Ilustrasi: Adi Maulana Ibrahim/Katadata
DAGANGAN lokal tidak laris manis dengan mudah. Peran ecommerce dan slogan seperti “aku cinta produk Indonesia”, “local pride”, “support your local product”, dan “bangga buatan Indonesia” menjadi stimulus masyarakat untuk mengonsumsi komoditas buatan dalam negeri.
Sebelum jargon-jargon tadi banjir seperti hari ini, kebanyakan dari kita menyukai merek-merek luar karena seolah-olah terjamin kualitasnya dan prestisius saat memakainya. Ritelnya dipasarkan melalui mal-mal yang bertebaran di kota-kota. Keran impor yang terbuka lebar membuat jenama luar bisa dijual dengan harga murah. Ini membuat pengusaha yang memproduksi barang di Indonesia merasa tak mampu bersaing.
Namun munculnya dukungan terhadap merek lokal tidak lantas membuat semua pihak untung.
Kampanye konsumsi
Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) dideklarasikan oleh Presiden Joko Widodo pada 14 Mei 2020. Setahun kemudian, 5 Mei 2021, ditetapkan sebagai Hari Bangga Buatan Indonesia (HBBI). Para pejabat lain juga ikut mempromosikan produk dalam negeri dengan menggunakannya di setiap acara-acara formal. Tujuannya untuk mengajak masyarakat memilih berbelanja produk dalam negeri dan terutama sebagai bentuk dukungan terhadap Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Slogan “bangga buatan Indonesia” tidak berlaku bagi jenama luar meski sebenarnya buruh yang mengerjakannya adalah orang Indonesia. Salah satu contohnya adalah merek fesyen Uniqlo.
Gembar-gembor ini membuat banyak produk lokal mulai menyematkan slogan “bangga buatan Indonesia”, misalnya untuk tagar media sosial mereka, dengan harapan menjadi mantra pelaris. Perkembangan ini juga didukung oleh media-media yang mendorong masyarakat mengonsumsi produk lokal. Gerakan BBI juga semakin masif dengan kemunculan mitra-mitra baru seperti perbankan dan industri kreatif. Kolaborasi banyak membantu aspek pemasaran-kampanye, membuat konten di media sosial sehingga merek lokal menjadi terlihat mumpuni.
Selain media sosial, ecommerce menjadi sarana berjualan yang efektif karena tidak perlu menyewa toko. Cukup mendaftarkan diri saja sudah mendapat akses berjualan di internet. Kemudahan ini juga membuat banyak merek bermunculan dan bersaing untuk mendapatkan konsumen.
Banyaknya model-model baru yang terus bermunculan, juga kampanye masif, membuat masyarakat tidak mau ketinggalan dan terdorong untuk terus membeli.
Kesan yang hendak dimunculkan oleh BBI adalah, dengan mengonsumsi produk buatan dalam negeri, berarti kita menjadi orang yang mencintai Indonesia. Semakin menggunakan produk dalam negeri, semakin mengindikasikan kita cinta dengan negara. Slogan BBI juga mampu membuat merek dalam negeri seolah-olah menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Hal lain yang perlu diingat adalah, UMKM bukan hanya usaha yang menjajakan dagangan kecil-kecilan saja, tetapi juga para pengusaha yang dapat memperoleh keuntungan sampai miliaran rupiah per tahun. Menurut peraturan, usaha mikro adalah usaha yang penjualan tahunannya sampai Rp2 miliar; usaha kecil lebih dari Rp2 miliar dan di bawah Rp15 miliar; dan yang terakhir usaha menengah lebih dari Rp15 miliar sampai maksimal Rp50 miliar. Dengan pembagian ini, UMKM juga termasuk bisnis yang cukup besar.
Karena UMKM berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar, maka perluasan bisnis juga dilakukan dengan sangat masif dengan memproduksi dengan banyak. Slogan BBI bisa dipakai untuk mendorong naiknya penjualan.
Mereka yang ditinggal
Meskipun banyak dukungan, gangguan bagi UMKM tetap ada. Di sektor fesyen, salah satunya adalah thrifting impor. Merek dalam negeri memiliki saingan berat. Pasar pakaian bekas besar karena konsumen bisa mendapatkan produk bagus dengan harga murah, apalagi dibandingkan dengan barang baru. Kalau pintar memilih barang, kita bisa mendapatkan jenama ternama dari luar negeri.
Pemerintah pun dengan segera mengambil kebijakan membatasi thrifting–melarang impor pakaian bekas. Berbagai faktor disebut ada di balik kebijakan pelarangan ini, dan salah satunya memang karena mengganggu pasar UMKM.
Meskipun BBI bisa membantu mendompleng penjualan para pengusaha, tetapi pasar pakaian bekas adalah gangguan laten. Para penjual barang bekas ini juga sebenarnya adalah pengusaha UMKM yang sama-sama meramaikan pasar Indonesia. Tetapi, karena pemerintah butuh meningkatkan kualitas produk dalam negeri, juga dalam rangka lebih banyak menyerap tenaga kerja, maka para pengusaha yang memproduksi barang sendiri lebih mendapatkan dukungan.
BBI akhirnya berhasil menggeser UMKM pakaian bekas. Beberapa pelakunya mengatakan tinggal tunggu waktu untuk gulung tikar.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, akhirnya banyak pengusaha pakaian bekas berganti haluan dengan memproduksi merek sendiri. Urusan produksi di Indonesia bukan hal yang sulit karena ada banyak tempat makloon di banyak daerah.
Sementara pengusaha bisa berganti bisnis, pekerja di sektor UMKM lebih sulit. Para pekerja ini biasanya bekerja berdasarkan order saja. Bila tidak ada orderan, maka mereka akan diberhentikan sesuai kemauan pemilik usaha.
Orang yang bekerja di sektor informal ini biasanya tidak memiliki sistem kontrak kerja yang jelas, alih-alih dilakukan secara lisan. Ini tentu sangat melemahkan pekerja. Apalagi, peraturan menyebutkan bahwa pekerja UMKM boleh diupah di bawah upah minimum.
Di dalam industri sekarang ini, para pekerja informal di dalam UMKM juga dituntut untuk bisa menyesuaikan diri dengan kebutuhan industri kreatif dan berurusan dengan platform penjualan daring. Menjadi admin media sosial menjadi pekerjaan yang tidak memiliki jam kerja pasti karena harus update setiap waktu.
Seorang teman saya yang bekerja di bidang ritel daring bercerita bahwa dia dituntut untuk bisa mengemas barang yang cukup banyak dengan waktu yang terbatas. Belum lagi kalau mendapat komplain atau retur dari konsumen. Biasanya semua ini akan dibebankan kepada pekerja–termasuk dengan beban ongkos kirimnya.
Teman saya sering berkeluh kesah karena lebih banyak kena potongan dibanding bonus. Dalam perhitungan bonus, biasanya para pekerja tidak mendapatkan perhitungan yang jelas.
Ini semua karena peraturan yang dibuat biasanya menguntungkan pengusaha. Para pekerja berada di posisi yang lemah karena kebanyakan dari UMKM masuk ke dalam sektor pekerjaan informal. Jadi para pekerjanya biasanya masih berstatus tidak tetap, mendapatkan upah yang rendah, produksi yang kecil, dan biasanya memiliki tingkat pendidikan yang tidak tinggi juga.
IndoPROGRESS adalah media murni non-profit. Demi menjaga independensi dan tetap bisa memberikan bacaan bermutu, meningkatkan layanan, dan akses gratis pembaca, kami perlu bantuan Anda.
Di tengah segala kerentanan menjadi pekerja informal, mencari pekerjaan formal juga bukan hal mudah. Pencari kerja jauh lebih banyak dibandingkan ketersediaan pekerjaan. Kebutuhan akan para pekerja informal memang selalu akan dipertahankan dalam setiap industri karena memiliki sifat yang fleksibel untuk mendukung pekerja formal. Jadi bisa dipastikan jumlah pekerja informal akan terus bertambah sekaligus membantu sektor formal agar tetap stabil.
Terus membuat produk lokal menjadi solusi yang mumpuni karena dapat membuka lapangan pekerjaan tanpa memberikan beban berat bagi pengusaha. Sementara pemerintah juga terus menstimulus masyarakat untuk mengonsumsi produk lokal. Kelihatannya memang baik-baik saja: dagangan bisa dijual, lowongan kerja terbuka lebar. Tetapi itu tidak benar. Aturan-aturan ketenagakerjaan belum sebaik apa yang diharapkan oleh para operator yang bekerja informal; belum ada jaminan mereka bebas dari rasa takut besok tidak bekerja.
Slogan BBI sekadar slogan konsumsi. Slogan ini dipakai untuk mencintai Indonesia secara salah kaprah, yaitu dengan mengonsumsi produk dalam negeri tanpa melihat orang-orang yang bekerja di dalamnya. Slogan ini hanya menjadi kebanggan para pemilik usaha yang sudah bisa mendulang untung. Bagi pekerja, masih banyak yang harus diperjuangkan.
Mika Sudira, pekerja sepatu komersil di Bandung