Ilustrasi: Ilustruth
DALAM perbincangan arus utama, pariwisata sering dipahami sebagai aktivitas rekreasi dan bisnis pada umumnya. Sementara secara akademis, dalam studi-studi vokasional berhaluan positivistik, pariwisata kebanyakan dipahami melalui pendekatan manajerial. Pendekatan ini meyakini bahwa pengaturan dengan kaidah-kaidah bisnis yang tertata rapi dapat mendukung industri pariwisata, di dalamnya termasuk inovasi, strategi ekonomi, dan pembangunan.
Namun demikian, seluruh pendekatan ini ahistoris. Dengan melihat pariwisata dalam konteks historis dan geografis tertentu, akan terlihat bahwa terdapat pula antagonisme kelas, pertarungan berbagai kekuatan yang saling memperebutkan sumber daya material, termasuk pengabadian proses akumulasi kapital.
Pariwisata sebagai Fenomena Ekonomi-Politik
Dengan meletakkan ke dalam struktur ekonomi politik dan perkembangan geografis, Britton (1991) memahami pariwisata sebagai aktivitas yang diorganisir secara kapitalis. Di dalamnya memuat dinamika relasi sosial kekuasaan, juga pengoperasian instrumen ideologis.
Oleh karena berdiri di atas fondasi ekonomi kapitalis, pariwisata ditujukan untuk memaksimalkan ekstraksi keuntungan melalui komodifikasi dan penciptaan objek konsumsi, misalnya layanan tur, hotel, dan objek wisata seperti pantai dan seterusnya. Selain itu, pariwisata juga terikat dengan sistem privatisasi yang telah menjadi instrumen peminggiran sekaligus perampas sumber daya material kelas marginal–di dalamnya ada lahan dan sarana produksi kecil berbasis kepemilikan keluarga.
Bianchi (2011) menyatakan, di dalam struktur kapitalisme pariwisata, sarana produksi kecil berbasis keluarga akan beradu dengan perusahaan besar yang memonopoli sumber daya, tentu dalam posisi kekuatan yang tidak setara.
Sementara negara tidak menjadi rezim redistribusi sumber daya material, melainkan kekuatan yang turut memediasi proses akumulasi. Negara sering bertindak sebagai koordinator utama pembangunan pariwisata. Hal itu mencakup penyediaan infrastruktur, jaringan transportasi, dan promosi skala luas. Maksud “koordinator utama”, seperti kata Britton (1991), adalah negara dapat memediasi benturan kepentingan fraksi-fraksi kapitalis dalam pembangunan pariwisata dan berusaha memastikan sistem produksinya tidak terhambat. Sementara promosi besar dilakukan, mengutip Bianchi (2015), sebab suatu negara berada dalam kompetisi global dengan negara lain dalam hal menarik turis. Oleh karena itu, institusi maupun perangkat regulasi akan disesuaikan untuk menarik minat wisatawan, juga investor, dalam reproduksi kapital pariwisata.
Berdasarkan uraian singkat di atas, bisa rangkum bahwa pariwisata bukan aktivitas rekreasi dan bisnis biasa, melainkan fenomena ekonomi-politik yang di dalamnya menubuh relasi sosial kekuasaan, pertarungan, dan maksimalisasi keuntungan di dalam struktur kapitalisme.
Proses Akumulasi di KEK Likupang
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah skema pembangunan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Yang membedakannya dengan aktivitas bisnis biasa adalah intensi negara untuk menjalankan fungsinya sebagai “pelayan” pasar dengan mengorientasikan ulang institusi dan produk kebijakan agar memiliki korelasi positif dengan proses akumulasi kapital.
“Pelayan” pasar dapat dilihat dari ragam insentif yang diberikan melalui skema KEK, yaitu insentif fiskal dan nonfiskal. Insentif fiskal meliputi pengurangan maupun pengampunan pajak, tarif, termasuk lalu lintas barang; sedangkan insentif nonfiskal yaitu pemberian sarana infrastruktur pendukung industri, alokasi lahan secara lebih longgar, juga peraturan upah dan hubungan ketenagakerjaan yang fleksibel.
Per Desember tahun lalu, ada 20 KEK yang tersebar dari Sumatra hingga Papua. Di Sulawesi Utara, terdapat dua KEK yang progres pembangunannya masih belum maksimal. Pertama adalah KEK Bitung yang fokus pada pengembangan industri pengelolaan kelapa, perikanan, dan farmasi. Yang kedua adalah KEK Likupang–fokus artikel ini–yang membangun industri pariwisata kelas premium dengan balutan ecotourism.
Pada KEK Likupang jelas beroperasi mode regulasi (mode of regulation) negara kapitalis yang kepentingannya berkorespondensi dengan proses akumulasi kapital. Mode regulasi mencakup ragam penyesuaian sosial, institusional, dan legal yang dapat mendorong pengintegrasian struktur ekonomi kapitalisme dan relasi sosialnya. Mode regulasi KEK yang disediakan negara dapat menjamin, melindungi, dan mendukung aktivitas bisnis pariwisata.
Pihak yang ditunjuk pemerintah untuk mengembangkan KEK Likupang, sebagai Badan Usaha Pembangun dan Pengelola (BUPP), adalah PT. Minahasa Permai Resort Development (MPRD). Mereka bekerja bersama Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) yang telah mengembangkan KEK Mandalika.
Tercatat, MPRD telah menguasai tanah di kawasan Tanjung Pulisan, Kecamatan Likupang Timur, yang mencakup dua desa, yaitu Kinunang dan Pulisan, sejak akhir 1980-an. Dalam menguasai lahan itu, MPRD menggunakan jejaring aliansi predatoris dengan aparatus birokratis dan mafia tanah, juga memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat sehingga mudah menjual atau melepaskan tanah mereka.
Sebagai BUPP, MPRD diberi keistimewaan oleh negara untuk memberikan sewa/menjual-belikan lahan kepada unit usaha yang akan berinvestasi pada KEK. Hal ini telah memunculkan konflik sosial yang terkait dengan perebutan sumber daya material. Konflik itu melibatkan kekuatan sosial dominan, yaitu MPRD dan sekutu birokrasinya, dengan kekuatan sosial marginal yaitu petani, pedagang, dan nelayan yang berproduksi dengan skala kecil.
KEK Likupang memisahkan kekuatan produktif rakyat dari sarana produksinya melalui perampasan. Akibat kehilangan kontrol langsung atas sarana produksi yang telah terprivatisasi, rakyat rentan mengalami kemiskinan. Hal itu mencakup hilangnya kebun sebagai alternatif sumber daya material rakyat dari aktivitas melaut, serta tepi pantai sebagai area berdagang anggota keluarga perempuan.
Singkatnya, KEK Likupang muncul sebagai kapitalisme pariwisata yang siap merampas kekuatan produktif rakyat. Hal itu termanifestasi dari hasrat pembangunan industri pariwisata lokal yang memuat semangat pertumbuhan daripada redistribusi.
Pemerintah berdalih telah mengembangkan potensi kreativitas dan inovasi rakyat sebagai bekal untuk terlibat dalam industri ini. Namun yang luput diperhatikan adalah terdapat ketidaksetaraan apabila rakyat dipaksakan berkompetisi dalam industri yang didominasi oleh kekuatan bisnis dengan kapital yang besar. Rakyat diarahkan sekadar untuk mengais “sisa-sisa”, misalnya dengan menjajakan suvenir, sembari membiarkan akumulasi skala besar oleh kekuatan produktif kelas kapitalis.
Intensifikasi pembangunan pariwisata melalui mode regulasi KEK, dengan demikian, telah menjadi kekuatan yang turut meminggirkan dan merampas. Hal itu dijalin dengan kolaborasi apik bersama negara yang juga berkepentingan melakukan pembangunan demi pertumbuhan.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Selain itu, KEK Likupang yang ada di dalam struktur kapitalisme pariwisata terikat dengan dua bentuk komodifikasi, sebagaimana menurut Britton (1991). Pertama pengalihan hak properti komersial melalui sewa/menjual-belikan (misalnya lahan dan bangunan). Kedua, penciptaan atribut komersial yang dapat diperjual-belikan (misalnya wisata budaya, sejarah, dst.).
Mode regulasi KEK memberikan kewenangan kepada MPRD untuk menentukan sewa/jual-beli lahan kepada investor yang bersedia membangun KEK Likupang, di antaranya adalah membangun klub pantai, resor, marina, dan sarana rekreasi lain. Komodifikasi terhadap lahan menjadi pusat dari aktivitas bisnis utama MPRD sebagai pengembang. Ia tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup untuk menjadi satu-satunya “pemain” di zona KEK Likupang.
Selain komodifikasi lahan, KEK Likupang berupaya menciptakan atribut komersial tertentu. Akan tetapi, atribut komersial tersebut justru adalah atribut yang sebenarnya nonkomersial. Misalnya adalah “konservasi”. Oleh karena secara geografis berada dekat dengan Wallace Conservation Centre, maka KEK Likupang dibalut sebagai ecotourism untuk mendapatkan nilai lebih yang menguntungkan. Padahal, “konservasi” merupakan atribut non-komersial yang kemudian dikomersialkan. Sebagaimana menurut Britton (1991), asimilasi atribut nonkomersial bertujuan agar muncul ketertarikan khusus terhadap objek komoditas pariwisata yang dituju.
Penutup
Pembangunan KEK Likupang memang belum maksimal. Agustus tahun lalu Menteri Pariwisata menyatakan mengubah konsep pembangunannya. Namun demikian, pembacaan terhadap wilayah ini tetap penting untuk dapat memahami apa itu pariwisata sebenarnya.
Pariwisata adalah fenomena ekonomi-politik, di dalamnya terdapat pertarungan dan persaingan untuk memperebutkan sumber daya serta upaya kreatif kelas kapitalis untuk melakukan komodifikasi dan akumulasi. Sementara negara menjadi situs penting bagi proses pembentukan dan akumulasi kapitalisme pariwisata melalui penciptaan mode regulasi–seperti KEK–yang memberikan banyak keistimewaan terhadap pemodal.
Selain di Likupang, fenomena serupa dapat dengan mudah ditemukan di tempat-tempat lain.
M. Taufik Poli adalah alumnus Ilmu Politik Universitas Pembangunan Indonesia Manado. Saat ini terlibat dalam inisiatif lokal Timou Democracy Project