Ilustrasi: Ilustruth
NASKAH ini menguliti kondisi struktural dan permainan kuasa yang menyebabkan gerakan sosial masyarakat Pegunungan Kendeng Utara, yang menghadapi berbagai ekspansi modal dari bisnis semen, justru mengalami perpecahan internal. Naskah ini berangkat dari pola pikir gramscian yang memahami kondisi struktural dan permainan kuasa yang bekerja dalam memuluskan ekspansi modal bisnis semen pada dasarnya adalah bentuk hegemoni. Kerangka hegemoni dalam memahami ekspansi pabrik semen tak hanya membantu menjelaskan aspek material saja, melainkan perangkat pengetahuan dan instrumen kekuasaan di baliknya juga (Mann, 2009).
Gerakan masyarakat Pegunungan Kendeng Utara terhadap pabrik semen bisa jadi dapat dibaca sebagai konter hegemoni atas ekspansi modal, tetapi kenyataannya, kuatnya belenggu membuat “pengetahuan alternatif atas dimensi materialitas atas alam dan penghidupan” itu sendiri belum mampu menerabas suprastruktur (Mann, 2009). Naskah ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan kunci, yakni belenggu seperti apakah yang menyebabkan konter hegemoni tak mampu menerabas suprastruktur penopang ekspansi modal bisnis semen di Pegunungan Kendeng Utara?
Bisnis Semen dengan Segala Perangkatnya
Pegunungan Kendeng Utara terbentang dari Kabupaten Grobogan, Pati, Rembang, dan Blora pada wilayah Jawa Tengah serta Kabupaten Tuban, Bojonegoro, dan Lamongan di Jawa Timur. Sejak tahun 1990-an, para pebisnis tertarik untuk membangun pabrik semen di sana.
Investasi yang cukup “membuat panas situasi” bermula dari kehadiran PT Semen Gresik di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, pada 2006. Ketika itu warga, dimotori oleh komunitas Samin, meresponsnya dengan membentuk Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) (Hadi et al., 2020). Perusahaan negara tersebut berhasil didepak, tetapi berusaha pindah ke Kecamatan Gunem, Kabupaten Rembang. Perusahaan lainnya, dari swasta, berupaya membangun pabrik di Kecamatan Kayen dan Tambakromo, Kabupaten Pati, tetapi mendapatkan perlawanan keras pula dari warga yang dimotori oleh JMPPK bersama jejaringnya (Hadi et al., 2020).
JMPPK berupaya mempertahankan kondisi ekologis Pegunungan Kendeng Utara sebagai “kawasan konservasi” untuk menunjang aktivitas pertanian dan kebutuhan sehari-hari, terutama demi ketersediaan air. Untuk itu mereka menjalankan berbagai strategi, mulai dari pengerahan massa, penggalangan dana, rapat umum, dialog kebudayaan, lobi politik, maju ke pengadilan, bahkan “memaksa” penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) setelah melakukan aksi memasukkan kaki ke dalam semen pada awal Agustus 2016 di depan Istana Negara (Hadi et al., 2020). JMPPK kemudian mendesak Gubernur Jateng untuk mengadopsi KLHS ke dalam rencana tata ruang wilayah dan mematuhi putusan Mahkamah Agung untuk mencabut izin lingkungan yang telah dikeluarkan (Hadi et al., 2020).
Gubernur saat itu, Ganjar Pranowo, di sisi lain memberikan kesempatan bagi perusahaan untuk memperbaiki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Areal pertambangan mereka juga dikurangi, dari 571 hektare menjadi 291 hektare. Gubernur kemudian mengeluarkan izin lingkungan baru pada 23 Februari 2017. Maka, faktanya, Pegunungan Kendeng Utara secara “perlahan” tetap digunakan untuk pertambangan (Hadi et al., 2020). Pabrik semen tetap hadir lewat “celah kebijakan” dalam berbagai lini.
Pemerintah Provinsi Jateng dan Pemerintah Kabupaten Pati lebih memilih mengikuti rencana tata ruang dari pusat, yang diklaim menetapkan kawasan karst Sukolilo sebagai “peruntukan pertambangan”, termasuk di dalamnya areal Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih (Hadi et al., 2019). Dengan tak merevisi rencana tata ruang nasional 2010-2030 dengan mengadopsi KLHS, pemerintah pusat sebenarnya sekadar memenuhi tuntutan JMPPK untuk “keperluan legitimasi kekuasaan,” padahal UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberi kemungkinan untuk revisi penataan ruang setiap lima tahun (Hadi et al., 2019). Saat diarahkan oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Pemkab Pati dan Rembang pun memilih menolak KLHS karena “ketakutan tak mampu mewujudkan” rekomendasi tersebut (Hadi et al., 2019).
Pemerintah di berbagai lini memiliki perbedaan pengetahuan dalam menyikapi KLHS (Purnaweni et al., 2019). Sebanyak 120 izin tambang baru yang tersebar di Rembang (87 izin), Grobogan (13 izin), Blora (11 izin), dan Pati (9 izin) justru muncul selama Januari 2017 sampai Maret 2018 (Prabawani et al., 2018).
JMPPK bersama jejaringnya belum mampu mendorong pemerintah di berbagai lini menghentikan ekspansi bisnis semen, meski mereka didukung oleh berbagai pihak eksternal seperti akademisi, sebagian kecil agamawan secara tertutup, maupun LSM mulai dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Menurut Prabawani et.al., (2018), keengganan pemerintah daerah untuk berpihak pada warga patut diduga muncul akibat penguasa lokal yang merasa sebagai ndoro, dan orang Samin layaknya “pihak yang dikesampingkan.” Perlindungan terhadap warga diabaikan sebab secara struktural, baik material maupun sosio-budaya, pemerintah memprioritaskan “melayani” mereka yang berkuasa dibandingkan rakyat yang seharusnya dilindungi.
Upaya Pemprov Jateng untuk memuluskan pabrik semen dalam tata ruang sendiri sudah muncul sebagai respons terhadap “kemenangan kecil” warga penolak pabrik Semen Gresik di Sukolilo pada tahun 2009 setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (Putri, 2017). Pada 2010, Pemprov Jateng mengubah pengaturan tata ruang Pegunungan Kendeng dengan mengatur bahwa areal seluas 5.000 hektare diperbolehkan untuk penambangan dan industri (Putri, 2017). Hal tersebut menjadi landasan Pemprov Jateng untuk bersikukuh membela penambangan, meskipun telah ada rekomendasi KLHS.
Perusahaan dan pemerintah sendiri, dalam identifikasi lingkungan saat pemberian izin, memiliki persoalan serius dalam hal “pengetahuan modern”. Misalnya, petugas lapangan dari perusahaan yang tak melihat konteks keruangan secara menyeluruh dan hanya datang ke lokasi “yang mudah dijangkau dari keramaian.” Petugas juga hanya menemui para elite seperti kepala desa dan tokoh masyarakat, sehingga mereka selalu “menyampaikan manfaat dari masuknya pabrik” (Ardianto, 2019).
Para akademisi yang terlibat dalam penyusunan Amdal PT SI di Rembang pun salah dalam memuat kondisi ekologis Pegunungan Kendeng (Ardianto, 2019). Kesalahan itu adalah hanya menyebutkan terdapat sembilan gua dan 40 mata air tanpa mengidentifikasi jumlah ponor (lubang di tanah yang memiliki aliran). Warga desa bersama dengan Semarang Caver Association dan Acintyaçûnyatâ Speleological Club menemukan 64 gua dan 125 mata air, sedangkan gua dan mata air yang diidentifikasi oleh perusahaan justru berada di luar area yang akan dijadikan kawasan pertambangan–seluas 540 hektare. Warga juga menemukan 44 ponor, di mana 22 ponor berada di lokasi yang akan dijadikan area pertambangan (Ardianto, 2019).
Semua ini menunjukkan bahwa sejak awal, pengetahuan modern telah menjadi alat manipulasi perusahaan, meskipun berhasil dikonter oleh warga dengan jejaringnya dan izin dibatalkan dalam persidangan.
Upaya untuk membangun “mobilisasi pengetahuan” dalam mendukung tambang dilakukan pula oleh PT SI dan PT SMS dengan mengajak warga dan pejabat daerah untuk studi banding ke pabrik yang dikelola perusahaan di wilayah lain (Ardianto, 2019). PT SI mengajak warga dan pejabat Kabupaten Rembang untuk datang ke pabrik di Tuban, sedangkan PT SMS mengajak warga dan pejabat Kabupaten Pati ke pabriknya di Bogor. Warga dan pejabat yang diajak studi banding hanya ditunjukkan “sisi keberhasilan” dari keberadaan pabrik semen dan ditunjukkan “manfaat” bagi warga sekitarnya terutama bagi usaha kecil dan menengah yang dibina perusahaan (Ardianto, 2019). Kunjungan ke Tuban tentu saja tak akan dipertemukan dengan Aliansi Pemuda Pengangguran Ring 1 (APPR1) yang berulang kali berdemonstrasi memprotes dampak ekonomi dari keberadaan pabrik semen.
KLHS yang muncul dengan desakan dari warga penolak pabrik semen tentu tak dijangkau oleh kalangan masyarakat lain yang sudah menjadi bagian dari belenggu bisnis tambang. KLHS sendiri sebenarnya menjadi konter hegemoni sebab menegaskan bahwa CAT Watuputih pada dasarnya telah ditetapkan sebagai kawasan lindung dan kawasan lindung geologi. KLHS juga telah merekomendasikan revisi rencana tata ruang dari level nasional sampai kabupaten, serta memberikan alternatif lokasi di luar CAT Watuputih. Perubahan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Rembang sendiri seharusnya dilakukan untuk pemindahan lokasi izin tambang di luar CAT Watuputih (Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017).
KLHS tak mendapat perhatian kuat dari masyarakat yang sudah terkooptasi bisa jadi karena aksi untuk menuntut kajian independen dilakukan tanpa koordinasi matang. Hal tersebut diakui oleh kader YLBHI yang secara tiba-tiba ditelepon oleh salah satu tokoh Samin sekaligus penggerak utama JMPPK, Gunretno, saat berlangsung Aksi Cor Kaki Jilid 1 (Isnur, 2017). Cara tersebut persis seperti yang dilakukan dalam Aksi Cor Kaki Jilid 1, Aksi Pukul Lesung Depan Istana 1 dan 2, serta demonstrasi lain yang tak dikoordinasikan dengan jejaring LSM apalagi media massa. JMPPK tampaknya sejak awal “memilih bergerak sendiri” dan tak ingin terlalu bergantung pada jejaring LSM pendampingnya (Isnur, 2017).
Aksi-aksi “sporadis” mungkin saja sempat memancing perhatian Presiden Joko Widodo, tetapi bukan berarti mampu memastikan arah kebijakan pusat, apalagi lini pemerintahan di daerah dan masyarakat yang sudah terkooptasi (Isnur, 2017). PT SI kenyataannya tetap bisa mengebom kawasan CAT Watuputih setelah KLHS keluar. Tentunya arah kebijakan presiden sendiri patut dipertanyakan, juga perusahaan negara yang tetap menambang di area yang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung (Isnur, 2017).
Warga penolak semen pada dasarnya hanya memanfaatkan kanal media sosial untuk mengangkat persoalan yang dihadapi. Mereka membuat tagar seperti #savekendeng, #omahkendeng, #rembangmelawan, dan sebagainya untuk memengaruhi opini publik (Puryanto & Suyahmo, 2019). Strategi melalui media sosial mengikuti “ledakan konflik” maupun “kegiatan secara insidental” tentu kurang bisa menembus warga yang sudah terkooptasi apalagi masyarakat lain di luar wilayah yang akan dijadikan tapak pabrik dan tambang, meskipun pada 2015 JMPPK juga pernah berdemonstrasi di salah satu kampus besar di Yogyakarta karena menganggap kesaksian dua pengajar dalam persidangan “berpihak pada korporasi” (Syatori, 2015).
Kesaksian akademisi dijadikan “stempel oleh perusahaan” sebab dosen salah satu kampus ternama yang menjadi narasumber sendiri mengaku belum membaca Amdal. Akademisi tersebut mengakui bahwa peran narasumber Amdal semestinya sebatas moderator antara tim penyusun dengan pihak lain, bukan memberikan kesaksian ahli atas perizinan bagi operasional tambang (Batubara, 2015). Celakanya, media massa arus utama membentuk framing bahwa HH adalah pakar hidrologi dan EH merupakan pakar karst sehingga menunjukkan bahwa “kepakaran mereka sudah cukup” untuk memastikan operasional tambang dapat dilakukan (Batubara, 2015). Media massa arus utama, yang memiliki jangkauan pembaca luas dibandingkan media sosial, membuat upaya memengaruhi dukungan kuat untuk mencegah masuknya tambang menghadapi tantangan luar biasa.
Perusahaan bahkan berhasil menggunakan wacana keagamaan untuk memobilisasi dukungan terhadap keberadaan pabrik, termasuk dengan mengooptasi pemuka yang tadinya menolak keberadaan tambang. Cak Nun, misalnya, menolak keberadaan PT Semen Gresik, tetapi bersikap lain saat PT Indocement berupaya berinvestasi di wilayah lain (Faizi et al., 2022). Cak Nun, bersama tokoh agama yang terkenal anti-semen, Habib Sholeh Anis Ba’asyin (Bib Anis), awalnya melawan keberadaan PT Semen Gresik dengan menganggap bahwa menjaga alam sesuai Islam lebih penting daripada penambangan.
Kooptasi terhadap Cak Nun bermula ketika wakil presiden PT Indocement mendatangi rumahnya. Komunikasi berlanjut pada acara solidaritas penanganan banjir Pati tahun 2011 bersama berbagai pihak lain, termasuk Gunretno (yang dihadirkan dengan “dipaksa”). Acara tersebut berujung pada upaya untuk “mempermalukan” Gunretno (Faizi et al., 2022). Gunretno “dipermalukan” akibat, berbeda dengan bos Indocement, tak bisa menyumbang uang. Dalam acara itu Gunretno juga saling sanggah dengan Cak Nun mengenai dampak pabrik semen, berawal dari pernyataan Cak Nun bahwa “karst dapat tumbuh lagi secara alamiah.” Penonton bersorak mendukung Gunretno, tetapi dibalas oleh orang-orang pro-semen yang dibawa pebisnis dengan empat truk dan satu bus (Faizi et al., 2022).
Kala hadir di Rembang, perusahaan seperti PT SI juga mengooptasi pengetahuan budaya untuk memobilisasi dukungan. Contohnya dengan menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit pada 15 Februari 2013 di alun-alun desa–yang menjadi tapak pabrik. Kooptasi tersebut berupaya dilakukan untuk memastikan adanya “keselarasan kepentingan perusahaan dengan budaya setempat.” Perusahaan juga membagikan 4.000 paket sembako dan berkontribusi dalam pembangunan kantor desa (Rokhmad, 2020). Warga pun ada “yang tersihir” dengan cara perusahaan dan percaya bahwa kehadiran pabrik mampu menyerap ribuan pekerja dibandingkan harus hidup menjadi petani di desa dengan lahan berbatu. Hanya elite desa yang diberi tahu mengenai kehadiran investasi “secara utuh.” Perusahaan tak menjelaskan dampak sosio-ekologis dari pabrik kepada warga terdampak (Rokhmad, 2020).
Kalangan agamawan terus dikerahkan untuk mendukung investasi semen. K.H. Maimun Zubair (Mbah Mun) bahkan dihadirkan oleh PT SI untuk memimpin doa pembukaan pabrik dan dibayangkan kehadirannya akan “mendatangkan keberkahan” (Rokhmad, 2020). Mbah Mun secara jelas mendukung keberadaan pabrik semen dan menjadi acuan bagi pemerintah daerah bersama korporasi untuk memuluskan operasional tambang, apalagi dia adalah politisi senior dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki jejaring di parlemen lokal dan pemerintah daerah. Mbah Mun bahkan yang menentukan hari peletakan batu pertama pembangunan pabrik (Rokhmad, 2020).
K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) dan K.H. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya), di sisi lain, punya pandangan berbeda. Menurut mereka penambangan batu kapur di Rembang harus dikaji terlebih dahulu. Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), PCNU Lasem, dan jejaring Nahdlatul Ulama lainnya memilih berjejaring dengan JMPPK untuk menyelenggarakan halaqah sebagai narasi tandingan terhadap keberadaan pabrik semen (Rokhmad, 2020). Aloys Budi Poernomo dari Keuskupan Semarang juga ikut berpihak kepada warga yang menolak penambangan batu kapur (Rokhmad, 2020).
PT Indocement, yang memiliki afiliasi dengan Heidelberg Cement di Jerman, juga memakai program corporate social responsibility (CSR) untuk memobilisasi dukungan. CSR, misalnya, digelontorkan di Kecamatan Tambakromo dan Kayen, Pati, bahkan sebelum pabrik resmi beroperasi (Novianto et al., 2021). Pihak Indocement mengklaim bahwa CSR itu bukan untuk “menaklukkan penolakan tambang,” melainkan bentuk “pemberdayaan masyarakat.” Pemilihan desa di Kayen dan Tambakromo diklaim sebab memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata (Novianto et al., 2021).
Tim CSR PT Indocement kemudian memilih memasukkan programnya “secara diam-diam” dengan kerasnya perlawanan terhadap tambang. Tim CSR Indocement, misalnya, memilih mengundang warga yang dijadikan “objek programnya” di luar wilayah Kayen dan Tambakromo ataupun bersiasat dengan tak menyampaikan identitas diri penerima manfaat. Warga yang diundang kenyataannya kemudian menjadi “kaki tangan perusahaan” di bawah arahan “preman” untuk merekrut warga Tambakromo dan Kayen. Mereka yang dikader dijadikan simpatisan pendukung pabrik semen (Novianto et al., 2021).
CSR bahkan digunakan Indocement untuk menggaet salah satu kepala desa dengan menyediakan kambing kurban. Pengajian akbar bahkan diselenggarakan dengan sokongan CSR seperti pada 20 Desember 2015 di Desa Kertajaya, Tambakromo, di mana doa-doa yang disampaikan elite agamawan mengarah pada dukungan terhadap pabrik semen (Novianto et al., 2021). Penerima CSR Indocement sendiri kebingungan dengan berbagai program yang tak jelas arahnya, sebab tim CSR sendiri hanya datang untuk memfoto dan bersantai-santai. Penerima CSR sudah telanjur dimusuhi oleh sebagian besar warga lain yang anti terhadap operasional tambang, sehingga harus menanggung sendiri kegagalan dari program CSR. Perusahaan, di sisi lain, diuntungkan dengan klaim “tanggung jawab sosial” dengan hanya memfoto upaya bertahan hidup dari penerima program (Novianto et al., 2021).
Tak hanya CSR, perusahaan juga menggunakan praktik good mining practices (GMP) yang sebelumnya diatur dalam UU 4/2009 tentang Minerba untuk mengklaim bahwa investasi mereka di Pegunungan Kendeng Utara “tak akan berdampak buruk.” Berbagai penghargaan dari GMP–seperti PT SI yang tercatat mendapatkan “Proper Emas” pada tahun 2012 dan 2013 serta “Green Industry” pada 2012 dan 2013, maupun “Indonesian Green Award” tahun 2013–menjadi alat kampanye mereka kepada pemerintah dan warga untuk memuluskan investasi (Ardianto, 2016). Penghargaan-penghargaan tersebut dipakai untuk mengklaim bahwa PT SI adalah “industri ramah lingkungan.”
PT SI juga mengklaim bahwa “dengan berbagai pengalamannya dalam investasi serta dukungan para ahli” akan membuat operasional tambang dan pabrik tak memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. PT SI mengklaim bahwa dengan “perencanaan jitu dan teknologi akan merekayasa alam tanpa merusaknya.” Penambangan diklaim akan menggunakan sistem blok, di mana blok yang selesai ditambang akan diubah menjadi “area perhutanan dasar yang luas sebelum ada penanaman kembali” (Ardianto, 2016).
Film Samin vs Semen dari Watchdoc yang menggambarkan resistensi masyarakat terhadap tambang direspons pula oleh perusahaan dengan memunculkan film berjudul Sikep Samin Semen untuk menunjukkan bahwa komunitas Samin tidak anti dengan investasi dari PT SI. Komunitas Samin yang dimobilisasi untuk terlibat dalam film tersebut bahkan berasal dari Kudus, Pati, Blora, dan Bojonegoro (Ardianto, 2016). Film tersebut ingin mengukuhkan bahwa penolakan komunitas Samin terhadap investasi semen seolah-olah tak terjadi. PT SI di Rembang juga patut diduga menggerakkan LSM Semut Abang, Balas, Aliansi Tajam, Komras, Hitam Putih, dan LP3. Setiap kali ada persidangan sebelum munculnya KLHS, demonstrasi tandingan untuk mendukung investasi semen selalu muncul (Ardianto, 2016).
Kelompok penolak penambangan semen di Pati mungkin mendapatkan “kemenangan kecil” pada Pilkada 2017. Kondisi tersebut dimulai dengan adanya politisi yang berjanji menolak rencana pembangunan pabrik semen dalam Pilkada Pati 2011. Politisi yang dimaksud adalah pasangan Haryanto dan Budiono. Haryanto-Budiono melakukan kontrak politik dengan warga penolak semen dan berhasil mendapatkan suara banyak pada wilayah anti-tambang. Kenyataannya, setelah menang, Haryanto-Budiono tetap memberikan izin pembangunan pabrik PT SMS. Kemarahan warga penolak pabrik semen pun sempat menggelora (Novianto & Wulansari, 2023). Ketika mencalonkan diri kembali sebagai calon tunggal dalam Pilkada 2017, Haryanto kalah dengan kotak kosong di desa-desa yang anti-pabrik semen. Warga penolak pabrik semen sengaja memobilisasi dukungan untuk memberikan “penghukuman” terhadap Haryanto (Novianto & Wulansari, 2023).
Warga bergerak secara individual sebab tak ada satu pun gerakan penolak semen seperti JMPPK yang melakukan mobilisasi untuk memilih kotak kosong. Gerakan secara terorganisir tak digunakan demi memastikan wadah penolakan pabrik semen tak dibawa ke ranah politik elektoral. JMPPK juga menghindari interaksi dengan pengusaha yang sarat kepentingan. Haryanto mungkin saja menang dalam Pilkada Pati 2017 dengan ditopang permainan politik uang dengan sokongan broker, juga jaringan patron-klien, termasuk di dalamnya elite agamawan, tetapi dengan jumlah golput di angka 30% dan keterpilihan kotak kosong mencapai 12% (Novianto & Wulansari, 2023).
Bisnis semen bisa datang ke tingkat tapak, ditambah pula dengan adanya praktik intimidasi dalam penjualan tanah dan spekulasi secara predatoris. Perangkat desa sering kali mengancam petani untuk melepaskan lahannya dan kelompok anti-semen sering kali merespons dengan memarahi perangkat desa, sehingga intimidasi kepada warga justru bertambah parah. Kelompok anti-semen sering dituduh oleh aparat desa sebagai “penyebab konflik.” Para spekulan tanah bahkan hadir dengan membawa nama presiden dan negara dengan mengklaimnya “atas nama pembangunan” untuk membujuk warga menjual lahannya (Putri, 2017). Perusahaan, di sisi lain, mengklaim bahwa para spekulan di luar kendali mereka sebab praktik spekulasi menyulitkan pembebasan lahan.
Sampai sini kita melihat apa yang terjadi dalam ekspansi bisnis semen dengan segala perangkatnya dapat “mencengkeram” berbagai bentuk perlawanan, meskipun telah muncul KLHS. Konter pengetahuan yang dilakukan oleh JMPPK dan jejaring akademisi bersama LSM belum mampu setidaknya mengimbangi apalagi menerabas basis dan suprastruktur yang menopang investasi semen (Mann, 2009). Belenggu yang ada yang terwujud dari penggunaan “kepakaran”, framing media massa, mobilisasi elite desa sampai elite agamawan, penggelontoran CSR bersama taktik lainnya, menjadi cara efektif untuk mempertahankan “dukungan atas pabrik sekaligus memecah perlawanan.”
Investasi semen yang berusaha masuk mungkin saja telah menjadi “medan dialektika”, di mana JMPPK bersama jejaringnya berupaya menghadirkan “pengetahuan yang emansipatoris” tetapi tanpa diimbangi dengan basis material yang kuat seperti organisasi lain yang lebih terorganisir dalam menyampaikan agenda dan terkoneksi dengan media massa mainstream. Ini membuat sulit untuk mampu menerabas struktur (Mann, 2009). Pengetahuan yang dibangun melalui “bentuk perlawanan” dari JMPPK sepertinya belum menjadi “pemahaman bersama” bahkan di tengah masyarakat Pegunungan Kendeng Utara yang telah terkooptasi.
Apa yang terjadi di Pegunungan Kendeng Utara melekatkan bahwa negara (“n” kecil sebagai instrumen kekuasaan) pada dasarnya melekat pada “masyarakat politik” sebagai arena di mana berbagai kelas berebut untuk mendapatkan kontrol atas otoritas dengan kuasa “pemaksanya.” “Masyarakat sipil” juga melekat di dalamnya sebagai ruang sosial di mana berbagai kelas berupaya mendapatkan dukungan atas pengetahuan yang menopang kepentingan mereka (D’Alisa & Kallis, 2016). Apa yang terjadi pada “masyarakat sipil” yang dikooptasi dalam kasus Pegunungan Kendeng Utara menunjukkan bahwa “warga” pada dasarnya adalah sasaran dari mobilisasi pengetahuan untuk menopang hegemoni. Mereka yang telah terkooptasi pada dasarnya menjadi “tangan-tangan negara” di level akar rumput untuk meneguhkan kepentingan investasi semen dengan pengetahuan-pengetahuan yang telah “diembuskan dari atas” (D’Alisa & Kallis, 2016).
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Sudah Dijajah, Semakin Melemah
Berbagai siasat yang dilakukan oleh perusahaan semen, pemerintah daerah, maupun pihak lain pada dasarnya semakin memperlemah posisi warga. Warga yang pro terhadap keberadaan pabrik semen pada dasarnya adalah mereka yang sudah menjual lahan yang luas dengan harga murah sebab “termakan janji kesejahteraan” dari tambang (Rini & Maratussholihah, 2018). Pihak pro-pabrik semen juga melakukan lobi dan membangun jejaring dengan berbagai pihak termasuk mendirikan “pos-pos bagi mereka dalam berkumpul.” Masyarakat Sukolilo Pati pun, pasca perginya PT SI yang tak berhasil menancapkan investasi sebab ada putusan pengadilan, membutuhkan waktu lama untuk “meredam ketegangan di antara warganya.”
Komunitas Samin sendiri, dalam perlawanan terhadap keberadaan pabrik semen yang dimulai dari Pati pun, memiliki sikap yang berbeda. Tak semua anggota komunitas ingin melawan. Ada bagian kelompok Samin di Pati yang memilih untuk tak memihak pihak mana pun, asalkan bisnis tak mengancam keberadaan mereka (Putri, 2017). Dukungan terhadap aksi yang dilakukan Gunarti dan Gunretno di Sukolilo, Pati, memang mendapatkan simpati dari komunitas Samin di Kudus maupun berhasil menggerakkan masyarakat di Rembang sampai membentuk JMPPK.
Komunitas Samin lainnya di Klopoduwur, Blora, maupun Bojonegoro bahkan di Pati sendiri tak sepakat dengan cara yang dilakukan oleh JMPPK, yaitu dengan membawa identitas saminisme. Mereka yang tak setuju menganggap bahwa cara yang digunakan tak mencerminkan ajaran Samin Surosentiko; sebab perlawanan tak dilakukan secara pasif dan terselubung (Putri, 2017). Mereka yang menolak cara JMPPK mengklaim tak ingin terlibat dalam persoalan apa pun yang tak ada kaitannya dengan “ajaran komunitas Samin.” Mereka melihat bahwa JMPPK tak mencerminkan ajaran saminisme lainnya pula, yang menganggap lebih mengutamakan mengolah lahan dibandingkan melakukan aksi protes jarak jauh maupun ikut mengadvokasi warga di daerah lain. Itu semua dianggap “mencampuri urusan orang lain” (Putri, 2017).
Gunretno sendiri menjadi “tokoh sentral” dalam JMPPK yang terhubung dengan para akademisi dan LSM level lokal dan nasional. Kalangan akademisi sendiri terlibat dalam penolakan tambang, karena risau dengan Amdal yang dipandang “cacat” (Syam, 2016). Warga lainnya pada dasarnya “hanya menunggu” kajian tandingan atas perizinan yang bermasalah dan tentu saja kalangan akademisi dan jejaring LSM-lah yang bisa mengerjakannya, termasuk dalam proses di pengadilan. Beberapa petani penolak tambang yang tadinya terlibat dalam JMPPK sendiri memilih keluar sebab peran Gunretno dipandang terlalu “dominan” dalam memutuskan strategi (Syam, 2016).
Mereka yang keluar dari JMPPK membentuk Lingkar Kendeng Sejahtera (Likra) dengan membangun aliansi sendiri dengan nama Aliansi Ahli Waris Pegunungan Kendeng. Aliansi tersebut menggunakan cara yang lebih “keras” dibandingkan JMPPK, seperti memblokade jalan Pantura Pati-Kudus saat arus balik Lebaran pada 23 Juli 2015 (Syam, 2016). JMPPK tetap berpegang pada cara yang lebih soft dengan tetap bergantung pada peran akademisi dan LSM “yang dianggap lebih paham” dalam berjuang melalui jalur formal.
Perpecahan tersebut tentunya menambah persoalan sendiri di dalam gerakan warga, sementara strategi sepenuhnya bergantung pada peran akademisi dan LSM kenyataannya juga tak mampu menerabas struktur ekonomi politik yang memihak ekspansi bisnis semen (Syam, 2016).
Alasan orang Samin yang memilih mendukung investasi semen adalah adanya bantuan dari perusahaan. Awalnya mereka memilih “bersikap diam” ketika muncul penolakan dari Mbah Tarno, seorang sepuh orang Samin di Sukolilo, Pati, terhadap investasi semen (Novianto, 2018). Wafatnya Mbah Tarno secara otomatis membuat kooptasi terhadap orang Samin menjadi semakin kentara, terutama sejak masuknya PT SMS pada 2011 di Kayen dan Tambakromo, Pati. Orang Samin yang terlibat dalam gerakan penolakan semen bahkan diklaim tak mencapai 5 persen dari jumlah orang yang terlibat dalam menghadapi masuknya investasi (Novianto, 2018). Gerakan yang dikemas dengan identitas saminisme bukannya atas nama masyarakat Pegunungan Kendeng Utara justru memperkeruh perpecahan internal warga.
Kajian Novianto (2018) bahkan menunjukkan bahwa beberapa orang di dalam JMPPK menilai koordinator merekalah yang “menikmati hasil dari gerakan.” Mereka menilai bahwa koordinator JMPPK menjadi tenar dan diundang ke berbagai tempat serta menjadi rujukan bagi para peneliti dan wartawan. Koordinator JMPPK bahkan menurut kajian Novianto (2018) mendapatkan hibah program tanaman obat tradisional pada 2011 dari perusahaan jamu ternama dengan nilai Rp150 juta (Novianto, 2018). Koordinator JMPPK bahkan sempat mendapatkan mosi tidak percaya yang ditandatangani 27 anggota. Hibah dari perusahaan jamu akhirnya digunakan sebagai pinjaman secara bergilir bagi anggota JMPPK. Akibat penerima pinjaman yang sedikit, akhirnya dana yang ada digunakan untuk membeli lahan di Sukolilo seluas 1/3 hektare, digunakan bersama-sama untuk bertani dan pendanaan gerakan (Novianto, 2018).
Perseteruan internal di JMPPK sempat menguat. Mereka yang kontra dengan koordinator JMPPK akhirnya dikeluarkan dan membentuk Likra–seperti yang sebelumnya sudah disinggung. Beberapa orang dari Likra, menurut kajian, ternyata terbukti menerima CSR dari Indocement sehingga dikeluarkan dari organisasi. Likra terakhir beralih nama menjadi Aliansi Rakyat Kendeng Berdaulat (Novianto, 2018). Hadirnya film Sikep Samin Semen yang ditopang oleh perusahaan menjadi alat bagi mereka yang telah dikooptasi untuk menyatakan di berbagai tempat, termasuk di luar wilayah Pegunungan Kendeng Utara, bahwa pihak yang melawan investasi semen hanya memanfaatkan identitas orang Samin. Mereka mengklaim bahwa tak mungkin orang Samin melakukan perlawanan secara terbuka dan aktif, sehingga pihak yang melawan pabrik semen dianggap hanya melakukan kampanye untuk menguntungkan LSM dalam mendapatkan donor internasional (Novianto, 2018).
Gerakan sosial di Pegunungan Kendeng Utara sebagai “masyarakat sipil” artinya pula menjadi medan mobilisasi berbagai pengetahuan, tak hanya dari suprastruktur melainkan juga pihak “yang mengklaim memihak warga” sebatas untuk menjadi bagian dari struktur yang hegemonik (Kalt, 2024). Saling silang mobilisasi pengetahuan artinya tak hanya secara vertikal dan timbal balik, tetapi juga berebut dukungan atas agenda mana yang akan “dimenangkan” di antara sesama warga yang juga “saling berebut keuntungan” dari suprastruktur sendiri.
Kelompok warga yang “di bawah” tak hanya menjadi “objek embusan pengetahuan hegemonik” dari suprastruktur, melainkan secara aktif juga “menangkap kepentingan di atas” dan “mengolahnya menjadi pengetahuan yang sesuai dengan kepentingan material mereka.” Perang posisi yang coba dilakukan oleh JMPPK bersama jejaringnya belum mampu meresapkan pengetahuan alternatif di dalam “masyarakat sipil” apalagi menerabas suprastruktur (Kalt, 2024). Revolusi pasif yang dibayangkan sebagai perubahan formasi sosial dengan adanya “penerabasan” melalui aliansi warga dari “bawah ke atas” belum terjadi.
Kesimpulan
Gerakan warga Pegunungan Kendeng Utara yang bermula dari JMPPK di Pati masih menghadapi belenggu luar biasa untuk dapat menggagalkan ekspansi pabrik semen, sebab perusahaan dengan pemerintah berhasil mengoneksikan warga lainnya untuk mendukung investasi. “Warga” pada dasarnya menjadi medan yang saling diperebutkan dalam pertarungan pengetahuan dan kepentingan material untuk memuluskan masuknya investasi semen.
JMPPK sendiri tak mampu secara efektif “merangkul” seluruh komunitas Samin di Pegunungan Kendeng Utara, yang berujung pada pertentangan mengenai siapa yang “berhak” menggunakan identitas saminisme. Jejaring mereka dengan kalangan akademisi dan LSM belum mampu menembus kelompok warga lain dan dalam kondisi tertentu menjadi bergantung pada pihak luar dengan “menyerahkan pada proses teknokratis pula” tanpa diikuti dengan pendidikan publik secara masif.
JMPPK apalagi memiliki “aksi-aksi yang dilakukan secara sporadis,” sehingga pendampingnya sendiri harus perlahan mengikuti ritme mereka. Cara yang sporadis itu pulalah yang membuat warga lain yang sudah terkooptasi tak diberikan konter pengetahuan tandingan dan justru “dimusuhi”, begitu pula dengan anggota JMPPK sendiri yang terkooptasi akan langsung dieksklusi. Alih-alih menuju proses transformasi, rekomendasi yang ada di dalam KLHS yang dibayangkan mampu menata ulang konfigurasi sosial dan alam tak berjalan sebab “gerakan sendiri lemah dan diperlemah” serta digerogoti dari berbagai sisi. Perusahaan semen di sisi lain sebagai bagian dari struktur hegemonik dapat berjalan mulus dengan sokongan kuat.
Daftar Pustaka
Ardianto, H. T. (2016). Mitos Tambang untuk Kesejahteraan: Pertarungan Wacana Kesejahteraan dalam Kebijakan Pertambangan. PolGov.
Ardianto, H. T. (2019). Kritik Pembangunan Desa Dari Luar: Desa Dan Proyek Pertambangan Skala Besar. Jurnal Politik Profetik, 7(1), 36–58.
Batubara, B. (2015). Instrumen Kekuasaan dalam Kasus Rembang . In Dwicipta & H. T. Ardianto (Eds.), #Rembang Melawan Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng (pp. 92–108). Literasi Press bekerjasama dengan Ladang Kata.
D’Alisa, G., & Kallis, G. (2016). A political ecology of maladaptation: Insights from a Gramscian theory of the State. Global Environmental Change, 38, 230–242.
Faizi, F., Lukito, R., & Fauzan, A. U. (2022). The Champion Of The Grassroots Revisited: An Episode of Emha Ainun Najib’s Stage Performance and Environmental Activism against Cement-Mining Corporations in Northern Kendeng of Pati, Indonesia. Episteme: Jurnal Pengembangan Ilmu Keislaman, 17(2), 116–141.
Hadi, S. P., Purnaweni, H., & Prabawani, B. (2019). The Powerless of Strategic Environmental Assessment (SEA): A Case Studies of North Kendeng Mountain Area, Central Java, Indonesia. E3S Web of Conferences , 1–3.
Hadi, S. P., Purnaweni, H., Prabawani, B., & Hamdani, R. S. (2020). Community Movement for Sustainable Use of Natural Resources: Case study of North Kendeng Mountain Area, Central Java, Indonesia. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science , 1–4.
Isnur, M. (2017). Menjaga Ibu Bumi, Merawat Ibu Pertiwi. Majalah Bantuan Hukum, 1, 24–34.
Kalt, T. (2024). Transition conflicts: A Gramscian political ecology perspective on the contested nature of sustainability transitions. Environmental Innovation and Societal Transitions, 50, 1–13.
Mann, G. (2009). Should political ecology be Marxist? A case for Gramsci’s historical materialism. Geoforum, 40, 335–344.
Novianto, A. (2018). Berebut Saminisme: Artikulasi Politik Masyarakat Adat dalam Konflik Pembangunan Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng. In W. Kumorotomo & Y. Purbokusumo (Eds.), Kebijakan Publik dalam Pusaran Perubahan Ideologi dari Kuasa Negara ke Dominasi Pasar (pp. 228–255). UGM Press.
Novianto, A., Effendi, K. C., & Purbokusumo, Y. (2021). The Politics of Virtue for Capital Accumulation: CSR and Social Conflict in the Construction of the Indocement Factory in Pati, Indonesia. PCD Journal, 9(2), 101–120.
Novianto, A., & Wulansari, A. D. (2023). Responding to Elite Consolidation: the Anti-Cement-Factory Movement Resisting Oligarchy in an Indonesian Local Election. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 26(3), 298–310.
Prabawani, B., Hadi, S. P., Purnaweni, H., & Pinem, R. J. (2018). Power Distance on the Utilization of Kendeng Mountain Resources. 3rd International Conference on Indonesian Social & Political Enquiries (ICISPE 2018), 154–158.
Purnaweni, H., Kismartini, Pratama, A. B., & Wulandari, C. (2019). Conflict among stakeholders in karst area management of Pati Regency. The 1st International Conference on Environmental Sciences , 1–7.
Puryanto, S., & Suyahmo. (2019). Strategi Gerakan Perlawanan Sosial Masyarakat Rembang Dalam Menolak Korporasi Pabrik Semen. Dialogia: Jurnal Studi Islam Dan Sosial, 17(2), 181–200.
Putri, P. S. (2017). Re-Claiming Lost Possessions: A Study of the Javanese Samin (Sedulur Sikep) Movement to maintain their Peasant Identity and Access to Resources [Master Thesis]. University of Oslo.
Rini, H. S., & Maratussholihah, I. A. (2018). Social Reconciliation: Re-establish Post-conflict Social Ties in Kendeng Mountain Area. 1st International Conference on Social Sciences and Interdisciplinary Studies (ICSSIS 2018), 68–73.
Rokhmad, A. (2020). Configuration and the Role of Community Leaders in the Conflict of Natural Resources of Limestone Mining for the Cement Industry in Rembang Indonesia. International Journal of Energy Economics and Policy, 10(2), 521–528.
Syam, M. (2016). Jaringan Penolakan Industri Tambang di Pegunungan Kendeng Utara. https://sajogyo-institute.org/jaringan-penolakan-industri-tambang-di-pegunungan-kendeng-utara/
Syatori, A. (2015). Tanggung Jawab Kampus dan Ilmu Pengetahuan Atas Persoalan Kemanusiaan. In Dwicipta & H. T. Ardianto (Eds.), #Rembang Melawan Membongkar Fantasi Pertambangan Semen di Pegunungan Kendeng (pp. 76–84). Literasi Press bekerjasama dengan Ladang Kata.
Tim Pelaksanaan KLHS untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2017). Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Tahap 1 Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih & Sekitarnya, Kabupaten Rembang. https://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2017/04/Laporan-KLHS-Tahap-I.pdf
Anggalih Bayu Muh Kamim, Mahasiswa Magister Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor