Negara Kesejahteraan Bukan Hadiah Elite, Maka Kita Perlu Tahu Aral Mewujudkannya

Print Friendly, PDF & Email

Ilustrasi: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat


PERDEBATAN tentang negara kesejahteraan yang tumbuh belakangan ini membuka sejumlah persoalan yang mungkin selama ini masih terpendam. Ada banyak pertanyaan yang harus dijawab supaya upaya merealisasikannya tidak hanya jadi mimpi di siang bolong, misalnya: atas dasar apa kita akan membangun negara kesejahteraan?; hal-hal apa saja yang perlu kita persiapkan guna menopang terwujudnya kebijakan sosial yang menyeluruh, dari lahir hingga kubur, dan berkelanjutan?; bagaimana kita akan mengongkosi itu, sementara banyak negara kesejahteraan yang dianggap rujukan di Uni Eropa justru menghadapi defisit anggaran? Persoalan-persoalan tersebut memerlukan pembahasan teknis dan ditopang data-data faktual, yang menjadi bahan analisis spesialis.

Sebelum itu, saya hendak mengajak pembaca untuk melihat satu prasyarat penting dari terwujudnya negara kesejahteraan: adanya gerakan sosial yang kuat dan berakar, juga model dan tantangan mendirikannya. 


Model Negara Kesejahteraan? 

Meski konsep kesejahteraan sosial bisa dikatakan serupa, praktik perlindungan sosial tiap negara di Uni Eropa terbilang bervariasi.

Misalnya Prancis. Perlindungan sosialnya, seperti di negara-negara Uni Eropa, mencakup tiap warga negara dan penduduk tetap. Saya memang bukan warga Prancis, tetapi tetap memperoleh jaminan perlindungan sosial sebagai penduduk. Begitu pula sekitar 400 orang mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di negara ini. 

Sejak 2017 hingga 2022, Prancis memiliki anggaran perlindungan sosial tertinggi di antara negara-negara maju anggota Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Anggaran perlindungan sosial Prancis jauh lebih besar daripada rata-rata Uni Eropa, 20%, dan bahkan lebih besar dibanding negara-negara Skandinavia yang sering dijadikan rujukan “model negara kesejahteraan”. 

Selama 6 tahun berturut-turut itu, anggaran kesejahteraan sosial Prancis tiap tahunnya berkisar 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB): 2017 sebesar 31,4%; 2018 sebesar 31,2%; 2019 sebesar 30,7%; 2020 sebesar 34,9%; 2021 sebesar 32,7%; dan 2022 sebesar 31,6%. Keadaan darurat pandemi 2020-2021 bahkan mendorong penambahan anggaran perlindungan sosial, dan persentase sesudah pandemi (2022) bisa dikatakan relatif stabil seperti sebelum pandemi (2017-2018). 

Anggaran belanja perlindungan sosial adalah cermin komitmen politik pemerintah, dan hal tersebut tidak serta-merta gratis. Seperti kita tahu, hal itu ditopang oleh pajak. Prancis sendiri menerapkan sistem pajak progresif, dan besaran rasio pajak rata-rata per PDB adalah 47%, tertinggi ketiga di Eropa.

Satu hal yang mengesankan adalah Prancis mempertahankan besaran anggaran perlindungan sosial tersebut, terlepas dari ideologi partai penguasa. Presiden Emmanuel Macron, yang dipandang pro-pemodal dan memang pernah mencoba mengurangi besaran anggaran perlindungan sosial, bahkan tidak mampu menghentikan tuntutan kesejahteraan sosial yang telah dijamin selama lebih dari enam dasawarsa dan sudah terlembagakan baku berkat gerakan sosial yang kuat.

Sistem kesejahteraan sosial Prancis telah terbukti melindungi warga negaranya jauh lebih baik daripada rata-rata Uni Eropa. Berkat jaminan dana pensiun, “hanya” 4,4% warga berusia 65 tahun ke atas dari total populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini lebih rendah daripada 7,2% di Finlandia, 9,1% di Jerman, 15,5% di Inggris, dan 23,1% di Amerika Serikat.

Dalam kondisi terkini–kenaikan bahan pangan akibat perang Ukraina–tingkat inflasi Prancis lebih rendah daripada rata-rata Uni Eropa, bahkan dibanding Jerman yang dipandang sebagai banteng ekonomi Eropa. Sistem kesejahteraan sosial Prancis berhasil memperkecil dampak inflasi dengan menyediakan bantuan sosial langsung ke rumah tangga sasaran dan usaha kecil-menengah (UKM) secara efektif.  

Tapi negara kesejahteraan tidak terlepas dari kritik. Salah satu hal yang disebut-sebut sebagai sisi gelap negara kesejahteraan adalah peningkatan konsumsi obat antidepresan dalam rentang 20 tahun terakhir (2000-2020). Terlepas dari apakah hal tersebut adalah bukti kausalitas atau hanya kebetulan belaka, yang patut disimak adalah peningkatan terendah terjadi di Prancis (38%), disusul Norwegia (44%) dan Belanda (51%). Sementara Jerman sebesar 200%, dan tiga tertinggi adalah Slovakia (460%), Estonia (478%), dan Cekia (577%). 

Berdasarkan itu semua, apakah Prancis dapat dijadikan model negara kesejahteraan?  


Tantangan Pembangunan Terpepat

Mengimpor model dan menerapkannya di dunia nyata, seperti banyak hal lainnya, adalah tantangan adaptasi, rekayasa, dan praktik di lapangan. Jaminan perlindungan sosial Prancis boleh jadi sumber inspirasi kita, dan mendorong komitmen politik pemerintah kita, apa pun latar belakang ideologinya, untuk mewujudkannya. 

Meski begitu, tantangan sesungguhnya terletak pada pola pembangunan yang ditempuh Indonesia selama ini. Ditopang pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama dua dasawarsa terakhir memang mengesankan. Namun, angka pertumbuhan tersebut masih jauh di bawah negara-negara tetangga. Oleh karena itu pula, Indonesia dipaksa bersaing untuk tetap dapat mempertahankan pertumbuhan ekonominya.

Tekanan persaingan tingkat regional ini dipacu oleh pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang melesat. Jika sebelumnya negara-negara di Eropa perlu setidaknya 100-150 tahun untuk menjadi negara maju, dan kemudian disusul oleh Jepang dan Korea yang berhasil mencapainya dalam kurang dari 50 tahun, maka Tiongkok hanya perlu 20 tahun untuk menyusul ketertinggalannya. Pertumbuhan ekonomi yang makin cepat (atau dipercepat) ini adalah akibat dari tekanan persaingan global dan kemajuan teknologi. Indonesia, seperti negara-negara ASEAN lainnya, juga dipaksa untuk menyusul ketertinggalannya lewat pertumbuhan ekonomi yang dipercepat tersebut. 

Pertumbuhan ekonomi Eropa selama 100-150 tahun menghasilkan perkembangan yang berjalan seiring dengan perubahan sosial masyarakatnya, termasuk memiliki cukup waktu untuk mengakomodasi suara serikat buruh dan gerakan sosial lainnya. Oleh karena itu, negara kesejahteraan di Eropa adalah hasil dari perjuangan gerakan sosial. Terbukti juga, serikat buruh yang kuat menjamin kesetaraan dan keadilan sosial. 

Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi Jepang, Korea, dan Taiwan yang berhasil menyusun sistem perlindungan sosial yang setara. Dalam rentang waktu pembangunan ekonomi yang mereka alami, tiga negara itu memiliki cukup waktu untuk membangun sistem perlindungan sosial sesuai dengan tuntutan sosial masyarakatnya. 

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang dipercepat telah mendorong perubahan-perubahan sosial yang juga semakin dipercepat dan malah dipepatkan dalam jangka waktu yang sangat pendek. Meski di atas kertas Tiongkok punya jumlah anggota serikat buruh yang banyak, tetapi mereka dikendalikan sepenuhnya oleh pemerintah. Berbagai bentuk protes, demonstrasi, terlebih mogok, menjadi tabu di sana.  

Karena terdesak pembangunan ekonomi yang dipepat dan gerakan sosial bak macan ompong, Tiongkok belum berhasil membangun sistem perlindungan sosialnya. Malah banyak ahli menyangsikan Tiongkok akan mampu membangun sistem perlindungan sosial yang setara Jepang, Korea, dan Taiwan, apalagi Uni Eropa.

Hal yang sama terjadi di sini. Pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN dipaksa semakin dipercepat akibat berada dalam kerangka persaingan regional. Ini adalah ciri utama dari pola pembangunan terkini: semakin cepat pembangunan ekonomi, semakin memepat perkembangan sosial sehingga semakin sulit membangun sistem perlindungan sosial. Apalagi jika mengingat situasi dunia industri di Asia yang mengalami deindustrialisasi dini (premature deindustrialization).

Indonesia mengikuti pola pembangunan terpepat tersebut atas nama mengejar ketertinggalan. Masuk dalam arena persaingan regional, Indonesia serta merta dipaksa mempercepat pertumbuhan ekonominya tanpa tersisa cukup waktu untuk membangun sistem perlindungan sosial yang mumpuni. 

Sekalipun sering dikatakan memiliki sumber daya alam yang kaya, pola pembangunan terpepat membuat Indonesia tidak memiliki cukup waktu untuk menata dan mengelola sumber daya tersebut guna membangun iptek dan hilirisasi industri yang mendukungnya. Alokasi dana pembangunan mengalami kemacetan secara simultan di sejumlah bidang yang dianggap strategis. Akibatnya, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah selama ini tampak “kontroversial” dan “inkonsisten”. Hal tersebut sesungguhnya adalah akibat logis dari pembangunan terpepat, yang mengabaikan isu kemiskinan dan marginalitas. 

Terlebih, serikat buruh dan gerakan sosial, akibat ditekan selama masa Orde Baru, tidak memiliki cukup waktu untuk tumbuh sebagai suara penyeimbang pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, alih-alih mengakomodasi tuntutan sosial masyarakat seperti yang terjadi dalam proses perkembangan negara kesejahteraan di Eropa, laju ekspres pembangunan ekonomi malah melindasnya seperti yang terjadi di Tiongkok. 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.


Perubahan Demografis 

Pola pembangunan terpepat memang menghasilkan pertumbuhan ekonomi sehingga menimbulkan rasa percaya diri yang memuncak pada program “Indonesia Emas 2045”. Di atas kertas, Indonesia diyakini akan mampu menghindari middle-income trap dan menjadi negara maju, mulus seperti dalam Rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang diluncurkan Presiden Joko Widodo pada 15 Juni lalu. 

Di balik pertumbuhan ekonomi, pola pembangunan terpepat sesungguhnya tidak hanya menghambat perkembangan sosial masyarakat, tetapi juga mengubah susunan dan dinamika populasi Indonesia.

Selama menempuh pembangunan ekonominya, Tiongkok, Malaysia, dan Thailand mengalami perubahan demografis yang juga lebih cepat daripada yang dialami Eropa, Jepang, Korea, dan Taiwan. Dua tanda utamanya adalah menurunnya angka fertilitas (fertility rate) dan meningkatnya jumlah penduduk lajang.

Sejumlah kajian demografis Indonesia sudah mencatat bahwa pada 2020, angka fertilitas total (total fertility rate) beberapa provinsi dan kabupaten di Indonesia berada di bawah 2,1%. Ini berarti jumlah anak semakin sedikit untuk “menggantikan” orang tua daripada sebelumnya. Selama sepuluh tahun terakhir juga, jumlah penduduk lajang Indonesia mengalami kenaikan, sebagai akibat merebaknya pekerjaan serabutan dalam ekonomi gig. Seiring itu pula jumlah lansia meningkat. 

Oleh karena itu, akibat pembangunan terpepat, alih-alih menjadi negara maju, Indonesia mungkin malah mengalami fenomena menua sebelum menjadi kaya (getting old before getting rich).


Serikat Buruh yang (Di)Kerdil(kan)

Sejak Reformasi 1998, Indonesia telah meratifikasi sejumlah Konvensi ILO, termasuk yang menjamin kebebasan berserikat. Meski begitu, kondisi-kondisi objektif di lapangan mempersulit  buruh untuk mendirikan organisasi di tempat kerjanya. Hal ini mencakup kriminalisasi pengurus serikat buruh, makin merebaknya sistem kerja kontrak dan outsourcing, dan individualisasi dunia kerja akibat perkembangan teknologi informatika.

Organisasi serikat buruh sesungguhnya punya andil dalam penyusunan kerangka Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang disahkan pada 2004. Tetapi di dalam perkembangannya, serikat buruh dihadapkan pada berbagai tantangan struktural akibat pembangunan terpepat, yang memuncak dengan terbitnya Undang-Undang No. 11/2020 tentang Cipta Kerja. Sementara itu, gerak langkah Partai Buruh–yang digadang-gadang akan menjadi lengan politik gerakan buruh–pun belum pasti.

Apakah ada jalan keluar? Saya tidak punya resep praktis di sini. Dari kasus Prancis, buruh gig memperoleh jaminan upah minimum, yang menjadi syarat perlindungan bagi mereka yang rentan mengalami eksploitasi. Di Indonesia, buruh gig masih mengalami kendala pengorganisasian sebab banyak serikat buruh kita, sayangnya, masih mengutamakan kepentingan buruh tetap. 

Membangun “oposisi sosial” mungkin bisa menjadi dasar untuk memperluas dan memperkuat simpul-simpul gerakan sosial yang selama ini cenderung terfragmentasi dan tersebar di banyak daerah. Namun begitu, dalam konteks pembangunan terpepat, aliansi gerakan sosial perlu punya agenda-agenda progresif, termasuk pajak atas harta warisan yang selama ini terbengkalai. Ini untuk menjamin agar agenda perlindungan sosial tetap bisa berjalan terlepas dari partai apa pun yang menjadi penguasa. Oleh karena itu, kita perlu bersama-sama membangun gerakan sosial yang mandiri. 


Menuju NKRI = Negara Kesejahteraan Republik Indonesia? 

Negara kesejahteraan tidak eksplisit dinyatakan dalam Undang Undang Dasar kita. Namun, sila keadilan sosial adalah amanat pendiri bangsa. Amanat tersebut perlu terus disuarakan, dipikirkan, dan diwujudkan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya guna menjamin penghidupan kita bersama dalam menghadapi dampak-dampak pembangunan terpepat yang selama ini ditempuh pemerintah kita, tanpa toleran, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. 

Kita boleh menengok Prancis sebagai model negara kesejahteraan, tapi pelajaran terpenting justru dari Tiongkok: kegagalan membangun sistem perlindungan sosial akan mendorong kegelisahan sosial yang sulit dibendung. 


Jafar Suryomenggolo menetap di Paris, Prancis, dan penulis buku Rezim Kerja Keras dan Masa Depan Kita (2022). 

IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan prinsip-prinsip jurnalistik yang benar, kami tidak menerima iklan dalam bentuk apapun untuk operasional sehari-hari. Selama ini kami bekerja berdasarkan sumbangan sukarela pembaca. Pada saat bersamaan, semakin banyak orang yang membaca IndoPROGRESS dari hari ke hari. Untuk tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.

Shopping Basket

Berlangganan Konten

Daftarkan email Anda untuk menerima update konten kami.