Konsesi Tambang: Usaha Kekuasaan Menjinakkan Ormas Keagamaan

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Jokowi di acara Muslimat NU, 27 Januari 2019/setkab.go.id


PRESIDEN Joko Widodo meneken peraturan pemerintah yang memungkinkan organisasi kemasyarakatan keagamaan untuk memegang konsesi tambang pada 30 Mei lalu. Dia pernah menjanjikan hal serupa kepada generasi muda Nahdlatul Ulama (NU) pada 2021, dengan dalih untuk menggerakkan roda ekonomi secara inklusif dan adil. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia adalah figur utama yang mendorong agar ini terealisasi, yang akhirnya benar-benar terwujud melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024. Beberapa hari lalu Pengurus Besar NU (PBNU) resmi mendapatkan izin usaha tambang batu bara di Kalimantan Timur yang luasnya mencapai 26 ribu hektare

Pemberian konsesi tambang ini, sebagaimana kebijakan-kebijakan lainnya, sebaiknya tidak dilihat sebagai kebajikan moral dari negara. Sekalipun secara ideal merupakan usaha umat manusia untuk mewujudkan nilai-nilai yang luhur sebagaimana yang diteoretisasikan oleh Hobbes, Rousseau, hingga Hegel, namun pada praktiknya kekuasaan tidaklah selalu semulia itu. Pemberian konsesi ini mesti diletakkan pada konteks dinamika kekuasaan yang dilahirkan oleh interrelasi kompleks antara penguasa dengan kelompok-kelompok kepentingan yang sama-sama merupakan entitas politik dalam struktur kekuasaan. 

Dalam konteks ini, tidaklah keliru untuk mengatakan bahwa pemberian konsesi merupakan akomodasi dari pemerintah untuk “menjinakkan” ormas keagamaan, yang dipandang sebagai entitas politik cukup kuat. Ormas keagamaan sering kali cukup signifikan dalam dinamika sosial dan politik, yang merentang dari mulai mobilisasi massa, pembentukan opini publik, menentukan siapa kawan dan lawan, hingga memberikan dukungan kepada elite. Penjinakan merupakan usaha penguasa untuk meredam potensi kemunculan oposisi. 

Dengan melakukan penjinakan, penguasa dapat menyertakan ormas keagamaan yang menerima konsesi dalam relasi patron–klien yang sangat merusak.


Agama sebagai Instrumen Pembebasan

Dalam hubungannya dengan kekuasaan, agama tidak selalu tampil dalam wajah yang tunggal. Pada satu saat agama bisa menjadi alat untuk melegitimasi kekuasaan dan kelas penguasa, tapi pada saat lain bisa muncul sebagai instrumen pembebasan dari kelas-kelas yang tertindas. 

Fungsi agama sebagai alat legitimasi kekuasaan muncul misalnya dalam teori Louis Althusser, seorang pemikir marxisme struktural. Dia berargumen bahwa, sebagaimana pendidikan dan media, agama merupakan bagian dari aparatus ideologis yang memiliki fungsi melayani kepentingan kelas penguasa. Di samping itu ada fungsi pelayanan dengan cara kekerasan oleh aparatus represif.

Sementara wajah pembebasan dari agama tampak pada analisis yang dikemukakan oleh Antonio Gramsci, marxis asal Italia. Sekalipun analisis gramscian juga mengakui bahwa hegemoni bisa tegak dan bertahan melalui usaha-usaha ideologis yang disetujui oleh subjek kekuasaan, ia memandang bahwa agama memiliki potensi liberasi sebagai kontra-hegemoni (counter-hegemony). Dalam analisis ini, alih-alih digunakan untuk mempertahankan kekuasaan yang menindas, agama bisa dipakai sebagai alat perlawanan. Agama, dalam analisis gramscian, memiliki potensi untuk mengisi apa yang disebut sebagai war of position yang merupakan posisi perjuangan ideologis untuk melawan ketidakadilan struktural hingga secara terbuka menantang, menggeser, dan akhirnya menjungkirbalikkan hegemoni yang berkuasa. 

Namun, tentu saja, potensi dalam analisis gramscian ini hanya bisa muncul ketika pimpinan atau figur keagamaan memiliki kesadaran atas kemungkinan pembebasan yang dimiliki oleh agama tersebut.

Satu contoh penggunaan agama sebagai kontra-hegemoni adalah Ordo Jesuit di Amerika Latin. Ordo ini pertama kali didirikan sekitar abad ke-16. Awalnya sebagai bagian dari ortodoksi teologi Katolik, namun mengalami pergeseran revolusioner pada abad ke-20. 

Ordo Jesuit hadir di Amerika Latin berbarengan dengan praktik kolonialisme Portugis dan Spanyol di wilayah itu. Walaupun relasi dengan kolonialisme di masa silam cukup kompleks, namun peran utama dari Ordo Jesuit adalah mengkristenkan penduduk asli Amerika Latin dengan mendirikan sekolah-sekolah dan layanan gereja untuk kepentingan kolonial. Tidak heran jika beberapa sarjana menyebut aktivitas Jesuit di Amerika Latin sebagai “benign colonialism” atau ‘kolonialisme yang ramah’. Namun, setelah berabad-abad menyaksikan realitas masyarakat yang tertindas, muncul sebagian elemen dari Ordo Jesuit dengan kesadaran revolusioner. Mereka melihat bahwa kemiskinan dan keterbelakangan dari umatnya adalah akibat dari struktur ekonomi dan politik yang menindas. Karena itu kemiskinan struktural serta penindasan politik yang menimpa masyarakat Amerika Latin tidak cukup dihadapi melalui dakwah dan konversi agama, tetapi harus dibarengi dengan perubahan struktural. 

Ordo Jesuit kemudian sampai pada kesimpulan bahwa gereja harus berpihak pada kelompok tertindas alih-alih beraliansi atau menjadi kolaborator kekuasaan. Nantinya, narasi-narasi perlawanan ini dikenal sebagai Teologi Pembebasan.

Tak hanya Kristen, Islam juga memiliki doktrin-doktrin yang bisa menjadi landasan bagi teologi pembebasan: berfokus pada aspek-aspek keadilan sosial dan keberpihakan kepada kaum tertindas. Beberapa konsep seperti al ‘adl (keadilan), ketakwaan, serta redistribusi kekayaan (dalam bentuk amalan zakat) hingga jihad dapat dimaknai sebagai doktrin untuk membebaskan umat manusia dari ketidakadilan dan kezaliman struktural. 

Dalam teologi pembebasan Islam, beberapa pemikir seperti Asghar Ali Engineer dan Ali Shariati juga menantang perspektif doktrinal dari aspek-aspek keislaman yang cenderung diinterpretasikan secara apatis dalam menghadapi isu-isu seperti penindasan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Dalam bukunya Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam, Asghar Ali menyoroti bahwa nilai-nilai qur’aniyyah yang menjadi napas agama Islam sangat menjunjung tinggi kemuliaan manusia—maksudnya seluruh manusia, karenanya menentang segala bentuk relasi eksploitatif dan tirani. Dalam buku itu, yang banyak mengambil inspirasi dari tulisan-tulisan inisiator Teologi Pembebasan Gustavo Gutierrez, Asghar Ali menyatakan bahwa perjuangan menghadapi ketidakadilan sosial bukanlah sesuatu yang baru, namun sejak awal merupakan bagian integral yang menjadi napas dalam ajaran-ajaran Islam yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam. 

Bagi Asghar Ali, teoretisasi ulang Islam sebagai teologi pembebasan diperlukan karena masih banyak interpretasi konvensional pelayan dominasi status quo yang menindas, yang dengan sendirinya mengkhianati semangat revolusioner milik Rasulullah saat mendakwahkan Islam di realitas sosial yang jahiliah.

Lewat Islamology; The Theoretical Foundations, Ali Shariati, intelektual revolusioner Iran, juga memberikan sumbangsih yang cukup penting dalam teoretisasi Islam sebagai teologi pembebasan. Menurut Shariati, Islam memiliki peran dan fungsi ideologis—karenanya ia menggunakan terma “islamologi” dalam tulisannya. Menurutnya Islam adalah ideologi pembebasan yang memiliki fungsi melawan kuasa imperialisme, kolonialisme, atau kekuasaan menindas apa pun. Bisa dikatakan bahwa maqashidul syari’at dari Islam memiliki peran dan fungsi untuk mengikis dan melawan habis ketidakadilan dalam berbagai lini. 

Oleh karena itu pula Shariati memandang bahwa pemahaman yang benar akan membuat seorang muslim menempatkan keadilan sebagai pusat orientasi keislamannya. Seorang muslim yang baik, karenanya, akan menuntut usaha dan perubahan radikal untuk menumbangkan struktur penindas dan tidak adil sebab itu adalah tanggung jawab moral serta cita-cita syariat yang dibebankan kepadanya melalui risalah Islam.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Menelaah Fungsi Liberasi dari Ormas Keagamaan

Ormas keagamaan di Indonesia umumnya memiliki basis massa yang relatif besar, tradisi yang mengakar, lembaga dan tradisi pendidikan yang distingtif, serta daya tawar yang kuat. Hal ini sebenarnya membuat mereka memiliki potensi besar untuk menjalankan teologi pembebasan. Ormas keagamaan dapat menempatkan diri pada posisi strategis untuk melayani kepentingan umat, baik dalam perjuangan melawan penindasan secara umum maupun sebagai kontra-hegemoni dari struktur penindasan itu sendiri. Terlebih, realitas sosial yang kita hadapi saat ini memberikan landasan untuk peran liberatif itu: kekuasaan ekonomi dan politik yang menindas, tidak adil, dan diskriminatif. 

Sayangnya potensi atas peran dan fungsi liberatif itu gagal diemban, sering kali dirusak oleh visi dan ambisi politik pragmatis dan jangka pendek. Alih-alih menjadi alat perjuangan, ia justru melebur dengan struktur kekuasaan itu sendiri. 

Inilah yang kita saksikan dari keputusan PBNU yang menerima konsesi tambang dari pemerintah. Keputusan ini jelas berbanding terbalik dengan klaim mereka yang mencitrakan diri sebagai pembela kaum tertindas (mustad’afin) sebagaimana yang telah dijalani dengan hikmat oleh mendiang Gus Dur. Penerimaan atas konsesi tambang ini memberikan tanda pada kita bahwa kerentanan moralitas sudah menggerogoti tubuh NU. Sikap kompromistis terhadap kekuasaan ini telah menjadi sebuah sikap yang memalukan, dan menunjukkan bahwa fungsi teologi pembebasan tidak mendapatkan tempat sama sekali di tubuh PBNU. Yang ada hanyalah ketundukan.

Hal serupa kita temukan di Muhammadiyah, bahkan lebih memalukan lagi. Ketika wacana ini pertama kali muncul hingga disahkan dalam bentuk peraturan pemerintah, mereka awalnya mengambil sikap kritis bahkan cenderung oposisi—sebuah sikap yang mengundang puji dan kagum dari banyak orang. Namun tulisan Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir yang berjudul Pengaruh Ideologi Kiri LSM tampaknya menjadi preteks bagi rasionalisasi penerimaan konsesi. Sekalipun Nashir tidak terlalu fokus pada konsesi tambang, namun nuansa pragmatisme yang diadvokasi dan dibangun dalam tulisan tersebut tidak hanya ironis namun juga memalukan. Pelabelan LSM sebagai entitas yang terjangkiti apa yang ia sebut sebagai “ideologi radikal kiri” tampaknya berusaha untuk menyodorkan pandangan bahwa perlawanan dan usaha-usaha untuk melakukan perubahan struktural (yang karenanya pasti radikal) adalah sesuatu yang harus dijauhkan dari Muhammadiyah, atas alasan: “moderat dan menjadikan Islam sebagai pandangan hidup utama untuk menebar rahmatan lil ‘alamin…. Muhammadiyah yang memiliki kepribadian khusus dengan paham Islam moderat-berkemajuan.

Konklusi dari tulisan yang berisi miskonsepsi mengenai gagasan-gagasan radikal kiri (bahkan saya berani mengatakan tidak hanya miskonsepsi, namun disengaja, diskonsepsi: Nashir berusaha mengacak-acak pengertian tentang radikal kiri, dijabarkan dengan cara yang salah, asing, dan picik) tersebut seakan memberikan pandangan bahwa cita-cita perubahan, apalagi yang radikal, bertentangan dengan semangat moderasi dan kemajuan. Kesimpulan tersebut juga memberikan pandangan pada kita dalam memahami bagaimana Muhammadiyah (baca: Haedar Nashir) menginterpretasikan narasi rahmatan lil ‘alamin dengan penerimaan terhadap status quo dan ketundukan pada prinsip-prinsip pragmatis.

Baik PBNU dan PP Muhammadiyah tampaknya telah gagal memahami bahwa konsesi tambang adalah usaha penjinakan potensi transformatif–membebaskan dari agama yang mereka representasikan. PBNU dan PP Muhammadiyah, serta ormas-ormas keagamaan lain yang mungkin akan mengikuti jejak mereka, tampaknya telah menegasikan potensi agama sebagai penegak keadilan sosial. Alih-alih bersikap kritis dan mengambil posisi oposisi, mereka justru berkompromi dengan penguasa untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik jangka pendek yang pragmatis, tanpa ada kesadaran mengenai kelompok tertindas dan dampak merusak dari tambang. Eksploitasi alam, yang sebenarnya bukan narasi asing dalam tubuh NU dan Muhammadiyah, seakan dipinggirkan demi kepentingan uang. 

Mungkin ada benarnya pernyataan Noam Chomsky, salah satu intelektual paling penting di masa ini, yang berkata: “Ketika dihadapkan pada kepentingan ekonomi, maka permasalahan lingkungan akan selalu kalah.”


Bambang Putra Ermansyah, pegiat filsafat yang menjadikan tasawuf dan silat sebagai instrumen untuk melawan hasrat-hasrat animalistiknya. Kolumnis tetap Oiketai.com. Saat ini tengah menjalani studi magister Hubungan Internasional  di UNPAD sekaligus fast track program doktoral.

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.