Foto: lanskap kota Surabaya (sharonang/needpix.com)
SURABAYA telah memasuki usia ke-730 pada 2023 lalu, usia yang tergolong tua untuk sebuah kota di Indonesia. Tentu sejarah panjangnya menarik untuk diamati.
Pertumbuhan Surabaya sebagai sebuah kota dimulai pada abad ke-10. Saat itu banyak pengangkut logistik pangan melalui Sungai Brantas sampai ke dermaga, sebelum nanti diangkut untuk didistribusikan. Ujung Sungai Brantas pun mulai ramai, pelan-pelan menjadi pelabuhan dan pusat perdagangan.
Nama Surabaya sendiri muncul di Prasasti Cangu berangka 1358 masehi atau ditulis pada era Raja Hayam Wuruk. Dikatakan nama “Surabhaya” mulai dikenal sejak Raden Wijaya bertahta pada 1293 (Suwandi dkk, 2002 dalam Astuti dkk, 2016). Catatan lain menyebut Surabaya sudah dirintis menjadi pelabuhan pada era kejayaan Singhasari di bawah kekuasaan Raja Kertanegara pada 1275 (Handinoto, 1996).
Surabaya otomatis menjadi bagian dari Demak ketika kesultanan tersebut menggantikan kekuasaan Majapahit pada sekitar abad ke-16. Ketika itu Surabaya menjadi salah satu wilayah ekonomi yang penting karena menjadi pusat perdagangan cukup berpengaruh di wilayah timur Jawa. Ketika Kesultanan Demak runtuh berganti ke Kesultanan Pajang, lalu kemudian era Kesultanan Mataram, Surabaya mulai menyatakan independensi, lepas dari kekuasaan apa pun. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Mataram Islam melalui raja ketiganya Sultan Agung menjadikan Surabaya wilayah kekuasaannya pada tahun 1625.
Ricklef (2008) menyebutkan bahwa pada abad ke-17, Surabaya merupakan salah satu negara-kota yang kuat dan cukup berpengaruh, terutama karena faktor perdagangan. Ungkapan dari Ricklef sesuai dengan data yang tersedia dalam aneka penelitian maupun arsip.
Memasuki awal abad ke-18, tahun 1743, Surabaya diserahkan oleh Raja Mataram saat itu, Pakubuwono II, ke VOC sebagai konsekuensi perjanjian politik. Setelah mengambil Surabaya, VOC mulai membangun sesuai dengan model kota-kota di Eropa. Tidak hanya itu, VOC juga mulai membangun benteng-benteng pertahanan di sisi utara kota. Corak Surabaya pun mulai berubah. Tata kota lama khas keraton Jawa mulai berubah perlahan menjadi mirip model kota di Eropa, khususnya Belanda (Baskoro, 2017).
Setelah VOC bubar pada 1799, Surabaya sepenuhnya dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Pada saat dikuasai oleh pemerintah kolonial, Surabaya terus berkembang pesat terutama memasuki abad ke-19, tepatnya pada tahun 1870. Itu adalah awal dari modernisasi Surabaya dengan pembangunan masif serta infrastruktur penunjang seperti jalan dan pelabuhan.
Saat itu pemerintahan kolonial Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (berkuasa 1808-1811). Ia membangun jalan pos dari Anyer, Banten hingga Panarukan, Jawa Timur. Jalurnya melewati Gresik dan Surabaya sehingga membuka akses yang lebih mudah untuk distribusi darat serta mempercepat pengiriman logistik menuju pelabuhan. Pada abad ke-19 menuju ke abad ke-20, jalan kota mulai dibangun bersamaan dengan jalur kereta api yang langsung menuju pelabuhan. Dengan status sebagai kota jalur ekspor dan impor penting, ditambah juga perkembangan komoditas perkebunan seperti tebu yang nantinya diolah menjadi gula, Surabaya menjadi pusat ekonomi (Hartono & Handinoto, 2007).
Sejak abad ke-20, Surabaya menjadi cikal bakal metropolitan dengan aneka pembangunan serta perubahan spasialnya. Perkembangan ekonomi telah mendorong pembangunan kota yang cukup masif. Kota dibangun memanjang mengikuti aliran Sungai Brantas atau Sungai Kalimas.
Fase Perkembangan Kota Surabaya
Berdasarkan sejarah yang secara singkat dibahas di atas, maka Surabaya yang kita kenal hari ini jelas tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sejak Singhasari, Demak, Mataram hingga era VOC sampai kolonial Belanda. Ada tiga tahapan perkembangan Surabaya, yakni fase agraris dari abad ke-10 sampai 16, lalu fase perdagangan dari abad ke-17 sampai 19, lalu fase industri dari abad ke-20 hingga sekarang ini.
Perubahan kota telah memantik aneka transformasi sosial ekonomi, khususnya perubahan tata ruang. Salah satu yang terlihat adalah pola perkembangan kota dari sisi utara, lalu menuju selatan mengikuti sepanjang aliran Sungai Brantas atau Kalimas, lalu berkembang menuju sisi barat ke arah Gresik hingga ke sisi Timur sepanjang arah Kenjeran menuju Sidoarjo sisi Juanda.
Problem di Surabaya juga tidak lepas dari faktor imperatif ekonomi yang memantik pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut menjadi faktor penarik (pulled factor) arus migrasi, terutama pada kawasan rural. Basundoro (2013) mengungkapkan bahwa perkembangan pesat Kota Surabaya, baik dari segi pembangunan maupun pertumbuhan penduduk, tidak dapat dilepaskan dari faktor industrialisasi. Faktor inilah yang memantik pertambahan penduduk sejak 1899 sampai 1945. Hal tersebut turut mendorong perubahan struktur dan corak kota.
Perubahan tata ruang telah memantik pembagian kota menyesuaikan dengan sektor industri yang tengah tumbuh. Pada abad ke-19 menuju abad ke-20, banyak aktivitas ekonomi memusat pada sepanjang sungai. Sepanjang Ketintang menuju Karang Pilang dahulu merupakan pabrik gula, lalu di wilayah Wonokromo ditemukan pabrik yang menambang minyak bumi. Arah Tunjungan merupakan pusat kota sampai ke sisi utara yang merupakan kawasan perdagangan dan jalur lalu lintas kapal untuk aktivitas ekspor impor.
Permukiman berkembang mengikuti jalur kawasan industri dan ekonomi tersebut, memanjang sepanjang aliran sungai. Maka tidak mengherankan bila kita menemukan perkampungan di sepanjang sempadan sungai dari arah Karangpilang, Ketintang, Wonokromo, sampai ke Kenjeran. Tidak hanya itu, perkampungan juga banyak ditemukan memanjang mengikuti jalur kereta seperti yang ada di sekitar wilayah Pasar Turi dan Semut.
Menuju akhir abad ke-20, perkembangan Kota Surabaya semakin tidak terkendali. Memasuki awal abad ke-21 hingga sekarang, pola permukiman sudah tidak mengikuti aliran sungai karena sudah padat penuh. Pola berkembang menjadi ke pinggiran: sawah di barat dan tambak di timur menjadi perumahan.
Sejak akhir abad ke-20 dan memasuki awal abad ke-21, Surabaya telah berkembang menjadi metropolitan, bahkan sekarang menuju megapolitan. Surabaya bukan lagi kawasan industri tetapi pusat bisnis dan jasa seperti Jakarta. Hal ini ditandai dengan bergesernya industri dari manufaktur menjadi jasa dan properti. Industri manufakturnya bergeser ke daerah penyangga seperti Gresik, Mojokerto, dan Sidoarjo.
Ekspansi Kapital Mengubah Penataan Ruang
Di atas telah disinggung sedikit bahwa pertumbuhan kota membawa sejumlah problem yang tidak lepas dari faktor ekonomi. Ekspansi sektor privat yang tidak terkendali merupakan salah satu alasan mengapa persoalan tata ruang di Surabaya benar-benar kompleks.
Sejarah mencatat awal abad ke-18 menuju abad ke-19 adalah permulaan dari modernisasi dengan pembangunan yang fokus pada ekonomi. Rimmer dan Dick (2009) mengatakan bahwa Surabaya pada abad ke-19 mulai berkembang menjadi pusat perdagangan utama dan menjadi rumah bagi pangkalan angkatan laut terluas Hindia Belanda. Surabaya juga menjadi pusat perkebunan dan industri di Jawa, didukung oleh pelabuhan serta infrastruktur jalan pos.
Perkembangan ini pun tercatat dalam riset Basundoro (2013). Dia mengatakan bahwa perubahan di Surabaya yang melalui proses industrialisasi tidak lepas dari kebijakan saat itu, undang-undang kolonial tentang agraria dan gula, pada tahun 1870. Kebijakan tersebut memberikan ruang untuk meningkatkan industri dan perdagangan serta perluasan wilayah administrasi. Hal ini mempercepat kenaikan pertumbuhan penduduk tak hanya di Surabaya tapi juga kota besar lain di Jawa.
Masih mengutip Basundoro (2013), pada tahun 1945 penduduk Surabaya sebanyak 618.369 orang, lalu pada akhir 1951 meningkat pesat menjadi 855.891, kemudian pada tahun 1958 menjadi 1.043.283. Sekarang penduduk Kota Surabaya berjumlah sekitar 2.987.863 orang. Artinya, terjadi lonjakan hampir 1,9 juta penduduk selama 64 tahun.
Tentu perkembangan industri mengubah wajah kota yang akhir-akhir ini bergeser sebagai pusat bisnis. Ia memantik perubahan masif pada pemanfaatan ruang. Kebanyakan dipergunakan untuk perumahan, pusat perbelanjaan, dan aneka bangunan hiburan. Ruang kosong semakin hilang serta terjadi aneka alih fungsi kawasan seperti sawah dan mangrove.
Perlu diketahui bahwa perubahan tersebut tidaklah liar, artinya legal. Perubahan difasilitasi oleh kebijakan penataan ruang melalui PERDA RTRW yang memakai logika “tata ruang mengikuti skema bisnis”.
Lihat saja statistik periode 2011-2016. Selama lima tahun itu Kota Surabaya cenderung berkembang pesat, ditandai dengan bertambahnya luas lahan yang terbangun (1554,61 hektare). Dari total luas tersebut, alih fungsi atau perubahan pemanfaatan lahan berkembang hampir di seluruh wilayah Surabaya. Di Surabaya Timur, sekitar 708,51 hektare lahan dan 23,24 hektare lahan di Surabaya Utara berubah menjadi fasilitas umum, kawasan komersial, pergudangan, kawasan industri, dan sebagian besar kawasan pemukiman. Di Surabaya Barat, lahan seluas 289,16 hektare telah berubah menjadi kawasan pergudangan dan industri. Kawasan komersial juga berkembang pesat sekitar 89,56 hektare di Surabaya Pusat, lalu 137,46 hektare di Surabaya Selatan (Firmansyah Dkk, 2018).
Rata-rata alih fungsi tersebut menyasar lahan-lahan kosong terutama kawasan tambak dan pertanian. Penelitian yang dilakukan oleh Firmansyah dkk. (2021) menyebutkan bahwa Kota Surabaya merupakan salah satu wilayah yang mengalami kehilangan lahan pangan terutama sawah cukup besar. Melalui citra satelit didapatkan sekitar 255,58 hektare lahan sawah beralih fungsi; sekitar 116,08 hektare menjadi perumahan, 138,90 hektare menjadi kawasan industri, dan 0,59 hektare menjadi jalan tol. Perubahan kebanyakan berada di kawasan pinggiran perbatasan antara Gresik dan Sidoarjo, dalam hal ini Surabaya Barat. Hal ini membuat wilayah tersebut menyerupai kawasan pusat kota yakni Surabaya Pusat dan Selatan.
Pemerintah dan korporasi berperan besar dalam alih fungsi lahan. Novenanto (2019) menyebutkan bahwa proyek pembangunan di Surabaya yang linier dengan alih fungsi diakselerasi oleh peran dari pemkot. Alih fungsi ini dapat dibaca dari beberapa proyek, salah satunya adalah penyediaan perumahan dan pengembangan kawasan perumahan sejak 1977. Pada tahun 1985, pengembangan perumahan ini menggandeng sekitar 35 pengembang swasta. Lalu pada 1996-1999 terjadi tukar guling lahan pemkot di pusat kota dengan beberapa pengusaha yang memiliki lahan di kawasan pinggiran, salah satunya untuk kebutuhan Surabaya Sport Center. Pada tahun 2001, terjadi tukar guling aset antara pemkot dengan PT Inti Insan Lestari (Villa Bukit Mas) berupa waduk di Kelurahan Dukuh pakis seluas 1.878 m2. Lalu pada tahun 2008 tukar guling kembali dilakukan, kali ini pemkot dengan PT. Ciputra pada beberapa waduk, salah satunya Waduk Sepat dan Jeruk dengan tanah di Benowo untuk kebutuhan pembangunan Surabaya Sport Center.
Tidak hanya itu, pemkot juga memfasilitasi kebijakan tata ruangnya. Pada Perda Nomor 12 Tahun 2014 tentang RTRW Surabaya 2014-2034, kata kawasan hijau pertanian dihilangkan. Di sana terdapat pula alih fungsi kawasan bozem termasuk waduk yang adalah kawasan lindung menjadi perumahan, contoh kasusnya Waduk Sepat dan Jeruk.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Alih fungsi lahan yang masif memang tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh modal. Jika kita memakai pendekatan gentrifikasi, maka alih fungsi kawasan pada wilayah pinggiran tidak bisa dilepaskan dari proses komodifikasi atas tanah. Tanah pada kawasan pinggiran cenderung dilihat tidak berfungsi sehingga dihargai murah, tapi diusahakan dan dijual atau disewakan dengan harga mahal. Ini yang oleh Smith (2005) sebut sebagai rent-gap. Kawasan pinggiran pun diincar untuk memperluas geografi modal, sebagai salah satu cara agar kapital tetap dapat bertahan dan tidak kolaps—seperti yang disampaikan oleh Harvey dalam bukunya New Imperialism bagian Capital Bondage (hal 87-19, 2003).
Tentu kebijakan tata ruang dari pemerintah juga berperan, sebagaimana telah disinggung. Kebijakan menjadi faktor penting yang mendorong pola gentrifikasi dan alih fungsi lahan. Karena kebijakan memfasilitasi perubahan ruang, terjadi pola pembangunan ulang atau re-development pada kawasan pinggiran (Knaap, 2022). Kebijakan alih fungsi ini juga sejalan dengan pengaturan ruang yang memang menempatkan pembangunan kawasan terutama untuk menunjang perkembangan industri, serta memfasilitasi pemodal (Padawangi, 2022: 22-23). Term tentang tata ruang mengikuti pola bisnis terlihat pada perkembangan masif industri yang mulai bergeser ke pinggiran (periphery), lalu memunculkan suburban dan permukiman-permukiman baru melalui industri perumahan (real estate).
Kebijakan pun didorong untuk direvisi untuk menunjang perubahan yang tidak terkendali, juga munculnya pembentukan kawasan aglomerasi GERBANGKARTASUSILA sebagai konsekuensi tidak berjalannya pengaturan pola ruang melalui kebijakan tata ruang sebelumnya. Ini semua menunjukkan tidak adanya imajinasi pengaturan tata ruang selama ini (Hudalah Dkk, 2018: 267-268).
Krisis Ekologis Menghinggapi Surabaya
Dampak dari segala alih fungsi sudah cukup terasa. Beberapa riset dan temuan menunjukkan bahwa Surabaya semakin mengalami penurunan ruang terbuka. Dampak dari semakin sesaknya Surabaya adalah peningkatan suhu permukaan atau dikenal sebagai Urban Heat Island (UHI). Peningkatan suhu pada kawasan urban ini dipengaruhi oleh konfigurasi ruang, terutama bertambahnya bangunan (Syafitri Dkk, 2021a); (Syafitri Dkk, 2021b). Selain itu, peningkatan suhu secara konkret dipengaruhi oleh menurunnya tutupan lahan dan peningkatan kendaraan bermotor. Perubahan tutupan lahan sejak 2014-2019 sekitar 2989,8 hektare akan memicu kenaikan suhu permukaan sekitar 3,95 derajat Celsius. Suhu permukaan yang tinggi menyasar kawasan yang padat aktivitas seperti kawasan permukiman, kawasan industri, dan kawasan pemerintahan (Khafid Dkk, 2020).
Problem lain dari semakin banyaknya alih fungsi adalah banjir yang semakin masif. Meski pemkot telah membangun fasilitas seperti saluran air hingga rumah pompa yang mempercepat surutnya genangan, tetapi titik banjir di Surabaya semakin meluas. Hal ini menunjukkan bahwa luasan ruang terbuka hijau di Surabaya tidak sebanding dengan penurunan jumlah kejadian banjir, bahkan justru semakin meluas. Artinya, peningkatan ruang terbuka hijau di Surabaya memang sejalan dengan peningkatan alih fungsi kawasan.
Sebagai sebuah kota, Surabaya terus tumbuh. Tetapi pertumbuhannya memakan banyak ruang kawasan penyangga menjadi yang lain. Meskipun menunjukkan tren positif, berupa peningkatan ruang terbuka hijau, tetapi itu juga sejalan dengan alih fungsi ruang lainnya. Ketiadaan rencana tata ruang yang sejalan dengan kerentanan wilayah serta hanya mengikuti syahwat modal telah mendorong Surabaya menuju fase kritis.
Alih-alih menyelesaikan persoalan, para pemangku yang berkepentingan malah menambah masalah dengan aneka alih fungsi. Dalam imajinasi mereka, segala persoalan solusinya one size fit all atau dapat diselesaikan dengan pembangunan. Selain itu, bagi pemangku kepentingan, imajinasi kota tidak lain adalah banyaknya gedung pencakar langit.
Mereka juga masih menyasar “pendatang”. Faktor migrasi dijadikan kambing hitam persoalan ruang. Padahal, jika dilihat lebih dalam, persoalan di Surabaya sangat kompleks, salah satunya ketimpangan ekonomi dan tidak sensitifnya pemerintah dalam membuat kebijakan. Ini semua membuat tren tata ruang Surabaya ke sisi negatif: dari tahun ke tahun kerentanan wilayahnya semakin meningkat.
Roda masa depan Surabaya mesti dikembalikan lagi kepada warga kota yang mendiami ruangnya. Mereka harus mengambil peran untuk mendesak dan mendorong pemangku kepentingan dari pusat, provinsi, hingga kota untuk mengambil kebijakan yang lebih sensitif ruang dan pro-ekologi.
Referensi
Astuti, S. R., Nurhajarini, D. R., & Nurdiyanto, N. (2016). Pembangunan pelabuhan Surabaya dan kehidupan sosial ekonomi di sekitarnya pada abad XX. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta.
Basundoro, P. (2018). Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota Surabaya 1900-1960an. Jakarta: Marjin Kiri.
Baskoro, S. (2017). “Surabaya Sebagai Kota Kolonial Modern Pada Akhir Abad Ke-19: Industri, Transportasi, Permukiman, Dan Kemajemukan Masyarakat (Surabaya as Modern Colonial City at the End of 19th Century: Industry, Transportation, Settlement, and Pluralism Society).” Mozaik Humaniora, 17(1), 157-180.
Firmansyah, F., Pamungkas, A., & Larasati, K. (2018). “Spatial pattern analysis using spatial metrics: a case study in Surabaya, Indonesia.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 202. https://doi.org/10.1088/1755-1315/202/1/012018.
Firmansyah, F., Susetyo, C., Pratomoatmojo, N., Kurniawati, U., & Yusuf, M. (2021). “Land use changes the trend of paddy fields and its influence on food security in Gerbangkertosusila Region.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 778. https://doi.org/10.1088/1755-1315/778/1/012023.
Handinoto. (1996). Perkembangan kota dan arsitektur kolonial Belanda di Surabaya, 1870-1940. Yogyakarta: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Kristen PETRA Surabaya dan Penerbit ANDI Yogyakarta.
Hartono, S., & Handinoto, H. (2007). “Surabaya Kota Pelabuhan (‘Surabaya Port City’) Studi tentang perkembangan ‘bentuk dan struktur ’sebuah kota pelabuhan ditinjau dari perkembangan transportasi akibat situasi politik dan ekonomi dari abad 13 sampai awal abad 21.” DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment), 35(1), 88-99.
Harvey D. (2003). The new imperialism. Oxford: Oxford University Press.
Hudalah, D., Benita, T., & Gumilar, I. E. P. (2018). “Peri-urbanization in the Surabaya metropolitan area: An industrial transformation perspective.” Routledge Handbook of Urbanization in Southeast Asia (pp. 265-276). London: Routledge.
Khafid, M. A., Wicaksono, A. P., Elwantyo, B., & Dewantoro, B. (2020). “Method of Land Cover Change and Number of Vehicles Increasing on Land Surface Temperature: Case Research of Surabaya City, East Java Province, Indonesia.” Int. J. Innov. Technol. Explor. Eng., 9(3S), 177-181.
Knaap, E. (2022). “The spatial analysis of gentrification: Formalizing geography in models of a multidimensional urban process.” Handbook of Spatial Analysis in the Social Sciences, 384.
Novenanto, A. (2019). “Kota Sebagai Ruang Terbuka: Belajar Dari Waduk Sepat, Surabaya.” BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 5(2), 180-194.
Padawangi, R. (2022). Urban Development in Southeast Asia. Cambridge University Press.
Ricklefs, M. C. (2008). A History of Modern Indonesia since c. 1200: Fourth Edition. London: MacMillan.
Rimmer, P. J., & Dick, H. W. (2009). The city in Southeast Asia: Patterns, processes and policy. Singapura: NUS press.
Syafitri, R., Pamungkas, A., & Santoso, E. (2021a). “Urban Form Factors that Play Important Roles on UHI Spatial-Temporal Pattern: A Case Study of East Surabaya, Indonesia.” IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 764. https://doi.org/10.1088/1755-1315/764/1/012030.
Syafitri, R., Pamungkas, A., & Santoso, E. (2021b). “The Impact of Urban Configuration to the Urban Heat Island in East Surabaya.” IPTEK Journal of Proceedings Series. https://doi.org/10.12962/j23546026.y2020i6.11145.
Smith, N. (2005). The new urban frontier: Gentrification and the Revanchist City. London: Routledge.
Wahyu Eka Styawan adalah Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Jawa Timur.