisnis-politik-birokrat di dalam negeri tetap dominan dalam menentukan alokasi sumber daya ekonomi untuk akumulasi privat. Kapital asing juga tidak mendesak reformasi kelembagaan lebih jauh untuk mengatasi tatanan ekonomi-politik yang iliberal karena mereka juga sudah dapat diuntungkan dengan situasi yang ada. Hubungan-hubungan kekuasaan ekonomi-politik yang predatorial semacam ini yang disebut oleh Richard Robison dan Vedi Hadiz sebagai oligarki.
Penutup: Indonesia dalam Tatanan Kekacauan (State of Disorder)
Sebagaimana saya kemukakan, tulisan Iqra terlalu membesar-besarkan peran teknokrat ekonomi dalam menopang konsolidasi kekuasaan Orde Baru. Pada kenyataannya, para teknokrat tak pernah benar-benar dianggap penting oleh Soeharto. Kalaupun Orde Baru membuka sedikit ruang untuk restrukturisasi ekonomi, hal itu lebih didasarkan atas desakan situasi ekonomi yang memang tidak menguntungkan dan tekanan kekuatan ekonomi internasional. Akan tetapi, organisasi-organisasi ekonomi internasional dan kapital asing juga tidak selalu dapat mendiktekan mekanisme pasar liberal karena dominannya hubungan-hubungan kekuasaan yang predatoris. Dalam menghadapi keadaan ekonomi yang tidak menguntungkan, Soeharto tetap dapat mereorganisasi kekuasaan ekonomi politiknya; semula mengandalkan loyalitas militer dan kemudian mengandalkan kelas kapitalis keturunan Tionghoa yang baru tumbuh.
Namun, saat ekonomi Indonesia kembali terpuruk di akhir tahun 1990-an, Soeharto tak lagi dapat mempertahankan kekuasaannya. Perubahan ini patut dipahami dalam konteks berakhirnya Perang Dingin serta pecahnya aliansi politik Soeharto terutama dari faksi militer. Pasca-Perang Dingin, rezim politik yang otoritarian tak terlalu diperlukan untuk menjamin stabilitas politik dari ancaman komunisme. Bersamaan dengan itu, desakan-desakan liberalisme politik dan HAM mulai menguat dan mendapat dukungan besar-besaran dari kapital internasional yang lebih menghendaki rezim politik demokratis karena diyakini lebih kondusif bagi berlangsungnya mekanisme pasar bebas.
Jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 yang didahului oleh ketidakmampuan rezim otoriter dalam mengatasi krisis moneter kembali membuka jalan bagi desakan-desakan restrukturisasi untuk mendorong neoliberalisasi ekonomi serta reformasi kelembagaan yang menjamin kebebasan sipil dan HAM. Namun, seperti sebelumnya, reformasi teknokratik yang didesak oleh International Monetary Fund (IMF) dan organisasi-organisasi ekonomi internasional lainnya tidak dapat menyingkirkan kepentingan-kepentingan predatoris yang dominan. Aliansi oligarki dan kepentingan-kepentingan predatoris dapat mereorganisasi diri dalam lingkungan baru yang lebih demokratis. Para teknokrat ekonomi pro pasar tetap marjinal.
Tidak jauh berbeda dari era-era sebelumnya, mekanisme akumulasi kapital tetap mengandalkan instrumen-instrumen ekstra-ekonomi melalui hubungan-hubungan informal dengan birokrat dan politisi, manipulasi hukum dan regulasi, hingga mobilisasi kekerasan. Tak heran, sektor ekonomi yang dominan adalah yang bertumpu pada akses dan kontrol atas institusi publik, seperti industri ekstraktif dan proyek-proyek infrastruktur. Struktur ekonomi yang iliberal dan predatoris ini yang membuat kebebasan politik dan rule of law tidak terlalu diperlukan untuk menjamin akumulasi kekayaan dan kekuasaan.
Singkatnya, kapitalisme di Indonesia lebih ditopang oleh tatanan kekacauan (state of disorder) ketimbang oleh liberalisme ekonomi, politik, dan hukum; dan ini yang membuat gagasan-gagasan teknokratik propasar tidak pernah dominan, sementara reformasi kelembagaan untuk mengakselerasi liberalisme ekonomi, politik dan hukum selalu bisa dibelokkan dan diapropriasi oleh kepentingan-kepentingan predatoris.
Abdil Mughis Mudhoffir, Alexandre von Humboldt Research Fellow