Ilustrasi: Ilustruth
FILM Eksil karya Lola Amaria muncul sebagai suatu karya seni yang penting di tengah pergolakan politik saat ini, berfungsi sebagai pengingat akan masa lalu yang sering terlupakan dan sebagai peringatan untuk masa depan. Seperti namanya, film ini menggali pengalaman para eksil Indonesia pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965. Eksil menawarkan perspektif mendalam dan sering kali tidak terdengar tentang satu episode sejarah yang biasanya hanya dilihat dari satu sisi.
Sejarah Indonesia pada era 1960-an memang mencerminkan pertarungan ideologi yang tidak hanya terjadi di ruang diskusi, tetapi juga memengaruhi kehidupan nyata masyarakat. Eksil tampaknya berhasil menangkap esensi dari dampak peristiwa politik tersebut terhadap individu-individu yang terpaksa hidup jauh dari tanah air mereka. Pertumbuhan ideologi yang terjadi bukan hanya sekadar perdebatan intelektual, tetapi juga melibatkan konflik yang berujung pada tindakan represif dan eksklusi sosial. Hal ini mengingatkan kita bahwa ideologi tidak hanya berada di ranah pemikiran, tetapi juga memiliki konsekuensi nyata yang bisa mengubah jalannya sejarah dan nasib banyak orang.
Dengan memadukan analisis pasca-marxisme serta teori diskursus dan pandangan Slavoj Žižek, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang film ini. Sudut pandang pasca-marxisme, dengan penolakan terhadap reduksionisme ekonomi dan penekanan pada pluralitas pengalaman, menawarkan lensa yang lebih inklusif. Film ini tidak hanya menyoroti konflik kelas tetapi juga pengalaman pribadi dan emosional para eksil, serta dampak politik dan sosial yang lebih luas dari peristiwa tersebut. Ini menunjukkan bagaimana pasca-marxisme mengkritik narasi sejarah yang dominan dan berusaha memberikan suara kepada mereka yang sering kali tidak terdengar.
Salah satu cara untuk melihat film ini melalui lensa Foucault adalah dengan menganalisis bagaimana kekuasaan dan pengetahuan terkait dengan narasi eksil dan identitas nasional. Foucault menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya diterapkan dari atas ke bawah oleh lembaga-lembaga formal, tetapi juga tersebar di seluruh masyarakat melalui praktik-praktik sehari-hari dan produksi pengetahuan. Dalam konteks film, kekuasaan terkait dengan narasi eksil dapat terlihat dari cara pemerintah atau kelompok tertentu mencoba mengontrol dan mengarahkan narasi tentang eksil, sementara para eksil itu sendiri berjuang untuk mempertahankan narasi mereka.
Sementara itu, perspektif Žižek, yang menggabungkan marxisme dengan psikoanalisis, dapat memberikan pemahaman tambahan tentang dinamika eksil dan identitas nasional. Žižek akan menafsirkan eksil sebagai kritik terhadap ideologi kapitalis yang memengaruhi persepsi kita tentang nasionalisme dan identitas (Boyle, 2016). Dalam konteks ini, eksil bisa dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme yang memaksakan pembatasan identitas dan kebangsaan pada individu. Diskursus dalam film tidak hanya mencerminkan realitas material, tetapi juga membentuknya melalui narasi yang kita konstruksi dan percayai.
Penting untuk dipahami bahwa identitas dan narasi tentang eksil tidaklah statis, tetapi terus berubah. Ini menunjukkan bagaimana cerita dan pengalaman orang-orang yang hidup dalam pengasingan dipengaruhi oleh berbagai faktor dinamis. Salah satu contoh, politik imigrasi, dalam hal ini memainkan peran besar. Perubahan dalam kebijakan imigrasi suatu negara dapat memengaruhi bagaimana eksil diperlakukan dan dilihat. Negara dengan kebijakan imigrasi yang terbuka dan mendukung mungkin menciptakan narasi yang lebih positif tentang pengungsi, sementara kebijakan yang ketat dan restriktif dapat menambah penderitaan dan ketidakpastian mereka. Selain itu, perubahan sosial dalam masyarakat tuan rumah, seperti meningkatnya integrasi dan asimilasi, atau perubahan sikap publik terhadap imigran, juga memengaruhi narasi terhadap eksil.
Dokumenter ini diawali perkenalan dengan beberapa narasumber yang tersebar di beberapa negara di sekitar Eropa, seperti Belanda, Jerman, Republik Ceko, dan Swedia. Para narasumber bercerita dari sudut pandang masing-masing tentang apa yang sebetulnya mereka hadapi saat pasca Gestok ‘65, termasuk teori yang harus mereka hadapi di luar tuduhan komunis dan soekarnois. Film ini juga mengeksplorasi bagaimana menjadi anggota PKI pada awalnya yang ternyata sulit sampai harus disumpah dua kali karena komitmen dan tanggung jawab yang harus diemban.
Eksil sering kali merupakan hasil dari konflik politik yang memaksa individu meninggalkan segala yang mereka kenal dan cintai. Mereka juga terpaksa membangun kehidupan baru di tempat yang asing, sering kali tanpa status kewarganegaraan. Mereka menemukan keamanan atau stabilitas di negara baru, tetap hati dan pikiran sering kali tetap tertinggal di tanah kelahiran. Bagi banyak orang yang mengalami eksil, perjalanan ini penuh dengan kesulitan emosional, psikologis, dan bahkan fisik. Mereka menghadapi rasa kehilangan yang mendalam karena terpisah dari tanah kelahiran dan semua yang ditinggalkan di belakang.
Rasa kebingungan sering kali mendominasi pikiran mereka. Mereka juga mengalami perasaan terisolasi dan tidak terhubung di lingkungan baru. Selain itu, eksil juga dapat menimbulkan perasaan kehilangan identitas. Identitas seseorang sering kali terkait erat dengan lingkungan, budaya, dan sejarah tempat asal. Oleh karena itu, ketika individu mengalami eksil dan menetap di negara baru, mereka sering kali harus berhadapan dengan tantangan untuk menemukan kembali dan membangun kembali identitas mereka yang terpisah dari lingkungan asal.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Meskipun eksil sering kali diwarnai oleh kesulitan dan kehilangan, ada juga aspek positif yang bisa ditemukan dalam pengalaman ini. Banyak orang yang mengalami eksil menemukan keamanan dan stabilitas di negara baru mereka, dan beberapa bahkan berhasil meraih kesuksesan dan kebahagiaan. Mereka menemukan komunitas baru yang menerima dengan tangan terbuka dan memberi kesempatan untuk memulai kembali. Namun demikian, meskipun menemukan keamanan di tempat baru, hati dan pikiran mereka sering kali tetap terpaut pada tanah kelahiran. Mereka merindukan aroma tanah leluhur, kenangan masa kecil, dan ikatan emosional yang telah terjalin dengan tempat yang mereka tinggalkan. Bahkan, ketika mereka membangun kehidupan baru, mereka sering kali tidak pernah benar-benar melepaskan ikatan dengan masa lalu.
Pertanyaan tentang keadilan dan hukuman menunjukkan ironi yang menyakitkan bahwa pembunuh mungkin memiliki kepastian hukuman, sementara eksil yang tidak bersalah harus hidup dalam ketidakpastian yang berkepanjangan. Ini menyoroti ketidakadilan sistem yang sering kali gagal mengakui atau memperbaiki kesalahan masa lalu. Kecintaan terhadap tanah air yang irasional adalah tema yang kuat dan berulang dalam narasi eksil. Ini menunjukkan bahwa hubungan dengan tanah kelahiran sering kali lebih kuat daripada logika atau keadaan politik. Eksil mungkin telah ditinggalkan oleh negara mereka, tetapi mereka tidak pernah benar-benar meninggalkan negara tersebut dalam hati mereka.
Lola Amaria mengajak penonton untuk menelisik berbagai hal lain terkait kerinduan para eksil akan pulang ke tanah air, begitu juga rasa nasionalisme yang tak pernah kunjung pudar dan luntur, sekalipun mereka tak berkewarganegaraan ketika menolak menandatangani sebuah pernyataan yang mengakibatkan paspor mereka tidak dapat diperpanjang dan mati saat itu juga. Di antara para eksil tersebut adalah Pak Sarmadji, yang senantiasa mengumpulkan berkas maupun sumber yang ia rasa penting terkait peristiwa yang terjadi kala itu maupun yang dialaminya sendiri.
Saya sendiri juga sesekali merasakan lagi gejolak amarah ketika mengingat bahwa Indonesia kehilangan generasi yang seharusnya memberi bakti melalui pengetahuan maupun kerja dari para mahasiswa yang telah menjadi eksil tersebut. Bagian lain membuat saya tersentuh dan haru ketika beberapa eksil juga menawarkan diri sebagai figur bapak maupun induk semang bagi mahasiswa Indonesia yang tengah melakukan studi dan berkuliah di luar negeri, meski mereka telah dikecewakan negeri sendiri selama waktu yang mereka lalui.
Melalui lensa Žižek, kita dapat melihat bahwa Eksil mengangkat narasi eksil sebagai bentuk perlawanan terhadap narasi dominan yang mencoba menutup sejarah dan pengalaman mereka. Eksil adalah bukti hidup bahwa ideologi tidak hanya membatasi identitas, tetapi juga membentuknya melalui narasi yang dipercayai dan dipertahankan oleh individu dan masyarakat. Dengan demikian, film ini tidak hanya menceritakan kisah masa lalu, tetapi juga menyoroti pentingnya terus mempertanyakan dan merefleksikan narasi-narasi yang membentuk identitas kita hari ini.
Rakha Akbar Aryaputra adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia.