Ilustrasi: Verso
GAMBAR-gambar yang muncul sejak 7 Oktober 2023 lalu, yang menunjukkan bagaimana para penerbang paralayang menghindari pertahanan udara Israel, sungguh sangat menggembirakan bagi banyak orang. Inilah saat-saat kebebasan, yang mengalahkan ekspektasi Zionis bahwa penduduk Palestina akan tunduk pada pendudukan dan pengepungan yang bersifat total.
Pada mereka (rakyat Palestina), kita menyaksikan tindakan keberanian dan pembangkangan yang tampaknya mustahil dalam menghadapi pengetahuan tertentu tentang kehancuran yang akan terjadi (bahwa Israel mempraktikkan perang asimetris dan merespons dengan kekuatan yang tidak proporsional bukanlah rahasia lagi). Siapa yang tidak akan terpompa bangkit semangatnya ketika melihat orang-orang yang tertindas meratakan pagar-pagar yang mengurung mereka, melarikan diri, dan terbang bebas di udara?
Perasaan kolektif yang selama ini bersemayam adalah bahwa mustahil membuat siapa pun bisa bebas, bahwa imperialisme, pendudukan, dan penindasan itu tak dapat dikalahkan dan digulingkan lenyap ditiup angin. Seperti yang ditulis oleh seorang militan Palestina, Leila Khaled, tentang pembajakan yang berhasil dalam memoarnya, My People Shall Live, “tampaknya semakin spektakuler aksi tersebut, semakin baik pula moral rakyat kami.” Aksi-aksi semacam itu melesatkan harapan dan menciptakan rasa kemungkinan baru, membebaskan orang-orang dari keputusasaan dan ketiadaan harapan.
Ketika menyaksikan tindakan seperti itu, banyak dari kita juga merasakan aroma keterbukaan. Respons kita menunjukkan efek subjek yang ditimbulkan oleh tindakan tersebut: sesuatu di dunia telah berubah karena subjek telah menorehkan celah pada sesuatu yang ada. Meminjam gagasan Alain Badiou, kita lihat bahwa aksi yang disebabkan oleh subjek kemudian menyebabkan si subjek sebagai efek retroaktif (balik) dari aksi yang menyebabkannya. Imperialisme mencoba untuk mematikan perasaan-perasaan ini sebelum menyebar luas. Imperialisme mengutuk mereka dan menyatakan mereka terlarang.
Gambaran orang Palestina yang kita lihat di lingkungan imperialis kita biasanya adalah potret tentang kehancuran, duka cita, dan kematian. Kemanusiaan orang-orang Palestina dilekatkan pada penderitaan mereka, pada apa yang hilang dari mereka, dan pada apa yang mereka alami. Orang-orang Palestina mendapatkan simpati tetapi tidak emansipasi; emansipasi akan menggerogoti simpati. Citra korban ini menghasilkan orang Palestina yang “baik” sebagai warga sipil, bahkan lebih baik lagi sebagai anak-anak, wanita, atau orang tua.
Mereka yang melawan, terutama sebagai bagian dari kelompok terorganisir adalah jahat: musuh mengerikan yang harus dilenyapkan. Tetapi semua orang adalah target. Kesalahan atas penargetan warga Palestina yang “baik” ditimpakan kepada mereka yang “jahat”, dan hal ini menjadi pembenaran lebih lanjut bagi pembasmian mereka: setiap jengkal wilayah Gaza menjadi tempat persembunyian para teroris. Aksi polisional ini menutup kemungkinan adanya warga Palestina yang bebas.
Aksi polisional adalah bagian dari perjuangan politik. Apa pun yang menyulut perasaan bahwa kaum tertindas akan membebaskan diri, bahwa pendudukan dan blokade akan berakhir, harus dipadamkan. Kalangan imperialis dan Zionis mereduksi 7 Oktober ke dalam daftar kengerian bukan hanya untuk menghalangi pandangan terhadap sejarah dan realitas penjajahan, pendudukan, dan pengepungan. Mereka melakukannya untuk mencegah terjadinya gangguan yang menghasilkan penciptaan subjek yang menyebabkan terjadinya aksi polisional itu.
Intifada Pertama, pada tahun 1987, dimulai dengan “Night of the Gliders/Malam Paralayang”. Pada tanggal 25 dan 26 November, dua pejuang gerilyawan Palestina dari PFLP-GC (Popular Front for the Liberation of Palestine-General Command/Front Populer untuk Pembebasan Palestina-Komando Umum) mendarat di wilayah pendudukan Israel. Keduanya terbunuh. Salah satu dari mereka membunuh enam tentara Israel dan melukai tujuh lainnya sebelum akhirnya tewas.
Setelah itu, gerilyawan tersebut menjadi pahlawan nasional, dan warga Gaza menulis “6:1” di dinding-dinding mereka untuk mengejek pasukan IDF (Israel Defense Force). Bahkan ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat memuji kedua pejuang tersebut: “Serangan itu menunjukkan bahwa tidak ada penghalang atau rintangan yang dapat menghalangi seorang gerilyawan yang telah memutuskan untuk menjadi martir.” Tidak ada yang dapat menahan atau menghalangi mereka jika mereka memiliki kemauan untuk terbang. Malam Paralayang menghidupkan kembali energi afektif revolusi Palestina yang terjadi setelah kekalahan Arab pada bulan Juni 1967 dan mendorong pertumbuhan gerakan gerilya setelah pertempuran Karama pada bulan Maret 1968.
Setelah Malam Paralayang dan memasuki Intifada Pertama, menjadi orang Palestina kembali berarti pemberontakan dan perlawanan, bukan lagi menerima kewarganegaraan kelas dua dan status pengungsi.
Pada tahun 2018, selama serial demonstrasi di perbatasan Gaza, yang dikenal dengan sebutan “Great March of Return”, warga Gaza menggunakan layang-layang dan balon-balon untuk menghindari pertahanan udara Israel dan menyalakan api di wilayah Israel. Tampaknya para pemuda Palestina yang pertama kali mengirimkan layang-layang api itu. Belakangan, Hamas ikut terlibat, membentuk unit al-Zouari yang mengkhususkan diri dalam membuat dan meluncurkan layang-layang dan balon-balon pembakar. Layang-layang dan balon-balon tersebut meningkatkan semangat di Gaza, sekaligus merusak ekonomi Israel dan membuat jengkel warga Israel yang tinggal di dekat perbatasan Gaza.
Menanggapi pernyataan seorang jurnalis Italia tentang “senjata baru yang ikonik” yang “membuat Israel gila”, pemimpin Hamas Yahya Sinwar menjelaskan, “Layang-layang bukanlah senjata. Paling-paling, mereka membakar beberapa tunggul, sebuah alat pemadam, dan selesai. Layang-layang bukanlah senjata, melainkan sebuah pesan. Karena layang-layang itu hanyalah benang dan kertas serta kain yang dibasahi minyak, sementara setiap baterai Kubah Besi (pesawat terbang militer) berharga 100 juta dolar AS. Layang-layang itu mengatakan: Anda jauh lebih kuat, tapi Anda tidak akan pernah menang. Sungguh. Tidak akan pernah.”
Ada konteks lebih lanjut untuk membaca layang-layang di Gaza sebagai pesan dari sebuah bangsa yang menolak untuk tunduk. Pada tahun 2011, 15 ribu anak-anak Palestina di pantai Gaza memecahkan rekor dunia untuk layang-layang terbanyak yang diterbangkan pada waktu yang sama. Banyak layang-layang yang diterbangkan menampilkan bendera dan simbol-simbol Palestina, serta impian untuk perdamaian dan harapan. Seorang anak berusia 11 tahun, Rawia, yang membuat layang-layangnya dengan warna bendera Palestina, mengatakan, “Ketika saya menerbangkannya, saya merasa seperti mengibarkan negara dan bendera saya ke angkasa.”
Film dokumenter tahun 2013 berjudul “Flying Paper” yang disutradarai oleh Nitin Sawhney dan Roger Hill menceritakan kisah beberapa pemuda yang menerbangkan layang-layang itu. “Ketika kami menerbangkan layang-layang, kami merasa seperti kami yang terbang di angkasa. Kami merasa bahwa kami memiliki kebebasan. Bahwa tidak ada pengepungan di Gaza. Ketika kami menerbangkan layang-layang, kami tahu bahwa kebebasan itu ada.” Awal tahun ini, layang-layang diterbangkan pada demonstrasi solidaritas yang berlangsung di seluruh dunia, mengekspresikan dan memperkuat harapan dan keinginan untuk kebebasan Palestina.
Puisi terakhir Refaat Alareer, “Jika Aku Harus Mati”, menggambarkan hubungan antara layang-layang dan harapan. Sebuah video Brian Cox yang membaca puisi tersebut beredar di dunia maya setelah IDF membunuh Alareer dalam sebuah serangan udara yang menghancurkan bangunannya.
Jika aku harus mati,
Anda harus hidup
untuk menceritakan kisahku
untuk menjual barang-barangku
untuk membeli sepotong kain
dan beberapa senar,
(membuatnya putih dengan ekor yang panjang)
sehingga seorang anak, di suatu tempat di Gaza
sambil menatap surga di matanya
menunggu ayahnya yang pergi dalam kobaran api –
dan tak mengucapkan selamat tinggal pada siapa pun
bahkan untuk darah dagingnya
bahkan untuk dirinya sendiri –
melihat layang-layang, layang-layang yang kau buat, terbang di atas,
dan berpikir sejenak ada malaikat di sana
membawa kembali cinta.
Jika aku harus mati
biarlah itu membawa harapan,
biarlah itu menjadi sebuah cerita.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Layang-layang adalah sebuah pesan cinta. Layang-layang dibuat untuk terbang, dan dengan terbang, layang-layang menciptakan harapan. Kata-kata Alareer memperhatikan pembuatan layang-layang, pembuatannya dari kain dan senar, serta penerbangannya. Membuat layang-layang lebih dari sekadar berkabung; ini adalah sebuah keterlibatan dalam optimisme praktis, sebuah elemen dari proses subjektif yang membentuk subjek politik, “Anda” yang diperintahkan untuk membuat layang-layang dan menceritakan kisahnya.
Pada 1998, warga Palestina membangun Bandara Internasional Yasser Arafat. Tetapi selama Intifada Kedua di tahun 2001, buldoser Israel menghancurkan bandara itu. Seperti yang dijelaskan oleh Hind Khoudary, bandara tersebut sangat terkait dengan mimpi kenegaraan Palestina. Dari wawancaranya dengan para pekerja yang membangun landasan pacu yang telah menjadi puing-puing dan pasir, Khoudary menulis, “Bandara Gaza lebih dari sekadar proyek. Itu adalah simbol kebebasan bagi warga Palestina. Mengibarkan bendera Palestina di angkasa adalah impian setiap warga Palestina.”
Para penerbang paralayang yang terbang ke Israel pada 7 Oktober melanjutkan hubungan revolusioner antara pembebasan dan penerbangan. Meskipun pasukan imperialis dan Zionis mencoba memadatkan aksi tersebut menjadi sosok tunggal terorisme Hamas, bersikeras menyangkal semua bukti mengenai penindasan yang mereka lakukan terhadap bangsa Palestina, dan terus berkoar-koar bahwa dengan pemusnahan Hamas maka perlawanan Palestina akan lenyap, tetapi kehendak untuk memperjuangkan kebebasan Palestina mendahului dan melampaui itu. Hamas bukanlah subjek dari aksi 7 Oktober; Hamas adalah agen yang berharap bahwa subjek tersebut akan muncul sebagai efek dari aksinya, sebagai wujud terbaru dari revolusi Palestina.
Kata-kata yang digunakan oleh Leila Khaled untuk membela keadilan taktik pembajakan PFLP juga berlaku untuk 7 Oktober. Khaled menulis:
Seperti yang dikatakan seorang kawan: Kami bertindak secara heroik di dunia yang pengecut untuk membuktikan bahwa musuh bukannya tidak terkalahkan. Kita bertindak “keras” untuk meniup lilin dari telinga kaum liberal Barat yang tuli dan untuk menyingkirkan jerami yang menghalangi penglihatan mereka. Kami bertindak sebagai revolusioner untuk menginspirasi massa dan memicu pergolakan revolusioner di era kontra-revolusi.
Bagaimana bisa masyarakat yang tertindas percaya bahwa perubahan itu mungkin terjadi? Bagaimana mungkin gerakan yang telah mengalami kekalahan selama puluhan tahun bisa merasa bahwa mereka mampu menang? Sara Roy mendokumentasikan keputusasaan yang menyelimuti Gaza dan Tepi Barat sebelum 7 Oktober. Faksionalisme, dan perasaan bahwa tidak hanya Fatah tetapi juga Hamas yang terlalu banyak bekerja sama dengan Israel, telah meruntuhkan kepercayaan pada proyek persatuan nasional.
Seorang teman mengatakan kepada Roy, “Tuntutan-tuntutan kami di masa lalu menjadi tidak berarti. Tidak ada yang berbicara tentang Yerusalem atau hak untuk kembali. Kami hanya menginginkan keamanan pangan dan lintasan penyeberangan yang terbuka.” Banjir Al Aqsa menyerang keputusasaan itu. Koalisi pejuang perlawanan yang dipimpin oleh Hamas dan PIJ (Jihad Islam Palestina) menolak untuk menerima kekalahan dan tunduk pada kehinaan kematian secara perlahan.
Aksi mereka dirancang sedemikian rupa sehingga subjek revolusioner akan muncul sebagai efeknya.
Dalam enam bulan sejak dimulainya perang genosida Israel terhadap Palestina, telah terjadi lonjakan solidaritas global terhadap Palestina, yang mengingatkan kita pada gelombang sebelumnya pada tahun 1970-an dan 1980-an. Seperti yang dikatakan Edward Said kepada kami, pada akhir tahun 70-an “…tidak ada perjuangan politik progresif yang tidak mengidentifikasikan diri dengan gerakan Palestina.”
Solidaritas terhadap Palestina menyatukan kaum kiri, merajut perjuangan pembebasan bersama dalam sebuah front anti-imperialis global. Seperti yang dikatakan sejarawan Robin D.G. Kelly, “Kami kaum radikal menganggap PLO sebagai garda depan (vanguard) dalam perjuangan global Dunia Ketiga untuk penentuan nasib sendiri yang berjalan di sepanjang ‘jalan non-kapitalis’ menuju pembangunan.” Militansi dan dedikasi perjuangan Palestina menjadikan para pejuang revolusionernya sebagai model bagi kaum kiri.
Perjuangan untuk pembebasan Palestina saat ini dipimpin oleh Gerakan Perlawanan Islam–Hamas. Hamas didukung oleh seluruh kaum kiri Palestina yang terorganisir. Orang mungkin menduga bahwa kaum kiri di inti imperialis akan mengikuti kepemimpinan kaum kiri Palestina dalam mendukung Hamas. Namun, lebih sering ketimbang tidak, para intelektual kiri menggemakan kecaman yang dilakukan oleh negara-negara imperialis terhadap Hamas sebagai syarat untuk berbicara tentang Palestina.
Dengan demikian, mereka berpihak pada revolusi Palestina, memberikan wajah progresif pada penindasan proyek politik Palestina, dan mengkhianati aspirasi anti-imperialis dari generasi sebelumnya.***
Jodi Dean mengajar teori politik, feminis, dan media di Geneva, New York. Dia telah menulis atau mengedit 13 buku, termasuk The Communist Horizon dan Crowds and Party, keduanya diterbitkan oleh Verso, London. Artikel ini sebelumnya terbit di Verso, dengan judul asli “Palestine Speaks for Everyone”, lalu diterjemahkan dan diterbitkan ulang di sini untuk tujuan pendidikan.
Setelah menulis artikel ini, Jodi Dean dilarang untuk mengajar oleh kampusnya hingga akhir semester ini. Penerjemahan dan penerbitan artikel ini juga adalah bentuk solidaritas terhadap Dean.