Foto: Routledge
Judul: Capitalism and Agrarian Change: Class, Production and Reproduction in Indonesia
Penulis: Muchtar Habibi
Halaman: xviii + 264
Penerbit: Routledge
PERUBAHAN AGRARIA (agrarian changes) adalah satu dari sekian subjek pembahasan dalam diskursus ilmu sosial yang kurang diminati. Di Indonesia memang terdapat diskursus yang cukup berkembang dan diminati dari kategori agraria, yaitu konflik agraria, tetapi cenderung hanya membahas perampasan lahan pertanian dan ruang hidup perdesaan. Sasaran kajiannya adalah korporasi/perusahaan di sektor pertanian kapitalis/industri ekstraktif, yang memaksakan pelepasan lahan untuk akumulasi kapital.
Diskursus yang membawahi perubahan agraria meliputi aspek yang lebih luas dari itu, dan konteks di mana kepentingan akumulasi kapitalis tidak hanya muncul dari entitas perusahaan besar dengan modal gabungan yang berlimpah.
Muchtar Habibi, dalam bukunya Class and Agrarian Changes Under Capitalism, telah memberi ruang bagi perluasan diskursus perubahan agraria di Indonesia, mengingat sebagian besar kehidupan sosial masyarakat kita masih berada dalam hubungan agraris. Perubahan agraria adalah topik diskursus yang mencakup corak dan mekanisme dalam perubahan lingkup agraris/pertanian, dari eksposisi kondisi-kondisi historis untuk menjelaskan interaksi akumulasi kapitalis dengan hubungan sosial produksi pertanian dan bagaimana hal tersebut ikut serta mentransformasinya (Habibi, 2023: 3-4).
Habibi mencoba menyampaikan bahwa dinamika kelas sangat penting untuk memahami konteks kehidupan sosial masyarakat agraris. Ini karena kehidupan masyarakat agraris berangkat dari hubungan (sosial) antar kelas dan kedudukan kelas-kelas yang terlibat dalam proses produksi pertanian. Sebagai contoh, ia menyebutkan,
Tanpa perhatian [khusus pada dinamika kelas–pen] ini, akan ada kegagalan dalam mengakui keberadaan hubungan majikan-pekerja di antara kaum tani/kaum pemilik kecil dalam masyarakat kapitalis… Kondisi ini telah mengesampingkan hubungan-hubungan eksploitatif antara kelas bermilik dalam lingkup pertanian (petani-kapitalis dan tuan tanah kapitalis) yang mana kepemilikan besar mereka atas sarana produksi (terutama tanah [lahan pertanian]) telah memungkinkan mereka untuk mengendalikan tenaga kerja kelas sosial lain dan kelas-kelas pekerja [atau dalam buku ini disebut classes of labour] (farmers-cum-workers) yang walaupun memiliki sedikit lahan, namun tetap harus menjual tenaga kerja mereka sepanjang tahun agar dapat hidup subsisten. (Habibi, 2023: 3-4)
Untuk membuktikan pandangan ini, Habibi menganalisis dua kasus, alih-alih membandingkannya: Desa Njomplang dengan produksi beras, dan Desa Timpang dengan produksi sawit. Dua kasus ini merupakan dua perwujudan formasi-sosial agraria yang berbeda proses sejarahnya. Njomplang adalah desa yang produksi pertaniannya aktif sejak lama. Di sisi lain, Timpang terbentuk dari beberapa proses migrasi ke wilayah yang sebelumnya tidak berpenghuni.
Analisis terhadap dua kasus formasi-sosial agraris yang berbeda itu membawanya pada kesimpulan bahwa formasi kelas agraria di Indonesia dapat dibagi dalam tiga kelas utama: (1) petani kapitalis/tuan tanah kapitalis [capitalist-farmer/‘landlord-capitalist’], (2) petty commodity producer (PCP), dan (3) kelas buruh. Tuan tanah kapitalis telah lama ada, hadir dalam formasi-formasi sosial di perdesaan yang merupakan transformasi dari bentuk pra-kapitalis. Habibi lebih jauh memaparkan konteks bagian dari keberlangsungan dinamika kelas agraris; hubungan antar kelas dalam proses produksi dan proses serta produksinya itu sendiri, serta reproduksi sosial tiap-tiap kelas agraris yang tidak terlepas dari hubungan antar kelas juga.
Argumen Habibi ini adalah sebuah upaya untuk membantah kerangka pemahaman tradisi neo-populis dalam permasalahan agraria. Menurutnya, tradisi ini telah menjadi arus utama dalam penjelasan teoretis dan praktik aktivisme isu-isu agraria di Indonesia; bahkan telah diadopsi oleh organisasi-organisasi seperti Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan Serikat Petani Indonesia (SPI). Dalam ranah teori, intelektual seperti Noer Fauzi Rachman menurutnya merupakan salah satu representasi pembawa tradisi neo-populis ini yang cukup berpengaruh–melalui karyanya Petani dan Penguasa yang diterbitkan pada 1999.
Dominasi neo-populis menurutnya merupakan konsekuensi dari ketidakhadiran tradisi intelektual berbasis analisis ekonomi-politik marxis yang kuat, dan di saat bersamaan maraknya perampasan lahan (melalui pengambilan paksa atau penjualan secara paksa) atas lahan-lahan pertanian produktif dan ruang hidup di perdesaan yang melibatkan korporasi-korporasi pertanian-kapitalis dan industri ekstraktif dengan dukungan (baik itu langsung maupun tidak langsung) negara di periode pasca-Reformasi.
Kontradiksi utama yang diamini pandangan ini adalah bahwa, berdasarkan fenomena perampasan utamanya di luar Jawa, negara dan kepentingan korporasi diposisikan berada di seberang kepentingan kaum tani, atau peasantry (Habibi, 2023: 41). Kaum tani dari sudut pandang tradisi neo-populis diasumsikan sebagai entitas homogen dengan kepentingan yang sama. Menurut Habibi, presuposisi ini tak lain adalah kelanjutan dari ideologi romantis warisan Orde Baru yang melihat kehidupan perdesaan/agraria sebagai kehidupan yang harmonis dan egaliter, juga dihiasi kehidupan yang serba gotong royong.
Habibi menjelaskan bahwa kenyataan khusus masyarakat perdesaan mesti dipahami dari sudut pandang historisitasnya sebagai titik berangkat melihat kompleksitas kaum tani sebagai suatu kelompok.
Walaupun kaum tani di negeri-negeri maju telah bertransformasi menjadi petani dan pekerja semasa transisi kapitalis, di dunia pinggiran, transformasi ini utamanya terjadi pada masa penjajahan… Terdapat argumen hari ini bahwa dunia pinggiran hanya sedang mengalami ekspansi dan pendalaman hubungan-hubungan sosial kapitalis di sektor pertanian yang dipelopori gelombang neoliberal. Mengingat bahwa ‘akumulasi primitif’ telah terlebih dahulu terjadi pada era penjajahan, proses ekspansi kapital belakangan ini sering kali menghantarkan diferensiasi kelas secara lebih jauh lagi terhadap petani/pemilik kecil atau perampasan melalui pemindahan [paksa] atau kedua-duanya (Habibi, 2023: 12).
Untuk lebih lanjut membahas soal dinamika hubungan sosial perdesaan, yang kemudian mengemukakan dinamika sosial kehidupan sektor pertanian, Habibi mendedikasikan satu bab khusus, yakni Bab 5, Class Dynamics of Agrarian Change in Java and Sumatra (hal. 89-140). Dalam bab inilah ia mengupas permasalahan peninjauan homogen kaum tani dari sudut pandang dinamika hubungan sosial-produktif lapisan kelas di kedua lokasi/kasus penelitiannya. Suatu upaya yang menurutnya, “Unlike previous studies of agrarian class which tend to treat a class without any several different groups inside it, this chapter shows the internal complexity of class categories.” (Habibi, 2023: 89). Di Njomplang, misalnya, skema bagi-hasil (sharecropping) lebih dipengaruhi konteks kepemilikan lahan dibanding nilai jual. Sedangkan di Timpang, perbedaan penguasaan lahan tidak begitu timpang dan skema bagi-hasil tidak begitu berarti (Habibi, 2023: 90).
Proses perubahan agraria yang memang memungkinkan keadaan disposisi banyak ‘kaum tani’ dari lahan garapannya, menurut Habibi, juga tidak bisa dijelaskan dengan kategori akumulasi primitif, jika merujuk pengartian ortodoksnya sebagai prasyarat perkembangan kapitalisme. Ia mendasarkan penjelasannya dengan terlebih dahulu membentuk kerangka ‘kapitalisme di Indonesia’, yang dibahas di Bab 2, Exposing Class Dynamics of Agrarian Change Under Capitalism (hal. 12-40) dan Bab 3, Agrarian Change in Indonesia and the State (41-75), terkhusus dalam sub-bab mengenai akumulasi primitif (hal. 41-44). Menggunakan pemaparan dari tradisi Western Marxism, khususnya merujuk Robert P. Brenner, Henry Bernstein, Ellen M. Wood, dll., Habibi memposisikan pandangan yang menggambarkan ‘model umum perkembangan kapitalisme’ di mana akumulasi primitif menandai perkembangan penting untuk membentuk keutamaan kapitalisme dan Indonesia yang ‘belum sepenuhnya kapitalis’ karena belum menjalankan proses tersebut. Fenomena perampasan yang meluas dilihat sebagai penanda perkembangan kapitalisme Indonesia (Habibi, 2023: 41-42).
Akumulasi primitif, menurut Habibi, telah terjadi sejak jaman penjajahan Belanda (Habibi, 2023: 41-43). Akan tetapi, yang perlu dipahami, menurutnya model perkembangan kapitalisme Inggris, di mana akumulasi primitif diikuti oleh disposisi dan proletarisasi besar-besaran, bukanlah determinan umum yang terjadi dalam perkembangan kapitalisme di tiap-tiap negara.
Contoh lain dari perkembangan spesifik kapitalisme adalah Amerika. Pertanian kapitalis di sana berkembang melalui masuknya para petani-petani kecil (kepemilikan terbatas) pada hubungan komoditas dari desakan mekanisme pasar, yang pada akhirnya membentuk pembeda-bedaan kelas–yang lemah, tidak berhasil akhirnya kehilangan tanah dan semakin mengandalkan penggunaan tenaga kerjanya sendiri untuk digunakan dalam menggarap lahan mereka yang lebih berhasil dan mampu melakukan ekspansi penguasaan lahan mereka. Model Amerika berkembang lebih pelan, memasuki era kapitalisme agraris secara lebih menyeluruh (sebagai pembanding, lihat Henry Bernstein, Class Dynamics of Agrarian Change, vol. 1, Kumarian Press, 2012: 2).
Habibi menempatkan perkembangan kapitalisme di Indonesia ke dalam corak perkembangan kapitalisme di dunia pinggiran (peripheral world), dan dengan pengertian lain atas kapitalisme sebagai suatu sistem ‘generalized commodity production’ di mana hubungan komoditas telah menjadi faktor dominan yang menentukan apa yang harus diproduksi serta reproduksi para produsennya sendiri, dalam hal ini produsen pertanian (Habibi, 2023: 6-7, 12-16, 23-24, 29-30). Periode penjajahan Belanda, walau tidak menciptakan proletarisasi yang luas, telah melangsungkan proses akumulasi primitif di mana hubungan pra-kapitalis di perdesaan telah digantikan dengan relasi-sosial kapitalis yang berbasis pada hubungan komoditas dan mekanisme pasar. Oleh karenanya, asumsi tengah berlangsungnya proses primitive accumulation dalam perampasan lahan pertanian untuk diberikan pada entitas korporasi tidak bisa dibenarkan, karena produksi pertanian di Indonesia telah terlebih dahulu ditransformasi menjadi produksi kapitalis.
Habibi juga menyinggung tesis ‘semi-feodal’ (Habibi, 2023: 12) yang memposisikan kehidupan perdesaan, produksi-pertanian, masih berada dalam cengkraman hubungan produksi feodal. Bantahan terhadap kerangka ini berangkat dari proposisi yang sama, walau harus menyinggung permasalahan masih adanya ‘sisa-sisa hubungan warisan feodalisme.’ Masih berlangsungnya bentuk corak produksi tertentu tidak bisa diinterpretasi hanya dari kehadiran kelas, walau telah bertransformasi, dari hubungan produksi pra-kapitalis.
Kondisi semi-feodal, jika diterjemahkan sekadar sebagai keadaan di mana interaksi kelas feodal berubah dalam kerangka kapitalisme walau tetap mempertahankan bentuk interaksi keseharian dalam kehidupan sosial, masih mungkin untuk dibenarkan. Tetapi, ini tidak bisa dinarasikan sebagai corak produksi yang berlangsung dengan mendasarkan pada masih adanya kelas-kelas ‘tuan tanah’ dan skema-skema ‘bagi hasil’ menyerupai hubungan produksi feodal.
Apa yang telah dipaparkan oleh Habibi dalam karya ini kemudian juga dapat dipahami merupakan suatu upaya teoretis untuk mendorong agenda pembakuan penjelasan perkembangan dan perubahan terhadap dinamika hubungan sosial produksi di sektor agraria di Indonesia; pertanian dan ekstraksi–yang dilakukannya dengan menggambarkan kedudukan kelas (class location) di dua desa tersebut, meliputi kesejarahan kepemilikan tanah, komposisi kelas, sifat kelas yang berkuasa, posisi classes of labour dan kasus PCP; dijelaskan dalam sub-bab soal kedudukan kelas pada Bab 5 (hal. 89-117). Tujuan utamanya berkaitan dengan polemik dengan tradisi neo-populis terkait kategori umum ‘kaum tani’. Menjawab idealisasi kategori ‘kaum tani’, Habibi menunjukkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari di lingkup produksi pertanian formasi kelas agraria yang dipaparkannya memiliki pertentangan-pertentangan internal sendiri berdasarkan hubungan/interaksi di ranah produksi dan kedudukan masing-masing kelas dalam pembagian kerja formasi kelas produksi pertanian.
Dari penyelidikan terhadap dinamika kelas pada dua kasus di atas, Habibi menemukan, misalnya untuk kasus Njomplang, bagaimana terdapat bagian dari ‘petani semi-proletar’ dan ‘petani proletar’, bagian dari kelas buruh harus bergantung pada skema bagi hasil dengan kelas ‘tuan tanah-kapitalis’ agar dapat melangsungkan reproduksi sosial karena hasil panen dari lahan mereka sendiri, disebut Habibi sebagai panen “own-account”, tidak dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari tanpa di saat bersamaan menjual tenaga kerja mereka menggarap lahan pertanian milik orang lain.
Ada juga soal bagaimana para PCP cukup berbeda dalam dua kasus tersebut, di mana di Timpang mereka tidak perlu bergantung pada kelas ‘tuan tanah-kapitalis’ sebagai cara tambahan penghasilan; dan justru sebaliknya, di mana di Njomplang hal ini lebih wajar karena nilai jual komoditas yang diproduksi amat jauh berbeda. Tidak terlepas pula bagaimana kelas ‘petani kapitalis birokrat-politik’, bagian dari kelas ‘petani kapitalis’, berinteraksi secara cukup berbeda dengan kelas-kelas lainnya karena mempertimbangkan keberlangsungan jabatan administrasinya dalam institusi pemerintahan desa.
Pada momen-momen kepentingan kelas yang bertentangan satu sama lain, antara kepentingan ‘petani kapitalis’/’tuan tanah-kapitalis’ berhadap-hadapan dengan kepentingan kelas buruh; seperti dalam penyikapan isu produktivitas tanah; di mana perluasan penggunaan mesin, perubahan dalam skema bagi hasil, permasalahan upah buruh-tani, atau mengenai ketersediaan kredit/utang, kedua kelas tersebut berposisi atau bersikap berbeda. Antagonisme ini mungkin meningkat menjadi suatu bentuk perjuangan kelas yang lebih tampak.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Adalah suatu kesimpulan parsial ketika dinamika kelas dikesampingkan dalam memahami kehadiran para produsen pertanian. Argumen homogenitas ‘petani’ hanya dapat bertahan sejauh permasalahan agraria didudukkan sekadar pada fenomena perampasan/pengambilalihan lahan pertanian yang melibatkan korporasi dalam cengkeraman mesra negara. Pandangan ini menjadi luntur juga ketika kenyataan bahwa negara tidak selalu bersikap ‘anti’ pada petani sebagai agensi produksi pertanian secara menyeluruh. Sektor produksi beras merupakan salah satu yang mendapat perhatian lebih pemerintah, dan hubungan negara dengan kelas-kelas dalam sektor produksi ini tidak melibatkan entitas korporasi, walau tentunya dukungan utama negara diberikan pada kelas-kelas yang berkuasa di tingkat perdesaan –kelas petani kapitalis/‘tuan tanah-kapitalis’.
Terlebih lagi, sudut pandang neo-populis melihat petani Indonesia secara umum masih merupakan ‘peasantry’ yang hidup secara subsisten dari hasil sendiri. Ini hanya bisa dibenarkan ketika kita bisa membuktikan bahwa jumlah PCP yang ada merupakan elemen mayoritas dalam formasi kelas yang ada. Komposisi kelas yang dipaparkan oleh Habibi menemukan bahwa kenyataannya PCP tidak berjumlah lebih banyak, bahkan populasinya jauh di bawah jumlah kelas buruh–kelas-kelas agraria dengan lahan sangat terbatas atau tidak bertanah sama sekali.
Perspektif arus utama dalam permasalahan agraria sudah semestinya diperdebatkan, dibantah, lalu dibuang ke selokan. Narasi agraria neo-populis sudah semestinya digantikan dengan narasi yang tidak mengesampingkan persoalan kelas dan dinamika dari kehidupan produksi yang terjadi di sektor agraria.
Apa yang telah dibawakan oleh Habibi adalah langkah awal yang tepat dalam merespons masa depan pergerakan reforma agraria secara khusus dan perjuangan kelas massa-rakyat pekerja secara umum, yang tidak mengesampingkan kelas-kelas agraria dari kekeliruan pemahaman formasi kelas mereka. Walau pemaparannya tidak secara langsung memberi preskripsi strategi untuk perjuangan agraria, ia telah menunjukkan posisinya terkait masalah ini. Pandangan Habibi soal pergerakan agraria memosisikan keperluan untuk pengorganisasian classes of labour dalam pertarungan kelas mereka di tingkat hubungan produksi langsung berhadap-hadapan dengan kelas-kelas penguasa di desa-desa.
Ia melihat bahwa upaya terdahulu yang pernah dilakukan oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) melalui afiliasi organisasi buruh taninya, Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri), merupakan model yang harus dicapai kembali terlebih dahulu sebelum upaya serius apa pun dalam perjuangan kelas pekerja pertanian dapat dilancarkan (Habibi, 2023: 44-45). Hal ini meski dilakukan sebab kelas buruh di perdesaan telah lama berada pada situasi tanpa pengalaman perjuangan, kesadaran kelas, dan keyakinan politik yang memadai. Hal-hal ini tidak dapat hadir secara tiba-tiba kecuali melalui pengalaman pengorganisasian dalam organisasi-organisasi kelas mereka sendiri.
Pemaparan Habibi di sini tidak bisa diberi beban sebagai interpretasi teoretis mutakhir yang akan membawa perjuangan menuju titik kemenangan. Walau demikian, kenyataan bahwa praksis perjuangan tidak hanya membutuhkan penjelasan teoretis, namun juga interpretasi langkah-langkah yang diperlukan, adalah sesuatu yang tidak bisa tidak ditemukan.
Terkait pembahasan pengorganisasian kelas buruh di perdesaan, Habibi membahasnya dalam bagian perjuangan kelas dan konteks hubungan kelas kontemporer dalam sub-bab kedudukan kelas Bab 5 (hal. 117-132). Oleh karenanya, karya Habibi ini bisa kita maknai sebagai permulaan untuk menguatkan pergerakan dengan basis teori yang konkret, jelas, dan menyeluruh.
Miftahulrahman Bahas adalah Mahasiswa S1 Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta.