Foto: Sianjur Mula-mula (Instagram visit_sumut)
PERHATIAN pada kawasan Danau Toba, Sumatra Utara, meningkat sejak ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN)–belakangan dibubuhi embel-embel “super prioritas”. Pelabelan ini menstimulasi banyak hal, merentang dari publisitas media, konsentrasi anggaran, dan investasi. Tetapi tanpa itu pun Danau Toba sebagaimana adanya adalah atraksi. Ia tidak menjadi indah oleh label, melainkan karena dihidupi oleh masyarakat lokal. Dua hal ini harus kita pahami untuk memahami apa yang terjadi pada Danau Toba kini.
Danau Toba dikelilingi oleh tujuh kabupaten, yang salah satu di antaranya akan dibahas khusus dalam artikel ini, yaitu Kabupaten Samosir, lebih khusus lagi Kecamatan Sianjur Mula-mula. Selain fakta bahwa di tempat inilah Bangso Batak bermula, melihat pariwisata Samosir dalam kerangka kebijakan juga amat menarik.
Menurut Lake Toba Integrated Tourism Master Plan 2020, kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Samosir mencapai 8,05% pada 2018. Bahkan, dalam data yang lebih mutakhir, kontribusi sektor ini meningkat signifikan. Tahun 2021, sektor pariwisata berkontribusi sebesar Rp4,31 miliar, lalu meningkat menjadi Rp7,3 miliar tahun berikutnya.
Jelas bahwa pariwisata merupakan sektor penting yang akan selalu menarik perhatian pemerintah daerah sampai pusat. Ini pula yang mendorong modifikasi ruang di sana, dari pertanian ke pariwisata–yang akan jadi tema tulisan ini. Bagaimana kecenderungan modifikasi ruang ini merebut ruang hidup petani dan masyarakat adat? Bagaimana hal ini berkontribusi pada penciptaan sirkuit kapital? Lalu, bagaimana kondisi terkini di lapangan?
Elegi Sianjur Mula-mula
Sopo Guru Tatea Bulan, Batu Hobon, Pusuk Buhit, Sigulati, dan objek lain di Sianjur Mula-mula lebih dari atraksi natural. Objek-objek tersebut adalah sakral bagi orang Batak dan dipercaya menjadi asal mula suku ini, juga berperan penting bagi penganut kepercayaan Parmalim. Sejak awal, banyak orang Batak maupun penganut Parmalim berziarah ke objek-objek tersebut.
Karena yang kerap datang adalah perantau, maka tak jarang dibutuhkan peran pemandu. Di Desa Sarimarihit, di mana Batu Hobon berada, peran sebagai pemandu selama bertahun-tahun dijalankan oleh warga lokal yang umumnya merupakan bagian dari lembaga adat Bius Sipitu Tali. Salah satunya adalah Op. Putri Limbong. Ia adalah Raja Bius sehingga dipercaya sebagai orang yang paling memahami dan memiliki legitimasi adat atas pengetahuan sejarah dan budaya. Sembari mengelola pertanian kopi, pisang, dan tumbuhan lain di lahannya, ia kerap diminta untuk memandu para pengunjung maupun peziarah untuk berkeliling di sekitar Batu Hobon yang berbatasan persis dengan lahan pertaniannya.
Lalu badai hasrat pembangunan pariwisata muncul. Di sinilah partisipasi warga lokal mulai terancam. Mulanya mereka berprasangka baik atas kehadiran pemerintah. Paling tidak, infrastruktur dan akses akan direvitalisasi sehingga memudahkan kunjungan. Namun, apa yang terjadi justru tak pernah mereka bayangkan. Per detik ini, warga lokal khususnya masyarakat adat Bius Siopat Tali tidak memiliki akses apa pun dalam pengelolaan Batu Hobon.
Sejak 2018, bersamaan dengan dijadikannya Kecamatan Sianjur Mula-mula (khususnya Desa Sarimarihit) sebagai prioritas pembangunan pariwisata Kabupaten Samosir dan menjadi bagian dalam pembangunan kawasan pariwisata Danau Toba, objek-objek wisata ini diambil-alih oleh Pemerintah Kabupaten Samosir. Saat ini, untuk masuk ke Batu Hobon, pengunjung diwajibkan membayar retribusi Rp5.000. Semua uang langsung mengalir ke pemkab, alias Rp0 ke warga lokal, bahkan pemerintah desa sekalipun.
Ada jurang menganga antara pariwisata sebagai proyek dengan kehidupan warga lokal. Sementara Op. Putri Limbong terus bertani, Batu Hobon sebagai proyek berjalan secara arbiter, mulai dari retribusi, pengelolaan infrastruktur, bahkan pemanduan wisatanya adalah pekerja dari luar.
Op. Putri Limbong pernah diajak mengelola Batu Hobon atas nama pemerintah. Namun, pemerintah mematok pendapatan sebesar Rp60 juta. “Bagaimana saya bisa menerima itu? Seolah saya ini dipaksa untuk memenuhi target pemerintah, padahal saya kan juga bertani,” ujar Op. Putri.
Partisipasi orang lokal tidak pernah diupayakan secara serius, untuk tidak mengatakan bahwa pengembangan pariwisata sejak awal memang diniatkan untuk menyingkirkan mereka. Tawaran tidak masuk akal di atas adalah gambarannya.
Mengacu pada Lake Toba Integrated Tourism Master Plan 2020, objek seperti Aek Sipitudai, Batu Sawan, Batu Hobon, Sopo Guru Tatea Bulan, dan Permukiman Si Raja Batak dicanangkan sebagai Destinasi Wisata Utama (DWU) Budaya. Objek ini diklaim akan menjadi destinasi wisata yang menekankan kesakralan, juga didukung oleh cerita (turi-turian) yang dipercaya dan diyakini oleh masyarakat Batak. Ini jelas kontradiktif mengingat para tetua adat dan warga lokal justru disingkirkan.
Konyolnya lagi, penyingkiran itu membuahkan hasil yang sangat mengecewakan. Setelah membayar retribusi, Anda akan mendapati Tourism Information Center yang hampir rubuh, rumput setinggi lutut, dan bangunan yang berlumut. Ini juga yang dikeluhkan warga lokal dan peziarah; kehadiran negara justru melecehkan bahkan mengurangi kesakralan Batu Hobon.
Sekitar 1,2 kilometer dari situ, di Sigulati, kita juga akan mendapati Pusat Informasi Geopark Kaldera Toba. Jika memutuskan untuk berkunjung sekarang, hanya sunyi yang akan Anda dapatkan setelah membayar Rp10 ribu.
Memang begitulah keadaannya: sunyi, terbengkalai, dan mencekam. Kedai kopi tutup, beberapa bangunan sudah rusak, dan bangunan-bangunan jelek itu makin tidak jelas fungsinya. Melihat kondisi ini, Anda pasti akan mengernyitkan dahi setelah mengetahui target pendapatan tahunan dari objek ini adalah Rp1 miliar.
Tidak berlebihan untuk menyatakan pembangunan yang mengorbankan ruang hidup warga lokal ini sia-sia.
Apa yang bisa dilihat dari potret terkini di atas adalah proses modifikasi ruang yang sangat vulgar. Demi memaksimalkan akumulasi kapital, pariwisata dibangun dengan konsep baru untuk menggantikan ruang yang dipersepsikan (perceived), dipahami (conceived), dan dihidupi (lived) oleh masyarakat selama bertahun-tahun. Ruang absolut (absolute space) yang dihidupi dalam keseharian suatu komunitas penduduk diubah menjadi ruang yang merupakan hasil abstraksi (abstract space) demi kepentingan akumulasi kapital.
Warga lokal disingkirkan, dan mereka melihat ruang hidup yang dirajut selama bertahun-tahun hilang perlahan.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Modifikasi Ruang untuk Akumulasi Kapital
Sebagaimana sudah disinggung sebelumnya, tanpa label ini-itu dari pemerintah dan investor, lanskap Danau Toba memang sudah indah. Ia adalah sebuah atraksi natural. Di lanskap yang indah inilah warga kawasan Danau Toba–termasuk Samosir–menjalankan hidupnya sebagai petani, peternak, juga menjalankan aktivitas budayanya. Artinya, sangatlah mungkin untuk menjalankan pariwisata sebagai industri “sampingan”, dan mengembangkan pertanian sebagaimana mestinya, atau bahkan penopang industrialisasi di sekitarnya.
Namun hal ini agaknya tidak penting bagi pemerintah. Industrialisasi yang dipaksakan di sektor pariwisata sedari awal diniatkan untuk menciptakan sirkuit kapital baru. Tahapannya: mengakuisisi tanah sebagai sebuah komoditas (ruang pariwisata), mendirikan industri penyokong pariwisata seperti perhotelan, restoran, transportasi (sirkuit sekunder), kemudian menciptakan kondisi di mana petani mau tidak mau menjadi pelaku dalam industri yang mereka tidak kendalikan tersebut.
Ambisi pengembangan pariwisata di kawasan Danau Toba berpotensi dan memang telah menyingkirkan ruang hidup petani. Jika pun pariwisata mampu berkontribusi pada pendapatan negara secara signifikan, konsekuensi kebijakan ini juga mempertajam ketimpangan.
Peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata hanya akan membuat segelintir pelaku usaha sebagai penerima manfaat paling dominan, terutama mereka yang memiliki modal ekonomi dan modal politik daerah seperti akses informasi serta jejaring dengan pemerintah. Lebih-lebih, pengembangan pariwisata yang melibatkan pemodal kerap dilaksanakan tanpa partisipasi aktif masyarakat. Kurangnya partisipasi dapat terjadi dalam perencanaan, pengelolaan, pengawasan/manajemen, atau bahkan sama sekali tidak dilibatkan dalam ketiganya.
Pengembangan pariwisata Danau Toba telah meletakkan masyarakat adat dan petani pada posisi yang semakin rentan. Rentan karena mereka dipaksa untuk “melupakan” ruang hidup sebagaimana mereka persepsikan, pahami, dan hidupi. Pertanian adalah sektor yang benar-benar dipahami dan dihidupi selama bertahun-tahun oleh masyarakat Samosir, yang eksis di ruang yang kini diproyeksikan sebagai objek wisata. Inilah yang dipahami sebagai modifikasi ruang sosial.
Perlu ditekankan bahwa pertanian merupakan sumber pendapatan utama penduduk di kawasan Danau Toba, termasuk Kabupaten Samosir. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, selama lima tahun terakhir persentase pekerjaan sektor pertanian adalah lebih dari 50%. Sayangnya, dukungan untuk sektor pertanian masih jauh tertinggal dari sektor pariwisata.
Lupakan saja narasi soal pemerataan kesejahteraan. Perhatikan pelaku utama dalam pengembangan pariwisata di Samosir. Identifikasilah siapa pemilik hotel, bisnis siapa yang dilalui oleh infrastruktur jalan, dan lain sebagainya. Partisipasi warga lokal sebagai pelaku pariwisata hanya jargon. Di lapangan, penduduk asli hanya menjadi penonton. Mereka menonton ruang hidup mereka perlahan direbut, dimaknai secara lain, dan menanti titik di mana mereka betul-betul tersingkir.
Terputusnya pariwisata dengan pengembangan pertanian hanya akan memperburuk situasi. Pembebasan lahan menjadi wajib bagi pembangunan pariwisata. Modifikasi ruang akan mempercepat arus perburuan tanah. Hilangnya tanah adalah hilangnya alat produksi bagi petani. Hilangnya alat produksi adalah hilangnya petani.
Maka terputusnya pariwisata dan pertanian adalah bom waktu. Ketika perampasan alat produksi semakin meluas, petani yang tidak lagi memiliki alat produksi adalah angkatan kerja yang tidak akan terserap pariwisata. Paling mentok, para penduduk asli hanya akan menyerahkan diri pada kerentanan; pekerja informal, pedagang kaki lima, atau pada dasarnya menjadi budak.
Membiarkan pariwisata berjalan sambil merusak ruang hidup petani dan warga lokal adalah upaya paling sempurna untuk mati perlahan.
Dion Kristian Cheraz Pardede, bergiat di Divisi Studi & Advokasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM)