Ilustrasi: Illustruth
TULISAN yang biasanya terpampang di pintu bank, minimarket berjejaring maupun ruang publik mungkin “Parkir Gratis”. Tetapi, begitu kita mengeluarkan motor, barangkali si juru parkir akan tetap meminta uang. Biasanya Rp2 ribu, tapi bisa saja lebih mahal jika misalnya di kawasan wisata. Kita terkadang diminta uang parkir tanpa diberikan karcis yang menunjukkan seberapa banyak biaya retribusi yang harus dibayarkan. Pokoknya bayar. Titik. Selain itu, meski harus membayar, ternyata kerap ada papan atau secarik kertas yang bertuliskan “Barang Hilang Tidak Menjadi Tanggung Jawab Kami”.
Setelah membayar, peluit juru parkir akan berbunyi nyaring sembari mereka mengarahkan kendaraan dan memotong jalan pengendara lain, sering kali secara mendadak. Mereka sudah ibarat penguasa di daerah itu.
Kita akan membahas lebih dalam soal parkir ini dengan studi kasus Yogyakarta, salah satu kota di Jawa yang banyak didatangi wisatawan.
Pemerintah memandang bisnis parkir, yang tidak lain adalah “jualan ruang”, sebagai sumber pendapatan asli daerah dan dilihat sebagai bagian dari sektor jasa. Pemerintah mengurus parkir sesuai dengan penguasaan lahannya. Artinya, tergantung apakah lahan di bawah pengelolaan swasta, pemerintah provinsi atau pemerintah kota/kabupaten.
Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta membagi pengelolaan parkir di luar ruang milik jalan menjadi beberapa kawasan sesuai dengan “nilai ekonominya”. Pertama, kawasan I sebagai “kawasan premium”, yaitu wilayah strategis “keistimewaan” pada sekitar “sumbu filosofis”. Kedua, kawasan II, pusat kegiatan wilayah yang mencakup wilayah perkotaan Sleman dan Bantul. Terakhir, kawasan III, pusat kegiatan lokal (PKL) yang mencakup wilayah perkotaan Temon-Wates dan Wonosari.
Tarif dipatok lebih tinggi di pusat perkotaan dengan klaim akan mengurangi kendaraan yang terparkir. Apakah langkah itu terbukti berhasil mengurai sengkarut kemacetan akibat karut-marutnya transportasi di daerah turisme ini?
Kenyataan berkata lain, sebab parkir liar tetap tumbuh di kawasan perkotaan akibat keterbatasan lahan milik pemda. Petugas unit kerja yang terkait tata kelola perparkiran sering kali juga acuh tak acuh dengan perilaku juru parkir yang tak sesuai regulasi, serta pengawasan dan penegakan hukum yang kurang memadai.
Cuan Didapat, Kemacetan Semakin Hebat
Pertokoan berjejer di sepanjang wilayah perkotaan. Parkir juga tak mau kalah bersaing. Dua sisi badan jalan direnggut, menghasilkan kemacetan; memperlambat arus kendaraan di daerah turisme itu.
Ceruk parkir yang semakin membesar (serta masalah yang mengikutinya) di Yogyakarta tak dapat dilepaskan dari tumbuhnya penggunaan mobil sebanyak enam persen dan motor sebesar empat persen setiap tahun. Kawasan turisme seperti Malioboro dan sekitarnya jelas lebih “basah”. Ada sekitar 4.800 kendaraan per jam yang terpantau pada Mei 2022 saja. Dewatama (2023) menemukan bahwa kendaraan yang terdapat di kawasan parkir sekitar Malioboro sepanjang tahun 2020-2022 terus meningkat dan mencapai 1.132.805 unit. Pantas saja jika kemudian tumbuh berbagai pihak saling “berebut” urusan perparkiran.
Penerapan tarif progresif, yang mungkin bisa sedikit mengurai masalah, tak akan bisa diterapkan sebab juru parkir tak menuliskan jam masuk dan keluar. Akibatnya, besaran retribusi hanya berpatokan pada karcis parkir yang diambil dinas perhubungan setiap bulan.
Studi Leonardo (2018) yang menggunakan peta tata guna lahan pariwisata, lahan perumahan berkepadatan tinggi, lahan perdagangan dan jasa serta lahan perkantoran menemukan kondisi yang lebih mengkhawatirkan di sekitar pusat kota Yogyakarta. Dia menemukan tumbuhnya berbagai parkir untuk kendaraan pribadi di bahu jalan yang “tak beraturan”. Selain itu, di sekitar pusat kota, pemda juga lebih berfokus pada penyediaan lahan parkir bagi bus pariwisata. Parkir di bahu jalan telah memicu kemacetan akibat persaingan kendaraan pribadi dan armada wisata.
Sanksi yang diberikan kepada juru parkir yang melanggar juga terbilang ringan, yaitu denda paling tinggi sebesar Rp300 ribu.
Persoalan perparkiran ini hanya dilihat sebagai masalah “ekonomi informal”. Hal ini ditunjukkan dengan “juru parkir resmi” yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan “parkir liar”. “Juru parkir” sebenarnya tak memahami tentang status lahan yang mereka kelola dan mereka juga tak tahu harus mencari informasi ke mana. “Juru parkir resmi” tak mengerti pula untuk apa dana perparkiran yang dikelola oleh pemerintah kota sebab yang tersedia hanya informasi besaran anggaran dan kegiatan yang dibiayai.
Di samping itu, kelas pekerja yang bergantung pada kendaraan pribadi hanya bisa menyimpan kesal di dalam hati (maklum, apabila menyuarakan masalah publik di daerah itu, nanti Anda akan ditanya, “KTP mana?”). Kelas pekerja juga tak tahu ke mana harus menyampaikan permasalahan yang mereka hadapi akibat macet.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Kepentingan Publik, Dibuang Sayang
Peraturan daerah mungkin saja terus diperbarui, tetapi kenyataannya tak mampu mengatasi “para penguasa jalanan” yang sampai memangsa trotoar. Kemacetan tetap terjadi.
Juru parkir berdalih bahwa penyebab kemacetan bukanlah adanya “ladang parkir” di bahu jalan, melainkan jumlah kendaraan pribadi yang tiap tahun bertambah, yang tidak lain transportasi kelas pekerja yang berasal dari pinggiran kota dan perdesaan. Di sisi lain, “masyarakat” menunjuk penyebab kemacetan kepada tata kelola parkir yang tidak baik, ditandai dengan tidak jelasnya juru parkir “yang resmi”.
Beginilah realitas sengkarut hak atas transportasi di daerah turisme: selalu berujung pada lempar batu sembunyi tangan.
Spekulasi harga yang “tak manusiawi” bahkan sering mewarnai sengkarut parkir di daerah turisme. Hal tersebut dibuktikan dengan beberapa juru parkir yang ditindak karena memasang tarif “tak sesuai dengan ketentuan” sejak awal tahun sampai Oktober 2022.
Uang yang didapat akibat ketergantungan terhadap kendaraan pribadi di daerah turisme ini sering menjadi rebutan “para penguasa jalanan”. Para penguasa jalanan saling bersaing “menguasai lahan garapan” satu sama lain dan “berebut pengaruh”. Mereka tak segan untuk “melakukan cara apa pun untuk mempertahankan lahan garapannya”. Kelompok satu sering berseteru dengan kelompok lain yang juga berafiliasi dengan partai politik. Para penguasa jalanan pada dasarnya memiliki “organisasi sosial yang punya pengurus” sehingga bisa dikatakan “sangat terorganisir”.
Mereka yang menggarap lahan juga tak jarang memiliki ikatan dengan partai politik. Mereka bahkan ada juga yang “berstatus sebagai penggarap resmi swasta yang diakui oleh penguasa”. Salah satu pihak tersebut bahkan diperhitungkan perannya sebagai kekuatan pendukung apabila ada pemilihan wali kota.
Meski demikian, mereka saling berupaya meminimalisir konflik dengan cara “membagi-bagi lahan garapan” di sekitar pusat kegiatan turisme. Pembagian tersebut menciptakan kantong-kantong kekuasaan yang dijaga. Kantong-kantong ini terkait dengan akar kelompok dan identitas sosial masing-masing. Pelanggaran terhadap pembagian lahan garapan bisa berujung pada ketegangan antara kelompok.
“Formalisasi lahan garapan” telah dilakukan oleh kepala daerah turisme sejak tahun 2008. Sebut saja namanya HZ. Dia melakukan itu dengan alasan “memberdayakan masyarakat”. Kelompok-kelompok yang ada kemudian membentuk koperasi bersamaan dengan penataan ruang kota saat itu. “Penataan” berlanjut pada tahun 2012, ditandai dengan kehadiran kios-kios dan berbagai aktivitas bisnis lain di sekitar lahan garapan. Perda tahun 2009 mengukuhkan posisi formal mereka sebagai pengelola lahan garapan di pusat turisme.
Lahan garapan salah satu kelompok tersebut bahkan tak hanya di sekitar pusat turisme, melainkan juga di lokasi-lokasi lainnya di kota wisata. Kelompok tersebut bahkan mengelola 78 kios dan berbagai lahan parkir di daerah turisme. Keberhasilan bisnis mereka tak dapat dilepaskan oleh kemampuan dalam bernegosiasi dengan elite-elite lokal. Mereka juga memanfaatkan lahan garapan untuk mendapatkan dukungan dari warga di sekitarnya.
Studi Edwin de Jong and Argo Twikromo (2017) bahkan menemukan realitas “cukup mencengangkan”, di mana ternyata para penggarap lahan tersebut terkadang digunakan oleh elite-elite bagian dari kekuasaan lokal untuk “mengamankan posisi mereka”. Pengakuan atas keberadaan lahan garapan menjadi jalan bagi elite-elite lokal untuk menggunakan para penggarap menjadi penjaga keamanan pariwisata. Para penggarap juga dikerahkan dalam upaya mendukung “status khusus” daerah turisme tersebut selama 2008-2012. Beberapa di antara elite bahkan diangkat menjadi “pelayan kekuasaan lokal”.
Kita telah melihat betapa kompleksnya persoalan transportasi turisme di daerah ini. Kenyataannya tak bisa dilepaskan dengan kepentingan ekonomi-politik yang kompleks. Maka perbincangan tentang problem transportasi di Yogyakarta harus melampaui aspek teknis belaka.
Anggalih Bayu Muh Kamim, Mahasiswa Magister Sosiologi Pedesaan FEMA IPB