Ilustrasi: Illustruth
SIKAP antipati dan amarah yang dilontarkan oleh kalangan radikal dan fundamentalis agama terhadap orang-orang LGBTIQ+, dan lebih umum lagi terhadap apa yang disebut “ideologi gender”, mencapai kesuksesan besar di beberapa negara. Di Uganda, belum lama ini telah lolos undang-undang yang memungkinkan homoseksual dihukum mati. Di Rusia, segala macam “propaganda homo” dilarang. Dalam kedua kasus itu, kalangan Kristen evangelis melancarkan kampanye agresif untuk mengingatkan bahaya menerima kalangan homoseksual. Mereka membayangkan homoseksualitas sebagai penyakit yang bisa menulari anak-anak dan keluarga sehingga masyarakat akan terancam. Di negara-negara Islam terdengar suara senada. Dalam perkara ini, sosok-sosok konservatif kedua agama dapat bersepakat dengan baik.
Argumen yang dikemukakan sudah dikenal. Homoseksualitas konon tidak alami dan transeksual adalah penemuan belakangan para penganut ideologi gender yang gila. Kedua pendapat seperti itu tidak dapat lagi dipertahankan. Para pakar biologi seperti Frans de Waal asal Belanda berhasil mengamati perilaku homoseksual pada ratusan spesies, dari bonobo (jenis orang utan), ikan dolfin, jerapah, burung camar laut, burung gereja, serangga buah-buahan sampai homo Sapiens yang tidak lain adalah manusia. Para ahli antropologi berhasil menghimpun pelbagai bukti dalam banyak masyarakat yang menunjukkan bahwa bentuk kemajemukan gender tetap ada (itu berarti ciri-ciri sosial, budaya dan psikologi yang berhubungan dengan jenis kelamin) dan diterima.
Pakar antropologi Amerika Will Roscoe juga mendokumentasikan kemajemukan gender di lebih dari 150 masyarakat di Amerika Utara sebelum kedatangan orang Eropa. Bukunya, Changing Ones, terbit pada 2006, memasang anak judul “gender ketiga dan keempat dalam masyarakat asli Amerika Utara”. Dalam literatur lama mereka sering disebut sebagai “berdache”, sekarang “two spirits” (dua jiwa). Mereka sering memiliki kekuatan sebagai penyembuh. Acapkali berlangsung pernikahan seorang berdache dengan partner dari jenis kelamin sama tetapi gender berbeda. Berdache yang lahir sebagai seorang perempuan adalah pejuang, demikian menurut orang-orang Eropa yang kaget. Saat ini, di beberapa tempat, mulai muncul kembali penghargaan yang berhati-hati kepada kalangan “two spirits”; sedangkan pada banyak masyarakat lain mereka sudah lenyap.
Para pakar antropologi yang bekerja di Afrika juga berhasil mendokumentasikan banyak bentuk homoseksualitas dan praktik-praktik transeksual. Peneliti Jerman Elisabeth Tietmeyer misalnya pada 1985 lalu melakukan analisis terhadap pernikahan kaum perempuan pada 25 masyarakat Afrika. Sir Edward Evans-Pritchard, ahli antropologi Inggris terkenal, mempelajari tradisi pernikahan orang Nuer di Sudan selatan. Ia mempublikasikan kajian tentang pernikahan perempuan baru pada 1951, setelah pensiun, karena takut jika lebih cepat diterbitkan maka kariernya akan rusak. Dari Siberia sampai pulau-pulau di Samudra Pasifik terlihat banyak macam homoseksualitas dan praktik transeksual. Thailand, Filipina dan Indonesia memberi banyak contoh.
Karena gender pada dasarnya adalah konsep budaya dan hanya dapat dipahami dalam konteks historis tertentu, maka perdebatan masa kini tentang ideologi gender selalu berdasarkan gender sekarang yang dikuasai oleh norma heteroseksualitas. Itu berarti bahwa manusia digambarkan secara biner alias terbagi dalam dua jenis kelamin, sehingga jenis kelamin biologis itu dan ukuran gender masyarakat yang berkaitan dengannya dianggap sebagai “normal”, demikian pula hubungan kelamin dengan seseorang dari jenis kelamin yang berbeda. Bagi pelobi anti-gender, itu adalah kenyataan historis dan religius; sedangkan kalangan transeksual dan aktivis homoseksual justru ingin menerobos ketetapan itu.
Sebenarnya heteroseksualitas sebagai norma yang sekarang begitu dominan baru muncul pada abad-abad terakhir di Barat. Dalam banyak budaya lain justru kemajemukan genderlah yang lebih umum. Karena pada masyarakat yang jauh lebih tua tidak terdapat sumber-sumber tertulis, maka harus ditemukan cara lain untuk dapat memahami struktur sosial yang berlaku. Dalam hal ini para pakar arkeologi dapat mengulurkan bantuan. Pakar bio-arkeologi Pamela Geller, dalam bukunya The Bioarcheology of Socio-Sexual Lives yang terbit pada 2017, berpendapat bahwa variasi gender mungkin merupakan fenomena lintas budaya yang berawal jauh di masa lampau. Variasi seperti itu tidak selalu tampak karena apa yang oleh Geller sebut sebagai “Sindrom Romeo dan Julia”, maksudnya pada pakar di bidang yang sama dengannya sering memasang kacamata heteroseksualitas sebagai norma. Karena itu, makam yang berisi dua jenazah ditafsirkan sebagai sejoli romantis, padahal jenis kelamin keduanya tidak selalu jelas sehingga mestinya harus ada kemungkinan lain kenapa orang pada zaman dahulu kala dikubur bersama dalam satu makam.
Terutama pada abad ke-19, tatkala terjadi kemajuan di bidang arkeologi, biologi evolusi dan antropologi, pengaruh pandangan masyarakat yang berdasarkan jenis kelamin dan gender biner serta heteroseksualitas tampak jelas. Selama bertahun-tahun Darwin mempelajari teritip (sejenis karang) hermafrodit dengan penuh keheranan. Bagaimana dia harus menjelaskan evolusi metode berkembang biak binatang yang tidak heteroseksual ini? Pada akhirnya dia mengklasifikasikan hermafroditisme sebagai bentuk kehidupan primitif dan tidak meneruskan perbedaan itu pada kemungkinan bahwa selain dunia binatang, dunia manusia juga mengenal spektrum pelbagai jenis kelamin.
Dalam antropologi terlihat kecenderungan yang sama. Pada 1911, seorang pakar antropologi yang “selalu duduk di kursi” Ferdinand Karsch-Haack menerbitkan kompilasi kisah mengenai percintaan pasangan sejenis. Dia melontarkan keirian dengan kata-kata keras terhadap praktik-praktik “berhala” dan “sesat” di kalangan “masyarakat alami” seperti yang dilaporkan oleh kalangan misionaris dan pejabat kolonial. Karya Karsch-Haack merupakan sumber yang tidak boleh diabaikan, berisi informasi mengenai banyak bentuk kebiasaan transeksual dan homoseksual di kebanyakan wilayah terjajah. Walaupun dengan kacamata rasisme dan norma heteroseksual penulis itu sendiri dan sumber-sumbernya, karya itu tetap memperlihatkan gambaran kemajemukan di segenap penjuru dunia. Itu menunjukkan bahwa gejala ini merupakan fenomena penting sampai masa kolonial, dan karena itu merupakan warisan budaya.
***
Untuk keperluan debat masa kini, menarik untuk melihat bagaimana perubahan terjadi dalam kelompok yang misalnya memiliki pendeta transeksual atau orang-orang dari jenis kelamin yang sama (tapi tidak dari gender yang sama pula) saling menikah menjadi masyarakat yang memiliki norma heteroseksual dan kemudian menghukum homoseksualitas; serta sejauh mana hal-hal itu tidak dapat dibenarkan oleh budaya dan agama yang berkuasa.
Indonesia kaya akan tradisi rohaniwan transeksual, pernikahan sejenis dan dewa-dewa non-biner. Dalam Indonesia masa kini, tradisi seperti itu disangkal dan semakin banyak peraturan daerah yang menyatakan bahwa budaya dan agama mereka sudah selalu heteroseksual sehingga tata hukum harus sesuai dengannya. Hanya sembilan persen warga yang menerima homoseksualitas, menurut penelitian Pew Research Center di Amerika. Indonesia terletak tidak jauh di atas Nigeria yang berada pada peringkat akhir. Pada Desember 2022, setelah perdebatan panjang selama bertahun-tahun, akhirnya Kitab Undang-undang Hukum Pidana baru lolos dan dapat menghukum semua bentuk hubungan kelamin di luar pernikahan. Karena pasangan kelamin sejenis tidak boleh menikah, maka ini juga berarti larangan terhadap homoseksualitas.
Orang Bugis merupakan salah satu masyarakat terpenting di Sulawesi Selatan. Mereka dikenal memiliki lima sistem gender walaupun kini mengalami tekanan besar. Selain cisgender (kalangan yang senang/menerima jenis kelamin bawaan dari lahir) wanita dan pria, orang Bugis masih mengenal dua kategori transeksual, “calalai” dan “calabai”. Calalai lahir sebagai perempuan dan mengambil alih pekerjaan dan pakaian pria, dengan demikian mereka merupakan pria sosial dan dapat menikahi wanita cisgender. Calabai lahir sebagai seorang pria dan menerima peran sebagai wanita, termasuk kemungkinan menikah dengan pria cisgender.
“Bissu” merupakan kategori sendiri. Mereka menggabungkan ciri-ciri pria dan wanita dan dapat tampil sebagai calalai atau calabai seperti interseks, yaitu seseorang yang memiliki ciri khas pria atau wanita.
Dahulu bissu pernah begitu berkuasa. Mereka tidak hanya menguasai benda-benda suci milik kerajaan Bugis tetapi juga bertugas memberkati pernikahan dan memimpin upacara tanam padi dan panen. Untuk dapat menjadi bissu, seseorang harus menjalani periode pelatihan yang lama. Para calon bissu antara lain harus belajar bahasa Bugis kuno, yang bertutur tentang sejarah munculnya masyarakat mereka, seperti tertera dalam I la Galigo. Ini adalah kisah epik terpanjang sedunia—mencakup enam ribu halaman— dan merupakan warisan Unesco. Baru pada abad ke-18 beberapa bagian I la Galigo ditulis; hanya sebagian kecil yang sekarang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Dalam I la Galigo dikisahkan bagaimana para dewa yang androgini (berkelamin dua) menurunkan makhluk-makhluk suci, antara lain para bissu. Baru pada tahap belakangan diciptakan wanita dan pria, nenek moyang pelbagai dinasti di Bugis. Seorang bissu menolong dewa tertinggi, Batara Guru, mengatur dengan baik kehidupan di dunia. Pakaian yang dikenakan seorang bissu memiliki atribut wanita maupun pria (misalnya membawa senjata dan memasang bunga pada rambut). Objek-objek suci harus dihormati oleh pendeta dari jenis kelamin lain, karena itu seorang bissu harus seorang transeksual atau interseks (berkelamin dua). Dalam dunia spiritual mereka memiliki dua partner, seorang pria dan seorang wanita.
Menurut Karsch-Haack, semua bissu adalah pederast (senang berhubungan erotis dengan remaja) dan dukun sihir. Beberapa bissu adalah hermafrodit atau interseks dalam istilah sekarang yang berarti seseorang yang memiliki baik ciri kelamin wanita maupun pria. Mereka sangat dihormati. Di wilayah lain Indonesia tidaklah demikian. Di Jawa, misalnya, kalangan interseks mengalami diskriminasi yang berat, karena konon mereka mendatangkan malapetaka.
Tradisi tua ini sudah mengalami penindasan berat sewaktu berlangsung kontak pertama dengan saudagar Portugis pada abad ke-15. Portugal melarang keras sodomi; pria homoseksual dibakar. Orang-orang Portugis sangat terkejut melihat praktik “berhala” seperti ini. Kira-kira, pada saat yang sama, orang-orang Bugis beralih menganut Islam. Menjelang akhir abad ke -19 berembus angin yang lebih modern, yaitu aliran wahabisme di seantero Nusantara. Mereka ingin memurnikan Islam dari unsur-unsur animisme dan praktik tradisional. Ini menyebabkan meningkatnya pengaruh para ulama Islam di keraton-keraton. Tapi jauh sampai abad ke-20, para dewa orang Bugis masih dapat bekerja sama dengan Allah, yaitu Tuhan tertinggi para pemeluk agama monoteisme. Pakar antropologi Sharyn Davies melaporkan bahwa dewa-dewa angin menolong Allah dalam melaksanakan tugasnya.
Pengaruh penguasa kolonial meningkat. Menjelang awal abad ke-20, penguasa kolonial di bawah Gubernur Jenderal Jo van Heutsz yang terkenal kejam menaklukkan dua kerajaan Bugis besar yaitu Bone dan Gowa, menempatkan keduanya di bawah kekuasaan Belanda. Perang penaklukkan ini disebut sebagai “pasifikasi”. Setelah itu diterapkan pengutipan pajak dan banyak objek suci dicuri, seperti pedang keramat Sundanga. Tanpa mengelola benda-benda kerajaan yang keramat, kesempatan kerja para bissu berkurang drastis.
Selama perang yang berkobar antara kerajaan-kerajaan Bugis sendiri para bissu selalu berperan penting. Pakar antropologi Elise Andaya melaporkan bahwa raja Bone pernah berhadap-hadapan dengan pasukan bersenjata dan dia dilindungi oleh seratus bissu yang lahir sebagai perempuan. Mereka membawakan tarian magis supaya raja dan mereka kebal dari serangan pasukan bersenjata. Dalam novelnya yang berjudul Bontorio, pejabat kolonial H. J. Friedericy menggambarkan pertempuran terakhir orang-orang Bone melawan pasukan kolonial Belanda. Jenderal Mappa, panglima pasukan Bone, tidak akan berperang tanpa keris yang sudah menjadi milik keluarganya selama 40 generasi dan juga tombak pusaka La Badoe. Kedua senjata bertuah ini memperoleh kekuatan magis dari pelbagai upacara yang dilakukan oleh para bissu. Tetapi dalam kekacauan perang terakhir melawan pasukan kolonial para bissu ini tidak diikutsertakan. Sontak pasukan Bone kalah.
***
Setelah kemerdekaan, negara Indonesia menghapus kerajaan-kerajaan Bone. Sampai saat itu masih terdapat puluhan bissu yang dibutuhkan untuk memimpin berbagai upacara penting. Sebagai imbalan, mereka memperoleh tanah yang akan dikelola oleh para petani, begitu juga honorarium. Waktu itu di Sulawesi Selatan juga aktif gerakan Darul Islam yang dipimpin oleh Kahar Muzakar. Islam versinya tidak memberi tempat kepada kebiasaan tradisional dan rohaniwan pra-Islam. Dia memaksa bissu yang lahir sebagai pria untuk memotong rambut dan mengolah tanah sebagai petani. Ribuan bissu dibunuh dan benda-benda keramat dimusnahkan. Di Bone, bissu terpenting dipenggal kepalanya dan anggota ormas Islam mengarak kepala terpenggal itu di sepanjang jalan, rambut dipegang sementara kepala diputar-putar keliling.
Pada saat itu sebenarnya para bissu sudah beralih menjadi muslim, tetapi para pemimpin agama mencurigai tata cara mereka menghayati ajaran Islam. Mereka dianggap mementingkan pemujaan Allah melalui kebiasaan sendiri, selain itu juga terjadi perbedaan pendapat dengan para ulama tentang orientasi alamiah mereka. Menurut para bissu, mereka dilahirkan sebagai calabai atau calalai dan karena Allah selalu berbuat baik, maka keberadaan mereka juga harus diakui. Sebaliknya, para ulama memutuskan bahwa siapa saja harus berperilaku sesuai dengan badan yang telah dianugerahkan oleh Allah.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, di Jakarta, berlangsung aksi yang dilakukan oleh kelompok yang menamai diri Gerakan 30 September. Mereka ingin menculik tujuh jenderal yang konon akan melakukan kudeta untuk dibawa ke hadapan Presiden Sukarno. Dalam aksi itu ternyata para jenderal tadi dibunuh. Dalam sehari, seluruh gerakan digulung dan Jenderal Soeharto mengambil alih pimpinan militer. Ada beberapa petunjuk bahwa dia sendiri sebenarnya juga terlibat dalam komplotan—paling sedikit Soeharto tahu rencana itu ada dan tidak memberi tahu atasannya yang juga dibunuh. Segera Soeharto menyatakan ini ulah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan ia mulai melakukan pembunuhan massal kalangan komunis dan pendukung Sukarno. Di tengah semua kekerasan berdarah-darah itu Soeharto berhasil merebut kekuasaan dan menyingkirkan Sukarno.
Karena PKI merangsang budaya rakyat, maka para pelakunya juga diburu. Di Sulawesi Selatan, kalangan calalai, calabai dan bissu dituding sebagai komunis dan lagi-lagi banyak di antara mereka menjadi korban pembunuhan. Banyak yang melarikan diri ke hutan-hutan.
Pada 1998 berakhirlah kekuasaan diktator Soeharto. Pada tahun-tahun pertama, apa yang disebut periode Reformasi, provinsi-provinsi tidak lagi dipaksa tunduk pada sistem persatuan nasional; daerah-daerah sekarang memperoleh otonomi. Warga Sulawesi Selatan segera ingat bahwa mereka memiliki epos hebat, I la Galigo, dan para bissu kembali memperoleh perhatian sebagai penjaga epos dan tradisi. Datanglah periode pendek ketika orang begitu menghormati para bissu yang berhasil selamat dari pelbagai perburuan. Mereka sering diundang menghadiri pelbagai perayaan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah, dan kembali berperan dalam upacara pernikahan dan kelahiran.
Ini tidak berlangsung lama. Meningkatnya pengaruh kalangan Islam konservatif dan Islam yang tidak toleran berdampak besar bagi para penganut ritual dan tari tradisional. Dua tahun silam para bissu tidak lagi diundang pada perayaan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, yang diundang adalah para wanita cisgender untuk membawakan tari-tarian bissu lama. Ada sedikit bissu yang tersisa; mereka nyaris tidak punya sarana hidup lagi.
Heteroseksualitas dan dipentingkannya hubungan biner antara dua jenis kelamin dikobar-kobarkan sebagai tradisi lama kepulauan Nusantara. Tetapi sebenarnya fobia homoseksual adalah fenomena baru. Tidak ada secuil pun bukti bahwa hubungan homoseksual pernah dilarang di seantero kepulauan Nusantara yang begitu luas itu. Penguasa kolonial menerapkan larangan terhadap hubungan sejenis pria dewasa dengan remaja pria, seperti yang pada zaman itu juga berlaku di Negeri Belanda. Pengadilan kalangan homoseksual pertama berlangsung pada akhir dekade 1930-an. Beberapa ratus pria ditangkap, antara lain perupa terkenal Walter Spies. Pemerintah Indonesia zaman sekarang tidak lagi berpaling pada tradisi sendiri begitu mereka menampik keragaman gender dan homoseksualitas, melainkan justru merangkul moral borjuis mencekik yang pernah diterapkan penguasa kolonial.
***
Terdapat lebih banyak contoh mengenai kemajemukan gender di Indonesia. Beberapa suku Dayak di Kalimantan mengenal dukun transgender yang mereka sebut “basir”. Mereka dianggap sangat efektif karena status transeksual lebih mudah berhubungan dengan dunia para dewa. Biasanya mereka lahir sebagai laki-laki dan baru dapat menjadi basir setelah menjalani periode inisiasi yang sangat panjang. Sebagai basir mereka menikah dengan pria cisgender. Kaarsch-Haack mengutip misionaris Jerman Hupe yang berkunjung ke wilayah ini pada pertengahan abad ke-19. Dia menyebut basir sebagai “budak setan” yang menyerah pada “pederasi”. Dengan kaget dia berlanjut bahwa “raja neraka” ini dihormati sebagai orang suci.
Dalam kira-kira waktu yang sama seorang letnan kolonial Belanda bernama Perelaer mencatat bahwa para basir melakukan “tindakan menjijikkan” yang mendatangkan “api Sodom” pada diri mereka sendiri. Betapa kaget Letnan Perelaer ketika mendapati bahwa para basir memperoleh bayaran jauh lebih baik bagi pekerjaan mereka, yaitu 2,50 gulden, dibandingkan dengan pendeta-pendeta cisgender yang hanya menerima 0,75 gulden. Kalangan wanita juga menunjukkan perilaku tidak bermoral, menurut Perelaer. Mereka melakukan “tribadisme”, yaitu pemuasan diri menggunakan dildo yang terbuat dari kayu yang dihaluskan dengan lilin.
Dayak juga mengenal kisah dewa asal-usul mereka yang berkelamin dua. Dewa tertinggi orang Dayak Ngaju bernama Mahatala-Jata. Mahatala yang laki-laki berkuasa di dunia atas dan digambarkan sebagai burung enggang yang bertakhta di atas awan di puncak gunung. Jata adalah bagian perempuan, seekor ular air yang berkuasa di dunia bawah dibantu buaya putih. Mereka dihubungkan oleh satu jembatan yang terbuat dari batu permata yang bagi orang biasa tampak sebagai pelangi. Seorang basir merupakan wujud gabungan ular air dan burung enggang.
Peran kalangan dukun tradisional sekarang sudah sangat berkurang. Banyak orang Dayak beralih menganut Islam atau Kristen dan klinik pemerintah mengambil alih layanan kesehatan. Hukum hanya mengakui perkawinan lawan jenis heteroseksual.
Meningkatnya pengaruh varian Islam yang tidak toleran dan bayang-bayang hantu komunisme yang berbahaya bagi negara, yang secara agresif diakui oleh kalangan oligarki, politisi dan aparat militer, menyebabkan lenyapnya bentuk-bentuk lain budaya transeksual. Terutama di Jawa, terdapat tradisi tarian transgender seperti lènggèr, gandrung dan reog. Dalam beberapa kasus ini adalah para transeksual yaitu waria, hanya pada waktu menari mengenakan pakaian lawan jenis; dalam kasus lain para penari adalah orang-orang yang sering lahir sebagai bayi laki-laki, yang dalam sebagian besar hidup atau malah sepanjang hidup mereka mengambil identitas transeksual. Kadang-kadang juga ada hubungan homoseksual.
Gandrung adalah tarian yang terutama dibawakan di Jawa Timur tetapi juga di Lombok dan Bali. Seperti jenis tarian lain, gandrung adalah juga tarian kesuburan yang dipersembahkan kepada Dewi Sri, dewi padi. Dahulu kala para penari kebanyakan pria muda yang berpakaian wanita. Penari gandrung terakhir yang lahir sebagai laki-laki, bernama Marsan, hidup pada akhir abad ke-19 di Banyuwangi, pantai paling timur Pulau Jawa. Zaman sekarang gandrung ditarikan oleh perempuan muda. Kota Banyuwangi mengangkat gandrung sebagai atraksi wisata, yang terutama menonjolkan daya tarik heteroseksual. Untuk memenuhi tuntutan para ormas muslim yang agresif, para penari perempuan itu sekarang mengenakan kain berwarna kuning langsat untuk menutupi dada mereka yang dulu terbuka.
Bentuk normalisasi heteroseksual seperti itu juga terjadi pada tarian reog di Ponorogo, Jawa Timur. Untuk menarikannya, seorang warok mengenakan masker harimau yang sangat besar dan seorang anak laki-laki duduk di lehernya. Tari reog berasal dari kerajaan Kediri (1045-1255), berfungsi menjamin kemakmuran kerajaan, hanya kalau warok memegang teguh tradisi. Ia memiliki kekuatan magis yang hanya dapat dipertahankannya jika menjelang pertunjukan tidak mengadakan hubungan seks dengan wanita. Dia boleh tidur dengan satu atau lebih anak laki-laki yang berusia antara delapan dan 16. Mereka disebut gemblak dan harus dibesarkan dengan baik oleh para warok yang biasanya juga beristri dan beranak pinak.
Reog juga dikait-kaitkan dengan komunisme dan para penarinya diburu, tetapi tradisi tetap hidup. Gelombang homofobia yang sejak 2016 meracuni seantero negeri sangat mengubah tradisi reog. Para warok masih menari mengenakan topeng macan, tetapi sekarang mereka didampingi oleh gadis-gadis. Kadang-kadang warok ini masih membesarkan anak laki-laki di rumah mereka, sebagai anak angkat, tetapi harus hati-hati supaya tidak dicaci maki sebagai homoseksual. Prestise yang dahulu dinikmati oleh warok dan gemblak sebagian besar sudah lenyap.
Tari lènggèr dari Banyumas di Jawa Tengah selatan juga memiliki asal-usul tari kesuburan yang dipersembahkan kepada Dewi Sri. Seperti semua tarian jenis ini, lènggèr ditarikan oleh penari transeksual, dalam upacara perdesaan untuk menghormati siklus agraris dan dalam perayaan pernikahan. Sekarang tidak lagi aman untuk membawakan tarian lènggèr, seperti terlihat pada film Kucumbu Tubuh Indahku karya sutradara Garin Nugroho. Pertunjukan perdana film ini berlangsung pada 2018; dan pertunjukan selanjutnya langsung dilarang di beberapa kota Indonesia. Seorang anggota ormas muslim yang tidak toleran menyatakan bahwa gerak-gerik wanita penari bukan gerakan Indonesia.
Penari brilian Rianto, yang sekarang memiliki studio tari di Tokyo, Jepang, bertutur tentang satu versi kisah hidupnya sebagai penari lènggèr. Oportunisme politik dan kekerasan yang dilakukan kalangan milisi, setelah perburuan untuk mengganyang kalangan komunis pada paruh kedua tahun 1960-an, membuat tarian ini hampir-hampir lenyap. Dalam film Rianto berhubungan asmara dengan waroknya.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
***
Dari Aceh sampai Papua terdapat kisah turun-temurun tentang masyarakat yang menerima bentuk-bentuk hubungan homoseksual atau praktik transgender. Dalam banyak kasus itu berbentuk “gender keramat”, yang berarti orang-orang transeksual dianggap memiliki baik kekuatan wanita maupun pria, serta cocok sebagai perantara antara dunia dewa dan dunia manusia. Bentuk “gender keramat” ini sudah hampir lenyap di Indonesia zaman sekarang. Kedatangan agama-agama monoteisme, kekuasaan kolonial dengan moral borjuis picik dan kelupaan pascakolonial setelah merdeka sangat merusak tradisi ini.
Perburuan kalangan komunis pada tahun 1960-an hampir memusnahkan budaya rakyat, dan sikap tidak toleran kalangan Islam tertentu kemudian menyebar seperti tumpahan minyak yang suram, melakukan sisanya. Homoseksualitas dan terutama pernikahan sejenis sekarang dianggap sebagai hasil impor sesat dari Barat. Padahal pada saat-saat ketika kalangan homoseksual di Eropa diburu, justru masyarakat tradisional Nusantara sudah menerima pernikahan sejenis dengan pasangan yang berkelamin sama.
Hanya segelintir cendekiawan Islam progresif, seperti Profesor Musdah Mulia, menafsirkan Al-Qur’an sedemikian rupa sehingga dapat menerima kalangan LGBT (sebutan di Indonesia). Mulia menjelaskan bahwa penghancuran Sodom (argumen yang selalu digunakan untuk mengutuk “sodomi”) terjadi bukan karena homoseksualitas tetapi karena agresi, dan Islam juga mengenal kalangan mukhanath, yaitu sosok-sosok non-biner. Lebih dari itu Musdah Mulia juga menekankan bahwa Islam menyebar pesan damai dan toleransi, dan harus membawa berkah bagi segenap umat manusia, jadi juga bagi kalangan LGBT. Mereka tidak banyak didengar. Gerakan LGBT di Indonesia mengambil ilham dari kemajemukan besar dalam hubungan gender masa lampau, untuk menunjukkan anggapan salah bahwa homoseksualitas bertentangan dengan tradisi dan agama.
Kemajemukan gender dan berbagai macam bentuk hubungan non-heteroseksualitas memiliki sejarah yang lebih lama ketimbang fobia terhadap kalangan homoseksual. Penguasaan Barat atas sebagian besar wilayah dunia oleh kolonialisme dan imperialisme berakibat bahwa moral picik masyarakat Barat menjadi milik semua orang di bagian dunia itu. Bentuk kepercayaan dan spiritualitas lain serta hidup bersama dianggap lebih rendah. Ditekankan bahwa hanya dengan menaati norma Barat maka masyarakat yang dulu terjajah dapat “meningkatkan diri”.
Pengenalan praktik-praktik kepercayaan monoteisme menyebabkan menguatnya ideologi heteroseksualitas. Di Thailand yang mayoritas penduduknya beragama Buddha praktik-praktik transeksual tidak pernah begitu ditindas seperti di Indonesia. Menghormati tradisi adalah slogan indah. Paling sedikit sejauh ada pengertian bahwa tradisi itu majemuk ada dalam bermacam-macam bentuk dan bahwa kemajemukan gender serta homoseksualitas merupakan bagian penting dari padanya.
Saskia E. Wieringa adalah guru besar emeritus Universiteit van Amsterdam. Tahun ini akan terbit bukunya A Political Biography of the Indonesian Lesbian, Bisexual and Trans Movement (Bloomsbury). Versi asli artikel ini terbit dalam bahasa Belanda pada mingguan De Groene Amsterdammer edisi 7 Desember 2023 (halaman 42-45) , berjudul “Indonesische transculturen: De Heilige Gender”. Alih bahasa oleh Joss Wibisono, seizin penulis.