Kapitalisme Bukan Hanya Mengeksploitasi Manusia, tapi Juga Satwa

Print Friendly, PDF & Email

Foto: Rob Nieuwenhuys, Tempo Doeloe-een verzonken wereld, 1982 via Kompas.id


lp3es.or.id

Judul : Kolonialisasi Satwa: Eksploitasi, Kekerasan dan Wacana Kesejahteraan Satwa di Hindia Belanda

Penulis : Budi Gustaman

Penerbit : LP3ES

Kota Terbit : Depok

Tahun : 2022

 

 

 


BELAKANGAN ini lini masa media sosial riuh dengan berita matinya harimau milik youtuber Alshad Ahmad. Kabar ini sontak membuat unggahan Alshad dibanjiri dengan ragam tanggapan dari warganet, tidak terkecuali kritik. Dia dianggap mengabaikan hak dan kesejahteraan peliharaannya, apalagi sudah ada enam ekor hasil breeding dan satu indukan yang mati. Warganet beranggapan bahwa binatang buas tersebut digunakan untuk kebutuhan konten dan adsense belaka.

Peristiwa ini ramai dibicarakan ketika saya tengah membaca buku Kolonialisasi Satwa: Eksploitasi, Kekerasan dan Wacana Kesejahteraan Satwa di Hindia Belanda karya Budi Gustaman. Asumsi buku ini adalah ada “keintiman” antara satwa dalam manusia, suatu hal yang absen dalam diskursus historiografi di Indonesia. Karena riuhnya perdebatan, saya pun bersemangat selekasnya melahap buku ini untuk kedua kalinya sekaligus membikin ulasannya. Namun ulasan ini hanya membahas dari segi eksploitasi satwa liar dan kaitannya dengan upaya konservasi alam. Ulasan terkait kebijakan terhadap satwa domestik, yang  juga dibahas dalam buku, tidak diulas.


Kebiasaan Berburu: Dari Keamanan hingga Kesejahteraan

Perburuan satwa sebenarnya sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia dengan beragam faktor dan alasan yang melingkupinya, termasuk agar bisa dijadikan pangan. 

Di era Hindia Belanda, alasan kentaranya adalah keamanan dan keselamatan, terlebih ketika lahan perkebunan dibuka secara masif. Pembukaan lahan “mendekatkan” manusia dengan habitat liar, yang akibatnya adalah semakin seringnya satwa menyerang manusia. Jelas hal tersebut adalah kerugian. Kerugian lain adalah rusaknya tanaman perkebunan–misalnya oleh hewan herbivora seperti gajah dan babi hutan. 

Hal tersebut mendorong pemerintah melakukan upaya “pembersihan”. Dalam menjalankan upaya tersebut, pemerintah melegalisasi serta memberikan insentif kepada pemburu yang berhasil. Tidak mengherankan apabila jumlah perburuan sepanjang abad ke-18 hingga paruh pertama abad ke-20 cukup masif. 

Orientasi perburuan kemudian berubah. Jika awalnya karena alasan keamanan, dalam perkembangan berikutnya berburu seolah menjadi gaya hidup baru dan sarana rekreasi–sekalipun sejak masa kerajaan sudah marak dilakukan. Perburuan menjadi penanda status sosial dan simbol kejantanan–jika berhasil menaklukan satwa-satwa buas nan liar. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya foto pemburu Eropa bersama hasil buruannya.

Menariknya, aktivitas berburu sering kali dilakukan pada tempat-tempat tertentu. Pertimbangannya adalah ketersediaan serta kelestarian satwa buruan. Hal ini yang membentuk kesadaran di kalangan pemburu, bahwa pada titik tertentu satwa akan punah jika terus dieksploitasi. Berangkat dari persoalan tersebut, muncul landasan awal terkait upaya konservasi satwa liar dan alam.

Gagasan tentang konservasi dan kesejahteraan satwa dicetuskan oleh seorang pemburu kawakan pada masa itu, Adriaan Kerkhoven, yang mendirikan perkumpulan pemburu bernama Venatoria pada 1899. Lewat Venatoria, gagasan konservasi diaplikasikan dengan mengubah hutan biasa di Priangan Selatan dan Cikepuh sebagai hutan lindung–khusus untuk berburu.

Perubahan orientasi perburuan di Hindia Belanda tidak dapat dilepaskan dari konteks global yang turut berkelindan di dalam wacana kesejahteraan satwa. Maraknya isu tentang tuntutan kesejahteraan satwa di Eropa dan Amerika Serikat, diiringi dengan pembentukan berbagai perkumpulan yang mengadvokasikan hak-hak satwa, menjadi stimulus terhadap munculnya gagasan tersebut di Hindia Belanda.


Industri Fesyen dan Eksploitasi Satwa Liar

Pengarusutamaan isu kesejahteraan satwa tidak lepas dari eksploitasi hewan untuk kebutuhan industri fesyen. Hal ini misalnya terjadi terhadap burung cenderawasih di Papua. Keindahan bulu cenderawasih mengundang industri fesyen untuk mengeksploitasinya demi menambah pundi-pundi kapital mereka. Tubuh seekor cenderawasih hanya dilihat sebatas objek pemenuhan kapital dan tren fesyen belaka. 

Sepanjang abad ke-19, tren Victorian-style atau gaya topi yang menggunakan hiasan kepala berbulu burung tengah digandrungi oleh publik di Inggris. Kegandrungan tersebut mengakibatkan banyaknya perburuan cenderawasih dan spesies burung lain. Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan permintaan pasar, perburuan dilakukan secara masif dengan melibatkan mekanisme yang sangat kompleks. Terlebih lagi, harga yang dipatok untuk satu ikat bulu burung di Ternate tahun 1839 cukup tinggi, sebesar f50, dan terus meningkat.

Mekanisme perburuan mengikuti permintaan pasar. Semakin tinggi permintaan dalam mendapatkan komoditas, semakin masif pula perburuannya. Di tahun 1919, Gustaman mencatat, jumlah perburuan burung di Hindia Belanda mencapai titik kulminasi yakni seberat 121.284 kilogram kulit dengan harga f2.073.957 dan 1.100 kg bulu dengan harga f98.872. Dapat dibayangkan ada berapa ribu burung yang mati demi memenuhi permintaan pasar dari industri fesyen tersebut. 

Tingginya angka perburuan mendapat kecaman dari berbagai pihak, salah satunya dari Dr. K. W. Dammerman, Kepala Museum Zoologi Buitenzorg (Bogor). Selain Dammerman, di Belanda pun turut muncul gelombang protes ihwal impor burung dan bagian tubuhnya dari Hindia Belanda yang diarsiteki oleh sebuah perkumpulan bernama Natura Artis Magistra.

Angka ekspor kemudian menurun seiring makin masifnya gelombang kritik terhadap eksploitasi burung cenderawasih untuk kepentingan industri fesyen. Jaringan global turut membentuk serta menyebarluaskan gagasan kesejahteraan satwa hingga ke Hindia Belanda.


Natuurmonumenten dan Upaya Mencegah Eksploitasi

Akar dari gagasan kesejahteraan satwa bermula di Inggris sejak abad ke-17. Ketika itu muncul gerakan Pythagorian yang menegaskan ide untuk tidak mengonsumsi satwa dengan alasan moral. Gagasan tersebut tidak lepas dari pengaruh humanisme yang berkembang di Eropa. Pada hakikatnya, satwa, sebagai makhluk hidup, sama-sama memiliki hak selayaknya manusia dan eksploitasi yang berlebihan terhadap mereka sama seperti merampas hak hidup. Ada banyak tokoh yang menjadi penggagas gerakan tersebut, misalnya John Oswald dan Alexander Pope.

Berbagai gerakan tersebut mendapat momentum pada abad ke-18, yaitu munculnya upaya agar gagasan tersebut dilegalisasi lewat aturan hukum. Di Inggris, berkat peran Baron Erskine, Richard Martin, William Wilbeforce, dan Thomas Fowell Buxton, lahir beberapa undang-undang terkait perlindungan satwa, misalnya Cruelty to Animals Act tahun 1876.

Gagasan tersebut kemudian meluas dan menginspirasi negara lain, salah satunya Belanda. Di Belanda berdiri berbagai perkumpulan sejenis seperti Nederlandsche Vereeniging tot Bescherming van Dieren tahun 1864, Koningin Sophia Vereeniging tot Bescherming van Dieren tahun 1867, hingga Vereeniging tot Behoud van Natuurmonumenten tahun 1905.

Kampanye yang masif di Eropa, khususnya di Belanda, turut memengaruhi kondisi di negeri koloninya. Di Hindia Belanda, Dr. S. H. Kooders mendirikan perkumpulan konservasi alam bernama Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming pada 1912 di Buitenzorg. Dalam implementasinya, ia menggagas pembentukan natuumonumenten (cagar alam). Sayangnya upaya itu belum mendapat restu dari Jawatan Kehutanan pemerintah kolonial.

Beberapa dekade sebelumnya, gerakan anti-perdagangan burung sudah aktif bermunculan. Bahkan desakan muncul dari luar negeri, ketika Bond Bestrijdingeener Gruwelmonde, gerakan anti-fesyen bulu burung, pada 1894 mengirim surat kepada menteri koloni untuk selekasnya menangani masalah perburuan yang masif dan eksploitatif. Desakan tersebut ditanggapi secara menohok bahwa perburuan hanya bisa dibatasi, bukan diakhiri. Sikap pemerintah kolonial tersebut tidak lepas dari besarnya keuntungan yang didapat dari perdagangan bulu burung.

Bahkan, ketika regulasi hukum tentang perlindungan burung dan mamalia (Ordonantie tot Bescherming van sommige in het levende Zoogdieren en Vogels) yang dirancang oleh Dr. Koningsberger keluar tahun 1909, pertimbangan ekonomi masih menjadi dasar untuk memetakan burung mana saja yang, secara dikotomis, bermanfaat dan tidak. Meski begitu aturan tersebut belum efektif dalam menghentikan perdagangan satwa untuk memenuhi permintaan pasar.

Titik kulminasi dalam meredam perdagangan satwa yaitu saat disahkannya dua undang-undang terkait pelarangan perdagangan satwa dan pembentukan natuurmonumenten. Gagasan Nederlandsch Indische Vereeniging tot Natuurbescherming mengenai pembentukan natuurmonumenten pada akhirnya disahkan lewat Natuurmonumenten Ordonantie pada 1916. Pada saat itu, terdapat sekitar 70 natuurmonumenten di lebih 10 karesidenan. Selain itu, lahirnya Dierenbeschermingsordonantie pada 1931 kian menegaskan bahwa perdagangan dan perburuan satwa liar yang rawan punah merupakan pelanggaran hukum.

Sejak ditetapkannya dua ordonansi tersebut, aturan terkait perburuan dan eksploitasi satwa semakin diperketat, apalagi ketika pada 1932 Natuurmonumenten en Wildreservatenordonantie kian mempertegas bagaimana satwa harus dilindungi. Lewat berbagai regulasi itu, sekitar 2.440.000 hektare wilayah di Hindia Belanda merupakan kawasan natuurmonumenten, tidak hanya untuk melindungi satwa dari eksploitasi kapital tapi juga menjaga alam sebagai rumah dari hewan liar. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Komentar terhadap Buku

Umumnya topik tentang masa kolonial hanya menampilkan perang dan tokoh-tokoh besar. Karena itulah buku ini menjadi menarik untuk diulas dan diwacanakan lebih luas. 

Meski begitu, ada beberapa bagian dari buku ini yang tidak dibahas secara tuntas. Misalnya mengenai kampanye kesejahteraan satwa yang diselenggarakan di Surabaya pada 1926 oleh Nederlandsch Indische Vereeniging Bescherming van Dieren (NIVBD). Dikatakan bahwa ada sebuah laporan tentang 85 orang mendaftar sebagai anggota NIVBD dan dua di antaranya merupakan orang Jawa. Sayangnya tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai peran mereka. Atau, apakah ada orang-orang bumiputra yang getol menyebarluaskan gagasan kesejahteraan satwa. Akhirnya, peranan orang-orang bumiputra dalam upaya kesejahteraan satwa kurang terpotret, sekalipun gagasan seperti Katuranggan dalam masyarakat Jawa diulas.

Buku ini cenderung lebih menempatkan orang-orang “pribumi” sebatas objek yang merespons berbagai kampanye yang ada. Padahal, sempat ada pembahasan ihwal seorang “pribumi” bernama Raden Mail alias Poerwosiswojo, kepala Indlansche School Pati, yang mengampanyekan gagasan mencintai satwa melalui tulisan yang ditujukan kepada anak-anak. Pembahasan tersebut menarik jika dielaborasi lebih jauh mengingat proses kampanye kesejahteraan satwa di Hindia Belanda sering kali berbenturan dengan norma yang berlaku di masyarakat.

Selain itu, meski menyinggung sekilas tentang komodo, buku ini tidak menjelaskan bagaimana dinamika keterkaitan antara ordonansi 1909, ekspedisi, hingga perburuan dan upaya konservasinya. Pembahasan mengenai hal ini memang ditulis oleh Gustaman dalam sebuah artikel berjudul ”Menelusuri Jejak dan Rupa ‘Spesies Selebritis’: Visualisasi Ekspedisi-ekspedisi Perburuan Varanus Komodoensis 1912-1939”, namun alangkah baiknya jika narasinya turut dimasukkan ke dalam buku.

Lalu soal kampanye melalui berbagai media, salah satunya film yang dirintis oleh NIVBD sejak tahun 1927. Pembahasannya bersifat deskriptif saja dan tidak menjelaskan bagaimana pengaruh bagi pewacanaan kesejahteraan satwa di Hindia Belanda.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini menyajikan perspektif baru. Dalam penulisannya, buku ini menggunakan sudut pandang global history dengan melihat pewacanaan kesejahteraan satwa di Hindia Belanda sebagai hasil dinamika global. Kajian sejarah melalui perspektif global melihat dinamika secara lebih luas, sehingga akan terlihat bagaimana proses transfer informasi di negeri koloni. 

Penggunaan perspektif global dalam sejarah Indonesia relatif masih belum dikenal. Oleh karenanya buku ini menawarkan bagaimana pentingnya perspektif global bagi pengembangan historiografi Indonesia.

Di samping itu, buku ini dibahas secara runtut dan dengan tutur bahasa yang luwes. Terlebih lagi, adanya indeks lebih memudahkan kita dalam mencari kata kunci utama. Selain itu, data yang disediakan, entah grafik maupun lampiran, memperkaya informasi. Buku ini pun menyajikan cukup banyak gambar sehingga pembaca dapat langsung membayangkan bagaimana penjelasan tekstual dengan visual yang disajikan.

Sebagai penutup, buku ini menampilkan ulasan reflektif mengenai gagasan kesejahteraan satwa di Indonesia yang relatif masih minim. Kesadaran dan mentalitas yang telah dibentuk pada masa kolonial harus di-reset lagi ketika Indonesia memasuki masa kemerdekaan dan periode politik sepanjang 1945-1968. Pewacanaan ini seolah terputus. Untuk itu, kehadiran buku ini sangat penting untuk “menyambungkan” kembali wacana yang terputus tersebut.

Urgensi dan kampanye dalam mewujudkan kesejahteraan satwa harus terus disuarakan agar hak satwa terpenuhi, terlebih lagi jika hak satwa dirampas untuk dieksploitasi demi kepentingan kapital maupun adsense dan popularitas di media sosial.


Muhammad Firyal Dzikri, mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.