Ilustrasi: Cottonbro studio
DALAM dua bulan terakhir, lini masa media sosial masyarakat Indonesia digemparkan dengan wacana #JanganJadiDosen. Penggunaan tanda pagar (tagar) tersebut menjadi ruang perlawanan para buruh yang bergeliat dengan tugas sebagai pendidik dan ilmuwan di perguruan tinggi terhadap hubungan kerja yang eksploitatif. Melalui tagar tersebut, mereka berbondong-bondong mengungkapkan masalah, keluh kesah, atau bahkan membongkar antagonisme dalam relasi sosial produksi di perguruan tinggi. Upah rendah yang tidak sebanding dengan ongkos untuk menjadi pendidik, beban kerja tinggi, hingga pengondisian melalui sistem pelaporan yang mendesak dosen menggunakan dana pribadi guna membiayai darma penelitian dan pengabdian masyarakat menjadi topik yang hangat diperbincangkan.
Berbagai media massa turut meramaikan wacana ini manakala keluh kesah semakin viral. CNN Indonesia membongkar fakta gaji dan tunjangan dosen berdasarkan golongan dan kepangkatan (asisten ahli, lektor, lektor kepala, guru besar). CNBC Indonesia membuka kronologi viralnya tagar #JanganJadiDosen dan mengangkat keberanian warganet untuk membuka slip pembayaran gaji yang biasanya bersifat rahasia, atau private & confidential. Bak gayung bersambut, Narasi Newsroom mengangkat persoalan kesejahteraan dosen melalui wawancara kepada beberapa dosen, termasuk pengurus Serikat Pekerja Kampus (SPK), serikat buruh yang menaungi dosen dan tenaga kependidikan perguruan tinggi yang belum genap setahun berdiri.
Namun, bukan kapitalisme namanya jika masalah yang mengakar tidak memiliki solusi teknis yang sebenarnya bukanlah solusi. Problem ini ditanggapi melalui pelatihan berbayar yang diklaim dapat membantu dosen meningkatkan kesejahteraannya. Untuk menarik partisipasi publik, kegiatan yang dijadwalkan akan dilaksanakan pada 31 Maret tersebut diberi tagline “dosen bisa sejahtera di tengah tantangan gaji”. Dialog interaktif ini dibanderol dengan harga Rp129 ribu (yang diubah menjadi gratis setelah viral). Menurut salah satu pembicara, para dosen tidak mengetahui jika peserta dibebankan tarif saat diundang untuk menjadi narasumber. Hal tersebut kian menunjukkan perilaku nir-etika dari lembaga pendidikan dan pelatihan yang mengeksploitasi kaum intelektual.
Tragedi Hubungan Kerja di Perguruan Tinggi yang Menjadi Lelucon
Sejak tagar #JanganJadiDosen viral, publik menyaksikan tragedi dari kapitalisme pendidikan tinggi: biaya kuliah semakin mahal tapi ternyata upah pekerja kampus begitu murah.
Persoalan kesejahteraan dan beban kerja ini tentu saja tidak dapat terlepas dari relasi kerja yang eksploitatif, di mana perguruan tinggi akan selalu berupaya untuk memperoleh nilai lebih (surplus value) melalui keuangan yang bersumber dari biaya kuliah mahasiswa, dana sumbangan, dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Setiap dana yang diterima sebagai modal tidak bisa diharapkan untuk dapat didistribusikan secara adil kepada pekerjanya. Hal tersebut dikarenakan struktur pekerjaan, upah, dan jabatan yang ada berpeluang untuk menempatkan pekerja di level bawah sebagai kelompok dengan beban kerja yang lebih tinggi serta upah yang lebih rendah.
Namun, dalam hubungan kerja yang eksploitatif ini, terkadang dosen itu sendiri melupakan bahwa akar masalah bukan disebabkan oleh “oknum atasan”, “kebijakan sepihak” pimpinan perguruan tinggi, atau bahkan sikap “pekerja yang malas”. Relasi kerja eksploitatif dianggap sebagai situasi normal. Bahkan, tak jarang kelas pekerja bersikap pasrah, memaklumi, atau malah mengampuni tragedi kesejahteraan ini karena struktur pasar kerja yang bersifat monopsony, yaitu pemberi kerja memiliki kuasa yang begitu besar dan tunggal untuk menentukan syarat-syarat pekerjaan, nilai upah, serta perintah kerja.
Sistem kapitalisme mungkin bersifat monopsony. Namun, jika kita tinjau kembali tulisan Frederick Engels tahun 1845 Condition of the Working Class in England, sejak periode awal revolusi industri kompetisi telah membuat kelas pekerja saling bersaing satu sama lain karena desakan harga kebutuhan pokok dan biaya hidup yang semakin meningkat. Bahkan, kompetisi dalam kapitalisme telah menjadi “ekspresi utuh dari pertarungan semua melawan semua dalam masyarakat modern”.[1]
Monopsony dan kompetisi merupakan paradoks dalam kapitalisme. Di satu sisi, kapitalisme mengecilkan peluang terjadinya persaingan untuk menentukan nilai upah dan syarat-syarat kerja yang kompetitif antara buruh dan majikan. Di sisi lain, kompetisi antar pekerja untuk mencapai prestasi, upah, serta jabatan tertinggi kian meningkat, dan bahkan mencapai level yang sangat mengkhawatirkan.
Dalam konteks hubungan kerja di kampus, kompetisi untuk mencapai jabatan fungsional tertinggi sebagai guru besar dan persaingan untuk menghasilkan angka kredit yang dapat meningkatkan peluang mendapatkan hibah penelitian besar sering kali mengeksploitasi para dosen yang telah bekerja keras tapi berada di level rendah. Bahkan, dalam kondisi yang lebih buruk, upaya untuk menghasilkan angka kredit turut mengeksploitasi mahasiswa yang telah bekerja keras tapi tak dibayar alias gratis. Dalam tugas riset untuk menghasilkan publikasi ilmiah, nama dosen kerap disematkan sebagai penulis pertama atau corresponding author.
Kompetisi di antara kelas pekerja sering kali memunculkan asumsi yang paling sesat pikir: kurangnya kesejahteraan disebabkan karena pekerja malas, kurang terampil, dan tidak kompetitif. Kesesatan berpikir tersebut mungkin menjadi rasionalisasi penyelenggaraan kegiatan pelatihan dosen yang telah disinggung di atas.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Eksploitasi jelas bukanlah hal baru dalam kapitalisme. Namun, kasus kesejahteraan dosen ini menggaungkan kembali apa yang Karl Marx katakan dalam esai tahun 1852, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. Di sana dia mengkaji kembali pendapat Hegel terkait “sejarah berulang dengan sendirinya (history repeat itself)”. Marx mengoreksi bahwa peristiwa sejarah tidak pernah benar-benar berulang, melainkan saat pertama kali terjadi akan dianggap sebagai tragedi (the first time as tragedy), namun ketika terjadi kedua kalinya menjadi lelucon (the second time as farce).[2]
Koreksi Marx terhadap Hegel tersebut kemudian dikaji kembali oleh Slavoj Žižek melalui buku “First as Tragedy then as Farce” yang terbit pada 2009. Menurut Žižek, berbagai tragedi kesejahteraan buruh, kemanusiaan, dan bahkan kerusakan lingkungan dalam kapitalisme kontemporer akan terus berulang namun dengan lelucon berupa suatu kebaruan yang (seolah-olah) menjadi solusi terhadap permasalahan. Salah satu contohnya ialah cultural surplus, yaitu nilai kultural dari suatu komoditas yang dianggap sebagai bagian dari solusi atas permasalahan tertentu dalam sistem kapitalisme.[3] Žižek mencontohkan dengan “coffee ethic”, yaitu komoditas kopi dari perusahaan besar Starbucks yang (konon katanya) membagi sebagian hasil penjualan untuk pemeliharaan lingkungan dan tanggung jawab sosial kepada petani. Jadi, dengan mengonsumsi komoditas yang memiliki cultural surplus, hasrat masyarakat untuk melakukan “perbaikan” dapat dipenuhi.[4]
Pada akhirnya, tragedi kesejahteraan dosen juga menjadi suatu lelucon: mereka tidak sejahtera karena dianggap tak terampil mengembangkan potensi karier akademik, tidak mampu mencari sumber pendapatan alternatif, dan gagal membangun mindset positif dan produktif. Melalui lelucon tersebut, pelatihan dosen kemudian menjadi komoditas dengan cultural surplus yang memuat solusi untuk meningkatkan kesejahteraan, meskipun permasalahan yang berakar pada eksploitasi tidak pernah ditiadakan.
Tantangan Perjuangan Pekerja dan Intelektual
Meskipun tragedi kesejahteraan dosen telah menjadi lelucon, namun perjuangan untuk memperbaikinya tidak boleh berhenti. Mengutip pendapat Michael Hardt dan Antonio Negri, salah satu elemen untuk menantang sistem kapitalisme yang eksploitatif adalah organisasi pekerja intelektual yang dapat menghimpun “labor-power against exploitation”, atau kekuatan buruh untuk bertarung melawan eksploitasi.[5] Dosen, sebagai pendidik dan ilmuwan, memiliki peluang besar untuk menyadarkan masyarakat pekerja, termasuk pekerja perguruan tinggi itu sendiri, agar tidak pasrah, mengampuni, atau memaklumi hubungan kerja yang eksploitatif.
Jika pertarungan ini dapat dimenangkan, setidaknya dapat diupayakan reformasi terhadap struktur monopsony dalam hubungan kerja perguruan tinggi untuk meningkatkan posisi tawar pekerja kampus dalam menentukan sistem pengupahan dan syarat-syarat kerja.
[1] Frederick Engels, The condition of the working class in England (Panther Book, 1969).
[2] Karl Marx, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte (Progress Publishers, 1869).
[3] Slavoj Žižek, First as tragedy, then as farce (London: Verso, 2009), 53.
[4] Žižek, 53–54.
[5] Michael Hardt dan Antonio Negri, Commonwealth (Cambridge, Mass: Belknap Press of Harvard University Press, 2009), 319.
Rizma Afian Azhiim adalah dosen dan Dewan Pengawas Serikat Pekerja Kampus.