Foto: Stacker.com
PADa 2 Mei sampai 9 November 2023 lalu telah berlangsung mogok kerja terbesar kedua yang dilakukan oleh serikat pekerja industri media di Amerika Serikat (AS), yaitu Writers Guild America West dan East (WGA) dan Screen Actors Guild and the American Federation of Television and Radio Artists (SAG-AFTRA). Para anggota WGA dan SAG-AFTRA, yang juga terdiri dari penulis, aktor/aktris, dan pekerja media terkenal kelas dunia, menuntut hak mereka kepada para studio dan rumah produksi. Singkatnya, studio dan rumah produksi dituntut untuk menaikkan upah minimum, memperbaiki kondisi kerja, membagi retribusi yang disesuaikan dengan adanya sistem penyiaran streaming, dan melindungi pekerja dari maraknya penggunaan artificial intelligence (AI). Saat ini WGA dan SAG-AFTRA sudah mencapai kesepakatan tentatif dengan studio dan rumah produksi dan menghentikan mogok kerja.
Artikel ini hendak merefleksikan perjuangan tersebut dan mengaitkannya dengan problema yang dihadapi oleh pekerja industri media di Indonesia. Pertanyaan yg hendak dijawab, misalnya, apakah masalah-masalah buruh industri media luar juga dialami pekerja di Indonesia, dan apakah kita perlu khawatir?
Kenyataan Pekerja Industri Media-Kreatif
Pertama tentang upah. WGA menyatakan bahwa di tahun 2013, penulis untuk televisi yang dibayar dengan upah minimum telah meningkat dari 33% ke 49%. Namun, akibat inflasi, bayaran untuk penulis menurun sebanyak 14% dalam lima tahun terakhir. Hal yang sama juga disuarakan oleh SAG-AFTRA: upah minimum belum mengikuti inflasi. Dalam acara promosi film Oppenheimer, Matt Damon menyampaikan bahwa anggota terutama aktor perlu memiliki minimal penghasilan $26 ribu per tahun untuk bisa mendapatkan perlindungan kesehatan. Sayangnya, menurut Tavi Geninson, hanya 12% anggota yang bisa meraih nominal tersebut. Dengan kata lain, terdapat 88% anggota tidak memiliki gaji yang cukup untuk sekadar mendapat jaminan kesehatan.
Bagaimana di Indonesia? Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Sindikasi (Izzati, et. al., 2021), sebanyak 55,1% pekerja industri kreatif yang menjadi respondennya mendapat gaji kurang dari Rp6 juta, dengan gaji terendah sebesar Rp2,8 juta, yang dibayarkan dengan metode bulanan, mingguan, harian, per jam, per proyek, per satuan hasil, atau sebagai komisi. Jika dilihat sekilas, Rp2,8 juta masih di atas rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) yang berlaku di tahun 2021–saat penelitian ini dilakukan. Namun, nominal tersebut tetap tidak bisa disamaratakan apalagi dinormalisasi.
Selain itu, kerentanan upah bukan terletak pada jumlahnya saja, tapi juga dari status kerja. Menurut hasil penelitian yang sama, disebutkan bahwa 41,1% responden bekerja sebagai pekerja lepas, disusul 36,8% untuk masing-masing moda pekerja tetap dan kontrak. Para pekerja di industri media yang bekerja lepas umumnya bekerja tanpa kontrak. Hal ini menyebabkan pekerja tidak mengetahui haknya, terutama jam kerja dan gaji. Tanpa kontrak, gaji akan rawan dimanipulasi oleh pemberi kerja berdasarkan asas “kesepakatan bersama”. Dengan kata lain, penyelewengan pengupahan bisa terjadi, seperti pemberian upah yang tidak sebanding dengan jam kerja.
Belum ada kerangka hukum yang jelas untuk pekerja lepas saat ini, baik itu di Undang-Undang Cipta Kerja maupun peraturan lain. Artikel dari Christina Clarissa Intania (2023) menyebut masih ada ketidakjelasan pengkategorian pekerja freelance–apakah sebagai pekerja lepas atau pekerja dengan sistem Perjanjian Kerja dengan Waktu Tertentu (PKWT), karena keduanya memiliki definisi berbeda dan potensi pengaturan kontrak dan kebijakan yang juga berbeda.
Selain upah yang rentan dan menyengsarakan pekerja media kreatif, kondisi kerja juga menjadi aspek yang disorot. Di AS, WAG dan SAG-AFTRA mengeluh kondisi kerja mereka seperti sistem “mini room”, di mana penulis kecil mengerjakan naskah acara di tahap praproduksi selama beberapa minggu dengan tuntutan sangat besar namun gaji kecil; juga sekadar kontrak, tidak sebagai penulis tetap. Di Indonesia, situasi kerja yang buruk bersumber pada kurangnya kejelasan jam kerja, tidak adanya jaminan sosial dan asuransi kesehatan, eksploitasi di tempat kerja, hingga pelecehan seksual (Liem et. al., 2018).
Permasalahan kerja tersebut jelas sangat mendasar dan harus diperbaiki. Hal ini juga jelas sangat memprihatinkan meski memang ada beberapa perkembangan positif. Misalnya keberadaan layanan BPJS Ketenagakerjaan Bukan Penerima Upah untuk pekerja lepas, sehingga para pekerja industri media yang berstatus freelance juga bisa menikmati jaminan sosial. Sayangnya, belum semua pekerja di industri media mengetahuinya.
Kemudian objek tuntutan berikutnya WGA dan SAG-AFTRA, soal penyiaran streaming dan AI. Dengan banyaknya penyiaran streaming saat ini yang sangat menguntungkan studio, maka wajar jika serikat-serikat ini meminta bagian lebih banyak atas peran yang para anggota mereka jalankan. Pemilik platform streaming (yang umumnya adalah rumah produksi) juga bisa menayangkan konten lebih masif dan berulang-ulang untuk mendapat keuntungan lebih banyak.
Sebelum tuntutan mogok kerja WGA dan SAG-AFTRA dilayangkan, keuntungan yang diraih studio dan rumah produksi atas penayangan konten di platform streaming tidak masuk ke kantong para kreator yang adalah penulis, aktor, dan pekerja lainnya. Duncan Crabtree-Ireland, Direktur Eksekutif Nasional SAG-AFTRA, mengatakan bahwa median gaji aktor adalah $46.960 per tahun pada 2021 dengan rata-rata bawah $30.040. Di sata yang sama, studio menghasilkan profit lebih dari $12 miliar per tahun.
Di Indonesia, problema retribusi dalam layanan streaming memang belum banyak disuarakan pihak terkait. Namun, cepat atau lambat, permasalahan ini akan dihadapi juga, apalagi Indonesia memang terlihat memiliki potensi untuk aktif berkarya di layanan streaming yang, sebagaimana dikatakan oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produser Indonesia (Aprofi) Linda Gozali, nantinya permintaan terhadap sumber daya pekerja juga akan bertambah.
Untuk AI, dikhawatirkan penggunaannya dapat mengambil “lahan” kerja pekerja, juga menerabas hak kekayaan intelektual penulis dan aktor. Contohnya adalah penggunaan suara atau wajah aktor tertentu untuk memproduksi suatu konten tanpa persetujuan. Meski belum ada pengaturan untuk AI, maka WGA dan SAG-AFTRA menuntut agar studio dan rumah produksi berinisiatif melindungi keberlangsungan kerja dan hak kekayaan intelektual pekerja. Memang telah banyak tulisan dan penelitian yang mengungkapkan ancaman dan peluang dari AI untuk kinerja dari pekerja industri media.
Dalam pernyataan resmi, Johnny Plate, mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang sekarang dipenjara karena korupsi, menyatakan bahwa lembaganya, yang berperan sebagai “akselerator, fasilitator, dan regulator transformasi digital Indonesia,” akan “terus berkontribusi untuk meningkatkan pemanfaatan dan adopsi teknologi AI secara prudent (bijaksana), provident (cermat), dan trustworthy (terpercaya), serta sesuai dengan jati diri bangsa, melalui tiga langkah strategis.”
Pernyataan ini diikuti dengan dibentuknya Strategi Nasional untuk Kecerdasan Artifisial Tahun 2020-2045. Kajian awal yang menjadi acuan sudah diterbitkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), termasuk rekomendasi terkait regulasi. BPPT mengusulkan regulasi terkait AI di antaranya bisa diatur dalam RUU Perlindungan Data Pribadi (yang sekarang telah disahkan), peraturan presiden, RUU Keamanan dan Ketahanan Siber. Namun, per 24 November 2023, Wakil Menteri Kominfo Nezar Patria menyatakan tidak mau meregulasi AI terlalu ketat sehingga berencana untuk mengaturnya sekadar lewat surat edaran kementerian, itu pun hanya soal etika penggunaan AI. Dengan demikian, dapat disimpulkan hingga saat ini belum ada payung hukum lex specialis yang dapat melindungi pekerja media dari potensi ancaman AI.
Salah satu region yang telah menjawab kekhawatiran tuntutan WGA dan SAG-AFTRA dan konsep yang juga diusung oleh pemerintah Indonesia yaitu Uni Eropa. AI Act Eropa baru saja disetujui per 9 Desember 2023. Di sana diatur empat tingkatan risiko penggunaan AI: unacceptable, high, limited, dan minimal and no risk. Apa yang dikategorikan sebagai unacceptable risk di antaranya adalah AI untuk mengganti persona–sebagaimana yang dikhawatirkan oleh WGA dan SAG-AFTRA. Dengan demikian, AI Act Uni Eropa bisa menjawab kekhawatiran dan potensi masalah untuk pekerja industri media dan pendekatan yang dicari oleh pemerintah Indonesia. Peraturan ini bisa dicontoh yurisdiksi lain.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Terus Mengadvokasi Hidup Layak
Kekhawatiran kondisi kerja di AS sudah dan terus disuarakan sehingga mulai mencapai titik terang. Sayangnya, di Indonesia, hal itu belum terjadi. Masalah yang sama bahkan lebih mendasar masih terjadi di dunia industri media, yaitu soal upah layak, kejelasan kontrak, dan pemenuhan jaminan kesehatan. Oleh karena itu, upaya-upaya untuk membangkitkan kesadaran pekerja media–bahwa semua orang termasuk mereka berhak mendapatkan kondisi kerja yang layak berdasarkan hak asasi manusia dan peraturan terkait ketenagakerjaan–harus terus dilakukan. Gerakan serikat pekerja industri kreatif di AS yang bisa meningkatkan kesadaran para anggota dan bergerak hingga mengguncang dunia jelas dapat menjadi inspirasi.
Serikat-serikat di Indonesia sebenarnya telah berperan untuk terus mengadvokasikan hak pekerja industri media. Contohnya adalah Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) yang salah duanya aktif memberikan pelatihan dan sosialisasi untuk pembuatan kontrak freelance serta negosiasi/advokasi kasus ketenagakerjaan. Beberapa organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM), termasuk Sindikasi, dan dibantu Lembaga Bantuan Hukum Pers juga pernah membela para pekerja yang terkena PHK massal pada 2022.
Perjuangan-perjuangan itu semestinya harus terus dikuatkan, misalnya juga dengan mengajak kelompok masyarakat yang lebih luas. Masyarakat yang tidak terlibat di industri itu harus tahu kondisi sebenarnya yang ternyata memprihatinkan, berkebalikan dengan citra yang muncul selama ini. Para penikmat media tidak boleh tertipu dengan glamor pekerjaan di industri di media dan perlu didorong untuk berpikir kritis dengan kondisi yang ada. Mereka harus tahu bahwa di balik karya yang dinikmati, masih ada pekerja yang masih belum terpenuhi hak dasarnya dan masih jauh dari bekerja layak.
Pemerintah jelas harus berperan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif misalnya bisa menerbitkan standar upah untuk pekerja media terutama yang bekerja dengan sistem lepas, juga memperjelas pengaturan pekerja lepas–apakah masih dalam satu klasifikasi dengan Perjanjian Kerja dengan Waktu Tertentu atau berbeda. Pemerintah dapat mencontoh Uni Eropa yang kini sedang mengupayakan pengadopsian Platform Workers Directive yang akan mengklasifikasikan kembali gig-worker dan freelancer mandiri, juga perlindungannnya.
Upah layak dan kesepakatan kontrak dari para pihak adalah salah satu kunci, serta menjadi penghargaan, pengakuan, dan insentif untuk para pekerja, termasuk yang berkiprah di industri media. Hal ini juga harus diikuti oleh kepastian dan penegakan hukum yang adil dan tegas. Pemahaman akan hak-hak sebagai pekerja juga harus terus ditingkatkan.
Mari bersama ikut menyuarakan hak kerja yang layak untuk pekerja di industri media.
Referensi dan Bacaan Lanjutan
Izzati, F. F., Larasati, R. S., Laksana, B. K. C., Apinino, R., & Azali, K. (2021). Pekerja Industri Kreatif Indonesia: Exploitation, Kerentanan, dan Sulitnya Berserikat. SINDIKASI x FNV Mondiaal. https://sindikasi.org/resources/Riset_Pekerja_Industri_Kreatif_Indonesia.pdf
Liem, W., Prasetya, W., Maudy, C., Roshita, N., & Irooth, S. (2018). Kerja Layak: Survei tentang Kondisi Pekerja Media dan Industri Kreatif di Indonesia. SINDIKASI x FNV Mondiaal.
Christina Clarissa Intania, peneliti bidang hukum di The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII)