Ilustrasi: TEMPO
NEGARA hukum memiliki 3 ciri pokok, yakni supremasi hukum; persamaan di hadapan hukum; dan perlindungan hak asasi manusia (A. V. Dicey, 2007). Di Indonesia sebaliknya, meski secara formil menganut konsep tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini terjadi terutama sejak beberapa tahun ke belakang, seiring dengan menguatnya rezim legalisme otokrasi dan hukum represif.
Cita-cita negara hukum sukar terwujud dalam corak ekonomi kapitalistik. Hukum tidak akan pernah netral karena selalu diintervensi kepentingan politik (I Dewa Gede dan Atmadja, 2013) yang tidak terlepas dari kepentingan ekonomi. Di Indonesia, hal ini tampak dari latar belakang pembuat undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat, yang mayoritasnya ialah pengusaha dengan proyek-proyek dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pejabat pemerintah juga banyak terafiliasi dengan berbagai perusahaan, termasuk industri ekstraktif.
Dalam tinjauan kritis, hukum kemudian menjadi alat kepentingan kekuasaan kelompok-kelompok yang mengendalikan negara (Unger, 2012). Kita mengenalnya sebagai oligarki. Oligark dapat diartikan sebagai pelaku (kelompok) yang menguasai dan mengendalikan sumber daya material yang bisa digunakan untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan pribadi dan posisi sosial ekslusifnya (Winters, 2011). Selaras dengan pikiran Collins dalam Marxism and Law (1996), di negara yang berjalan dengan corak ekonomi kapitalistik, kebijakan dan hukum tidak berpihak pada lapisan tengah dan bawah; hanya melayani (sebagai bentuk perwujudan) kepentingan elite.
Elite (oligark) dengan kepentingan ekonominya menjadi latar utama menguatnya rezim legalisme otokrasi dan sistem hukum represif di Indonesia.
Rezim Legalisme Otokrasi
Legalisme otokrasi merujuk pada pemanfaatan kewenangan pada rumpun kekuasaan negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Para elite memenuhi kepentingannya sendiri dan berlindung di balik hukum serta dalih “kedaulatan rakyat” dan “kepentingan umum” (Kim Scheppele, 2018). Beberapa ciri dari rezim legalisme otokrasi yang dikemukakan Javier Corrales dalam The Authoritarian Resurgence: Autocratic Legalism in Venezuela adalah penggunaan undang-undang yang didorong oleh partai berkuasa untuk melayani kekuasaan; kepentingan kekuasaan terselundup ke dalam klausul yang tampaknya telah memberdayakan warga negara; dan penyimpangan atau penyalahgunaan hukum serta terjadi kesewenang-wenangan.
Menguatnya hukum represif dan legalisme otokrasi di Indonesia sendiri ditandai oleh beberapa peristiwa legislasi yang diiringi dengan kekerasan oleh aparat. Peraturan dibuat tanpa meaningfull participation. Hak rakyat untuk didengarkan absen sehingga berimplikasi pada substansi yang tidak berpihak.
Di Indonesia, ciri-ciri yang dikemukakan Corrales dapat kita lihat dalam undang-undang yang disahkan dalam rentang waktu 2019-2023. Dimulai dari pengesahan revisi UU 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan baru menghilangkan independensi KPK sebab menjadi berada dalam rumpun kekuasaan eksekutif (di bawah presiden) setelah sebelumnya merupakan komisi independen, serta adanya dewan pengawas.
Pada 2020, pengesahan revisi UU 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara memberi kemudahan lebih bagi pengusaha dalam menambang, mulai dari kemudahan izin, kegiatan pasca-tambang, serta kriminalisasi bagi orang yang menghalangi proses tambang.
Di tahun yang sama disahkan UU 11/2020 tentang Cipta Kerja dengan metode pembentukan omnibus law. Peraturan ini banyak memangkas hak-hak pekerja dan sebaliknya, sentralisasi dan kemudahan berinvestasi. Harus diingat bahwa di tahun tersebut kita semua sedang berjuang menghadapi kemerosotan ekonomi akibat pandemi Covid-19. UU 11/2020 di-judicial review-kan ke Mahkamah Konstitusi, dan singkatnya dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Namun, bukannya memperbaiki kesalahan, muatan dalam UU 11/2020 diterbitkan ulang sebagai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).
Sementara Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang revisinya disahkan pada akhir 2022 memuat beberapa pasal yang memberi impunitas bagi kekuasaan, misalnya pasal penyerangan kehormatan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden; pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara; serta pembatasan hak menyampaikan pendapat dalam pasal penyelenggaraan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi. Semua pasal tersebut dapat menjadi pasal karet sehingga rawan terjadi kriminalisasi terhadap masyarakat sipil yang menyuarakan pendapatnya. Pasal karet sudah terbukti dalam UU Informasi dan Transaksi (ITE) yang banyak menjerat masyarakat sipil.
Di lain sisi, banyak rancangan undang-undang terbengkalai tak kunjung disahkan meski penting ada dan terus didorong oleh masyarakat. Misalnya RUU Masyarakat Adat yang telah telah didorong sejak 2003 dalam kongres Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Naskah akademik RUU ini telah disusun sejak 2010, namun hingga hari ini belum disahkan. Begitu juga dengan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang telah terabaikan selama 19 tahun.
Ada tiga gejala legalisme otokrasi di Indonesia menurut Zainal Arifin dan Idul Rishan (2022). Pertama, kooptasi partai yang berkuasa di parlemen; kedua, menggunakan hukum untuk melegitimasi hasrat kekuasaan sepihak; ketiga, mengganggu independensi lembaga peradilan.
Kooptasi partai yang berkuasa jelas terlihat. Rumpun eksekutif (presiden) dan rumpun legislatif (DPR) dikuasai oleh partai yang sama, lalu menopang koalisi besar yang memperoleh suara mayoritas di parlemen. Dapat dipastikan mekanisme oposisi tidak berlaku. Check and balances antara rumpun kekuasaan negara tidak berjalan dengan baik. Tanda lainnya, banyak kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat, akan tetapi DPR terkesan diam dan tidak melakukan fungsi pengawasan yang termanifestasikan ke dalam beberapa hak-kak istimewa seperti angket, interpelasi, dan menyatakan pendapat.
Terganggunya independensi lembaga peradilan dapat dilihat dari beberapa peristiwa. Salah satunya kontroversi pengangkatan hakim MK Guntur Hamzah menggantikan Aswanto. Aswanto–yang merupakan hakim usulan DPR–diganti dengan dalih karena dia banyak menganulir undang-undang hasil DPR. Lalu ada proses panjang dan penuh kejanggalan persidangan kasus penyiraman air keras penyidik senior KPK Novel Baswedan pada 2017. Ada pula kasus penghalangan advokat yang bertindak sebagai penasehat hukum Fatia-Haris Azhar yang hendak bersidang dalam perkara dugaan pencemaran nama baik Luhut Panjaitan.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Menguatnya Hukum Represif
Nonet dan Selznick dalam Law and Society in Transition: Toward Responsive Law mengemukakan bahwa hukum represif adalah hukum sebagai alat kekuasaan represif dari penguasa negara atau rezim yang menguasai pemerintahan. Tipe hukum ini bertujuan mempertahankan status quo penguasa yang kerap diterapkan dengan dalih menjamin ketertiban dan kepentingan umum. Dengan demikian, hukum ini dirumuskan secara rinci untuk mengikat setiap orang, kecuali penguasa/pembuat hukum.
Pembatasan terhadap partisipasi publik serta meletakkan kritik sebagai ketidaksetiaan (ancaman) menjadi ciri hukum represif (Nonet dan Selznick, 1978). Alih-alih mendengarkan aspirasi serta menyelenggarakan meaningfull participation, di mana hak rakyat untuk dipertimbangkan dan didengarkan wajib dalam penyusunan regulasi, negara malah mengerahkan aparat keamanan dan melakukan represi. Padahal, saluran demokratis telah disediakan konstitusi, yakni Pasal 28E UUD1945–bahwa setiap orang bebas untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat–serta turunannya yakni UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan bahwa dalam demonstrasi besar 2019 lalu terdapat 68 kasus kekerasan; 3.539 orang ditangkap sewenang-wenang; 326 korban ditahan sewenang-wenang; dan 474 disiksa oleh polisi. Temuan lain berasal dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Mereka mencatat pada 7-12 Oktober 2020, terdapat 38 jurnalis yang menjadi korban kekerasan aparat saat meliput aksi tolak UU Cipta Kerja yang tersebar di 11 kota.
Amnesty Internasional Indonesia juga mencatat sebanyak 6.658 orang ditangkap, tersebar di 21 provinsi dalam aksi penolakan omnibus law. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) turut mencatat dalam aksi penolakan UU Cipta Kerja tahun 2020 terjadi 87 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi yang mengakibatkan 232 orang luka-luka. Lebih lanjut, pada aksi tersebut setidaknya sekitar 4.500 orang ditangkap.
Hukum represif, lebih jauh lagi, bekerja dalam pelaksanaan kebijakan publik. Penggusuran dan perampasan ruang rakyat atas nama pembangunan selalu disertai oleh pengerahan aparat. Padahal, dalam konteks kebijakan publik, pemerintah harus menerapkan asas umum pemerintah yang baik; hak ekonomi, sosial, budaya, serta hak atas pembangunan harus menjadi kaidah dan prinsip. Mereka seharusnya mengedepankan dialog serta mengorientasikan kebijakan untuk kesejahteraan rakyat, namun yang terjadi justru ragam kekerasan aparat mewarnai pelaksanaan kebijakan publik.
Contoh yang baru saja berlalu adalah pengepungan dan kekerasan yang dialami warga di Desa Wadas ketika mempertahankan tanahnya dari rencana pertambangan kuari; kekerasan yang dialami warga Desa Wawonii saat melakukan unjuk rasa di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara untuk menuntut pencabutan izin tambang yang mengancam kehidupan; kekerasan yang menimpa warga Kalasey Dua dalam penggusuran paksa lahan perkebunan mereka oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara; intimidasi dan kekerasan yang dialami masyarakat Pulau Sangihe meski telah ada putusan pengadilan terkait pembatalan izin pertambangan; juga kasus pertambangan di Desa Pasar Seluma Provinsi Bengkulu dan Desa Muli dan Desa Maba Kabupaten Halmahera Timur di mana warga yang menolak dan berjuang mempertahankan tanahnya justru dikriminalisasi.
Terdapat kesamaan pola dalam peristiwa demi peristiwa di atas, yakni negara menginterpretasi rakyat yang mempertahankan haknya sebagai ancaman dan mengganggu ketertiban umum. Kasus ini bukan sekadar angka atau peristiwa, tetapi tanda menguatnya hukum represif di negara ini.
Hukum sebagai Instrumen Penindasan
Pemaparan di atas menjadi basis argumentasi menguatnya hukum represif dan legalisme otokrasi di Indonesia serta intervensi kepentingan oligarki ekonomi yang berkelindan dengan pejabat eksekutif pun anggota legislatif. Hukum menjadi sarana politik meraih legitimasi kekuasaan atau untuk mencapai keuntungan ekonomi melalui kepastian dan keseragaman prosedur (Daniel S. Lev, 1990).
Di sisi lain, hal tersebut berimplikasi pada pemberangusan hak rakyat serta pelemahan terhadap nilai-nilai demokrasi dan negara hukum. Maka penting bagi kita untuk merumuskan dan meninjau ulang konsep hingga penerapan negara hukum, dalam upaya mencari skema perjuangan yang tepat.
Daftar Pustaka
V. Dicey, (2007). Pengantar Studi Hukum Konstitusi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Daniel S. Lev, (1990). Hukum dan Politik di Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Hugh Collins, (1996). Marxism and Law (Marxist Introductions). Oxford University Press.
I Dewa Gede Atmaja. 2013. Filsafat Hukum: Dimensi Tematis dan Historis. Malang: Setara Press, 2013.
Javier Corrales, (2015). “The Authoritarian Resurgence: Autocratic Legalism in Venezuela”. Journal of Democracy Volume 2 Nomor 2.
Jeffrey A. Winters, (2011). Oligarki. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kim Lane Scheppele, (2018). “Autocratic Legalism”. Chicago Law Review.
Max Weber. (1969). Max Weber on Law in Economy and Society. New York: Simon and Schuster.
Nonet, Philippe &Philip Selznick. (1978). Law and Society in Transition: Toward Responsive Law. London: Harper and Row Publisher.
Roberto M. Unger. (2012). Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern. Bandung: Nusa Media.
Umberto Melotti, (1997). Marx and Third World. Atlantic Highland: Humanities Press.
Zainal Arifin Mochtar & Idul Rishan. (2022). “Autocratic Legalism: The Making of Indonesian Omnibus Law”. Yustisia: Jurnal Hukum, Volume 11 Nomor 1.
Muhammad Rakha Ramadhan mendapat gelar sarjana hukum dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada 2022. Sejak 2021 bergabung bersama LBH Yogyakarta dan kini sebagai staf di divisi advokasi. Penulis dapat ditemui di Instagram