Ilustrasi: Illustruth
TULISAN ini adalah telaah awal terhadap persoalan ketenagakerjaan yang dihadapi oleh para marbot di masjid kampung. Selama ini marbot diromantisasi sebagai bentuk “pengabdian”, dan minim dipandang dari sisi kesejahteraan yang tentu terkait dengan kualitas pelayanan yang mereka lakukan. Gambaran kondisi kerja mereka dibangun dari berbagai laporan, artikel jurnal, dan pemberitaan media daring.
Marbot kini tak hanya menjadi ladang pekerjaan bagi warga sekitar, melainkan juga mahasiswa dan pelajar dari daerah lain. Mereka harus membagi waktu untuk bekerja, belajar, dan relaksasi (Rahmayani & Hidir, 2020). Mahasiswa dan pelajar, yang berasal dari keluarga yang kurang sejahtera, menjadi marbot karena ingin meringankan beban orang tua. Meski begitu mereka tetap menganggap pekerjaan ini sebagai “bentuk ibadah”. Di sisi lain, hal ini mereka lakukan dengan harapan tak kesulitan mencari pekerjaan setelah lulus kuliah.
Tujuan telaah ini adalah untuk berefleksi bahwa, di lokasi terdekat dari kegiatan dakwah, ada mereka yang harus diperhatikan. Memperbaiki kualitas penghidupan marbot seharusnya juga menjadi bagian dari dakwah.
Para “Pengabdi” yang Terlupakan
Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2019 menunjukkan bahwa persentase pekerja tak tetap didominasi oleh kelompok usia muda. Pekerja muda baru saja memasuki pasar tenaga kerja sehingga “dianggap belum berpengalaman”. Mereka tetap dipekerjakan sebab dianggap memiliki “keterampilan umum” dan bisa dibayar lebih rendah dengan sistem kontrak sehingga dapat diganti sewaktu-waktu. Risiko yang harus mereka jalani adalah harus mau bekerja dalam “berbagai ketidakpastian” (Utomo & Sugiharti, 2022).
Kondisi pemuda yang memilih menjadi marbot adalah gambaran mikro dari situasi data Sakernas 2019: menunjukkan bahwa pekerja tidak tetap kebanyakan memiliki latar belakang pendidikan lebih dari sekolah menengah atas dan belum menikah. Menjadi marbot berarti “pilihan sementara” di tengah kesulitan mendapatkan peluang pekerjaan tetap. Di sisi lain, pekerjaan tak tetap belum tentu pula didominasi oleh para pendatang baru pasar tenaga kerja, bisa juga memang diisi oleh mereka yang menjadikannya pekerjaan utama yang dipertahankan (Utomo & Sugiharti, 2022). Kondisi pria muda yang lebih memilih menjadi marbot bisa pula menjadi gambaran dari kurangnya kesempatan kerja sebagai pekerja tetap dibandingkan dengan pekerja perempuan.
Pilihan untuk mencari pengalaman kerja mungkin saja terjadi karena anggapan bahwa generasi muda sedikit memiliki keterampilan yang dibutuhkan pasar. Data Sakernas 2019 menunjukkan bahwa hanya 10% pemuda yang mengikuti pelatihan kerja. Pekerjaan sebagai marbot adalah realitas mikro dari kondisi sebagian besar pekerja muda yang menjadi bagian dari sektor informal berdasarkan Sakernas 2019 (Yanindah, 2021). Menjadi marbot yang adalah kerja informal dianggap sebagai “persiapan generasi muda” untuk memasuki lapangan kerja formal sembari menjalani proses pendidikan.
Data Sakernas 2018 menunjukkan bahwa rata-rata pekerja paruh waktu mendapatkan upah di bawah standar nasional dengan rata-rata waktu kerja 21 jam per minggu (Mahmuda, 2020). Apa yang dijalankan para mahasiswa dan pelajar ini sebenarnya tergolong pekerjaan paruh waktu tersebut, masalahnya kita tahu bahwa ada tuntutan dari lingkungan sosial agar marbot ada setiap waktu. Analisis terhadap Sakernas 2018 secara umum memang menunjukkan bahwa pekerja muda lebih berada dalam hubungan kerja paruh waktu yang eksploitatif dibandingkan dengan kelompok umur lainnya (Mahmuda, 2020).
Para pemuda dan mahasiswa biasanya mendapatkan pekerjaan sebagai marbot dari informasi mulut ke mulut. Mereka menjadi marbot melalui rekrutmen. Mereka bakal menghadap langsung ke pengurus masjid setelah mendapatkan informasi dari teman. Pengurus masjid terkadang akan memberikan tes, meliputi cek suara, tingkah laku, dan keahlian dalam bidang keagamaan seperti mengaji. Marbot akan diberi tahu semua hal yang menjadi tanggung jawabnya maupun peran yang mau tak mau dilakukan menyangkut lingkungan sosial. Masa percobaan selama satu bulan sering diberlakukan sebelum calon marbot direkrut secara penuh. Pengurus mungkin saja menyediakan tempat tidur dan kompor bagi mahasiswa.
Menjadi marbot berarti menjalani pekerjaan tanpa peraturan tertulis, apalagi mengenai batasan pekerjaan dan jam kerja, sehingga dianggap bertanggung jawab pada kesiapan kegiatan yang ada di masjid (Nurkapiman, 2019). Alhasil, pelajar dan mahasiswa yang menjadi marbot harus melakukan banyak sekali tugas.
Mereka diharuskan selalu siap sedia menyiapkan peralatan menjelang salat termasuk harus mengumandangkan azan (Islahuddin, 2023). Tanggung jawab marbot sering bertambah menjadi pengajar dalam pengajian anak-anak dan membantu pengajian orang dewasa. Marbot tentu harus pula membersihkan fasilitas masjid seperti toilet, diminta pula melakukan bersih-bersih lingkungan. Pekerjaan marbot membuat pemuda harus melakukan berbagai peran bahkan terkait dengan keamanan masjid dan penyelenggaraan acara informal perayaan hari besar Islam (Elhakim & Masykur, 2020).
Marbot sering kali diharapkan ikut serta memberikan tenaga dalam kegiatan seperti renovasi masjid. Marbot yang enggan mengikuti kegiatan informal dari lingkungan sosial bisa dicap “bermalas-malasan” (M. B. Utomo, 2022).
Marbot terkadang harus siap menjadi pengganti imam apabila berhalangan. Perencanaan sampai dengan penyelenggaraan kajian keagamaan bahkan bisa saja menjadi tanggung jawab marbot. Pencatatan keuangan arus kas masjid tak ayal menjadi bagian dari pekerjaan pula.
Beban kerja yang banyak itu dilihat harus dikerjakan “dengan ikhlas dan rasa tanggung jawab besar.”
Tanggung jawab berat ditambah dengan beban kegiatan dan pekerjaan lainnya sering membuat marbot kelelahan dan bahkan jatuh sakit. Marbot dari kalangan pelajar dan mahasiswa hanya bisa bersiasat dengan “menentukan skala prioritas” (Elhakim & Masykur, 2020).
Marbot yang berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa tak bisa selalu berada di masjid. Pengurus masjid mungkin saja bisa mentolerir mereka yang masih sekolah, tetapi belum tentu dengan lingkungan sosial. Maka, sudahlah banyak tugas yang harus dilakukan, para marbot paruh waktu ini tak jarang mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat, khususnya terkait kesigapan menyiapkan ibadah sehari-hari. Masyarakat terkadang kurang bisa memaklumi kegiatan marbot yang masih menjadi pelajar dan mahasiswa di luar masjid, bahkan dianggap “teledor” (Islahuddin, 2023).
Kesibukan marbot dengan aktivitas di sekolah maupun perkuliahan sering kali dipermasalahkan oleh masyarakat karena mereka menjadi jarang atau tak bisa mengikuti acara informal di lingkungan sosial. Mereka kadang baru pulang sore hari dari sekolah/kampus, akibatnya menjadi tergesa-gesa saat menyiapkan salat magrib, misalnya. Pelajar dan mahasiswa tak mudah mengatur waktu dengan kegiatannya di luar pekerjaannya sebagai marbot (Islahuddin, 2023).
Pekerjaan marbot oleh masyarakat justru dianggap sebagai “sesuatu yang mudah dan sekaligus bentuk mendidik untuk berkomunikasi bagi masyarakat” (Nurkapiman, 2019).
Marbot juga diharuskan mau menerima masukan dari masyarakat terkait dengan pekerjaannya, yang sering kali dianggap sebagai “dorongan untuk mendidik dan membuat marbot menjadi pribadi yang lebih baik.”
Marbot digaji setiap bulan menggunakan “pendapatan bulanan” masjid. Dana ini diperoleh dari kotak amal sehingga fluktuatif dan tentu akan berdampak pada kesejahteraan marbot, apalagi harus dibagi lagi untuk acara dan kegiatan lain. Mereka menerima upah per bulan dengan nominal yang berbeda-beda (Utomo, 2022). Masjid memang terkadang memiliki unit usaha untuk membiayai operasionalnya (Rozalia, 2021). Unit usaha ini mungkin saja memberikan “santunan” kepada marbot untuk “meringankan sedikit bebannya” (Pratama, 2021).
Upah yang kecil sering kali diklaim sebagai konsekuensi dari fasilitas “berlebih” yang telah diberikan seperti makanan per hari, alat mandi, dan lain-lain.
Marbot mendapatkan pendapatan yang berbeda tergantung pula oleh jenis pekerjaan yang mampu mereka kerjakan (Baasithurahim & Zaki, 2020). Masjid besar mampu memberikan marbot gaji Rp1,5 juta per bulan. Masjid lain ada yang memberi Rp1 juta dan Rp750 ribu, tergantung pada lama bekerja para marbot. Lama bekerja menjadi pertimbangan penting bagi pengurus masjid untuk menaikkan gaji marbot.
Masih menurut studi Baasithurahim dan Zaki (2020), marbot mendapatkan fasilitas makan yang berbeda-beda pula. Ada yang harus memasak sendiri dan ada pula yang mendapatkan bantuan makanan dari warga sekitar yang juga takmir. Studi dalam lingkup Kota Surabaya ini menemukan pula ada pengurus masjid yang memberikan sembako untuk marbot.
Studi Jaya dkk. (2023) di Banjarmasin Utara menunjukkan bahwa pemenuhan kesejahteraan marbot pada dasarnya akan mencegah mereka meninggalkan pekerjaan. Pemenuhan kesejahteraan marbot diperlukan, sehingga benar-benar menghormati kontribusi mereka. Marbot sebenarnya juga akan menilai perlakuan pengurus masjid terhadap mereka. Work-life balance berperan penting pula untuk memastikan marbot tak meninggalkan pekerjaannya (Jaya dkk., 2023).
Studi tersebut menunjukkan bahwa marbot semestinya masuk dalam kategori pekerjaan paruh waktu dan perlu pembagian serta jadwal kerja yang jelas. Marbot banyak yang bekerja tanpa kontrak kerja tertulis (Jaya dkk., 2023). Ketidakjelasan pembagian kerja terutama bagi mereka yang masih berusia muda adalah diminta pula untuk menjadi pengajar membaca Al-Qur’an bagi anak-anak. Mereka sendiri sebenarnya sudah memiliki beban dalam “pemeliharaan masjid” bahkan menjaga aset (Rambe, 2020).
Para marbot mungkin akan berkata bahwa mereka “telah puas dengan kondisi penghidupannya” saat ditanya karena “dibayangi oleh doktrin keagamaan yang mereka yakini.” Hal tersebut sebenarnya adalah siasat untuk “menenangkan diri” dan “meredam frustrasi atas kondisi kerja yang mereka hadapi.” Rakyat kecil bahkan yang berusia muda pun akan melepaskan ketidakpuasannya secara individual dengan “berkeluh kesah kepada Tuhan” sebab masalah penghidupan telah “diindividualisasi” secara sosial. Rakyat kecil “berupaya menjalani saja apa yang sudah mereka tempuh” dan itu dipandang sebagai “rasa syukur” (Rakhmani & Utomo, 2023).
Kerentanan yang dihadapi oleh para marbot artinya dibentuk pula oleh imajinasi yang dibentuk dan diharapkan masyarakat terhadap mereka. Kerentanan muncul dari upaya “memaksakan” marbot untuk mampu mengerjakan “banyak hal” termasuk ikut serta dalam acara informal. “Pihak lain telah memaksakan” gambaran “diri yang dianggap layak” ditunjukkan oleh seorang marbot yang dianggap sebagai “personifikasi dari aktivitas masjid” (McLeod, 2023). “Pihak lain” tak peduli dengan kondisi penghidupan marbot, sehingga tak memberi ruang untuk pembangunan imajinasi dirinya sendiri sebagai pekerja maupun peran lain yang ingin dijalankan mengingat sifat kerja yang paruh waktu.
Pekerjaan Rumah Perbaikan Kesejahteraan
Perbaikan kesejahteraan untuk marbot selama ini lebih didasarkan pada langkah-langkah sporadis berjangka pendek, dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari pemerintah daerah, swasta, kantor perwakilan Kementerian Agama (Kemenag), maupun lembaga filantropi. Pemberian kesejahteraan dapat kita duga sebatas “belas kasihan” dan tidak berarti menyelesaikan persoalan perburuhan.
Langkah tersebut misalnya dilakukan oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) Salatiga dan PT. Persada Unilever Jogja yang melatih135 marbot di Kota Salatiga. Pelatihan ini sebatas pada upaya meningkatkan kemampuan para marbot dalam “pelayanan kebersihan masjid”. Bantuan melalui kerja sama dilakukan pula oleh para muzaki Yayasan Baitul Mal Perusahaan Listrik Negara (YBM PLN) dengan pengurus masjid di Magersari, Kota Mojokerto. Mereka memberikan empat kolam ikan dengan media terpal yang dibayangkan akan membantu “kemandirian pendanaan masjid.”
Kerja sama multipihak dilakukan pula oleh Baznas dan PDAM Kabupaten Bogor. Mereka menyalurkan dana bantuan kepada para marbot pada tahun 2023. Pemkot Kediri memberikan BPJS Ketenagakerjaan kepada 261 marbot dengan uang dari hasil zakat, infak, dan sedekah aparatur sipil negara (ASN) yang disalurkan melalui Baznas. Pola hampir sama dilakukan di Kabupaten Kotabaru, di mana 579 imam dan marbot masjid serta 146 penyuluh agama Islam mendapatkan jaminan BPJS Ketenagakerjaan yang iurannya dari Yayasan Lazis Assalam Fil Alamin yang mendapatkan sumbangan pribadi dari muzaki termasuk dari pengusaha besar seperti H. Isam.
Pemkab Tangerang bekerja sama dengan Jaringan Nurani Rakyat melaksanakan program bedah rumah marbot demi membantu memperbaiki nasib mereka. Pola yang “agak menyeluruh” dilakukan oleh Pemkab Pekalongan dengan Bank Muamalat Indonesia. Mereka memberikan dana senilai Rp1 juta dan premi BPJS Ketenagakerjaan selama setahun kepada 773 marbot masjid pada tahun 2018. Sumber dari zakat penghasilan ASN juga digunakan di Kabupaten Kerinci oleh Baznas untuk menyalurkan bantuan kepada para marbot dengan nominal Rp750 ribu.
Baznas Kabupaten Pandeglang juga memberikan santunan kepada marbot masjid, guru mengaji, dan guru madrasah. Pemkot Tegal bersama dengan Baznas Kota Tegal memiliki program Jaga Kyai untuk memberikan bantuan dan asuransi kepada para kiai dan marbot. Wali Kota Tegal mengklaim bahwa program tersebut mengacu pada Fatwa MUI No. 23 Tahun 2020 yang mengkategorikan marbot sebagai orang yang berhak menerima zakat/mustahik. Lalu ada Pemkot Cirebon bersama DMI Kota Cirebon, At Taqwa Center, dan BPJS Ketenagakerjaan yang memiliki program Gerakan Cinta Marbot yang memberikan jaminan sosial bagi marbot.
Pemerintah Kabupaten Bangka Tengah bekerja sama dengan Baznas sempat menyelenggarakan bimbingan teknis manajemen ekonomi masjid dan pemberian insentif kepada para marbot. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memiliki skema penyaluran insentif kepada marbot, bekerja sama dengan BAZIS. Data penerima bantuan sayangnya belum tersimpan dengan baik. Pencatatan yang dilakukan juga tak sesuai format dari bank yang menjadi mitra penyaluran insentif (Handayani & Septiana, 2017).
Cara-cara filantropis untuk memperbaiki kehidupan para marbot juga ada, misalnya dalam Program Peduli Marbot Masjid dari LAZIS UNISIA. Mereka memberikan Rp 400 ribu bagi 75 marbot dari 75 masjid/musala. Filantropi lain seperti Lazismu memilih cara mendorong marbot membuat usaha. Di Sidoarjo, mereka punya program pemberdayaan ekonomi marbot dengan bantuan Bank Mega Syariah.
Pada 11 Juni 2018, Lazismu Kabupaten Probolinggo memberikan bantuan berupa bingkisan Lebaran kepada guru kelompok bermain dan taman kanak-kanak, guru mengaji, serta marbot masjid Muhammadiyah. Marbot diberi kewajiban mensosialisasikan program RS Ibu dan Anak Muhammadiyah dengan janji mendapatkan tambahan kesejahteraan per bulan dan insentif lain. Sementara pada 5 Januari 2024, Dompet Dhuafa bekerja sama dengan DMI menyalurkan bantuan untuk guru mengaji, imam masjid, dan marbot di Kabupaten Bekasi.
Pemerintah Kabupaten Kudus memiliki program bantuan kesejahteraan bagi imam masjid dan musala, khatib, dan marbot dengan besaran masing-masing Rp1 juta setiap tahun. Sayangnya, bantuan tak bisa lagi diberikan pada tahun ini karena anggaran diprioritaskan untuk pemilihan umum. Pemkab Bekasi berupaya pula kembali menyediakan bantuan bagi marbot setelah pada tahun-tahun sebelumnya macet karena pandemi Covid-19.
Pemkab Banyumas memiliki Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) yang salah satunya bertugas memberikan bantuan bagi marbot, namun dananya belum bisa mencakup semua masjid yang ada di daerah itu. BKM juga digunakan oleh pemerintah Kota Magelang untuk menyalurkan “insentif” bagi marbot sebesar Rp1,2 juta per tahun. Dana yang berasal dari APBD ini diberikan kepada marbot yang lolos verifikasi dan sesuai persyaratan. Pemkab Bojonegoro memberikan insentif pula kepada para marbot baik bagi laki-laki maupun perempuan dengan jumlah penerima yang terus bertambah sejak 2019.
Pemkab Lamandau sejak tahun 2018 memberikan insentif bagi ustaz, ustazah, dan marbot secara berkala. Ada pula pemberian barang seperti yang dilakukan Pemkab Bandung Barat. Mereka memberikan motor kepada para marbot. Pemkab Pekalongan memiliki program hibah untuk ormas keagamaan seperti Muhammadiyah dan insentif kepada para marbot. Pemkot Serang memberikan uang Rp300 ribu per tiga bulan bagi guru mengaji, marbot, dan pemandi jenazah.
Pemkot Bogor bekerja sama dengan Polresta Kota Bogor mengembangkan program Marbot Mart demi memberikan tambahan pendapatan bagi para marbot, di mana sampai tahun 2022 sudah terdapat 16 titik lokasi usaha. BKM Kota Magelang memanfaatkan pula dana hibah APBD untuk memberikan insentif bagi para marbot dengan pengarahan langsung dari pemda. Setiap tahun pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) juga memberikan insentif bagi marbot di daerahnya.
Kemenag sendiri tengah menyusun standardisasi honorarium bagi imam dan takmir masjid. Tiga sumber pembiayaan yang terpetakan adalah APBN, APBD, dan kas masjid. Honorarium dibayangkan akan disesuaikan dengan tipologi masjid seperti masjid negara, masjid raya, masjid agung, masjid besar, dan masjid jami. Honorarium akan disesuaikan pula dengan pendapatan kas bulanan masjid.
Semua langkah di atas sayangnya tak menjawab prekarisasi kerja yang dihadapi oleh marbot. Marbot baik yang berusia muda maupun kalangan dewasa pada dasarnya termasuk kelompok prekariat. Prekariat adalah mereka yang melakukan pekerjaan dalam kehidupan sehari-hari dengan kelangsungan hidup dan kesejahteraan “yang tak pasti” (Stålsett, 2018). Marbot pada dasarnya tak memiliki jaminan atas pendapatan, keberlangsungan dalam pasar tenaga kerja, keselamatan kerja, representasi dalam kerja, dan peningkatan keterampilan.
Para prekariat tak menyadari bahwa mereka berada dalam banyak kerentanan, sehingga sulit membangun kesadaran bersama mengenai kondisi penghidupan (Stålsett, 2018). Selain itu, dalam kasus marbot, prekarisasi diikuti dengan “semangat religiusitas” untuk berupaya menutupi “kesakitan” atas kondisi kerja. Ketidakamanan kondisi hidup justru membuat marbot, sebagai pekerja, justru “semakin religius.” Mereka ingin “meredam perasaan mengenai kondisi kerja mereka dan berbagai tuntutan sosial yang melekat pada pekerjaan” dengan berupaya menyalurkannya pada praktik atas “nilai-nilai keagamaan” yang menjadikan masalah kerja yang adalah masalah publik seolah-olah menjadi masalah individu. Mereka kurang memiliki “harapan dan kemauan” untuk memperjuangkan perbaikan kondisi kerjanya. “Religiusitas” seperti itu tak dijadikan sarana untuk melepaskan pekerja dari kerentanannya, apalagi mempertanyakan relasi timpang yang menimbulkan adanya ketidakadilan (Stålsett, 2018).
Prekariat seperti marbot juga sulit memperjuangkan nasib karena adanya pukulan terhadap kelas pekerja sejak era Orde Baru. Ini membuat kekuatan kelas pekerja menjadi renggang. Penguasa sejak masa awal kemerdekaan sudah menganut “cara pikir integralisme,” di mana perbedaan aspirasi seperti dari pekerja ingin diredam dan dibayangkan “kondisi baik-baik saja.” Kacamata tersebut yang menjelaskan hubungan antara negara, pemerintah, dan pekerja dibayangkan tak terjadi “secara konfliktual,” melainkan “harus selalu selaras dan dibayangkan tak ada relasi sosial yang timpang” (Yasih & Hadiz, 2023).
“Kesalehan individu” dijadikan pelarian di tengah lemahnya kekuatan pekerja. Akibat tanggung jawab kondisi penghidupan diletakkan pada individu, yang dianggap sebagai penyelesaian adalah menopang diri sendiri dengan merintis usaha perseorangan. Untuk bisa lepas dari kesulitan penghidupan, pekerja seperti marbot dibayangkan harus berbisnis dan masuk ke pasar. Kesejahteraan mereka dianggap sebagai tanggung jawab mereka sendiri (Yasih & Hadiz, 2023). Negara yang harus menjamin penghidupan mereka dilepaskan perannya.
Moralitas individu berbasis keagamaan sering kali dijadikan cara untuk mendoktrin bahwa mereka yang “berhasil” adalah mencapainya sendiri sembari mampu “menyeimbangkan capaian ibadah mahdhah.” Pekerja didorong untuk “menerima ketidakadilan duniawi” dan untuk menyerahkan “secara terbuka pada Tuhan,” sehingga dapat “fokus mendapatkan hasilnya di akhirat” (Yasih & Hadiz, 2023).
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Kesimpulan dan Masukan Kebijakan
Marbot berada dalam kondisi kerentanan kerja akibat ketidakpastian relasi perburuhan yang mereka hadapi. Mereka yang berusia muda, akibat kebutuhan untuk mendapatkan pengalaman kerja, menjadikan pekerjaan sebagai marbot sebagai persiapan untuk masuk pasar tenaga kerja. Mereka harus membagi waktu di antara sekolah/kuliah, meskipun dihadapkan pada tuntutan yang tinggi untuk mengerjakan tugas di luar tanggung jawabnya dari lingkungan sosial. Mereka bahkan harus ikut pula menjadi pengajar bagi anak-anak. Mereka yang berusia dewasa menanggung beban yang hampir sama.
Marbot pada dasarnya adalah pekerjaan paruh waktu, tetapi dianggap harus selalu siap siaga setiap menjelang waktu salat. Mereka tak memiliki batasan jam kerja yang jelas, besaran upah yang jelas, serta direkrut tak berdasarkan kontrak tertulis. Kerentanan-kerentanan yang mereka hadapi “direlakan dengan menganggap pekerjaan mereka sebagai bentuk ibadah sekaligus upaya mempertebal religiusitas.” Pandangan tersebut tanpa disadari membuat mereka tak melihat sumber dan bentuk relasi kerja timpang yang mereka hadapi.
Langkah awal untuk memperbaiki nasib marbot tentunya harus dimulai dengan pendataan masjid yang beragam jenisnya itu, terutama masjid kampung yang berada di permukiman. Langkah tersebut menjadi titik pijak untuk menentukan kebutuhan riil dari personel marbot yang dibutuhkan dalam pelayanan masjid. Identifikasi terhadap kebutuhan personel harus diikuti pula dengan identifikasi besaran kebutuhan dasar, mengikuti konteks wilayah yang akan menentukan besaran pengupahan pula.
Lalu, dengan menyadari bahwa marbot pada dasarnya adalah pekerjaan paruh waktu, tak boleh menuntut tanggung jawab lebih di luar tugas yang disepakati antara calon pekerja dengan pemberi kerja.
Pemerintah perlu membagi tugas marbot secara jelas. Misalnya, harus ada yang bertugas pembersihan dan perawatan fasilitas, terpisah dengan mereka yang bertugas mengumandangkan azan. Mereka yang berusia muda apalagi masih sekolah/kuliah dapat diperbantukan menjadi pengajar pengajian anak-anak maupun menyiapkan serta merencanakan kajian rutin keagamaan. Pembagian kerja secara jelas menjadi penting untuk menghindari desakan sosial dan beban kerja berat yang harus ditanggung oleh marbot. Pembagian kerja yang jelas perlu diikuti pula dengan kontrak kerja tertulis yang disepakati calon pekerja dan pemberi kerja, sehingga menghindari adanya beban kerja di luar tanggung jawab tugas dan pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
Pemerintah perlu mengatur secara jelas penggunaan APBN, APBD, maupun kas masjid berdasarkan pemetaan masjid beserta tipologinya serta kebutuhan untuk menunjang pembiayaan pengadaan marbot. Pemerintah dapat pula mendorong integrasi penggunaan dana Ziswaf (Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf) untuk memberikan jaminan sosial berupa BPJS Ketenagakerjaan bagi marbot.
Sifat pekerjaan paruh waktu yang sudah disertai dengan pembagian kerja secara jelas tentu tak kemudian menjadikan marbot sebagai “tanggung jawab utama” bagi si pekerja, melainkan pekerja dimungkinkan untuk menyambung hidup dari sumber lain. Langkah tersebut memungkinkan tak adanya desakan sosial yang berlebihan terhadap marbot, sehingga pelayanan masjid dapat berjalan dengan baik.
Daftar Pustaka
Baasithurahim, G. A., & Zaki, I. (2020). Kesejahteraan Marbot Masjid Di Kota Surabaya Ditinjau Dari Perspektif Maqashid Syariah. Jurnal Ekonomi Syariah Teori dan Terapan, 7(6), 1025–1035.
Elhakim, D., & Masykur, A. M. (2020). Pengalaman Mahasiswa Yang Menjadi Marbut Masjid. Jurnal Empati, 8(3), 144–152.
Handayani, P., & Septiana, S. (2017). Aplikasi Penerimaan Dana Bantuan Guru Ngaji Dan Marbot Masjid Bazis Kota Administrasi Jakarta Timur Berbasis Web. Jurnal PROSISKO , 4(2), 25–31.
Islahuddin, R. (2023). Peran Marbot Masjid Dalam Pelaksanaan Ibadah Harian (Studi Kasus di Masjid Taqwa Kelurahan Jembatan Kecil Kota Bengkulu) [Undergraduate Thesis]. Universitas Islam Negeri Fatmawati Sukarno Bengkulu.
Jaya, F. P., Wahab, A., Aspiannor, A., & Wardhana, Z. F. (2023). Employee Engagement: Strategies for Reducing Turnover Intention at Mosque Marbot. Al-Tanzim: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam, 7(1), 41–55.
Mahmuda, D. (2020). Marginal Part-Time Employment in Indonesian Labor Market: Profile and Determinant. Jurnal Economia, 16(2), 236–244.
McLeod, J. (2023). Facing Precarious Futures. Dalam E. Marino & B. Majoul (Ed.), Precarity in Culture: Precarious Lives, Uncertain Futures (hlm. 1–8). Cambridge Scholars Publishing.
Nurkapiman, H. (2019). Persepsi Masyarakat Terhadap Peran Marbut Masjid Nurul Iman Di Kelurahan Sukarami Kota Bengkulu [Undergraduate Thesis]. INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BENGKULU.
Pratama, A. P. (2021). Peran Masjid Terhadap Peningkatan Kesejahteraan Jamaah (Studi Pada Masjid Al-Huda Desa Gumiwang Kecamatan Purwanegara Kabupaten Banjarnegara) [Undergraduate Thesis]. Institut Agama Islam Negeri Purwokerto.
Rahmayani, D. D., & Hidir, A. (2020). Marbot Masjid Di Pekanbaru (Studi Tindakan Rasional Mahasiswa Menjadi Marbot Masjid di Kecamatan Tampan). Jurnal Online Mahasiswa , 7(2), 1–15.
Rakhmani, I., & Utomo, A. (2023). Spiritually surviving precarious times: Millennials in Jakarta, Indonesia. Critical Asian Studies, 55(4), 473–492.
Rambe, M. S. (2020). Manajemen Badan Kenaziran Masjid Di Percut Sei Tuan Dalam Pembinaan Jamaah (Studi Kasus Masjid Al–Mukhlisin) [Undergraduate Thesis]. Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
Rozalia, U. A. (2021). Strategi Dakwah Takmir Dalam Meningkatkan Kegiatan Keagamaan Di Masjid Jami’ Nurul Islam Ngaliyan Semarang [Undergraduate Thesis]. Universitas Islam Negeri Walisongo.
Stålsett, S. J. (2018). Prayers Of The Precariat? The Political Role Of Religion In Precarious Times. Estudos Teológicos, 58(2), 313–325.
Utomo, M. B. (2022). Interaksi Kelompok Pendatang Dengan Masyarakat Lokal (Studi di Kalangan Mahasiswa Marbot di Kelurahan Tambakaji Semarang) [Undergraduate Thesis]. Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang.
Utomo, O. P., & Sugiharti, L. (2022). Characteristics and Determinants of Precarious Employment in Indonesia. Media Trend, 17(2), 608–619.
Yanindah, A. (2021). An Insight into Youth Unemployment in Indonesia. Proceedings Of The International Conference On Data Science And Official Statistics, 666–682.
Yasih, D. W. P., & Hadiz, V. R. (2023). Precarity and Islamism in Indonesia: the contradictions of neoliberalism. Critical Asian Studies, 55(1), 83–104.
Anggalih Bayu Muh Kamim adalah Mahasiswa Magister Sosiologi Pedesaan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor