Ilustrasi: Illustruth
FRESH graduate (lulusan baru) perguruan tinggi biasanya menghadapi seabrek masalah persis selepas menyelesaikan studi. Dengan harapan penghidupan yang lebih baik selepas berkubang di dunia perkuliahan beserta dinamikanya yang memuakkan, justru mereka harus berhadapan dengan kenyataan pahit dunia kerja. Pengangguran, sulit bekerja di sektor formal, harapan orang tua yang tinggi akibat doktrin tujuan kuliah adalah untuk kerja yang mapan, pemenuhan kebutuhan hidup mendasar, serta tuntutan gaya hidup yang semakin tidak masuk akal biayanya adalah sebagian dari masalah yang aktual dan jamak dihadapi.
Agar tetap dapat menghasilkan pendapatan, fresh graduate terpaksa masuk ke sektor informal. Oleh International Labour Organisation (ILO) pekerja di sektor informal ini cenderung disamakan dengan pekerja rentan, yakni mereka yang bekerja namun terabaikan hak-hak mendasarnya.
Jumlah pengangguran di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, mencapai 7,86 juta jiwa. Sebanyak 12 persen di antaranya, atau sekitar 943.200 orang, adalah lulusan sarjana atau diploma yang tergolong kedalam fresh graduate. Menurut Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, kondisi ini disebabkan oleh kompetensi lulusan baru perguruan tinggi yang tidak relevan dengan pasar atau industri (problem link and match). Cara berpikir seperti Ida jamak ditemukan, bahkan yang lebih fatalistik seperti anggapan bahwa semua karena problem individu, misalnya ekspektasi gaji terlalu tinggi, pengalaman kurang, atau nol soft skills.
Tentu sangat naif menyimpulkan kondisi menganggur fresh graduate karena hal-hal di atas. Cara pandang semacam itu sedikit banyak mengabaikan problem yang lebih struktural, yakni dinamika kerja di bawah sistem kapitalisme.
Selain harus menghindari kacamata fatalis dalam melihat problem pengangguran, yang akan dibahas nanti, kita pun kudu berhati-hati terhadap cara pandang ekonomi neoklasik yang menganggap kerja informal akan hilang dengan sendirinya seturut dengan pembangunan ekonomi yang masif. Merespons hal ini, penting untuk selalu menyadari bahwa dalam menggerakkan sejarah masyarakat, pasar bergerak tidak alamiah. Ia selalu terikat oleh kepentingan-kepentingan tertentu dan seturut dengan logika akumulasi yang sarat akan kepemilikan pribadi, komodifikasi tenaga kerja, serta eksploitasi kelas.
Masalah pendekatan ekonomi neoklasik umumnya adalah ia ahistoris, yakni mendekati asumsi teoretis tertentu tanpa mempertimbangkan atau menjelaskan pembentukan dan perkembangan sesuatu dalam sirkuit kesejarahan yang spesifik. Ia gagal untuk mengakui bahwa individu selalu dan akan disituasikan oleh relasi sosial tertentu yang sistemik dan struktural.
Banyak hal-hal yang luput dari pemikiran ekonomi neoklasik. Habibie (2016) melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang dalam horizon pemikiran ekonomi neoklasik abai untuk diketengahkan, misalnya, “Bagaimana kalangan neoklasik yang mendaku ekonomi informal dapat menciptakan kesejahteraan dan mendorong mobilitas vertikal, menyikapi laporan ILO yang menggolongkan mayoritas kerja informal sebagai pekerjaan rentan? Apakah pekerja memang secara sukarela bergabung ke sektor informal? Jika pasar dibiarkan bekerja sendiri, siapa yang mendapat manfaat dan siapa yang harus menanggung kerugian? Apakah pasar memberikan dampak yang sama bagi seluruh segmen masyarakat?”
Konsep Marx tentang Proletarianisasi
Pada titik ini diperlukan suatu analisis yang berbeda dalam melihat problem fresh graduate, utamanya terkait pengangguran dan kerja sektor informal. Analisis tersebut tidak boleh ahistoris sebagaimana kaum neoklasik, harus objektif, serta tidak melakukan reduksi secara fatal sebagai problem individual namun menjangkarkannya pada logika akumulasi kapital yang berdampak pada distingsi kerja informal dan kerja formal.
Pada akhirnya, kita harus melihat apa yang oleh Karl Marx sebut sebagai proses proletarianisasi, yang pada gilirannya akan membawa pada gagasan tentang Surplus Populasi Relatif (SPR).
Sederhananya, proletarianisasi adalah “satu proses pemisahan pekerja independen dari sarana produksinya” (Habibie, 2016). Pekerja yang tadinya memiliki tenaga kerja berikut sarana produksi dipaksa untuk hanya memiliki tenaga kerja saja. Proses ini menghasilkan kelas baru yang jamak kita sebut sebagai proletariat. Proletariat inilah yang akan terserap ke dalam proses sirkulasi kapital berikut logika akumulasinya.
Namun, tidak semua proletariat terserap kedalam proses inti sirkulasi kapital. Sebagian lainnya terserap di luar inti produksi kapital dan biasanya hidup dalam kondisi yang menyengsarakan.
Proletariat yang terserap ke dalam proses inti produksi kapital, oleh para pemikir marxis, jamak disebut sebagai proletariat aktif; sedangkan yang terlempar dari proses inti produksi kapital jamak disebut sebagai proletariat informal. Proletariat aktif umumnya bekerja di sektor formal dan dicirikan dengan produktivitas lebih tinggi, adanya aturan legal-formal dari negara sehingga lebih terlindungi, yang berefek pada kerentanan yang tidak begitu ekstrem. Di sisi lain, proletariat informal dicirikan dengan produktivitas lebih rendah bahkan kadang kurang atau tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, serta ketiadaan aturan legal-formal sehingga kerentanannya sangat ekstrem.
Konsep proletariat inilah yang selanjutnya akan membawa kita pada pembahasan mengenai Surplus Populasi Relatif (SPR), meliputi proletariat informal bahkan pengangguran, yang adalah bagian penting dan tak terpisahkan dari proses akumulasi kapital.
Surplus Populasi Relatif
Surplus Populasi Relatif (SPR) didefinisikan oleh Marx sebagai “Populasi yang berlebihan terhadap kebutuhan rata-rata kapital untuk penaikan nilainya sendiri, dan karena itu adalah surplus populasi.” Disebut relatif sebab betapa pun kecil nilai surplusnya akan selalu dibutuhkan dalam proses akumulasi, khususnya dalam penciptaan komoditas. Bagi Marx, kondisi SPR ini adalah dampak dari proses proletarianisasi sekaligus juga prakondisi bagi akumulasi kapital.
Dalam tradisi ekonomi politik marxis, kita mengenal dua jenis modal/kapital dalam proses produksi, yakni modal/kapital konstan (mesin) dan modal/kapital variable (tenaga kerja). Dua modal inilah yang akan ditingkatkan produktivitasnya agar penciptaan surplus sampai pada titik maksimal. Peningkatan produktivitas dua modal ini pada gilirannya membentuk dua model penciptaan nilai lebih, yakni nilai lebih absolut dan nilai lebih relatif. Peningkatan produktivitas modal variabel melalui maksimalisasi tenaga buruh untuk menciptakan sebanyak mungkin komoditas yang berkonsekuensi pada peningkatan jam kerja menciptakan nilai lebih absolut; sedangkan peningkatan produktivitas modal konstan melalui penggunaan mesin dan teknologi canggih menciptakan nilai lebih relatif.
Penciptaan nilai lebih absolut dewasa ini cenderung dihindari oleh pemilik modal, sebab dalam sejarahnya memiliki efek sosial yang akibatnya tidak main-main, misalnya pemogokan atau bahkan pemberontakan buruh. Kondisi ini menyebabkan jatuhnya tingkat proporsi kebutuhan modal variabel atau tenaga kerja. Buruh digantikan oleh tenaga mesin dan teknologi canggih.
Secara perlahan pekerja akan disingkirkan dari proses produksi, atau dengan kata lain terjadi pergeseran status pekerja, yang semula proletariat aktif berubah menjadi proletariat informal atau bahkan menganggur. Kondisi ini pulalah yang menyebabkan peningkatan SPR sebab proletariat aktif semakin sedikit sedangkan proletariat informal dan pengangguran semakin membengkak.
Di titik inilah SPR menjadi dibutuhkan oleh pemilik modal. Tidak lain agar sewaktu-waktu proletariat aktif yang sedang bermasalah, katakanlah mogok kerja atau memberontak, dapat dengan mudah digantikan oleh proletariat informal atau bahkan para pengangguran (termasuk fresh graduate). Oleh karena itu, SPR sering disebut memainkan fungsi cadangan tenaga kerja.
SPR turut memainkan fungsi pengupahan. Melimpahnya SPR (dalam bentuk proletariat informal dan pengangguran) menyebabkan kapitalis tidak akan takut dan dapat mengabaikannya jika sewaktu-waktu proletariat aktif meminta kenaikan upah. Untuk apa takut jika ada banyak cadangan tenaga kerja yang tersedia di luar dinding pabrik sana? Secara sederhana, jika mengikuti hukum penawaran ala neoklasik, maka semakin besar jumlah SPR yang tersedia atau ditawarkan ke pemilik modal, maka semakin rendah harga atau upah para proletariat aktif.
Kondisi ini menyebabkan upah tenaga kerja dapat dipertahankan seminimal mungkin dan selama mungkin, sehingga proses ekstraksi nilai lebih dapat berjalan dengan mulus.
Tipologi SPR
Marx, sebagaimana ditulis Habibie (2016), membagi SPR ke dalam empat bentuk, yakni populasi mengambang (floating), populasi terpendam (latent), populasi stagnan (stagnant), serta populasi kefakiran (pauperism).
Populasi mengambang adalah mereka yang bekerja di sektor industri besar namun dalam posisi yang cukup rentan sebab dapat disingkirkan sewaktu-waktu jika tenaganya sudah tidak dibutuhkan dan akan dipanggil kembali sewaktu-waktu jika dibutuhkan lagi. Bagian terbesar dari populasi ini adalah para pekerja kontrak dan alih daya (outsourcing).
Populasi terpendam adalah mereka yang bekerja di pertanian perdesaan dan masih memiliki tanah, namun dapat sewaktu-waktu menjadi surplus populasi ketika terjadi proletarianisasi.
Bentuk selanjutnya adalah populasi stagnan yang merupakan bagian dari angkatan kerja yang melakukan kerja jauh dari aktivitas inti perusahaan, bahkan biasanya di luar pabrik (rumahan), namun masih tetap merupakan bagian dari proses produksi perusahaan. Kondisi kerentanan mereka yang termasuk di dalamnya sangat ekstrim. Pekerja rumahan seperti ibu-ibu pengolah rumput laut di sebagian besar wilayah Kabupaten Pangkep Sulawesi Selatan merupakan salah satu contoh dari bagian terbesar SPR ini.
Bentuk terakhir SPR, populasi kefakiran (pauperism), adalah mereka yang dalam kondisi paling memprihatinkan, yang tidak punya semangat hidup, menyerah pada ketidakmampuannya untuk bekerja, biasanya karena gagal beradaptasi atau karena pembagian kerja yang tidak proporsional.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Refleksi Bagi Lulusan Baru
Sampai sini, apa yang bisa disimpulkan? Penting untuk kawan-kawan fresh graduate ingat bahwa segala problem yang sedang kita hadapi bukanlah semata karena ketidakmampuan kita, bukan pula karena tuntutan dan harapan orang tua yang kelewat tinggi. Problem yang kita hadapi adalah sesuatu yang lebih besar dari omongan pedas tetangga di pagi hari yang memekakkan telinga, bahkan lebih kuat dari apa yang pernah kita bayangkan.
Kita berhadapan dengan satu sistem yang memaksa kita untuk mengikuti aturan main dan lalu tidak pernah punya kesempatan untuk menolaknya, suatu mekanisme “paksaan” yang akan selalu bisa diterima secara moral dan hukum. Satu sistem yang justru akan selalu menciptakan kondisi pengangguran agar dapat bekerja dengan mulus.
Pada akhirnya, apa yang harus kita lakukan? Tidak lain adalah mengenali secara cermat sistem seperti apa yang sedang berjalan di dunia di mana kita hidup. Hanya dengan cara itu kita bisa punya kemungkinan lepas dari problem-problem yang sedang mendera. Seperti kata seorang kawan kepada saya, “Bagaimana mungkin kita bisa mengubah dunia, sedangkan kita tidak tahu sedang hidup di dunia yang seperti apa?”
Rizky Abadi Putra, penjaga Rumah Tadarrus Buku 218 Makassar